BPPHP Wilayah V Palembang menggunakan kebijakan kawasan hijau dan
kawasan putih. Kawasan hijau artinya kawasan tersebut telah ditanami dengan tanaman berkayu karet sedangkan
kawasan putih adalah kawasan yang belum ditanami dengan tanaman berkayu. Dalam verifikasi hanya
kawasan hijau yang diloloskan sedangkan
kawasan putih tidak diloloskan. Akibat dari kebijakan tersebut dari sekitar 400-an masyarakat yang mengajukan ijin hanya 88 orang
yang lolos verifikasi. Hasil verifikasi tersebut tidak ditindaklanjuti oleh Dinas Kehutanan Kabupaten OKI karena dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak di
dalam kawasan tersebut. Tabel 39 Sebaran tingkat persepsi masyarakat terhadap proses perijinan HTR
No. Kategori tingkat persepsi
Selang Skor persepsi
Jumlah orang
Persentase 1
2 3
Rendah Sedang
Tinggi 5
5 – 7 7
69 45
5 57,98
37,82 4,20
Jumlah 119 100,00
Pada tahun 2011 Masyarakat dengan difasilitasi oleh tenaga pendamping HTR berusaha mengajukan lagi ijin HTR. Untuk mempermudah dibentuklah lima
kelompok tani KTH hutan yaitu KTH Jelutung, KTH Gelam, KTH Karet, KTH Rengas dan KTH Wana Krida. Pengukuran dan pembuatan sketsa juga sudah
dilakukan. Pemenuhan syarat administrratif juga sudah dilaksanakan. Namun ketika diajukan ke BPPHP Wilayah V untuk diverifikasi berkas tersebut
dikembalikan dengan keterangan bahwa syarat administrsi belum lengkap. Selain itu Kopkarinhut V memfasilittasi lagi untuk pengajuan ijin HTR atas nama
koperasi. Namun dalam proses pengajuan keluar ketentuan bahwa luas lahan maksimal untuk koperasi adalah 700 ha sehingga menyebabkan kopkarinhut
mundur. Pada tahun 2012 masyarakat mencoba mengajukan kembali ijin HTR
melalui 4 kelompok tani tersebut dan membentuk satu koperasi baru yaitu Koperasi Masyarakat Pemberdayaan Hutan Komasperhut. Berkas pengajuan
dari 4 kelompok tani dan koperasi tersebut pada bulan Mei sudah disampaikan ke BPPHP Wilayah V namun sampai sekarang belum ada kejelasan untuk
verifikasi. Pengalaman tersebut menyebabkan persepsi masyarakat terhadap
proses pengajuan ijin rendah. Selain itu kepercayaan masyarakat terhadap
BPPHP Wilayah V dan dinas kehutanan Kabupaten OKI mengalami penurunan. Apabila pada proses pengajuan yang terakhir ini kembali mengalami kegagalan
maka dikhawatirkan masyarakat tidak antusias lagi dalam melaksanakan program pembangunan HTR.
5.6.7 Persepsi Masyarakat Terhadap Jangka waktu dan Luasan Usaha HTR
Jangka waktu ijin usaha HTR diberikan selama 60 tahun dan dapat diperpanjang satu kali selama 35 tahun. Luas pengusahaan yang diberikan untuk
ijin perorangan adalah seluas maksimal 15 ha. Persepsi masyarakat terhadap jangka waktu ijin dan luasan ijin usaha berapa pada level tinggi 84,03 dan
sedang 115,97 Tabel 40. Tabel 40 Sebaran tingkat persepsi masyarakat terhadap jangka waktu dan
luasan ijin HTR No.
Kategori tingkat persepsi Selang
Skor persepsi Jumlah
orang Persentase
1 2
3 Rendah
Sedang Tinggi
5 5 – 7
7 19
100 0,00
15,97 84,03
Jumlah 119
100,00 Tingginya tingkat persepsi masyarakat terhadap jangka waktu dan luasan ijin ini
dikarenakan masyarakat merasa cukup dengan jangka waktu 60 tahun dan dapat diperpanjang sampai 35 tahun apalagi dalam ketentuan yang baru terdapat
klausul pengutamaan ahli waris untuk melanjutkan ijin tersebut. Pemilikan lahan di kawasan ini sudah tidak merata dikarenakan telah
terjadinya proses jual beli diantara masyarakat sehingga beberapa masyarakat mempunyai lahan lebih dari 15 ha. Hal ini telah menjadi perhatian dari Dinas
Kehutanan Kabupaten OKI dikarenakan dalam proses verifikasi terhadap usulan ijin HTR Kopkarinhut V, pemilikan lahan yang melebihi 15 ha oleh seorang petani
menjadi salah satu penyebab tidak diloloskannya usulan tersebut. Ketentuan perijinan HTR dalam Peraturan Menteri Kehutanan tidak menyebutkan batasan
pemilikan lahan perorangan apabila usulan ijin disampaikan melalui koperasi. Hal ini menyebabkan sejumlah responden tidak setuju dengan ketentuan
pembatasan lahan tersebut 12,60.
5.6.8 Persepsi Masyarakat Terhadap Pewarisan Ijin HTR
Ketentuan dalam peraturan Menteri Kehutanan tentang perijinan HTR menyatakan bahwa HTR tidak dapat diwariskan. Hal ini tidak disetujui oleh
masyarakat walaupun terdapat klausul bahwa ahli waris diutamakan untuk mendapatkan ijin di lahan tersebut Tabel 41. Klausul ini dinilai masyarakat tidak
cukup. Tabel 41 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap pewarisan ijin HTR
No. Kategori tingkat persepsi
Selang Skor persepsi
Jumlah orang
Persentase 1
2 3
Rendah Sedang
Tinggi ≤ 3
4 – 5 5
112 5
2 94,12
4,20 1,68
Jumlah 119 100,00
Ketentuan tentang hak pewarisan ini dikeluarkan oleh pemerintah untuk menegaskan bahwa kawasan tersebut bukanlah hak milik dari petani HTR tetapi
merupakan lahan milik negara yang pengelolaannya dipercayakan kepada petani penggarap. Secara hukum hal tersebut dipandang logis namun permasalahan
yang dikhawatirkan muncul adalah kemungkinan adanya pihak yang akan mencoba mengambil keuntungan dari celah tersebut. Permasalahan tersebut
dapat digambarkan sebagai berikut: misalnya petani HTR berumur 30 tahun mulai menanam karet pada lahan usahanya. Maka dengan asumsi rotasi karet
25 tahun dan umur petani tersebut 65 tahun maka pada saat dia meninggal akan ada tanaman karet berumur 10 tahun di lahan tersebut dan masih ada sisa
jangka waktu ijin 25 tahun lagi. Bila ketentuan bahwa lahan tersebut harus dikembalikan kepada negara apabila pemiliknya meninggal diberlakukan maka
akan banyak pihak yang berebut untuk mendapatkan ijin di lahan tersebut. Tentu hal ini tidak adil bagi ahli waris pemegang ijin.
Untuk itu diperlukan jalan keluar untuk menghindari hal tersebut. Misalnya dibuat ketentuan bahwa apabila pemegang ijin meninggal maka ahli waris yang
ditunjuk oleh pemegang ijin secara otomatis akan melanjutkan ijin tersebut sampai habis jangka waktunya. Kemudian apabila sudah habis jangka waktunya
dilakukan evaluasi lagi untuk menerbitkan ijin baru atas nama ahli waris tersebut. Ketentuan-ketentuan kompromistis seperti ini perlu dilakukan karena tidak ada
gunanya pemerintah membuat ketentuan yang tidak akan ditaati oleh masyarakat.
5.6.9 Persepsi Masyarakat Terhadap Hak dan Kewajiban
Hak dan kewajiban yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hal-hal yang berhubungan dengan hak mendapatkan pinjaman, hak mendapatkan
pendampingan dan kewajiban menyusun rencana kerja baik Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu HTR RKUPHHK-HTR maupun Rencana
Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada HTR RKTUPHHK- HTR. Ketentuan dalam perijinan HTR memberikan masyarakat pemegang ijin
hak untuk mendapatkan bantuan berupa pinjaman lunak untuk pembangunan HTR yang dalam persyaratan pencairannya mewajibkan pemegang ijin untuk
membuat RKUPHHK-HTR dan RTKUPHHK-HTR. Pembuatan RKTUPHHK-HTR dan RKUPHHK-HTR difasilitasi oleh BPPHP setempat.
Persepsi masyarakat terhadap hak dan kewajiban tersebut sebagain besar berada pada level yang tinggi Tabel 42. Tingginya persepsi masyarakat
terhadap hak dan kewajiban HTR tersebut dikarenakan mereka merasa mampu untuk memenuhi kewajiban sebagai pemegang ijin yaitu menyusun RKUPHHK-
HTR dan RKTUPHHK-HTR dan memandang hak mereka untuk mendapatkan pinjaman HTR bukanlah sebagai faktor utama yang mendorong mereka untuk
mendapatkan ijin HTR. Keyakinan tersebut tidak terlepas dari kondisi perekonomian mereka yang sudah membaik. Apalagi dengan adanya fasilitasi
oleh BPPHP dalam pembuatan RKU dan RKT HTR Tabel 42 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap hak dan kewajiban
No. Kategori tingkat persepsi
Selang Skor persepsi
Jumlah orang
Persentase 1
2 3
Rendah Sedang
Tinggi ≤ 6
7 – 9 ≥ 10
3 8
108 2,52
6,72 90,76
Jumlah 119
100,00
5.6.10 Persepsi Masyarakat Terhadap Pasar Kayu Hasil HTR
Yang dimaksud dengan pasar kayu hasil HTR disini adalah industri kayu, kejelasan pemasaran hasil kayu dan juga mekanisme penentuan harga kayu.
Persepsi masyarakat terhadap pasar kayu hasil HTR pada umumnya berada pada level sedang dan rendah Tabel 43.