Perkembangan Ekspor dan Impor

Harga CPO domestik masih mengacu pada pasar fisik Rotterdam dan pasar berjangkaderivatif di Kuala Lumpur MDEX sebagai harga pasar CPO dunia Agustira dan Angga, 2010 Harga CPO di pasar domestik dan pasar dunia menunjukkan kecenderungan semakin menaik. Pergerakan harga CPO dunia di trasmisikan ke pasar domestik border price dan whole price melalui mekanisme pasar. Pergerakan harga CPO domestik searah dengan perkembangan CPO di pasar dunia seperti ditunjukkan dalam Gambar 15. Pergerakan harga CPO mempunyai siklus bisnis business cycle sekitar 5-6 tahun. Selain siklus bisnis harga CPO juga memiliki fluktuasi musiman dalam istilah teknis disebut sebagai seasonality cycle. Pola harga CPO biasanya pada bulan Januari biasanya paling tinggi kemudian turun melandai pada bulan Februari sampai dengan bulan Mei, penurunan paling tajam terjadi pada Mei sampai Agustus dan naik sampai dengan bulan Januari Buana, 2001 Sumber: Bank Indonesia 2009 Gambar 15. Perkembangan Harga CPO di Pasar Domestik dan Pasar Dunia Tahun 1994-2008 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 HCPO RpKg WCPOP USTon Trend harga yang terus menaik tidak terlepas dari berkembangnya pasar CPO, termasuk pasar baru diterimanya produk hasil diversifikasi berbasis kelapa sawit. Dengan kata lain CPO memiliki prospek ke depan. Harga karet alam di pasar dunia sangat berfuktuasi. Harga karet alam pernah mencapai titik terendah pada bulan November 2001 mencapai US 0.46 centkg Ditjenbun, 2007b. Jumlah ekspor karet alam Indonesia cenderung stabil sedangkan nilai ekspornya yang fluktuatif karena terkait dengan harga ekspor. Harga ekspor karet Indonesia sangat bergantung pada harga karet dunia, penawaran dan permintaan seperti pada Gambar 16. Harga Karet alam yang sangat fluktuatif mendorong negara-negara produsen utama karet alam yakni Thailand, Indonesia, dan Malaysia melakukan kerjasama tripartite di bidang produksi dan pemasaran karet alam. Seiring dengan terbentuknya kerja sama tripartite ini harga karet alam dunia mulai merangkak naik. Hal ini merupakan daya tarik bagi pelaku bisnis di bidang agribisnis karet Indonesia. Sumber: Bank Indonesia 2009 Gambar 16. Perkembangan Harga Karet Alam di Pasar Domestik dan Pasar Dunia Tahun 1994-2008 20 40 60 80 100 120 140 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000 HRET RpKg WRETP USTon

5.6. Kebijakan Ekonomi pada Subsektor Tanaman Perkebunan Indonesia

Berkembangnya subsektor perkebunan kelapa sawit dan karet di Indonesia tidak lepas dari adanya kebijakan pemerintah yang memberikan berbagai insentif, terutama kemudahan dalam hal perijinan dan bantuan subsidi investasi untuk pembangunan perkebunan rakyat dengan pola PIR ‐Bun dan dalam pembukaan wilayah baru untuk areal perkebunan besar swasta. Dalam rangka mempercepat pembangunan perkebunan terutama yang terkait dengan upaya peremajaan perkebunan rakyat dan meningkatkan peran perkebunan dalam ekonomi nasional, maka sejak tahun 2006 sampai tahun 2010 pemerintah telah mengeluarkan kebijakan subsidi bunga investasi untuk program Revitalisasi Perkebunan kelapa sawit, karet, dan kakao, seluas 2 juta ha dengan bunga 10 persen flat per tahun. Ditjebun, 2007b

5.6.1. Kebijakan Ekonomi pada Komoditas Kelapa Sawit

Kebijakan pemerintah di bidang perkebunan kelapa sawit, bertujuan memacu peningkatan luas areal perkebunan. Sejalan dengan peningkatan luas areal perkebunan kelapa sawit ini diharapkan produksinya juga dapat meningkat sehingga dapat mengantisipasi gejolak-gejolak harga minyak goreng dalam negeri dan dapat dijadikan sebagai komoditi andalan ekspor nasional. Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah dengan mengeluarkan peraturan-peraturan yang mendukung usaha peningkatan luas areal perkebunan. Kebijakan pemerintah melalui pemberian Kredit Liquiditas Bank Indonesia KLBI tahun 1978, memberikan keleluasaan kepada pihak swasta nasional menanamkan investasinya telah mendorong peningkatan luas areal perkebunan kelapa sawit. Selanjutnya kebijakan pemerintah di bidang regulasi perdagangan tahun 1978 dikeluarkan dua tahap, melalui Keputusan Bersama Tiga Menteri Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian, dan Menteri Perdagangan dan Koperasi, tahap pertama: No. 251KptsOM51978, No 15MSK51978 dan No.23KPBV1978 yang ditetapkan pada tanggal 2 Mei 1978, tahap kedua: No.275KPBXII78, No.764KptsUm121978, dan No.252MSK121978 yang ditetapkan tanggal 16 Desember 1978. Adapun tujuan kebijakan tersebut untuk menjamin kestabilan harga minyak goreng dan kelangsungan pasokan bahan baku CPO kepada Industri minyak goreng domestik sehubungan dengan terjadinya krisis kopra akhir tahun 1970-an. Dengan menetapkan patokan harga jual CPO yang akan dialokasikan dan didistribusikan kepada masing-masing industri minyak goreng dalam negeri dan diekspor. Kebijakan tersebut tidak efektif karena harga minyak goreng di dalam negeri tetap saja fluktuatif mengikuti harga yang terjadi di pasar dunia. Sehingga pemerintah menerapkan kebijakan larangan ekspor pada Tahun 1981, dimana ekspor CPO turun hingga 61 persen, namun pada tahun tahun berikutnya terus meningkat. Untuk menghambat ekspor yang terus meningkat karena harga CPO di pasar dunia yang sangat tinggi dan menjamin ketersediaan bahan baku untuk industri minyak goreng domestik pemerintah menerapkan kebijakan pajak ekspor minyak sawit sebesar 37.18 persen pada tahun 1984 untuk produk minyak sawit