Biaya Operasional A. Arus Biaya Pengembangan Nipah dari Subsistem Usahatani hingga

bioetanol diinvestasikan pada tahun 5 karena pada tahun tersebut nipah mulai berbunga dan berbuah. Biaya investasi yang dikeluarkan dari tahun ke tahun seperti halnya skenario 5 cenderung fluktuatif. Hal ini karena ada 2 kali investasi yang cukup besar, yaitu tahun 1 dan 5. Selain itu reinvestasi berulang, juga mulai dilakukan pada tahun 5. Berdasarkan skenario yang dibuat, maka dapat dilihat perbedaan biaya investasi antar skenario. Perbedaan skenario 1 dan 2 terletak pada peralatan bioetanol, dimana peralatan tersebut disesuaikan dengan kadar bioetanol yang dihasilkan. Perbedaan ini juga berlaku untuk skenario 3 dan 4. Sementara untuk skenario 5 dan 6, perbedaan terletak dari jenis biaya yang dikeluarkan. Pada skenario 6, investasi dilakukan untuk 2 kegiatan yang berbeda, yaitu kegiatan untuk produksi nipah dan produksi bioetanol. Itulah sebabnya skenario 6 merupakan skenario dengan investasi yang terbesar.

6.2.2.2. Biaya Operasional A.

Biaya Tetap Biaya tetap adalah biaya yang dikeluarkan selama proses produksi namun besarnya tidak terpengaruh oleh besar kecilnya kegiatan produksi. Biaya tetap yang dihitung untuk investasi pengembangan nipah dari subsistem usahatani hingga subsistem industri pengolahan berdasarkan 6 skenario yang dibuat. Biaya tersebut terdiri dari tenaga kerja tetap, tenaga kerja penyadapan, listrik, biaya pemeliharaan, pajak penghasilan, dan pajak bumi dan bangunan. Besarnya biaya tetap untuk skenario 1 hingga 5 dapat dilihat pada Tabel 15. Berdasarkan Tabel 15 dapat dilihat total biaya tetap yang dikeluarkan untuk skenario 1 – 5. Berikut ini adalah penjelasan biaya tetap masing-masing skenario. Biaya tetap skenario 1 terdiri dari upah tenaga kerja tetap, upah tenaga penyadap, biaya listrik, biaya pemeliharaan, dan pajak penghasilan Lampiran 4. Tenaga kerja pabrik berjumlah 7 orang yang masing-masing bertanggung jawab terhadap pekerjaannya. Upah yang diberikan adalah berdasarkan Upah Minimum Provinsi UMP yang berlaku di Papua Barat untuk tahun 2010, yaitu Rp 1 210 000 per bulan. Biaya listrik dikeluarkan setiap bulan dengan kisaran pembayaran Rp 250 000 per bulan. Pembayaran listrik sangat kecil karena aliran listrik dari PLN hanya berfungsi pada malam hari, sementara pada siang hari hanya mengandalkan genset jika diperlukan. Biaya pemeliharaan digunakan untuk merawat barang-barang investasi yang besarnya Rp 2 000 000 per bulan. Tabel 15. Biaya Tetap Pengembangan Nipah dari Subsistem Usahatani hingga Subsistem Industri Pengolahan Untuk Skenario 1 sampai 5 Tahun Pertama sampai Tahun Kedua puluh Skenario Total Biaya Tetap RpTahun 1 2 3 - 5 6 - 20 1 296 425 280 657 642 133 657 642 133 1 254 107 880 2 45 120 000 81 638 016 81 638 016 81 638 016 3 128 640 000 238 172 258 238 172 258 238 172 258 4 45 120 000 45 120 000 45 120 000 45 120 000 5 2 300 000 2 300 000 2 300 000 2 300 000 Keterangan Skenario : 1. Penyadapan Nira Nipah dan Pabrik Bioetanol Kapasitas 1 000 Liter per Hari 2. Penyadapan Nira Nipah dan Pabrik Bioetanol Kapasitas 100 Liter per Hari 3. Pabrik Bioetanol Kapasitas 1 000 Liter per Hari 4. Pabrik Bioetanol Kapasitas 100 Liter per Hari 5. Produksi Nipah Pengembangan Perkebunan Nipah 23 Hektar Biaya tetap kegiatan penyadapan nipah hanya dikeluarkan untuk upah tenaga penyadapan nipah. Jumlah tenaga kerja yang digunakan adalah 40 orang sesuai dengan jumlah petani yang tergabung dalam kelompok usaha Bintuni Barat. Jika dilihat pada Tabel 15, nilai biaya tetap berbeda untuk tahun 1, tahun 2, tahun 3 - 5, dan tahun 6 - 20. Perbedaan ini didasarkan pada upah tenaga kerja penyadapan. Upah tersebut dibayarkan sesuai dengan hari kerja produktif, dimana pada tahun 1 hari kerja hanya 104 hari, sementara tahun 2 – 20 hari kerja efektif adalah 313 hari. Perbedaan berikutnya adalah dari nilai pajak penghasilan yang dihitung berdasarkan laporan laba rugi usaha. Berbeda dengan skenario 1, biaya tetap untuk skenario 2 penyadapan nira nipah dan pabrik bioetanol kapasitas 100 liter per hari terdiri dari tenaga kerja tetap, biaya pemeliharaan, dan pajak penghasilan. Upah tenaga kerja diberikan untuk tenaga operasional pabrik dengan nilai Rp 920 000 per bulan sesuai dengan tingkat upah tenaga kerja industri di pedesaan tahun 2010. Jumlah tenaga operasional pabrik adalah 3 orang. Tenaga kerja tersebut merupakan ketua kelompok usaha, wakil ketua, dan sekretaris. Ketiga orang tersebut yang dilatih untuk menjalankan proses pengolahan bioetanol, sementara anggota kelompok usaha lainnya adalah sebagai tenaga penyadap yang memberikan nira nipah untuk kebutuhan pabrik milik mereka dan pabrik milik perusahaan. Pajak penghasilan mulai diberlakukan pada tahun 2 hingga 20 karena pada tahun 1 pabrik belum memperoleh laba karena nilai manfaat yang diperoleh belum mampu menutupi biaya operasional pabrik. Biaya listrik tidak termasuk dalam biaya tetap karena pabrik tidak menggunakan aliran listrik Lampiran 4. Bila dilihat pada Tabel 15, perkembangan biaya tetap skenario 2 cenderung tetap dari tahun ke tahun, kecuali untuk tahun 1. Perbedaan ini disebabkan karena jumlah hari kerja yang berlaku pada tahun 1 lebih sedikit 104 hari dibanding tahun 2 – 20 313 hari kerja. Selanjutnya, biaya tetap untuk skenario 3 pabrik bioetanol kapasitas 1 000 liter per hari seperti dapat dilihat pada Lampiran 4 menunjukkan biaya tetap yang dikeluarkan setiap tahun memiliki nilai yang sama setiap tahunnya. Hal ini disebabkan karena volume produksi yang dihasilkan tidak mempengaruhi nilai biaya, kecuali untuk pajak penghasilan perusahaan. Besarnya pajak penghasilan tergantung dari besarnya laba yang diperoleh dari hasil penjualan bioetanol setelah dikurangi biaya-biaya. Biaya tetap yang dikeluarkan dalam pengusahaan bioetanol ini, hanya biaya tenaga kerja pengelola, biaya listrik, biaya pemeliharaan alat, dan pajak penghasilan perusahaan. Berdasarkan Lampiran 4, dapat dilihat bahwa biaya tetap terbesar dikeluarkan untuk pembayaran upah tenaga kerja pengelola pabrik, yaitu masing-masing sebesar 79.01 persen pada tahun 1, dan 42.67 persen tahun 2 - 20. Tenaga kerja pada pabrik terbagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan spesialisasinya, yaitu teknisi, staf administrasi dan keuangan, tenaga kebersihan, petugas keamanan, dan supir. Teknisi bertugas sebagai pengelola mesin dan menjalankan proses produksi, staf administrasi dan keuangan bertugas mengurus operasional pabrik dan membuat laporan keuangan. Listrik dibayar setiap bulan tergantung kapasitas pemakaian, yaitu dengan kisaran Rp 250 000 per bulan. Nilai listrik tidak terlalu tinggi karena di Kabupaten Teluk Bintuni listrik hanya berfungsi dari pukul 18.00 – 07.30 WIT sehingga beban yang harus ditanggung sangat kecil. Biaya pemeliharaan digunakan untuk perbaikan maupun pemeliharaan alat-alat agar mesin tetap dapat berfungsi dengan baik. Pajak penghasilan perusahaan merupakan biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan kepada pemerintah dari penghasilan yang diperolehnya. Nilainya ditetapkan 25 persen per tahun sesuai dengan surat keputusan dari Direktorat Jenderal Pajak, yaitu Undang-undang No. 36 Tanggal 23 September Tahun 2008, pasal 4. Seperti halnya pada skenario sebelumnya, biaya tetap setiap tahun pada skenario 3 adalah sama, kecuali tahun 1. Pada skenario 4 pabrik bioetanol kapasitas 100 liter per hari, biaya tetap yang dikeluarkan selama operasional pabrik adalah tenaga kerja tetap, biaya pemeliharaan, dan pajak penghasilan. Lampiran 4 menunjukkan biaya tetap yang dikeluarkan untuk upah tenaga kerja tetap adalah yang paling besar. Tenaga kerja ini yang bertugas untuk menjalankan operasional pabrik, mulai dari administrasi, keuangan, dan teknis. Semua tenaga kerja ini adalah para petani yang tergabung dalam kelompok usaha terutama ketua, wakil dan sekretaris kelompok yang sebelumnya telah diberikan pelatihan menjalankan proses produksi bioetanol dan pengelolaan pabrik. Biaya pemeliharaan dikeluarkan untuk perawatan atau perbaikan alat-alat investasi. Pajak tidak dibayarkan karena tidak adanya laba yang diperoleh dari hasil penjualan bioetanol. Artinya penjualan bioetanol tidak mampu menutupi besarnya biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan produksi. Besarnya biaya tetap pada skenario 4 adalah sama sepanjang tahun. Skenario 5 adalah skenario untuk kegiatan pengembangan perkebunan nipah 23 hektar sehingga biaya tetap yang dikeluarkan berbeda dengan skenario lainnya. Biaya tetap pada skenario ini hanya pembayaran pajak bumi bangunan. Pajak bumi dan bangunan dihitung berdasarkan ketetapan nilai pajak untuk Kabupaten Teluk Bintuni, yaitu nilai lahan dikali 20 persen tergantung besaran nilai, dan dikali 0.5 persen. Nilai 0.5 persen merupakan ketetapan untuk Kabupaten Teluk Bintuni, sehingga besar nilai pajak bumi dan bangunan yang harus dibayar adalah Rp 2 300 000. Berdasarkan hal tersebut, maka besarnya biaya tetap sama sepanjang tahun produksi. Pembahasan berikutnya adalah biaya tetap untuk skenario 6. Skenario ini merupakan kombinasi skenario 5 dan 3, yaitu pengembangan perkebunan nipah dan pabrik bioetanol kapasitas 1 000 liter per hari. Sehingga biaya tetap yang dikeluarkan adalah gabungan biaya tetap produksi nipah dan pabrik bioetanol. Pada kegiatan produksi nipah, biaya tetap hanya untuk pembayaran pajak bumi bangunan, sedangkan untuk pabrik bioetanol biaya tetap terdiri dari upah tenaga kerja, biaya listrik, biaya pemeliharaan, dan pajak penghasilan. Besarnya biaya tetap untuk pabrik masih didominasi oleh upah tenaga kerja, dimana tenaga kerja yang digunakan adalah tenaga kerja yang memiliki kemampuan sesuai dengan bidang keahliannya. Pengeluaran biaya tetap pada tahun 1 – 5 adalah hanya untuk pembayaran pajak bumi dan bangunan sebesar Rp 2 300 000 setiap tahun, sementara biaya tetap lainnya mulai dikeluarkan pada tahun 6. Hal ini disebabkan karena kegiatan operasional pabrik baru dimulai pada tahun tersebut. Besarnya biaya tetap tidak sama setiap tahunnya hingga tahun 12. Selanjutnya besarnya sama, yaitu sebesar Rp 936 302 245. Perbedaan ini disebabkan karena besarnya pajak penghasilan yang diperoleh dari perhitungan rugi laba juga berbeda sesuai dengan manfaat yang diperoleh dari kegiatan investasi ini. Nilai biaya tetap pada skenario 6 dapat dilihat pada cashflow pengembangan perkebunan nipah dan pabrik bioetanol kapasitas 1 000 liter per hari Lampiran 5. Berdasarkan identifikasi biaya tetap masing-masing skenario, maka bila dibandingkan antar skenario, dapat dilihat skenario yang mengeluarkan biaya tetap paling besar adalah skenario 1. Hal ini sesuai dengan kegiatan investasi yang dilakukan terutama untuk produksi bioetanol membuat jenis biaya yang dikeluarkan paling banyak 7 jenis biaya diantara skenario lainnya. Selain itu, kapasitas produksi dan pajak penghasilan yang tinggi juga membuat biaya tetap menjadi besar. Sementara biaya tetap yang paling rendah adalah skenario 5, hal ini karena kegiatan investasi pengembangan nipah tidak memerlukan pengeluaran biaya tetap setiap tahunnya.

B. Biaya Variabel

Biaya variabel merupakan biaya yang dikeluarkan selama proses produksi, dimana besar kecilnya bergantung pada volume produksi. Biaya variabel yang dikeluarkan selama proses produksi bioetanol terdiri dari ragi, urea, NPK, bahan bakar kayu, dan bahan bakar minyak, sementara biaya variabel untuk produksi nipah terdiri dari bibit, tenaga kerja, dan pupuk. Perhitungan biaya variabel dilakukan terhadap 6 enam skenario yang dibuat, yaitu 1 penyadapan nira nipah dan pabrik bioetanol kapasitas 1 000 liter per hari, 2 penyadapan nira nipah dan pabrik bioetanol kapasitas 100 liter per hari, 3 pabrik bioetanol 1 000 liter per hari, 4 pabrik bioetanol kapasitas 100 liter per hari, 5 pengembangan perkebunan nipah 23 hektar, dan 6 pengembangan perkebunan nipah dan pabrik bioetanol kapasitas 1 000 liter per hari. Besarnya biaya variabel untuk skenario 1 - 4 dapat dilihat pada Tabel 16. Berdasarkan Tabel 16 dapat dilihat nilai biaya variabel setiap tahun berbeda tergantung pada kapasitas produksi. Sama seperti perhitungan arus manfaat, kapasitas produksi yang dihasilkan pada tahun 1 – 5 adalah 300 liter per hari, sedangkan tahun 6 – 20, kapasitas produksi mencapai 1 000 liter per hari. Perhitungan biaya variabel dapat dilihat pada Lampiran 6. Berikut ini adalah penjelasan mengenai biaya variabel masing-masing skenario. Biaya variabel skenario 1 bersumber dari kegiatan operasional pabrik untuk produksi bioetanol, yaitu nira nipah, ragi, urea, NPK, bahan bakar kayu, dan bahan bakar minyak. Biaya variabel terbesar pada skenario ini adalah untuk pembelian nira nipah 92.19 persen. Hal ini disebabkan karena untuk menghasilkan bioetanol dibutuhkan jumlah nira yang besar 1 liter bioetanol = 15 liter nira. Nira dibeli dengan harga Rp 500 per liter. Kebutuhan nira terus meningkat, terutama dari tahun 1, tahun 2 – 5, dan tahun 6 – 20. Peningkatan ini karena disesuaikan dengan kapasitas produksi pabrik. Tabel 16. Biaya Variabel Pengembangan Nipah dari Subsistem Usahatani hingga Subsistem Industri Pengolahan Untuk Skenario 1 sampai 4 Tahun Pertama sampai Tahun Kedua puluh Skenario Total Biaya Variabel RpTahun 1 2 - 5 6 - 20 1 314 492 280 823 407 535 2 546 274 360 2 89 460 185 233 670 185 233 670 185 3 887 859 360 2 546 274 360 2 546 274 360 4 89 460 185 233 670 185 233 670 185 Keterangan Skenario : 1. Penyadapan Nira Nipah dan Pabrik Bioetanol Kapasitas 1 000 Liter per Hari 2. Penyadapan Nira Nipah dan Pabrik Bioetanol Kapasitas 100 Liter per Hari 3. Pabrik Bioetanol Kapasitas 1 000 Liter per Hari 4. Pabrik Bioetanol Kapasitas 100 Liter per Hari Biaya variabel terendah untuk skenario 1 adalah pembelian urea 0.12 persen. Hal ini karena penggunaan urea sebagai bahan baku penolong dalam proses fermentasi yang berfungsi untuk menetralkan pH bakteri sehingga tidak membutuhkan urea dalam jumlah yang besar. Urea yang digunakan adalah 0.06 persen dari liter nira yang dihasilkan. Begitu juga untuk ragi yang dibutuhkan adalah sebesar 0.25 persen dari jumlah nira yang dibutuhkan dengan faktor konversi 1 liter sama dengan 0.975 kg. Kebutuhan ragi juga disesuaikan dengan kapasitas produksi. Kebutuhan NPK yang juga sebagai bahan penolong proses fermentasi adalah 0.5 persen dari liter nira yang dihasilkan. Bahan penolong lainnya adalah bahan bakar kayu. Kayu bakar digunakan untuk memanaskan boiler dalam proses pemisahan air dan etanol yang dihasilkan. Kebutuhannya pun meningkat sesuai dengan kapasitas produksi yang dihasilkan. Sementara biaya pengeluaran bahan bakar minyak adalah untuk membeli bensin mobil setiap hari yang digunakan untuk mengangkut nira nipah dan bioetanol. Karena jarak antara pabrik yang dikelola oleh kelompok usaha dan pabrik yang dikelola oleh perusahaan kurang lebih 13 km, maka kebutuhan bensin tidak terlalu besar. Artinya dalam sehari, bensin yang dibutuhkan kurang lebih 5 liter. Berdasarkan Tabel 16 dapat dilihat biaya variabel untuk skenario 1 terutama tahun 1 nilainya lebih rendah dibanding tahun 2 – 20. Perbedaan ini seperti telah dijelaskan sebelumnya adalah karena perbedaan kapasitas produksi yang dihasilkan dan hari kerja efektif untuk berproduksi baik nira nipah maupun bioetanol. Selanjutnya, biaya variabel yang harus dikeluarkan setiap tahun pada skenario 2 penyadapan nira nipah dan pabrik bioetanol kapasitas 100 liter per hari adalah hanya untuk pembelian bahan baku dan bahan penolong seperti nira nipah, urea, NPK, ragi, dan kayu bakar. Nira nipah yang dibutuhkan untuk menghasilkan 10 400 liter bioetanol per tahun 1 adalah 135 200 liter, sementara untuk menghasilkan 31 300 liter bioetanol per tahun 2 - 20 adalah 406 900 liter. Nilai yang meningkat karena perbedaan hari kerja. Kebutuhan nira nipah pada skenario ini mencapai 87.07 persen dalam operasional pabrik. Persentase kebutuhan urea, NPK, dan ragi sama seperti kebutuhan pada pabrik bioetanol dengan kapasitas 1 000 liter per hari, hanya berbeda dari jumlah nira yang digunakan. Tahun pertama hingga dua puluh dibutuhkan ragi sebesar 992.21 kg, urea 237.88 kg, dan NPK 1984.43 kg. Bahan bakar kayu sebagai bahan penolong dalam proses pemanasan dalam boiler dibutuhkan 20 kg setiap hari, dengan harga Rp 2 000 per kg. Kebutuhan kayu bakar ini lebih kecil dari pabrik bioetanol kapasitas 1 000 liter per hari karena tergantung dari kapasitas tampungan boiler sebagai pemanas. Biaya variabel pada skenario 3 pabrik bioetanol kapasitas 1 000 liter per hari terdiri dari ragi, urea, NPK, nira nipah, bahan bakar kayu, dan bahan bakar minyak. Berdasarkan Tabel 15 dapat dilihat bahwa biaya variabel pada tahun 1 lebih rendah dibanding tahun-tahun lainnya. Hal ini karena penggunaan input untuk tahun 1 jumlahnya lebih rendah karena produksi baru dimulai pada bulan ke 9 atau hanya menggunakan waktu 104 hari dari 313 hari dalam setahun dengan jumlah hari produktif kerja adalah selama 6 hari setiap minggunya. Biaya variabel terbesar berasal dari nira nipah, yaitu sebesar 87.85 persen pada tahun 1 dan 92.19 persen tahun 2 - 20. Hal ini karena untuk menghasilkan 1 liter bioetanol membutuhkan nira sebanyak 15 liter. Jika menghasilkan 1 000 liter bioetanol, maka dibutuhkan 15 000 liter nira nipah. Harga jual nira nipah Rp 500 per liter, sehingga untuk kebutuhan setahun produksi membutuhkan nira sebesar 1 560 000 liter pada tahun 1 dan 4 695 000 liter tahun 2 – 20. Ragi, urea, dan NPK adalah bahan baku penolong untuk proses fermentasi nira nipah sebelum penyulingan. Jumlah yang dibutuhkan adalah ragi 0.25 persen dari jumlah nira yang digunakan untuk fermentasi, urea 0.06 persen, dan NPK 0.5 persen. Satuan yang digunakan sebagai perhitungan adalah kilogram dengan konversi 1 liter sama dengan 0.975 kilogram. Sementara kayu bakar adalah bahan baku penolong untuk melakukan pemanasan dalam boiler. Kayu bakar yang digunakan pun tidak ada yang khusus, biasanya hanya gelondongan kayu yang telah di potong-potong menjadi beberapa bagian. Kebutuhan dalam satu kali produksi adalah 200 kg dengan harga Rp 2 000 per kg. Bahan bakar minyak merupakan biaya untuk pembelian bensin sebagai bahan bakar mobil yang digunakan untuk mengangkut nira nipah dan bioetanol, dimana dalam sehari hanya dibutuhkan 5 liter bensin dikalikan harga bensin subsidi yang berlaku di Bintuni Rp 7 000 per liter. Seperti halnya skenario 3, biaya variabel pada skenario 4 pabrik bioetanol kapasitas 100 liter per hari yang menghasilkan bioetanol kadar 60 – 70 persen, yaitu menggunakan bahan baku nira nipah, dan bahan baku penolong seperti ragi, urea, NPK, dan kayu bakar. Lampiran 6 menunjukkan bahwa pembelian nira nipah merupakan biaya variabel yang paling besar, yaitu masing- masing sebesar 75.56 persen untuk tahun 1 dan 87.07 persen tahun 2 - 20. Kebutuhan nira nipah sangat besar karena untuk menghasilkan 1 liter bioetanol dengan kadar 60 - 70 persen membutuhkan nira sebanyak 13 liter. Jika 100 liter bioetanol, maka membutuhkan nira sebanyak 1 300 liter. Harga nira adalah Rp 500. Penggunaan bahan bakar juga berasal dari kayu bakar untuk keperluan pemanasan pada boiler setelah proses fermentasi. Kebutuhan kayu bakar adalah 20 kg untuk satu kali produksi sehari. Jenis kayu bakar juga tidak menggunakan kayu tertentu dan merupakan kayu yang sudah dibelah menjadi beberapa bagian. Berbeda dari skenario sebelumnya, biaya variabel untuk skenario 5 kegiatan pengembangan perkebunan nipah 23 hektar adalah bibit nipah, penggunaan pupuk, dan upah tenaga kerja untuk kegiatan pengolahan hingga pemanenan penyadapan. Perhitungan biaya variabel dapat dilihat pada Lampiran 7. Bibit nipah yang digunakan adalah bibit lokal yang telah disemai sebelumnya. Kebutuhan bibit berbeda untuk setiap blok penanaman. Pada blok pertama bibit yang dibutuhkan adalah 22 000, yaitu 20 000 bibit untuk penanaman dengan luas lahan 8 hektar, dan 2 000 sebagai bibit sulaman. Sementara itu, untuk blok dua hingga empat dibutuhkan 13 750 bibit karena luasan lahan yang digunakan masing-masing adalah 5 hektar. Harga bibit nipah adalah Rp 8 000 per pohon. Harga bibit nipah disesuaikan dengan harga bibit setempat. Biaya variabel lainnya yang dapat dilihat pada Lampiran 7 adalah penggunaan pupuk. Penggunaan dosis pupuk disesuaikan dengan kebutuhan unsur hara yang diperlukan untuk jenis lahan rawa atau berlumpur dengan kondisi lahan yang ada di Kabupaten Teluk Bintuni. Hal ini dilakukan karena belum ditemukan literatur mengenai kebutuhan pupuk khusus untuk nipah. Pupuk yang paling banyak digunakan adalah yang mengandung nitrogen, fosfor dan kalium. Setiap 1 hektar lahan memerlukan dosis pupuk 200 kg untuk urea dan TSP sehingga pada blok pertama dibutuhkan 1 600 kg urea dan TSP tahun pertama, sementara untuk KCL dibutuhkan 75 kg per hektar sehingga dibutuhkan 600 kg pada blok dua hingga empat. Tahun 2 - 4, pupuk urea dan TSP yang dibutuhkan adalah 1 000 kg, dan pupuk KCL 375 kg. Pupuk pelengkap cair digunakan untuk merangsang pertumbuhan bunga ketika mulai berbunga sehingga biaya untuk pupuk ini dikeluarkan setiap tahun mulai tahun 5. Kebutuhan pupuk pelengkap cair terus meningkat hingga tahun 8 disesuaikan dengan jumlah pohon yang mengeluarkan malai setiap blok. Kendala yang ditemui adalah penggunaan pupuk sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan nipah belum diperoleh, sehingga dalam penelitian ini kebutuhan pupuk diasumsikan setiap tahun selama proses penanaman. Ketika tanaman mulai masuk fase penyadapan, pupuk cair untuk merangsang bunga mulai digunakan. Selain itu harga pupuk yang ditetapkan sesuai dengan harga pupuk bantuan pemerintah kepada petani. Hal ini dilakukan karena belum ada distributor pupuk yang resmi di Teluk Bintuni. Lampiran 7 juga memperlihatkan biaya variabel untuk pembayaran upah tenaga kerja. Upah tenaga kerja dihitung dengan menggunakan pendekatan Upah Minimum Provinsi UMP Papua Barat. Hal ini dilakukan karena di Kabupaten Teluk Bintuni khususnya dan Papua umumnya belum ada penetapan besarnya upah untuk tenaga kerja pertanian secara khusus. Hal ini disebabkan karena lahan milik petani masih digarap sendiri dan hanya menggunakan tenaga kerja yang berasal dari dalam keluarga untuk melakukan kegiatan usahataninya. Selain itu para petani lebih mengeluarkan uang untuk menyewa jasa alat dan mesin pertanian. Upah minimum provinsi nilainya untuk tahun 2010 adalah Rp 1 210 000. Nilai ini kemudian dibagi 30 untuk nilai perharinya kemudian dikalikan dengan jumlah penyadap yang bekerja untuk kegiatan pengolahan lahan hingga pemanenan berdasarkan hari kerjanya. Upah tenaga kerja pembukaan lahan dan penanaman dibayarkan pada tahun 1 - 4, upah kegiatan pemeliharaan dimulai tahun 5, sementara upah untuk pemanenan mulai dihitung pada tahun 6. Nilai upah ini seperti halnya nilai pupuk meningkat setiap tahunnya dari tahun 1 - 8, tahun 9 - 20 nilai upah sudah stabil. Berdasarkan Lampiran 7 dapat dilihat bahwa biaya variabel skenario 5 dikeluarkan sesuai dengan jumlah blok yang digunakan untuk penanaman. Itulah sebabnya nilainya berbeda setiap tahun dan cenderung menurun, terutama tahun 1 – 4. Tahun-tahun selanjutnya, yaitu tahun 5 – 9, biaya yang dikeluarkan cenderung meningkat, hal ini disebabkan karena perbedaan penggunaan tenaga kerja dan pupuk yang terus meningkat sesuai dengan jumlah blok yang ada. Tahun 10 – 20, biaya yang dikeluarkan sudah tetap sepanjang tahun. Berbeda dengan skenario 5, biaya variabel skenario 6 pengembangan perkebunan nipah dan pabrik bioetanol kapasitas 1 000 liter per hari merupakan biaya variabel gabungan antara kegiatan produksi nipah dan pabrik bioetanol. Biaya variabel yang diperoleh setiap tahun juga berbeda karena penggunaan input yang berbeda dalam setiap produksi hingga tahun 10. Biaya variabel kegiatan produksi nipah pada tahun 1 – 4 paling besar digunakan membeli bibit nipah 90.50 persen, sementara untuk pabrik bioetanol biaya variabel paling besar adalah untuk pembelian nira nipah 71.48 persen. Biaya variabel untuk kegiatan produksi bioetanol dimulai pada tahun 6 karena nipah baru dipanen pada tahun 6. Kebutuhan nira nipah untuk proses produksi disesuaikan dengan jumlah malai dari setiap pohon yang berbunga untuk setiap blok, dimana pada tahun 6 jumlah malai baru sekitar 10 persen dari jumlah pohon dalam 1 blok, tahun berikutnya jumlah malai adalah 40 persen yang merupakan jumlah maksimal malai yang dihasilkan dari jumlah pohon yang ada dalam 1 blok. Besarnya biaya variabel untuk skenario 6 dapat dilihat pada Lampiran 7. Biaya variabel pada skenario ini mulai meningkat di tahun 6 - 20. Hal tersebut disebabkan karena penggunaan input dalam produksi seperti tenaga kerja, pupuk, dan nira disesuaikan dengan jumlah blok dan jumlah nira nipah yang dihasilkan untuk setiap blok. Namun, nilai tersebut menjadi tetap setelah tahun 10. Perbandingan biaya variabel antar skenario skenario 1 – 6 menunjukkan skenario 6 adalah skenario dengan pengeluaran biaya operasional produksi paling besar. Hal ini disebabkan karena ada dua kegiatan berbeda yang mengharuskan adanya pengeluaran biaya operasional produksi yang cukup besar. Besarnya biaya variabel yang dikeluarkan juga harus menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan investasi. Apakah dengan biaya yang besar memberikan manfaat terhadap kegiatan tersebut cukup besar dan dapat dilaksanakan. Sementara itu, biaya operasional yang terendah adalah skenario 2 dan 4. Biaya yang rendah disesuaikan dengan kapasitas produksi pabrik untuk menghasilkan bioetanol.

6.2.3. Kriteria Kelayakan Finansial Investasi Pengembangan Nipah dari