mengajukan ijin secara perorangan dilatar belakangi oleh keinginan mereka untuk mendapatkan status lahan atas nama mereka sendiri. Dalam pandangan
mereka dengan memiliki ijin atas nama mereka sendiri mereka memiliki kebebasan dalam menentukan komoditas, melakukan jual beli lahan dan
mengatur penggunaan lahan. Selain itu mereka juga memiliki pengalaman mengajukan ijin melalui koperasi Kopkarinhut V yang akhirnya gagal dan
menimbulkan sedikit kesalahpahaman diantara masyarakat. Sedangkan pandangan terhadap mitra sebanyak 70,59 masyarakat
tidak memerlukan mitra, 26,89 memerlukan mitra dan sisanya 2,52 menjawab ragu-ragu. Sikap masyarakat terhadap mitra ini dilatarbelakangi
kondisi perekonomian mereka yang memang relatif sudah mantap. Dengan harga komoditas karet yang semakin membaik, mereka merasa sudah cukup
berhasil dalam mengelola lahan mereka dan tidak memerlukan mitra yang belum mereka kenal. Kalaupun memerlukan mitra mereka cenderung memilih mitra
yang telah mereka kenal warga sekitar. Tingkat persepsi masyarakat terhadap pola pembangunan HTR dapat dilihat dalam Tabel 35.
Tabel 35 Sebaran tingkat persepsi masyarakat terhadap pola pembangunan HTR No.
Kategori tingkat persepsi Selang
Skor persepsi Jumlah
orang Persentase
1 2
3 Rendah
Sedang Tinggi
12 12 – 17
17 36
83 30,25
69,75 Jumlah
119 100,00
5.6.3 Persepsi Masyarakat Terhadap kegiatan Pemanfaatan HTR
Kegiatan pemanfaatan HTR yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah tahapan kegiatan yang dilakukan dalam pembangunan HTR, tujuan
pemanfaatan HTR dan juga tentang pemanfaatan hasil sampingan HHBK. Dari hasil survey didapatkan bahwa sebagian besar masyarakat setuju dengan
tahapan dalam kegiatan pemanfaatan HTR 85,71 dan hanya sebagaian kecil saja yang tidak atau kurang setuju 14,29. Sedangkan terhadap tujuan
pemanfaatan HTR untuk produksi kayu saja sebanyak 47,06 responden setuju, 3,36 kurang setuju dan 49,58 tidak setuju. Tingginya tingkat ketidaksetujuan
masyarakat terhadap tujuan pemanfaatan HTR ini dikarenakan selama ini mereka terbiasa dengan komoditas karet yang lebih menekankan pada produksi
getah HHBK dibandingkan dengan produksi kayu. Selain itu mereka juga belum
melihat adanya contoh nyata keberhasilan budidaya kayu di daerah mereka. Hasil ini sejalan dengan persepsi mereka tentang HHBK yaitu sebagian besar
masyarakat tidak setuju apabila HHBK tidak boleh dimanfaatkan dalam pemanfaatan HTR 94,96 dan sisanya setuju dan kurang setujuragu-ragu
5,04. Sebaran tingkat persepsi masyarakat terhadap kegiatan pemanfaatan HTR dapat dilihat pada Tabel 36.
Tabel 36 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap kegiatan pemanfaatan HTR
No. Kategori tingkat persepsi
Selang Skor persepsi
Jumlah orang
Persentase 1
2 3
Rendah Sedang
Tinggi 5
5 – 7 7
62 54
3 2,10
45,38 2,52
Jumlah 119
100
5.6.4 Persepsi Masyarakat Terhadap Jenis Tanaman HTR
Jenis tanaman yang dikembangkan dapat dikembangkan di areal HTR adalah kayu pertukangan berdasarkan peraturan Direktur Bina Produksi
Kehutanan No. P.06VI-BPHT2007 tentang petunjuk teknis pembangunan HTR Jenis tersebut adalah tanaman hutan berkayu yang terdiri dari: 1 kayu
pertukangan meranti, keruing, non dipterocarpaceae: jati, sengon, sonokeling, mahoni, kayu hitam, akasia, rajumas, sungkai dan kayu serat dan 2 tanaman
budidaya tahunan berkayu karet, durian, nangka, mangga, duku, rambutan, kemiri, pala. Tanaman tersebut dapat ditanam secara monokultur atau
campuran dengan komposisi 60 tanaman hutan berkayu dan 40 tanaman budidaya tahunan berkayu
.
Budidaya tanaman berkayu kehutanan tidak dikenal oleh masyarakat di dalam kawasan. Mereka saat ini merasa jenis tanaman karet yang sudah mereka
budidayakan sangat sesuai dengan keinginan mereka 94,12. Ketentuan tentang tanaman pokok yang harus tanaman kehutanan masih belum diterima
oleh masyarakat dan mereka masih menginginkan tanaman karet untuk wilayah mereka sedangkan sisanya merasa tanaman mereka kurangtidak sesuai
5,88. Mayoritas masyarakat juga tidak menginginkan jenis tanaman yang boleh mereka tanam ditentukan oleh Menteri Kehutanan 95,80, sedangkan
yang setuju dengan ketentuan tersebut 3,36 dan sisanya ragu-ragu 0,84. Sebaran tingkat persepsi masyarakat terhadap jenis tanaman HTR dapat dilihat
pada Tabel 37.
Tabel 37 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap jenis tanaman HTR No.
Kategori tingkat persepsi Selang
Skor persepsi Jumlah
orang Persentase
1 2
3 Rendah
Sedang Tinggi
5 5 – 7
7 98
20 1
82,35 16,81
0,84 Jumlah
119 100,00
5.6.5 Persepsi Masyarakat Terhadap Persyaratan Perijinan HTR
Tingkat persepsi masyarakat terhadap persyaratan perijinan HTR yang berada pada level tinggi sebesar 48,74, level sedang 48,74 dan level rendah
2,52 Tabel 38. Sebagian masyarakat merasa kesulitan untuk mendapatkan salah satu persyaratan dalam perijinan HTR berupa KTP, surat keterangan
domisili dan sketsa 50,42 sedangkan sisanya merasa tidak mendapatkan kesulitan dalam mendapatkan persyaratan tersebut 49,58.
Tabel 38 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap persyaratan perijinan HTR
No. Kategori tingkat persepsi
Selang Skor persepsi
Jumlah orang
Persentase 1
2 3
Rendah Sedang
Tinggi 5
5 – 7 7
3 58
58 2,52
48,74 48,74
Jumlah 119
100,00 Kesulitan masyarakat dalam mendapatkan KTP dan surat keterangan
domisili karena status kependudukan mereka yang belum diakui sepenuhnya oleh desa di sekitar mereka. Baru dalam beberapa tahun terakhir ini mereka
mulai mendapatkan pelayanan administrasi kependudukan. Dalam pembuatan sketsa atau peta mayoritas masyarakat juga mengalami kesulitan. Namun
kesulitan tersebut dapat diatasi dengan adanya pendamping HTR dan juga asistensi yang dilakukan oleh koperasi walaupun masyarakat harus
mengeluarkan biaya untuk membuat sketsapeta tersebut.
5.6.6 Persepsi Masyarakat Terhadap Proses Perijinan HTR
Persepsi masyarakat masyarakat terhadap proses perijinan pada umumnya berada pada tingkat rendah 57,98. Hal ini tidak terlepas dari
pengalaman mereka dalam mengajukan ijin HTR. Masyarakat pernah memproses untuk mengajukan ijin pada tahun 2010 dengan difasilitasi oleh
Kopkarinhut V. Namun proses tersebut mengalami kegagalan pada tahapan verifikasi oleh BPPHP wilayah V Palembang. Dalam melaksanakan verifikasi,
BPPHP Wilayah V Palembang menggunakan kebijakan kawasan hijau dan
kawasan putih. Kawasan hijau artinya kawasan tersebut telah ditanami dengan tanaman berkayu karet sedangkan
kawasan putih adalah kawasan yang belum ditanami dengan tanaman berkayu. Dalam verifikasi hanya
kawasan hijau yang diloloskan sedangkan
kawasan putih tidak diloloskan. Akibat dari kebijakan tersebut dari sekitar 400-an masyarakat yang mengajukan ijin hanya 88 orang
yang lolos verifikasi. Hasil verifikasi tersebut tidak ditindaklanjuti oleh Dinas Kehutanan Kabupaten OKI karena dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak di
dalam kawasan tersebut. Tabel 39 Sebaran tingkat persepsi masyarakat terhadap proses perijinan HTR
No. Kategori tingkat persepsi
Selang Skor persepsi
Jumlah orang
Persentase 1
2 3
Rendah Sedang
Tinggi 5
5 – 7 7
69 45
5 57,98
37,82 4,20
Jumlah 119 100,00
Pada tahun 2011 Masyarakat dengan difasilitasi oleh tenaga pendamping HTR berusaha mengajukan lagi ijin HTR. Untuk mempermudah dibentuklah lima
kelompok tani KTH hutan yaitu KTH Jelutung, KTH Gelam, KTH Karet, KTH Rengas dan KTH Wana Krida. Pengukuran dan pembuatan sketsa juga sudah
dilakukan. Pemenuhan syarat administrratif juga sudah dilaksanakan. Namun ketika diajukan ke BPPHP Wilayah V untuk diverifikasi berkas tersebut
dikembalikan dengan keterangan bahwa syarat administrsi belum lengkap. Selain itu Kopkarinhut V memfasilittasi lagi untuk pengajuan ijin HTR atas nama
koperasi. Namun dalam proses pengajuan keluar ketentuan bahwa luas lahan maksimal untuk koperasi adalah 700 ha sehingga menyebabkan kopkarinhut
mundur. Pada tahun 2012 masyarakat mencoba mengajukan kembali ijin HTR
melalui 4 kelompok tani tersebut dan membentuk satu koperasi baru yaitu Koperasi Masyarakat Pemberdayaan Hutan Komasperhut. Berkas pengajuan
dari 4 kelompok tani dan koperasi tersebut pada bulan Mei sudah disampaikan ke BPPHP Wilayah V namun sampai sekarang belum ada kejelasan untuk
verifikasi. Pengalaman tersebut menyebabkan persepsi masyarakat terhadap
proses pengajuan ijin rendah. Selain itu kepercayaan masyarakat terhadap