hutan alam tanpa harus ada investasi yang besar. Penerapan harga jual untuk bioetanol juga berbeda bila dibandingkan dengan skenario 2 dan 4. Penerapan
harga jual yang berbeda disebabkan karena kadar etanol yang dihasilkan juga berbeda. Kadar etanol yang berbeda karena kapasitas produksi dari pabrik yang
dibangun berbeda. Sementara, manfaat yang paling rendah diperoleh dari skenario 4, yaitu pabrik bioetanol kapasitas 100 liter per hari. Artinya,
perencanaan pengembangan nipah harus diperhitungkan dari subsistem usahatani hingga subsistem industri pengolahan secara bersama karena akan memberikan
nilai manfaat yang lebih besar.
6.2.2. Arus Biaya Pengembangan Nipah dari Subsistem Usahatani hingga
Subsistem Industri Pengolahan
6.2.2.1. Biaya Investasi
Biaya investasi merupakan biaya-biaya yang dikeluarkan pada awal kegiatan secara keseluruhan. Perencanaan investasi dilakukan untuk 20 tahun.
Pengembangan nipah dari subsistem usahatani hingga subsistem industri pengolahan mengeluarkan biaya investasi mulai dari kegiatan untuk memproduksi
nipah, penyadapan nipah, hingga produksi bioetanol skenario 1 – 6. Identifikasi biaya investasi pengembangan nipah dari subsistem usahatani hingga subsistem
industri pengolahan dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 menunjukkan biaya investasi yang dikeluarkan untuk kegiatan
penyadapan nira nipah dan pabrik bioetanol kapasitas 1 000 liter per hari pada
skenario 1, penyadapan nira nipah dan pabrik bioetanol kapasitas 100 liter per hari skenario 2, pabrik bioetanol kapasitas 1
000 liter per hari skenario 3, dan pabrik bioetanol 100 liter per hari skenario 4. Skenario 5 dan 6 dilakukan
perhitungan secara terpisah karena biaya investasi dikeluarkan setiap tahun disesuaikan dengan jumlah blok yang digunakan untuk memproduksi nipah.
Dibawah ini adalah penejelasan biaya investasi dari masing-masing skenario.
Tabel 14. Total Biaya Investasi Pengembangan Nipah dari Subsistem Usahatani hingga Subsistem Industri Pengolahan Untuk
Skenario 1 sampai 4 Tahun Pertama sampai Tahun Kedua puluh
Skenario Total Biaya Investasi Rp
1
1 315 750 000
2
323 475 000
3
1 230 550 000
4
238 275 000
Keterangan Skenario : 1.
Penyadapan Nira Nipah dan Pabrik Bioetanol Kapasitas 1 000 Liter per Hari 2.
Penyadapan Nira Nipah dan Pabrik Bioetanol Kapasitas 100 Liter per Hari 3.
Pabrik Bioetanol Kapasitas 1 000 Liter per Hari 4.
Pabrik Bioetanol Kapasitas 100 Liter per Hari Biaya investasi pada skenario 1 terdiri dari peralatan-peralatan
penyadapan nira nipah dan bangunan pabrik yang merupakan bantuan dari pemerintah dan peralatan bioetanol. Berdasarkan Lampiran 2 dapat dilihat
investasi terbesar adalah untuk membeli boiler 34.20 persen dan destilator 13.68 persen. Boiler merupakan alat yang digunakan sebagai pemanas disaat
proses fermentasi. Fungsinya adalah sebagai pengatur suhu untuk menghasilkan kadar bioetanol dengan konsentrasi tertentu. Meskipun hanya 1 unit, namun harga
yang mahal mengakibatkan investasi menjadi besar. Sementara destilator digunakan untuk menyuling hasil bioetanol memisahkan etanol dan air setelah
melalui proses pemanasan. Dari skenario 1 juga dapat dilihat investasi untuk kegiatan penyadapan nira nipah tidak membutuhkan biaya yang besar karena
peralatan yang digunakan merupakan peralatan usahatani yang harganya tidak
terlalu mahal. Biaya paling besar adalah untuk pembelian sampan. Sampan digunakan untuk mempercepat proses menuju lokasi penyadapan dan bisa
menampung nira nipah yang harus dibawa dengan menggunakan jerigen yang lebih besar. Investasi untuk penyadapan nira nipah diperhitungkan untuk
40 kepala keluarga yang tergabung dalam kelompok usaha sebagai penghasil nira nipah.
Reinvestasi dilakukan untuk drum penyimpanan dengan umur ekonomis 5 tahun, dan tanki fermentasi dengan umur ekonomis 15 tahun. Umur ekonomis
tanki fermentasi cukup lama karena tanki dibuat dari bahan baja sehingga tidak memerlukan investasi yang berulang. Untuk peralatan penyadapan nipah
reinvestasi berulang dilakukan setiap tahun untuk pisau sadap, sepatu boot, helm dan jerigen. Hal ini dilakukan karena penggunaan alat tersebut dilakukan setiap
hari. Akibatnya memudahkan barang menjadi cepat rusak, terutama sepatu boot karena harus memasuki daerah yang berlumpur. Reinvestasi sampan dilakukan
setiap 3 tahun sekali, karena sampan terbuat dari kayu. Sementara reinvestasi parang dan kapak dilakukan setiap 5 tahun sekali karena penggunaan parang dan
kapak hanya untuk membersihkan daun-daun halus pada tangkai buah dan memotong daun nipah yang digunakan sebagai jalan ketika air surut.
Selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 14 adalah biaya investasi untuk skenario 2 terdiri dari biaya investasi penyadapan nira nipah dan biaya investasi
pabrik bioetanol kapasitas 100 liter per hari. Total investasi adalah Rp 323
475 000 dengan nilai investasi terbesar tetap pada peralatan produksi
bioetanol berupa boiler 34.01 persen dan alat penyulingan 27.82 persen. Sementara investasi penyadapan nipah, sama seperti skenario 1 nilainya tidak
besar karena peralatan yang digunakan merupakan peralatan untuk usahatani seperti parang, kapak, dan kebutuhan untuk menyadap, yaitu pisau sadap, jerigen,
helm, sepatu boot, dan sampan. Investasi bangunan pabrik hanya mencapai 11.59 persen karena pabrik terbuat dari kayu dan seng dengan ukuran 40 m
2
. Biaya investasi lahan sangat kecil 0.08 persen karena lahan yang digunakan untuk
mendirikan pabrik hanya dibutuhkan kurang lebih 25 m
2
, dengan nilai Rp 10 000 per m
2
. Seperti halnya pada skenario 1 dan 2, biaya investasi skenario 3 pabrik
bioetanol kapasitas 1 000 liter terdiri dari peralatan-peralatan untuk proses
produksi bioetanol termasuk lahan, bangunan dan biaya untuk membangunan pabrik. Biaya investasi terbesar berasal dari boiler, yaitu sebesar 36.57 persen.
Boiler digunakan sebagai pengatur pemanas untuk menentukan suhu dalam produksi setelah proses fermentasi. Boiler yang digunakan merupakan boiler
yang berasal dari bahan baja. Investasi terbesar lainnya adalah mobil pick up 14.22 persen yang digunakan untuk mengangkut nira nipah dan bioetanol kadar
60 – 70 persen dari lokasi pabrik yang dikelola kelompok usaha. Investasi lainnya yang cukup mempengaruhi biaya investasi adalah destilator dan tanki fermentasi,
dimana masing-masing sebesar 14.63 persen dan 11.38 persen. Investasi yang cukup besar juga untuk membangun pabrik bioetanol, yaitu mencapai 9.75 persen.
Pabrik bioetanol dibangun diatas lahan berukuran 55 m
2
dengan luas bangunan sebesar 40 m
2
. Tidak berbeda dengan skenario-skenario sebelumnya, biaya investasi
terbesar untuk pabrik bioetanol dengan kapasitas 100 liter per hari skenario 4 adalah untuk pembelian boiler 46.17 persen dan destilator 37.77 persen. nilai
investasi yang besar ini disesuaikan dengan komponen bahan baku pembuatan peralatan dan fungsi dari peralatan tersebut. Investasi terbesar lainnya adalah
untuk membangun pabrik 15.74 persen. Pabrik yang dibangun berukuran 5 x 3 m 15 m
2
diatas lahan 25 m
2
. Reinvestasi dilakukan hanya untuk drum fermentasi, sementara peralatan yang lain cukup dengan pemeliharaan setiap saat
atau penggantian komponen tertentu yang tidak membutuhkan biaya besar. Berbeda
dari skenario
sebelumnya, biaya
investasi untuk
pengembangan perkebunan nipah pada skenario 5 merupakan investasi untuk persiapan pembukaan lahan hingga pemanenan nipah. Investasi tersebut terdiri
dari lahan yang digunakan untuk penanaman nipah, peralatan pertanian untuk kebutuhan pembukaan dan pengolahan lahan seperti cangkul, parang, kapak,
pondok kerja sebagai tempat beristirahat atau menyimpan peralatan pertanian, dan peralatan lain yang digunakan untuk pemanenan penyadapan nira nipah.
Perhitungan biaya investasi skenario 5 dapat dilihat pada Lampiran 3. Lampiran 3 menunjukkan sebagian besar biaya investasi dikeluarkan
untuk pembelian lahan 98.66 persen. Pembelian lahan dilakukan pada tahun 1. Lahan yang digunakan untuk rencana pengembangan nipah adalah 23 hektar.
Luasan tersebut dihitung berdasarkan kapasitas produksi yang dihasilkan oleh pabrik bioetanol dengan kapasitas 1 000 liter per hari, karena pengembangan ini
terutama untuk memenuhi kebutuhan bahan baku perusahaan. Nilai satuan lahan untuk Kabupaten Teluk Bintuni adalah Rp 10 000 per m
2
, merupakan nilai satuan lahan yang ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional untuk Teluk Bintuni.
Investasi terbesar kedua adalah untuk pembuatan pondok kerja.
Jumlah investasi peralatan yang digunakan untuk kegiatan produksi nipah seperti parang, kapak, cangkul, dan lainnya Lampiran 3 disesuaikan
dengan jumlah tenaga kerja yang digunakan. Pada blok pertama dengan ukuran lahan 8 hektar, kebutuhan peralatan adalah masing-masing 16 buah yang
diperhitungkan untuk suami dan isteri sebagai tenaga kerja. Sementara blok dua hingga empat dengan luas lahan 5 hektar, dibutuhkan peralatan masing-masing
10 buah. Kebutuhan peralatan terus bertambah karena penambahan jumlah blok dan tenaga kerja yang digunakan.
Pengeluaran untuk investasi setiap tahun cenderung fluktuatif, yaitu ada tahun-tahun tertentu dimana biaya investasi tinggi, namun ada juga tahun tertentu
dengan biaya investasi rendah. Hal ini disebabkan adanya perbedaan investasi untuk setiap tahunnya. Biaya investasi terbesar dikeluarkan pada tahun 1 karena
besarnya pembelian lahan. Tahun 2 – 4, nilai investasi tetap karena pengeluaran hanya untuk pembukaan lahan hingga penanaman. Tahun 5 – 20, investasi sudah
dilakukan untuk persiapan pemanenan penyadapan masing-masing blok seperti jerigen dan pisau sadap. Selain itu pada tahun tersebut mulai dilakukan
reinvestasi terhadap barang-barang investasi yang umur ekonomisnya telah selesai.
Berbeda dengan skenario 5, biaya investasi pada skenario 6 merupakan biaya investasi gabungan dari biaya investasi produksi nipah dan biaya investasi
pabrik bioetanol kapasitas 1 000 liter per hari. Investasi produksi nipah terbesar adalah lahan. Lahan diinvestasikan 2 kali, yaitu tahun 1 untuk penanaman, dan
tahun 5 untuk pembangunan pabrik bioetanol. Sementara investasi untuk peralatan produksi nipah dilakukan dari tahun 1 – 4. Peralatan untuk produksi
bioetanol diinvestasikan pada tahun 5 karena pada tahun tersebut nipah mulai berbunga dan berbuah. Biaya investasi yang dikeluarkan dari tahun ke tahun
seperti halnya skenario 5 cenderung fluktuatif. Hal ini karena ada 2 kali investasi yang cukup besar, yaitu tahun 1 dan 5. Selain itu reinvestasi berulang, juga mulai
dilakukan pada tahun 5. Berdasarkan skenario yang dibuat, maka dapat dilihat perbedaan biaya
investasi antar skenario. Perbedaan skenario 1 dan 2 terletak pada peralatan bioetanol, dimana peralatan tersebut disesuaikan dengan kadar bioetanol yang
dihasilkan. Perbedaan ini juga berlaku untuk skenario 3 dan 4. Sementara untuk skenario 5 dan 6, perbedaan terletak dari jenis biaya yang dikeluarkan. Pada
skenario 6, investasi dilakukan untuk 2 kegiatan yang berbeda, yaitu kegiatan untuk produksi nipah dan produksi bioetanol. Itulah sebabnya skenario 6
merupakan skenario dengan investasi yang terbesar.
6.2.2.2. Biaya Operasional A.