Variabel Pengamatan dan Definisi Operasional
saat jam puncak pemakaian 18.00 – 21.00 WIB. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat menggunakan sumur. Kualitas dan kuantitas air sumur
dalam tiga tahun terakhir ini tetap. Masyarakat tidak dilayani oleh sistem pengumpulan sampah. Mereka membuang sampah dengan cara membakar atau
menimbun di dalam tanah. Fasilitas rekreasi yang dimiliki oleh masyarakat hanya lapangan olah raga. Untuk rekreasi mereka biasanya harus keluar dari
lingkungan komunitas dan ini pun jarang dilakukan. Masalah lingkungan yang ada di dalam komunitas adalah banjir dan
kualitas air sumur. Banjir setiap tahun pasti terjadi terutama di bagian Utara kawasan yang juga merupakan daerah rawa pasang surut. Untuk mengurangi
dampak banjir tersebut masyarakat tidak menebangi pohon-pohon yang terletak dipinggir-pinggir sungai supaya arus banjir tidak terlalu kuat dan secara swadaya
mereka juga membuat tanggul-tanggul penahan banjir dari karung pasir. Sedangkan kualitas air sumur yang sedikit berminyak dan keruh pada waktu
musim hujan terdapat di daerah-daerah lebak bekas lahan rawa yang terdapat
di bagian Utara kawasan. Untuk daerah-daerah talang lahan kering kualitas air
sumur biasanya masih bagus. Budaya masyarakat yang berkembang di dalam kawasan adalah budaya
masyarakat agraris yang menggantungkan hidupnya dari lahan pertanian baik sawah maupun pertanian lahan kering. Di dalam kawasan terdapat tiga bentuk
pengelolaan lahan sebagai bentuk budaya masyarakat agraris yaitu: a Sawah
Berupa pertanian lahan basah yang dilakukan tanpa melakukan pergiliran tanaman. Tanaman utama yang dibudidayakan adalah padi dengan
mengandalkan sumber air yang berasal dari hujan tadah hujan yang disalurkan melalui jaringan iriigasi sederhana yang dibuat secara swadaya oleh petani.
Dalam melakukan budidaya padi ini terdapat tahapan-tahapan yang dilakukan oleh petani yaitu penyiapan lahan mencangkul,
ngluku, nggaru, pembenihan, penanaman, pemupukan, pendangiran, dan pemanenan.
b Sawah Pasang SurutLebak
Berupa pertanian lahan basah yang dilakukan di areal rawa. Tanaman utama yang dibudidayakan adalah padi yang ditanam pada musim kemarau
ketika lahan rawa tersebut mulai surut dan kering. Dalam pengolahan tanah di lahan ini tidak dikenal mencangkul,
nggaru dan ngluku namun yang ada adalah nebas atau pembersihan lahan dari ganggang dan tanaman air yang biasanya
dilakukan pada saat areal tersebut masiih berair tetapi sudah mulai mendangkal. Pemupukan juga tidak dilakukan pada tanaman padi demikian juga penyiangan
hanya dilakukan sesekali. c Kebun
Kebun yang diusahakan adalah pertanian lahan kering dengan tanaman utama adalah karet. Tahapan pengolahan lahan kebun dimulai dari penyiapan
lahan, pembuatan lobang tanam, penanaman, pemupukan, penyiangan dan pemanenan penyadapan getah dan penebangan kayu.
Dalam beberapa tahun terakhir terjadi pergeseran yang cukup besar di dalam pola pemanfaatan lahan tersebut. Pada awal perambahan masyarakat
cenderung untuk bersawah namun seiring dengan perubahan dalam harga komoditas dan juga ketersediaan tenaga kerja mereka mulai berkebun karet.
Perubahan tersebut dapat terlihat dalam Tabel 8. Tabel 8 Perubahan penggunaan lahan Kawasan Hutan Produksi Terusan
Sialang No
Penggunaan lahan Tahun 2001
Tahun 2009 Luas ha
Luas ha 1 Pemukiman
396 396
2 Lahan garapan tanaman
berkayu karet 250
5.204 3
Lahan garapan tanaman semusim padi
5.049 2.400
4 Lainnya 2.305
8.000 8.000
Sumber : Kantor Transmigrasi Kabupaten OKI 2001 dan Dinas Kehutanan
Kabupaten OKI 2009 Kebanyakan masyarakat yang mendiami Kawasan Hutan Produksi
Terusan Sialang mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat seperti saudara, anak, menantu dan teman dekat. Pada umumnya mereka merupakan keturunan
para transmigran yang ditempatkan di daerah yang sekitar Kabupaten Ogan Komering Ilir, Kabupaten Ogan Komering Ulu dan Propinsi Lampung. Kedekatan
hubungan kekerabatan tersebut menjadikan suasana kekeluargaan yang kental sangat terasa di dalam komunitas masyarakat tersebut.
Secara umum norma yang berlaku di dalam kawasan tersebut adalah norma-norma budaya bali yang ditandai dengan diberlakukannya denda pada
setiap pelanggaran norma. Hal ini dilatarbelakangi oleh keberhasilan kepemimpinan orang-orang bali dalam proses penguasaan lahan tersebut.
Dalam perjalanan proses penjarahan kawasan tersebut beberapa kali masuk