tersebut telah mengurangi kesempatan kerja bagi para pekerja perempuan, pekerja usia muda dan pekerja kurang terdidik yaitu pekerja yang berpendidikan dasar
atau lebih rendah. Sebaliknya studi yang dilakukan pada era otonomi daerah menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum riil secara rata-rata sebesar 20
persen tahun 2002 telah menyebabkan berkurangnya lapangan pekerjaan sektor formal di daerah perkotaan sebesar 2 persen. Lapangan pekerjaan bagi pekerja
perempuan dan pekerja usia muda berkurang masing-masing sebesar 6 persen dan bagi pekerja kurang terdidik sebesar 4 persen. Kenaikan upah minimum
memberikan dampak yang lebih besar terhadap lapangan pekerjaan bagi kelompok pekerja marjinal karena upah minimum telah mendekati tingkat upah
rata-rata kelompok tersebut di pasar tenaga kerja.
5.1.2. Ketentuan PHK dan Pembayaran Uang Pesangon
Undang-undang ketenagakerjaan era otonomi daerah telah mengatur kembali peraturan-peraturan mengenai PHK. Semua kasus PHK ditetapkan harus
terlebih dahulu diajukan ke pengadilan perselisihan idustrial untuk memperoleh penetapan PHK tanpa membedakan kondisi perusahaan. Perusahaan diwajibkan
mengambil tindakan yang dapat dilakukan. Apabila pihak berwenang berpendapat bahwa tindakan tersebut tidak terpenuhi, maka kasus PHK tersebut
harus diajukan ke pengadilan perselisihan industrial. Undang-undang ketenagakerjaan era otonomi daerah telah memperbaiki
ketentuan mengenai pekerja yang berhak mendapat uang pesangon. Undang- undang ketenagakerjaan era otonomi daerah tersebut mewajibkan perusahaan
membayar pesangon uang pisah kepada pekerja yang mengundurkan diri secara
sukarela atau dipecat karena pelanggaran berat, yang besarannya ditetapkan melalui proses perundingan bersama. Perusahaan tidak diwajibkan membayar
uang pesangon kepada pekerja yang mengundurkan diri secara sukarela atau dipecat karena pelanggaran berat pencurian atau melakukan kekerasan di tempat
kerja. Undang-undang tersebut juga menaikkan tingkat uang pesangon sebesar antara 19 persen sampai 63 persen bagi pekerja dengan masa kerja mencapai 5
tahun atau lebih. Kerangka aturan yang berlaku sebelum dikeluarkannya undang-undang
ketenagakerjaan era otda memang dianggap mempersulit pihak perusahaan untuk memecat atau memberhentikan pekerja. Hal tersebut disebabkan pengurangan
pekerja di masa lalu menimbulkan biaya tinggi karena setiap kasus pengurangan pekerja wajib diajukan kepada pemerintah agar dikeluarkan izinnya. Baik
pemberi kerja maupun pekerja dirugikan oleh proses pengambilan keputusan oleh panitia penyelesaian perselisihan perburuhan di tingkat provinsi maupun pusat
yang lamban serta diliputi ketidakpastian. Proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan PHK tidak transparan dan juga tidak konsisten, sehingga
menciptakan ketidakpastian dan membuka celah bagi pejabat pemerintah, pemberi kerja maupun serikat pekerja untuk melakukan moral hazard.
Namun, Undang-undang ketenagakerjaan era otonomi daerah dinilai berbagai pihak belum memberikan kewenangan kepada manajemen dalam
memutuskan penerimaan dan pemecatan pekerja. Keputusan tersebut seharusnya tergantung pada pelaksanaan kontrak, negosiasi bipartit terhadap keadaan yang
menyebabkan terjadinya PHK yang tidak adil, dan kerangka hukum yang memungkinkan pekerja dan serikat pekerja naik banding ke lembaga penyelesaian
perselisihan industrial. Meskipun dalam UU ketenagakerjaan keputusan dilakukannya PHK harus didasarkan pada alasan jelas, persetujuan terlebih dahulu
untuk melakukan PHK tidak diwajibkan oleh standar ketenagakerjaan internasional dan tidak diatur oleh sebahagian besar undang-undang
ketenagakerjaan era otonomi daerah. Persetujuan terlebih dahulu hendaknya hanya diwajibkan oleh UU untuk kategori kelompok pekerja tertentu yang rawan
pemecatan seperti misalnya pengurus serikat pekerja. Menurut pihak pengusaha, keseluruhan peraturan-peraturan terkait dengan pemecatan, yang pada awalnya
diperkenalkan lebih dari 30 tahun lalu untuk melindungi iklim ekonomi dalam menjalankan usaha sudah tidak sesuai lagi untuk kondisi saat ini dan hendaknya
tidak diatur dalam UU ketenagakerjaan Lembaga Penelitian Smeru, 2004. Selanjutnya menyangkut pembayaran uang pesangon, jumlah yang
ditetapkan sebesar antara 19 persen sampai 63 persen dirasakan banyak pihak pengusaha terlalu tinggi. Besaran tersebut termasuk tertinggi di kawasan asia.
Ada beberapa poin penting yang dapat dirangkum dari lokakarya ketenagakerjaan yang diselenggarakan oleh Bapenas, Partnership Economic Growth dan Lembaga
Penelitian Smeru yang menyangkut ketentuan pesangon, yaitu: 1. Biaya pesangon meningkat pesat dari waktu ke waktu, baik terkait dengan
peningkatan besaran uang pesangon maupun melalui kenaikan upah minimum yang tinggi. Peningkatan besarnya uang pesangon meningkatkan
insentif bagi pekerja untuk menjadikan dirinya dipecat dengan melakukan pelanggaran ringan pada setiap waktu tertentu.
2. Diberlakukannya uang pesangon yang tinggi dapat dianggap sebagai pajak di bidang ketenagakerjaan. karena pemberi kerja harus membayar uang
pesangon secara lump sum pada saat pekerja dikeluarkan atau saat terjadi pengurangan karyawan, maka uang pesangon dapat dianggap sebagai
pajak atas pemecatan dan penerimaan karyawan baru, yang dapat mengurangi lapangan pekerjaan di sektor modern dalam jangka panjang.
3. Di Indonesia, uang pesangon berkaitan langsung dengan masa kerja pekerja di perusahaan. Hal ini menciptakan distorsi dalam pasar kerja.
Perusahaan akan cenderung mempertahankan para pekerja yang lebih tua usianya meskipun kurang produktif dibandingkan pekerja muda karena
biaya yang harus dikeluarkan untuk memecat pekerja yang lebih tua lebih mahal. Dengan cara demikian, struktur uang pesangon saat ini berpotensi
menghambat bagi penempatan pekerja usia muda sebagai pekerja. 4. Mengaitkan uang pesangon dengan masa kerja juga mengurangi insentif
pemberi kerja untuk berinvestasi dalam sumber daya manusia terutama jika keahlian yang diperlukan merupakan keahlian khusus. Alasannya
adalah bahwa pembayaran uang pesangon mendorong pekerja tersebut untuk berganti pekerjaan dan ini akan merupakan biaya besar bagi
perusahaan sehingga dalam jangka panjang perusahaan kehilangan insentif untuk berinvestasi bagi pekerjanya.
5. Besarnya uang pesangon mendorong timbulnya perselisihan industrial karena kebanyakan perusahaan tidak menyiapkan diri untuk melakukan
pembayaran uang pesangon, sehingga pekerja mempunyai inisiatif untuk menunggu dipecat daripada mengundurkan diri secara sukarela walaupun
pekerja sudah tidak produktif lagi.
5.1.3. Pengaturan Ketenagakerjan di Tingkat Perusahaan