Potensi Pengembangan Bahan Bakar Nabati Sebagai Bahan bakar

Dakota menggunakan analisis NPV untuk melihat kelayakan ekonomi terhadap pabrik bioetanol dari bit gula dengan kapasitas 20 MGY dan 10 MGY, dan simulasi monte carlo untuk melihat risiko harga. Hasilnya menunjukkan bahwa dengan harga 1.84 dan asumsi faktor lain tidak berubah tetap, maka NPV yang dihasilkan adalah lebih besar dari nol, yaitu sekitar 41 540 000 untuk pabrik 20 MGY dan 8 300 000 untuk pabrik 10 MGY, sehingga layak untuk dikembangkan. Harga etanol mencapai titik impas pada harga 1.71 dan 1.52 untuk masing-masing pabrik 20 MGY dan 10 MGY. Penelitian mengenai analisis pengembangan nipah memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Palupi 2009, Siregar 2009, Wahyuni 2008, Nurmalina et al. 2009 b , Morris et al. 2009, dan Maung dan Gustafson 2010 dilihat dari alat analisisnya yang digunakan, yaitu menggunakan analisis manfaat biaya untuk melihat kelayakan usaha, dan persamaan berikutnya dari kepentingan penelitian, yaitu pengembangan komoditi sebagai sumber energi alternatif. Perbedaannya adalah dengan ditambahnya analisis ekonomi yang menilai kelayakan dari sisi pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan. Perbedaan lain dengan Morris et al. 2009 dan Maung dan Gustafson 2010 adalah perhitungan risiko harga menggunakan simulasi monte carlo tidak dilakukan dalam penelitian ini.

2.3.2. Potensi Pengembangan Bahan Bakar Nabati Sebagai Bahan bakar

Alternatif Pengembangan nipah sebagai bahan bakar alternatif baru dilakukan oleh Malaysia yang menghasilkan 11 000 liter bioetanol per tahunnya Biopact, 2007. Selain nipah, tanaman lain yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai bahan bakar nabati adalah sagu. Sumaryono 2007, menuliskan potensi produksi sagu di Indonesia diperkirakan sekitar 5 juta ton pati kering per tahun. Konsumsi pati sagu dalam negeri hanya sekitar 210 ton atau baru 4 - 5 persen dari potensi produksi. Apabila tabungan karbohidrat di hutan sagu indonesia dapat dimanfaatkan secara optimal untuk bioetanol, maka dapat diperoleh bioetanol 3 juta kiloliter per tahun dengan asumsi faktor konversi 0.6. Kebutuhan premium nasional diperkirakan sekitar 16 juta kiloliter per tahun. Apabila bioetanol dapat menggantikan premium sekitar 10 persen campuran premium dan etanol 90:10, maka diperlukan etanol sebanyak 1.6 juta kiloliter. Kebutuhan ini sudah dapat dipenuhi dari pati sagu saja. Sementara Effendi, 2008 dalam Supriadi, 2008 menuliskan dari luas hutan sagu yang beragam di Papua 1 - 4 juta hektar dapat menghasilkan alkohol atau etanol sebanyak 21.97 – 60 persen dari total bioetanol nasional. Dalam usaha optimalisasi hutan sagu menjadi usaha sampingan industri bioetanol beberapa hal yang menjadi kendala adalah keterbatasan, infrastruktur, tenaga kerja terampil, data sebaran sagu yang beragam dan kepemilikan lahan. Penelitian lain yang berhubungan dengan sumber energi alternatif adalah yang ditulis oleh Funke et al. 2009 mengenai modelling the impacts of the industrial biofuels strategy on the South African agricultural and biofuels subsectors . Hasilnya menunjukkan bahwa skenario pengembangan produksi bioetanol dari gula adalah lebih layak dibandingkan mengekspor gula. Hal ini didasarkan pada harga minyak sekitar 150 dolar per barel, sehingga dapat disimpulkan bahwa dukungan pemerintah sangat mempengaruhi keberhasilan industri biofuel di Afrika Selatan. Oleh karena itu, perlu berhati-hati dalam membuat strategi yang berkaitan dengan pengembangan industri telah dirumuskan dengan benar. Ardana et al. 2008 dalam penelitiannya mengenai pengembangan tanaman jarak pagar mendukung kawasan mandiri energi di Nusa Penida, Bali mengkaji kesesuaian lahan dan iklim untuk pengembangan jarak pagar dan analisis kelayakan untuk pengembangan tersebut. Hasil penelitian menyimpulkan unsur iklim yang menjadi pembatas adalah ketersediaan air terutama saat musim kemarau. Sementara Riyanti 2009, menuliskan Indonesia mempunyai limbah biomassa yang berlimpah, yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan energi alternatif bioetanol yang ramah lingkungan. Selain itu lahan marjinal dan lahan kering yang diabaikan juga berpotensi untuk mengembangkan tanaman tahan kekeringan yang dapat dimanfaatkan biomassanya. Penelitian mengenai nipah sebagai sumber energi alternatif masih berupa tulisan umum, sehingga belum ada literatur hasil penelitian, laporan atau jurnal yang diperoleh untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai nipah. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian yang dilakukan akan melihat kelayakan finansial dan ekonomi pengembangan nipah dalam mendukung desa mandiri energi. Walaupun analisis yang digunakan sama dengan penelitian sebelumnya, tetapi kebaruan komoditi yang memiliki peran ganda dalam pemanfaatannya di masyarakat menjadi hal yang berbeda dalam penelitian ini. Selain itu perbedaan juga terlihat pada tambahan analisis ekonomi untuk menganalisis kelayakan usaha, dan perbedaan lokasi tempat penelitian dan sumber energi yang dihasilkan.

III. KERANGKA PEMIKIRAN