Dampak Kebijakan Upah minimum di Indonesia

3.2.3. Dampak Kebijakan Upah minimum di Indonesia

Penjelasan sebelumnya telah membuktikan bahwa kekuatan monopsoni mengakibatkan upah dan penyerapan tenaga kerja yang lebih rendah. Pemerintah dapat melakukan intervensi untuk membuat posisi pekerja tidak terlalu dirugikan. Akan dilakukan pendekatan secara teoritis alasan pentingnya penetapan kebijakan upah minimum terhadap pekerja dengan status 4 buruh karyawan di Indonesia. Pendekatan yang akan digunakan adalah dengan membandingkan surplus konsumen dan surplus produsen yang berasal dari struktur pasar persaingan sempurna dengan surplus yang terjadi ketika perusahaan monopsoni adalah satu- satunya pembeli seperti pada Gambar 5. D A W C E W N Deadweight Loss B C S = AE ME P L D = MV Upah L N Jumlah Tenaga Kerja L C Gambar 5. Surplus Produsen dan Konsumen pada Pasar Monopsoni Sumber : Nicholson, 2002 dimodifikasi. Gambar 5 memperlihatkan keuntungan perusahaan monopsoni dapat dimaksimumkan dengan membeli tenaga kerja sebanyak L N dengan upah W N sehingga nilai penerimaan marjinal akan sama dengan nilai pengeluaran marjinal perusahaan. Selanjutnya akan dianalisis bagaimana surplus konsumen dan produsen berubah bila upah dan jumlah tenaga kerja pada pasar yang bersaing W C dan L C kita rubah menjadi upah dan jumlah tenaga kerja pada pasar monopsoni W N dan L N , seperti pada Tabel 9. Tabel 9. Analisis Surplus Produsen dan Surplus Konsumen dari Kekuatan Monopsoni Surplus Pasar Persaingan Sempurna Pasar Monopsoni Selisih Konsumen Perusahaan Produsen Pekerja A+B C+D+E A+D E +D-B -C-D Surplus Bersih -B-C Sumber : Gambar 5. Dengan monopsoni maka upah akan lebih rendah dan tenaga kerja yang terserap di pasar kerja lebih sedikit. Karena upah yang lebih rendah, pekerja kehilangan sejumlah surplus yang diberikan oleh segi empat D. Selain itu, pekerja sebagai penjual jasa tenaga kerja kehilangan surplus yang diberikan oleh segi tiga C karena penjualan yang berkurang. Oleh karena itu, total kerugian surplus pekerja sebagai produsen jasa tenaga kerja adalah sebesar C+D. Perusahaan sebagai pembeli jasa tenaga kerja memperoleh surplus yang diberikan oleh segi empat D dengan membeli tenaga kerja dengan upah yang lebih rendah. Namun, perusahaan membeli lebih sedikit tenaga kerja L N -L C sehingga kehilangan surplus sebesar segi tiga B. Total kelebihan surplus bagi perusahaan adalah D-B. Secara keseluruhan terdapat kerugian bersih surplus sebesar luas segi tiga B+C deadweight loss akibat kekuatan monopsoni. Deadweight loss adalah biaya sosial yang ditanggung oleh pekerja karena adanya ketidakefisienan pasar monopsoni tenaga kerja. Dari perbandingan teoritis dua struktur pasar di atas jelas terlihat bahwa pada pasar tenaga kerja monopsoni, adalah beralasan bagi pemerintah untuk menerapkan kebijakan upah minimum sebesar C M W W = untuk menghilangkan deadweight loss dari kekuatan monopsoni. Dengan penetapan ini dapat meningkatkan upah dari W N menjadi W M sementara penyerapan tenaga kerja juga akan meningkat dari L N menjadi L M . Berbeda dengan dampak penetapan kebijakan upah minimum pada struktur pasar persaingan sempurna, kebijakan upah minimum pada pasar monopsoni justru berdampak pada peningkatan upah maupun penyerapan tenaga kerja. Menurut hasil kajian Suryahadi 2003 belum ada bukti empiris yang menunjukkan bahwa pasar tenaga kerja di Indonesia secara umum bersifat monopsoni. Ada beberapa kecenderungan adanya kekuatan monopsoni pada perusahaan-perusahaan besar di daerah-daerah yang relatif terisolasi di luar jawa. Namun, untuk membangun gambaran realistis tentang bagaimana identifikasi struktur pasar tenaga kerja secara umum di Indonesia dapat diamati melalui data jumlah pencari kerja dan jumlah lapangan kerja yang tersedia. Data tenaga kerja BPS, 2005 menunjukkan bahwa jumlah lapangan pekerjaan formal yang tersedia 29.2 juta pekerja jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah pencari kerja 102.9 juta pekerja. Diperkuat pula dengan studi empiris oleh Priyono 2002 bahwa indikasi di lapangan memperlihatkan bahwa kekuatan tawar menawar bargaining power pengusaha di Indonesia lebih besar dibandingkan dengan kekuatan buruh. Dari dua karakteristik di atas dapat diasumsikan bahwa struktur pasar tenaga kerja Indonesia cenderung mengarah pada struktur pasar monopsoni. Pemerintah Indonesia telah menetapkan sistem pengupahan yaitu Upah Minimum yang terdiri dari upah pokok ditambah tunjangan tetap. Penetapan upah minimum pada prinsipnya didasarkan atas faktor-faktor : 1 Kebutuhan dasar hidup pekerja dengan keluarganya, 2 Tingkat upah pada sektor-sektor industri dan usaha-usaha lainnya, 3 Keadaan perekonomian pada umumnya dan perusahaan pada khususnya yang dikaitkan dengan pembangunan daerah dan pembangunan nasional, 4 Kemampuan perusahaan di sektor yang bersangkutan. Dalam penetapan upah minimum di Indonesia didasarkan pada kebutuhan hidup pekerja lajang yang telah mengalami dua kali perubahan. Pertama, penetapan upah minimum yang didasarkan pada Kebutuhan Fisik Minimum KFM dan kedua, didasarkan pada Kebutuhan Hidup Minimum KHM. Kebutuhan fisik Minimum adalah kebutuhan minimum seorang pekerja yang diukur menurut jumlah kalori, protein, vitamin-vitamin, dan bahan mineral lainnya yang diperlukan sesuai dengan tingkat kebutuhan minimum seorang pekerja dengan syarat-syarat kesehatan Depnakertrans, 2004b. Menurut Depnakertrans, dengan perkembangan teknologi dan sosial ekonomi yang cukup pesat maka dirasakan penetapan upah minimum didasarkan pada KFM sudah tidak sesuai lagi. Pemerintah beranggapan dasar kebutuhan hidup layak dapat lebih meningkatkan produktifitas kerja dan produktifitas perusahaan sehingga pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan produktifitas nasional. Namun pada awalnya penetapan upah minimum berdasarkan KHM mendapat koreksi yang relatif besar dari pekerja karena mereka beranggapan hal tersebut dapat berimplikasi pada rendahnya daya beli dan kesejahteraan masyarakat terutama para pekerja level bawah.

3.3. Keterkaitan Pasar Tenaga Kerja dan Keseimbangan Ekonomi Makro