5.1.3. Pengaturan Ketenagakerjan di Tingkat Perusahaan
Undang-undang ketenagakerjaan era otda mengatur berbagai persyaratan penggunaan tenaga kerja dan pemborongan produk dari luar perusahaan.
Penggunaan pekerja kontrak, pemborongan pekerjaan produksi dan jasa pada pihak luar outsourcing dan penerimaan tanaga kerja melalui agen penempatan
tenaga kerja dibatasi hanya untuk beberapa jenis pekerjaan tertentu dan dalam jangka waktu tertentu. Sebagai contoh pekerja hanya diperbolehkan menjadi
pekerja kontrak selama tiga tahun hanya untuk pekerjaan yang bersifat sementara atau selesai dalam waktu tertentu. Pemborongan pekerjaan produksi dan jasa
pada pihak luar hanya diperbolehkan bagi pekerjaan yang bukan pekerjaan utama perusahaan. Tujuan dari ketentuan-ketentuan tersebut untuk memberikan
perlindungan kerja di tingkat perusahaan bagi pekerja di sektor formal. Pengalaman negara luar menunjukkan bahwa pembatasan ketat terhadap
penggunaan pekerja kontrak untuk waktu tertentu dan pembatasan pemborongan pekerjaan produksi akan mengurangi lapangan kerja formal. Dalam konteks pasar
kerja dualistik, penting diingat bahwa akan selalu ada kaitan antara penciptaan lapangan kerja formal dengan sektor informal yang besar. Ditinjau dari perspektif
tersebut, pekerja kontrak untuk waktu tertentu dapat menjadi pembuka jalan untuk memasuki hubungan kerja yang lebih permanen di sektor formal sekaligus
memberikan kesempatan yang lebih besar kepada perusahaan-perusahaan untuk mendapatkan fleksibilitas dalam produksi maupun ekspor.
Di samping mengorbankan lapangan kerja, tidaklah realistik mencoba membagi pasar tenaga kerja menjadi dua segmen yang terpisah yaitu, sektor
formal modern yang bercirikan hubungan kerja permanen yang dilindungi dan
sektor tradisional di mana lapangan pekerjaan temporer merupakan hal lumrah. Pekerja kontrak cenderung memperoleh tingkat upah lebih tinggi dan penghasilan
lebih stabil dengan bekerja di sektor formal daripada bekerja lebih berat dengan upah yang lebih di sektor informal.
Terdapat masalah dalam pengaturan-pengaturan mengenai pekerja kontrak untuk waktu tertentu dan pemborongan pekerjaan. Pekerja kontrak memiliki
kesempatan yang lebih kecil untuk cuti libur yang dibayar, cuti sakit, tidak termasuk dalam program pensiun, dan kurang memperoleh akses untuk pelatihan.
Bukti di negara-negara lain menunjukkan bahwa para pekerja kontrak seringkali merasa tidak puas dengan pekerjaan mereka, dan seringkali mengeluhkan jadwal
kerja yang tidak fleksibel dengan tugas-tugas pekerjaan yang monoton. Namun, terlepas dari pendeknya jangka waktu pekerja kontrak biasanya mereka terus
memperoleh pekerjaan dan pada akhirnya menjadi pekerja tetap. Tetapi hal ini jarang terjadi pada pekerja berpendidikan rendah.
Berbagai kebijakan yang memfasilitasi perpindahan dari pekerja kontrak ke pekerja tetap hanya dimungkinkan bagi pekerjaan tertentu. Bagaimanapun,
membuat regulasi yang meminta pemberi kerja merubah pekerja kontrak menjadi pekerjaan tetap adalah kontraproduktif karena berbagai alasan yang telah dibahas
di atas. Di beberapa negara, pesatnya pertumbuhan pekerja kontrak sebenarnya justru disebabkan oleh adanya berbagai kebijakan perlindungan tenaga kerja yang
berlebihan. Formalisasi pekerjaan melalui perjanjian dengan pemberi kerja yang lebih permanen, dapat didorong melalui investasi sektor publik di bidang
sumberdaya manusia dan dengan mempertahankan fleksibilitas pasar kerja, termasuk penetapan ketentuan PHK yang tidak menimbulkan biaya tinggi
maupun melalui perrtumbuhan ekonomi yang mendorong tumbuhnya unit-unit ekonomi besar.
5.2. Kebijakan Terkait Pasar Tenaga Kerja di Era Otda