Aspek Ekonomi Aspek Budaya

Pabrik bioetanol dengan kapasitas 100 liter per hari melibatkan penyadap nipah yang dibentuk dalam kelompok usaha. Pabrik ini cukup menyerap tenaga kerja lokal terutama sebagai tenaga penyadap nipah karena tenaga untuk menyadap nipah diperlukan lebih banyak untuk memenuhi target produksi. Hal ini dapat dilihat dari banyak masyarakat yang sebelumnya tidak atau belum bekerja bersedia masuk sebagai anggota kelompok usaha sebagai tenaga penyadap nipah. Jumlah anggota kelompok usaha ketika terbentuk hanya 10 orang, setelah ada sosialisasi, jumlah anggota semakin meningkat menjadi 40 orang. Anggota ini diprediksi akan meningkat seiring dengan rencana pembangunan pabrik bioetanol di lokasi-lokasi penyebaran hutan nipah dan keinginan masyarakat sendiri yang bersedia menjadi tenaga penyadap. Operator yang menjalankan pabrik juga penyadap nipah yang telah dibina secara khusus untuk menjalankan mesin pengolahan. Bagi penyadap sendiri kegiatan terebut adalah hal baru yang mereka peroleh, sehingga mereka memberi tanggapan yang sangat baik. Untuk kegiatan budidaya yang direncanakan pun di respon dengan baik oleh penyadap. Mereka ingin belajar cara membudidayakan tanaman nipah dengan teknologi yang baik.

6.1.3.2. Aspek Ekonomi

Aspek ekonomi menggambarkan dampak adanya proyek terhadap kesejahteraan petani, khususnya penyadap. Jika sebelum ada proyek pendapatan penyadap tidak menentu setiap bulannya, artinya pendapatan mereka tergantung dari hasil tangkapan ikan atau kepiting, hasil penjualan minuman keras yang tidak menentu. Dengan adanya kegiatan industri diharapkan penyadap memiliki pendapatan yang tetap setiap bulan, karena nira yang peroleh akan dihitung jumlahnya dalam setiap bulan untuk diberikan upah pada penyadap. Misalnya, untuk satu kepala keluarga ditargetkan bisa menyadap nira nipah 200 liter per harinya. Dengan harga nira nipah Rp 500, maka dalam satu bulan satu keluarga tani bisa memperoleh penghasilan Rp 3 000 000. Dengan adanya pendapatan per bulan, maka dapat menambah penghasilan petani dari hasil menangkap ikan setiap harinya. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa kegiatan pengembangan nipah membawa pengaruh yang positif pada masyarakat sekitar sehingga layak dilakukan.

6.1.3.3. Aspek Budaya

Aspek budaya menggambarkan apakah pengembangan nipah dan industri bioetanol yang masuk mempengaruhi budaya masyarakat setempat atau budaya yang mempengaruhi pengembangan nipah dan industri bioetanol. Kegiatan penyadapan nipah di lokasi penelitian dilakukan oleh penyadap yang sebagian besar berasal dari Inanwatan Kabupaten Sorong Selatan bukan penduduk asli Bintuni. Hanya sebagian penyadap yang menjadi responden berasal dari Suku Wamesa Teluk Bintuni. Keberadaan penyadap pendatang ini merupakan migrasi dari Distrik Arandai, dimana mereka membeli tanah dari orang asli Bintuni untuk menetap menjadi warga Bintuni. Permasalahan menyangkut budaya yang muncul untuk pengembangan nipah adalah budaya meramu hampir keseluruhan penyadap nipah, artinya mereka terbiasa memenuhi kebutuhan hidupnya dengan tergantung dari alam mengambil langsung dari alam tanpa mau bekerja secara intensif. Ciri-ciri kegiatan meramu adalah 1 tidak mengenal adanya input dalam proses produksi kecuali kerja, dan 2 tidak mengenal adanya waktu tunggu panen hasil produksi. Kedua ciri khas ini merupakan indikasi tentang penyadap nipah memiliki etos kerja yang cenderung rendah. Namun hal ini tidak akan mempengaruhi pengembangan nipah terutama untuk kontinuitas bahan baku dan pengolahan nipah menjadi bioetanol karena kegiatan produksi nipah sudah lama ditekuni oleh para penyadap nipah mulai dari menanam hingga memproduksi nira yang akan dibuat menjadi minuman keras. Proses pembuatan bioetanol pada dasarnya hampir sama dengan pembuatan minuman keras, hanya berbeda dari penggunaan teknologi. Jadi untuk pengembangan nipah dari subsistem usahatani hingga subsistem industri pengolahan dapat dilakukan oleh penyadap, tetapi pendampingan dan motivasi harus terus diupayakan untuk mengubah pola mereka menjadi petani yang lebih intensif. Budaya lainnya adalah kepemilikan tanah dan lahan. Suku Inanwatan yang merupakan pendatang papua di Bintuni hanya bisa memanfaatkan nipah yang sudah ada. Para penyadap diberi ijin oleh suku asli Bintuni untuk mengambil hasil alam yang menjadi klaim mereka tanpa imbalan apapun. Ketika pengembangan harus dilakukan, maka permasalahan utama yang muncul adalah hak ulayat atas tanah yang akan digunakan. Status kepemilikan lahan di Kabupaten Teluk Bintuni merupakan tanah negara dan tanah ulayat. Tanah hak ulayat merupakan status tanah secara adat dan dikuasai oleh kepala adat atau ondoafi. Status tanah dalam hukum adat terbagi menjadi 2 dua, yaitu 1 tanah milik, merupakan tanah yang dimiliki oleh perseorangan atau keluarga secara hukum adat sah karena mendapat warisan dari orang tua, tanah yang diberikan sebagai ganti rugi, dan atau merupakan hasil rampasan perang yang diperoleh pada zaman dahulu, 2 tanah milik dengan hak pakai, merupakan tanah milik masyarakat yang diberikan kepada orang luar dengan seijin kepala adat untuk digarap sesuai dengan perjanjian dan dalam batas waktu tertentu. Pada umumnya tanah milik dan tanah milik dengan hak pakai tidak dapat diperjualbelikan dan dipindahtangankan dengan bebas pada masyarakat luar. Setiap keluarga akan selalu mempertahankan tanah dan kampung mereka masing-masing karena tanah dan kampung merupakan bagian penting dari kehidupan masyarakat mereka. Hal ini dikarenakan cara hidup masyarakat yang masih berharap dan menggantungkan diri pada persediaan sumberdaya alam di lingkungan sekitarnya dan sering terjadi konflik akibat penggunaan lahan untuk kegiatan proyek yang sering tidak menghormati hak-hak orang papua. Pengembangan nipah dari subsistem usahatani hingga subsistem industri pengolahan diharuskan memanfaatkan atau menggunakan sumber daya lokal tenaga kerja asli orang papua terutama yang memiliki hak ulayat. Hal ini dilakukan karena nipah yang digunakan adalah milik masyarakat adat sehingga harus ada kerjasama antara perusahaan dan masyarakat pemilik hak ulayat dalam memanfaatkan nipah. Dalam pengembangannya pihak perusahaan juga harus memperhatikan hak-hak adat pemilik lahan dengan memberikan kompensasi sesuai dengan perjanjian yang dibuat. Dengan diperhatikannya hak-hak masyarakat adat, tidak akan mempengaruhi investasi pengembangan nipah. Hal tersebut sudah banyak dilakukan oleh para investor yang ada di Kabupaten Teluk Bintuni, dimana usaha tetap dijalankan karena sudah adanya perjanjian antara pihak perusahaan, pemerintah, dan masyarakat adat. Bila dilihat pada keadaan di berbagai daerah di Papua, konflik mengenai pengusahaan lahan dan pengelolaan sumberdaya alam sering terjadi antara pihak masyarakat adat yang memiliki hak ulayat dengan perusahaan pengelola yang kegiatan perusahaannya berada di atas tanah ulayat tersebut. Misalnya, konflik terutama sering timbul antara perusahaaan penambangan dan pemilik Hak Pengusahaan Hutan dengan penduduk pemilik hak ulayat. Hal ini disebabkan pengusaha kurang memiliki kepedulian atau tidak memahami hak atas lahan yang dimiliki oleh masyarakat adat di Papua. Secara umum, konflik atas lahan terutama disebabkan oleh belum adanya ganti rugi bagi masyarakat dari perusahaan yang mengambil tanah hak ulayat masyarakat adat Papua. Oleh karena itu, dalam pengoperasian kegiatan perusahaan, pihak perusahaan selalu terbentur tuntutan masyarakat yang belum memperoleh ganti rugi. Tuntutan dimaksud bukan hanya menyangkut masalah materi, tetapi juga menyangkut hilangnya mata pencaharian dan sumber penghidupan masyarakat adat Papua. Karena tanah adat mereka digunakan untuk kegiatan operasional perusahaan, masyarakat adat tersebut tidak lagi memiliki tempat untuk mengumpulkan bahan makanan atau mencari kayu untuk bahan bakar dan membuat rumah Tim Penyusun Agropolitan, 2007. Jadi dari aspek budaya dapat dilihat budaya masyarakat setempat tidak akan mempengaruhi pengembangan nipah dari subsistem usahatani hingga subsistem industri pengolahan di Kabupaten Teluk Bintuni. Berdasarkan aspek budaya maka pengembangan nipah layak dilakukan karena dengan budaya yang sudah melekat dan diharapkan bisa digunakan untuk pengembangan nipah terutama untuk proses pembuatan bioetanol.

6.1.4. Aspek Lingkungan