menerima arus perubahan, kurang akomodatif terhadap pihak luar, mengutamakan kepentingan dan solidaritas kelompok Hasbullah 2006.
Keberadaan modal sosial yang kuat sangat berpengaruh dalam keberhasilan sebuah program pembangunan. Tingginya modal sosial masyarakat
di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang ini menjadi modal yang sangat berharga dalam pembangunan HTR di daerah tersebut. Secara
de facto sebenarnya hutan di dalam Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang telah
terbangun secara swadaya oleh masyarakat dalam bentuk kebun karet. Sehingga program pembangunan HTR dapat dipandang hanya bersifat
melegalkan sekaligus untuk “membagi manfaat” keberadaan hutan tersebut bagi komunitas lain diluar kawasan tersebut. Selain itu tinggi
collective action di kawasan telah menjadi salah satu faktor pendorong bagi kemajuan yang telah
dicapai kawasan tersebut selama ini yang bahkan telah mengalahkan kemajuan desa-desa definitif yang berada di sekitar kawasan tersebut. Hal ini senada
dengan penelitian tentang hubungan modal sosial dan pembangunan hutan rakyat di Sukabumi juga menemukan hubungan yang positif antara tingkat modal
sosial dengan partisipasi masyarakat dalam pembangunan hutan rakyat Rinawati 2012.
5.6 Persepsi Masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang
Terhadap Pembangunan HTR
Persepsi terkait dengan pembangunan HTR di terusan sialang yang diukur adalah persepsi terhadap alokasi lahan HTR, pemanfaatan hasil HTR,
pola pembangunan HTR, jenis tanaman HTR, persyaratan Perijinan HTR, proses perijinan HTR, jangka waktu dan luas pengusahaan HTR, pewarisan ijin HTR,
hak dan kewajiban HTR, pasar hasil HTR, kelembagaan HTR, kegiatan sosialisasi HTR dan kegiatan pendampingan dan penyuluhan HTR.
5.6.1 Persepsi Masyarakat Terhadap Alokasi Lahan HTR
Pasal 2 ayat 1 Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.55Menhut-II2001 menyebutkan bahwa areal yang dicadangkan untuk pembangunan HTR adalah
hutan produksi yang tidak produktif dan tidak dibebani izinhak lain. Ketentuan alokasi lahan yang ditanyakan kepada responden adalah ketentuan umum
tentang lahan yang ditunjuk sebagai areal pencadangan HTR yaitu apakah lahan
tersebut sudah tepat untuk dijadikan sebagai lahan HTR dari segi aksesibilitas, kepemilikan bebas konflik maupun kondisi lahan.
Dari hasil wawancara diketahui bahwa sebagian besar responden mempunyai persepsi yang tinggi terhadap alokasi lahan HTR 84,87,
sedangakan sebagain lainnya memliki persepsi yang sedang 9,25 dan rendah 5,88 Tabel 34.
Tabel 34 Sebaran tingkat persepsi responden terhadap alokasi lahan HTR No.
Kategori tingkat persepsi Selang
Skor persepsi Jumlah
orang Persentase
1 2
3 Rendah
Sedang Tinggi
5 5 – 7
7 7
11 111
5,88 9,25
84,87 Jumlah
119 100,00 Akses masyarakat ke lahan calon lokasi HTR sangat mudah karena pada
umumnya mereka tinggal di lahan tersebut. Akses ke kawasan tersebut juga sangat mudah karena kawasan tersebut terletak di jalur perlintasan jalan lintas
timur sumatera yang merupakan jalan trans nasional. Jaringan jalan di dalam kawasan juga sudah teratur dan pada umumnya sudah mengalami perkerasan
sehingga dapat dilalui oleh kendaraan roda 4 walaupun pada musim penghujan. Pengaturan pembagian lahan juga sudah jelas. Walaupun tidak
mempunyai surat tanah resmi namun batas-batas tanah mereka sudah jelas dan tidak ada lagi tumpang tindih kepemilikan diantara mereka. Bahkan mereka
sudah memperjualbelikan lahan mereka dan kuitansi yang diketahui oleh koordinator masyarakat perambah tersebut diakui sebagai tanda bukti
kepemilikan tanah di dalam komunitas tersebut.
5.6.2 Persepsi Masyarakat Terhadap Pola Pembangunan HTR
Pola pembangunan HTR menurut Peraturan Menteri Kehutanan terdiri dari tiga pola yaitu perorangan, kemitraan dan developer. Dalam penelitian ini
persepsi terhadap pola pengelolaan HTR didasarkan pada bagaimana pilihan masyarakat dalam mengelola HTR, pandangan terhadap program kemitraan dan
juga pandangan terhadap asal usul mitra. Berdasarkan hasil penelitian, masyarakat cenderung untuk memilih untuk mengajukan ijin secara perorangan
67,23 dibandingkan dengan dengan pengajuan ijin melalui koperasi 21,01 dan sisanya masih ragu-ragu 11,76. Pilihan masyarakat yang memilih untuk
mengajukan ijin secara perorangan dilatar belakangi oleh keinginan mereka untuk mendapatkan status lahan atas nama mereka sendiri. Dalam pandangan
mereka dengan memiliki ijin atas nama mereka sendiri mereka memiliki kebebasan dalam menentukan komoditas, melakukan jual beli lahan dan
mengatur penggunaan lahan. Selain itu mereka juga memiliki pengalaman mengajukan ijin melalui koperasi Kopkarinhut V yang akhirnya gagal dan
menimbulkan sedikit kesalahpahaman diantara masyarakat. Sedangkan pandangan terhadap mitra sebanyak 70,59 masyarakat
tidak memerlukan mitra, 26,89 memerlukan mitra dan sisanya 2,52 menjawab ragu-ragu. Sikap masyarakat terhadap mitra ini dilatarbelakangi
kondisi perekonomian mereka yang memang relatif sudah mantap. Dengan harga komoditas karet yang semakin membaik, mereka merasa sudah cukup
berhasil dalam mengelola lahan mereka dan tidak memerlukan mitra yang belum mereka kenal. Kalaupun memerlukan mitra mereka cenderung memilih mitra
yang telah mereka kenal warga sekitar. Tingkat persepsi masyarakat terhadap pola pembangunan HTR dapat dilihat dalam Tabel 35.
Tabel 35 Sebaran tingkat persepsi masyarakat terhadap pola pembangunan HTR No.
Kategori tingkat persepsi Selang
Skor persepsi Jumlah
orang Persentase
1 2
3 Rendah
Sedang Tinggi
12 12 – 17
17 36
83 30,25
69,75 Jumlah
119 100,00
5.6.3 Persepsi Masyarakat Terhadap kegiatan Pemanfaatan HTR
Kegiatan pemanfaatan HTR yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah tahapan kegiatan yang dilakukan dalam pembangunan HTR, tujuan
pemanfaatan HTR dan juga tentang pemanfaatan hasil sampingan HHBK. Dari hasil survey didapatkan bahwa sebagian besar masyarakat setuju dengan
tahapan dalam kegiatan pemanfaatan HTR 85,71 dan hanya sebagaian kecil saja yang tidak atau kurang setuju 14,29. Sedangkan terhadap tujuan
pemanfaatan HTR untuk produksi kayu saja sebanyak 47,06 responden setuju, 3,36 kurang setuju dan 49,58 tidak setuju. Tingginya tingkat ketidaksetujuan
masyarakat terhadap tujuan pemanfaatan HTR ini dikarenakan selama ini mereka terbiasa dengan komoditas karet yang lebih menekankan pada produksi
getah HHBK dibandingkan dengan produksi kayu. Selain itu mereka juga belum