pupuk, dan nira disesuaikan dengan jumlah blok dan jumlah nira nipah yang dihasilkan untuk setiap blok. Namun, nilai tersebut menjadi tetap setelah
tahun 10. Perbandingan biaya variabel antar skenario skenario 1 – 6 menunjukkan
skenario 6 adalah skenario dengan pengeluaran biaya operasional produksi paling besar. Hal ini disebabkan karena ada dua kegiatan berbeda yang mengharuskan
adanya pengeluaran biaya operasional produksi yang cukup besar. Besarnya biaya variabel yang dikeluarkan juga harus menjadi pertimbangan dalam
pengambilan keputusan investasi. Apakah dengan biaya yang besar memberikan manfaat terhadap kegiatan tersebut cukup besar dan dapat dilaksanakan.
Sementara itu, biaya operasional yang terendah adalah skenario 2 dan 4. Biaya yang rendah disesuaikan dengan kapasitas produksi pabrik untuk menghasilkan
bioetanol.
6.2.3. Kriteria Kelayakan Finansial Investasi Pengembangan Nipah dari
Subsistem Usahatani hingga Subsistem Industri Pengolahan Kriteria investasi yang digunakan untuk menganalisis kelayakan finansial
pengembangan nipah dari subsistem usahatani hingga subsistem industri pengolahan menggunakan Net Present Value NPV, Internal Rate of Return
IRR, Net Benefit Cost Ratio Net BC dan Pay Back Period PBP. Dalam perhitungan kriteria investasi, dipergunakan nilai uang terhadap waktu. Hal ini
dilakukan karena penilaian kelayakan investasi pengembangan nipah dilakukan untuk jangka waktu investasi yang lama, yaitu selama 20 tahun, sementara nilai
uang selalu berubah-ubah sehingga perlu adanya pendekatan terhadap nilai uang dari waktu. Perhitungan diskonto ini menggunakan tingkat diskonto discount
rate sebesar 13 persen yang merupakan suku bunga pinjaman untuk investasi dari
Bank Papua. Penggunaan tingkat diskonto berdasarkan suku bunga bank daerah karena seluruh modal investasi seluruhnya hibah dari pemerintah.
Analisis kelayakan finansial dihitung untuk 6 enam skenario yang dibuat, yaitu 1 penyadapan nira nipah dan pabrik bioetanol kapasitas 1 000 liter
per hari, 2 penyadapan nira nipah dan pabrik bioetanol kapasitas 100 liter per hari, 3 pabrik bioetanol kapasitas 1 000 liter per hari, 4 pabrik bioetanol
kapasitas 100 liter per hari, 5 skenario pengembangan perkebunan nipah 23 hektar, dan 6 skenario pengembangan perkebunan nipah dan pabrik bioetanol
kapasitas 1 000 liter per hari. Hasil analisis kelayakan finansial berdasarkan kriteria investasi untuk skenario 1 hingga 6 dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Kelayakan Finansial Pengembangan Nipah dari Subsistem Usahatani hingga Subsistem Industri Pengolahan Untuk
Skenario 1 sampai 6
Skenario Kriteria Investasi
NPV Rp IRR
Net BC Payback Period Thn
1 4 867 627 783
42.80 4.98
4.48 2
394 731 273 37.01
2.45 2.67
3 1 019 985 340
28.72 2.05
3.56 4
354 907 667 -
- -
5 1 431 262 937
17.98 1.54
8.91 6
419 941 024 14.27
1.12 10.82
Keterangan Skenario : 1.
Penyadapan Nira Nipah dan Pabrik Bioetanol Kapasitas 1 000 Liter per Hari 2.
Penyadapan Nira Nipah dan Pabrik Bioetanol Kapasitas 100 Liter per Hari 3.
Pabrik Bioetanol Kapasitas 1 000 Liter per Hari 4.
Pabrik Bioetanol Kapasitas 100 Liter per Hari 5.
Produksi Nipah Pengembangan Perkebunan Nipah 23 Hektar 6.
Produksi Nipah dan Pabrik Bioetanol Kapasitas 1 000 Liter per Hari Berikut ini adalah penjelasan kelayakan investasi pengembangan nipah
masing-masing skenario berdasarkan Tabel 17. Pertama, untuk skenario 1.
Tabel 17 menunjukkan bahwa usaha penyadapan nira nipah dan pabrik bioetanol kapasitas 1 000 liter per hari layak untuk dilaksanakan karena semua analisis
memenuhi syarat kelayakan investasi dengan menggunakan discount rate 13 persen. Nilai NPV yang diperoleh lebih besar dari satu, artinya usaha tersebut
layak untuk didanai dan dilaksanakan karena memberikan tambahan manfaat bagi pengusaha.
Nilai IRR yang diperoleh juga memberikan nilai yang besar, yaitu 42.80 persen. Artinya usaha masih dikatakan layak hingga tingkat discount rate
mencapai nilai tersebut. Hal ini disebabkan karena produksi nira nipah bersumber dari hutan alam sehingga petani tidak memikirkan untuk mengeluarkan uang
untuk pengelolaan hutan tersebut hanya melakukan pemeliharaan biasa. Akibatnya pengorbanan yang dikeluarkan untuk melakukan kegiatan penyadapan
dan usaha bioetanol nilainya sangat kecil dibanding output yang diperoleh dari korbanan tersebut. Jika dilihat pada Lampiran 8, present value negatif yang
dihasilkan sangat kecil dibandingkan present value positif, sehingga memberikan net BC sebesar 4.98. Artinya setiap satu rupiah yang dikeluarkan untuk
mengusahakan bioetanol memberikan tambahan manfaat bersih sebesar 4.98. Nilai ini cukup besar karena pengeluaran biaya untuk operasional begitu kecil dan
hanya dihasilkan dari pabrik dibandingkan dengan total manfaat yang diperoleh setiap tahunnya. Nilai pay back period yang dihasilkan pun menjadi sangat kecil.
Umur proyek sekitar 4 tahun 4 bulan 8 hari sudah mampu mengembalikan seluruh biaya investasi yang dikeluarkan selama umur proyek.
Kegiatan penyadapan nira nipah dan pabrik bioetanol dengan kapasitas 1
000 liter per hari adalah kegiatan yang saat ini akan dilaksanakan oleh
pemerintah kerjasama dengan perusahaan. Kelayakan usaha ini menunjukkan bahwa nipah memiliki potensi untuk dijadikan bioetanol sebagai altenatif
pengganti bahan bakar minyak fosil di Teluk Bintuni sehingga harus dilakukan. Usaha ini dapat memberikan banyak manfaat bagi masyarakat pada umumnya dan
penyadap nipah terutama sebagai acuan untuk belajar bekerja lebih intensif dan menambah pendapatan penyadap nipah.
Berdasarkan hasil analisis kelayakan finansial pada Tabel 17 untuk skenario 2 penyadapan nira nipah dan pabrik bioetanol kapasitas 100 liter per
hari dapat dilihat bahwa usaha tersebut layak untuk dilaksanakan dan dikembangkan. Hal ini dapat dilihat dari nilai NPV yang lebih besar dari satu,
artinya usaha tersebut akan memberikan tambahan manfaat sebesar Rp 394
731 273. Nilai yang dihasilkan sangat berbeda dengan skenario yang
sama untuk pembuatan bioetanol pada pabrik yang dikelola oleh perusahaan. Perbedaan ini karena penerapan harga jual yang berbeda untuk bioetanol yang
dihasilkan, juga penggunaan peralatan dan teknologi yang juga berbeda. IRR yang dihasilkan lebih besar dari tingkat discount rate yang digunakan, yaitu
13 persen. Hal ini berarti usaha penyadapan nipah dan pabrik bioetanol akan dapat dilaksanakan hingga tingkat diskonto mencapai 37.01 persen. Hal ini
menunjukkan ketersediaan bahan baku untuk menunjang keberlanjutan industri masih dapat tercukupi. Net BC yang diperoleh juga lebih besar dari satu, artinya
setiap satu rupiah yang dikeluarkan dapat memberikan manfaat bersih sebesar 2.45, dan nilai pay back period yang singkat, dimana modal dapat dikembalikan
ketika usaha mencapai umur 2 tahun 6 bulan 7 hari.
Kelayakan ini menggambarkan bahwa usaha pengembangan nipah untuk dijadikan bioetanol dengan kadar 60 – 70 persen dalam mendukung desa mandiri
energi perlu dilakukan untuk menunjang kebutuhan bahan bakar di pedesaan. Hal ini disebabkan karena tambahan manfaat yang diperoleh bisa menambah
pemasukan bagi daerah, dan bagi penyadap nipah dengan adanya kegiatan ini mereka dapat belajar proses pengolahan dengan teknologi yang lebih baik untuk
menghasilkan output yang lebih tinggi. Selanjutnya, hasil analisis kelayakan finansial skenario 3 pabrik
bioetanol kapasitas 1 000 liter per hari pada Tabel 17 menunjukkan nilai NPV yang diperoleh lebih besar dari satu, yang berarti usaha bioetanol layak untuk
dilaksanakan dan didanai karena usaha bioetanol memberikan tambahan manfaat bagi perusahaan sebagai pengelola pabrik sebesar Rp 1 019 985 340. Tambahan
manfaat yang diperoleh sangat kecil karena penggunaan biaya operasional terutama biaya variabel yang cukup besar dalam setiap produksi. Nilai IRR yang
diperoleh lebih besar dari nilai discount rate yang digunakan, hal ini menggambarkan bahwa usaha biotanol masih layak untuk dilaksanakan hingga
tingkat discount rate mencapai 28.72 persen. Nilai Net BC yang dihasilkan lebih besar dari satu, menggambarkan bahwa setiap satu rupiah yang dikeluarkan untuk
mengusahakan bioetanol akan menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 2.05. Pay back period
menunjukkan kemampuan pabrik mengembalikan modal investasi adalah selama 3 tahun 5 bulan 6 hari. Hal ini berarti usaha layak untuk
dilaksanakan karena umur usaha bioetanol mencapai 20 tahun. Kelayakan ini disebabkan karena untuk pabrik bioetanol yang di kelola
oleh perusahaan menerapkan harga jual yang setara dengan harga bensin tanpa
subsidi yang berlaku di Teluk Bintuni, yaitu Rp 10 000 per liter. Akibatnya biaya operasional pabrik mampu ditutupi oleh manfaat yang diperoleh sepanjang tahun
produksi 20 tahun. Selain itu keberadaan pabrik bioetanol di Teluk Bintuni dapat menunjang pengembangan nipah dalam mendukung desa mandiri energi,
karena pengembangan nipah hingga saat ini belum mendapat perhatian serius dari pemerintah. Diharapkan dengan adanya pabrik juga mampu menyerap tenaga
kerja baik lokal maupun pendatang. Perhitungan dapat dilihat pada proyeksi arus kas cashflow pada Lampiran 10.
Seperti halnya dengan skenario 3, kelayakan finansial skenario 4 pabrik bioetanol 100 liter per hari dihitung berdasarkan identifikasi manfaat dan biaya
sama seperti pada skenario-skenario sebelumnya. Namun, Tabel 17 menunjukkan bahwa pabrik bioetanol dengan kapasitas 100 liter per hari tidak layak untuk
dilaksanakan pada tingkat discount rate 13 persen. Nilai NPV yang dihasilkan kurang dari satu, sehingga nilai IRR, Net BC dan pay back period tidak dapat
dihitung. Artinya kegiatan investasi pabrik bioetanol yang dikelola oleh kelompok usaha untuk menghasilkan bioetanol dengan kadar 60 - 70 persen tidak
memberikan tambahan manfaat bagi kelompok usaha tersebut Lampiran 11. Nilai manfaat bersih tidak ada yang menghasilkan nilai positif, sehingga usaha ini
akan mengalami kerugian di sepanjang periode usahanya. Ketidaklayakan ini disebabkan karena harga jual yang ditetapkan tidak mampu menutupi biaya
operasional pabrik terutama untuk pembelian nira nipah. Biaya operasional yang besar ini karena nira yang dibutuhkan hampir mencapai 90 persen dari total
kebutuhan kegiatan operasional pabrik. Harga jual yang diterapkan adalah
Rp 8 000 berbeda dengan harga jual bioetanol yang dihasilkan oleh perusahaan. Hal ini disesuaikan dengan kadar bioetanol yang dihasilkan.
Berdasarkan skenario 3 dan 4 dapat dilihat bahwa untuk mengembangkan pabrik bieotanol dalam rangka mendukung desa mandiri energi harus dilakukan
dengan skala besar. Namun usaha pengembangan pabrik bioetanol dengan skala kecil akan tetap diupayakan. Karena pada dasarnya dengan adanya pabrik yang
dikelola oleh para penyadap bisa membantu penyadap belajar membuat sesuatu yang baru dalam hal ini bioetanol dalam rangka menghasilkan kebutuhan bahan
bakar minyak untuk kebutuhan rumah tangganya dan petani lainnya. Untuk pengembangannya, perlu penggunaan teknologi yang cukup sederhana dari segi
peralatan agar usaha menjadi layak. Hasil penelitian berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Maung
dan Gustafson 2010, dimana perhitungan analisis kelayakan dengan skala pabrik yang berbeda, yaitu pabrik bioetanol dari bit gula dengan kapasitas 20 MGY dan
10 MGY adalah layak dengan menerapkan tingkat harga yang sama sebesar 1.84 atau Rp 16 560. Namun berdasarkan hasil penelitian Nurmalina et al.
2009
b
menunjukkan usaha pengolahan bioetanol berbahan baku molases dan ubi kayu adalah layak dikembangkan. Hal ini karena nilai kebutuhan molases dan
ubi kayu yang digunakan sebagai bahan baku cukup kecil dibandingkan kebutuhan nira nipah dan teknologi yang digunakan juga berbeda.
Berdasarkan hasil perhitungan analisis investasi, pengembangan perkebunan nipah seluas 23 hektar skenario 5 di Kabupaten Teluk Bintuni layak
dikembangkan. Nilai NPV yang diperoleh lebih besar dari satu artinya pengembangan
nipah akan
memberikan tambahan
manfaat sebesar
Rp 1 431 262 937. Nilai IRR yang diperoleh tidak berbeda jauh dari tingkat discount rate
yang digunakan. Hal ini berarti pengembangan masih layak untuk dilaksanakan hingga pada tingkat discount rate 17.98 persen. Nilai discount rate
yang kecil karena nilai manfaat baru bisa diperoleh pada tahun ketujuh, meskipun penyadapan sudah bisa dimulai dari tahun keenam. Hal ini disebabkan jumlah
malai yang dihasilkan belum mencapai maksimal 40 persen. Net BC ratio memberikan hasil 1.54 persen sehingga usaha ini juga masih layak untuk
dikembangkan, sementara pay back period yang dihasilkan yaitu 8 tahun 9 bulan 1 hari setelah tanaman menghasilkan. Periode pengembalian modal
membutuhkan waktu yang sangat lama karena pada awal investasi tanaman belum menghasilkan hingga pada tahun ke 6 untuk blok pertama, namun nira yang
dihasilkan belum penuh 100 persen sehingga belum bisa menutupi biaya investasi yang dikeluarkan. Perhitungan dapat dilihat pada cashflow di Lampiran 12.
Kelayakan ini menggambarkan bahwa Teluk Bintuni memiliki potensi untuk membuka perkebunan nipah. Pembukaan perkebunan baru memang
memerlukan investasi yang sangat besar, namun hal tersebut harus diupayakan untuk dilakukan karena merupakan proses pembelajaran bagi penyadap nipah
untuk bekerja lebih intensif dari pembukaan lahan hingga panen terutama untuk jenis tanaman jangka panjang. Pembukaan perkebunan nipah baru di respon
positif oleh penyadap karena selain sebagai sarana belajar proses budidaya, juga memudahkan untuk melakukan penyadapan nira karena jarak tanam yang teratur.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ardana et al. 2008 yang menunjukkan bahwa pengembangan tanaman jarak pagar adalah
layak dilakukan, namun perlu adanya kenaikan harga biji jarak pagar. Penelitian
Ardana et al. 2008 berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Palupi 2009 yang menunjukkan bahwa usaha budidaya pengembangan jarak
pagar untuk menghasilkan biodiesel adalah tidak layak. Namun, untuk skenario pengembangan budidaya jarak pagar yang dilakukan hasilnya adalah layak pada
tingkat discount rate 14 persen. Penilaian kelayakan finansial skenario 6 pengembangan perkebunan
nipah dan pabrik bioetanol 1 000 liter per hari pada Tabel 17 menunjukkan kegiatan tersebut layak untuk dikembangkan. Hal ini dapat dilihat dari semua
nilai kriteria investasi layak untuk dilaksanakan pada tingkat discount rate 13 persen. Nilai NPV yang diperoleh lebih besar dari satu, yang artinya usaha
tersebut memberikan tambahan manfaat bagi perusahaan. Meskipun memberikan tambahan manfaat, namun tambahan manfaat yang diperoleh sangat kecil karena
besarnya investasi yang harus dikeluarkan pada dua kali periode, yaitu pada tahun pertama untuk persiapan pembukaan lahan dan tahun ke 5 untuk investasi
peralatan bioetanol dan bangunan pabrik. Nilai IRR yang diperoleh lebih besar dari discount rate yang digunakan meskipun hanya berbeda sedikit, yaitu 14.27
persen. Hal ini disebabkan produktivitas pohon nipah untuk menghasilkan nira nipah sangat kecil, dimana per tahun kurang lebih 45 liter untuk satu kali masa
sadap selama 60 – 90 hari, sehingga kebutuhan bibit yang harus digunakan juga cukup besar. Nilai Net BC ratio juga menunjukkan nilai yang lebih besar dari
satu yang berarti setiap satu satuan biaya yang dikeluarkan mampu memberikan manfaat bersih sebesar 1.12. Perusahaan mampu mengembalikan modal investasi
setelah tanaman mulai menghasilkan dan industri telah berjalan selama 10 tahun 8 bulan 2 hari. Periode pengembalian juga membutuhkan waktu yang lama karena
investasi yang berbeda untuk kegiatan produksi nipah pada tahun 1 - 4, dan investasi pabrik yang dimulai pada tahun 5.
Kelayakan ini menggambarkan upaya melakukan investasi dari dua kegiatan yang membutuhkan investasi yang cukup besar akan memberikan
tambahan manfaat yang sangat kecil. Hal ini yang harus dipertimbangkan oleh pengambil kebijakan bahwa untuk melakukan pengembangan nipah dari
subsistem usahatani hingga subsistem industri pengolahan perlu perhitungan yang sangat baik. Ini berarti jika ingin investasi, lebih baik dari hutan nipah yang sudah
ada namun dilakukan penjarangan dan penanaman ulang di sela-sela tanaman pada lahan yang masih tersedia. Jika ingin membuka perkebunan baru, harus
dilaksanakan secara terpisah dari kegiatan produksi bioetanol. Hasil analisis finansial pengembangan nipah secara keseluruhan dalam mendukung desa
mandiri energi di Kabupaten Teluk Bintuni layak dilakukan.
6.2. Analisis Ekonomi
Analisis ekonomi diperlukan dalam perhitungan analisis manfaat biaya untuk melihat apakah kegiatan investasi yang dilakukan dapat memberikan
manfaat secara keseluruhan kepada masyarakat, pemerintah, dan negara. Perbedaan analisis ekonomi dengan analisis finansial, yaitu pada penggunaan
harga, dimana harga yang digunakan adalah harga bayangan. Perbedaan lain adalah penerapan subsidi dan pajak, dimana dalam perhitungan analisis ekonomi
pajak tidak dimasukkan cashflow, sementara subsidi dimasukkan sebagai biaya. Pendekatan harga bayangan pada penelitian ini hanya dilakukan untuk
harga bayangan sebagian input dan nilai tukar. Sedangkan untuk harga bayangan output belum dapat ditentukan karena belum adanya harga perbatasan yang