Penurunan produksi minyak bumi

RENSTRA KESDM 2015-2019 74

2. TANTANGAN DAN PERMASALAHAN

a. Penurunan produksi minyak bumi

Indonesia merupakan salah satu negara produsen tertua minyak dunia, jumlah cadangan minyaknya saat ini hanya sekitar 0,20 dari cadangan minyak dunia. Sejak tahun 1995 produksi minyak bumi Indonesia menurun, dari sekitar 1,6 juta bpd, menjadi sekitar 789 ribu bpd tahun 2014. Belum ada penemuan cadangan minyak besar lagi selain dari lapangan Banyu-Urip Blok Cepu. Sejak tahun 2010-2013, laju penemuan cadangan dibandingkan dengan produksi atau Reserve to Production Ratio RRR sekitar 55, artinya Indonesia lebih banyak memproduksikan minyak bumi dibandingkan menemukan cadangan minyak. Padahal idealnya setiap 1 barel minyak yang diproduksikan harus dikompensasi dengan penemuan cadangan sejumlah 1 barel juga sehingga RRR sebesar 100 atau lebih besar lebih bagus. Beberapa tantangan rendahnya produksi minyak bumi, antara lain: • Sebagian Kontraktor Kontrak Kerja Sama KKKS eksplorasi, belum berpengalaman, dimana dari sekitar 147 KKKS eksplorasi, 50 KKKS diantaranya merupakan pemain baru, dan banyak KKKS yang tidak dapat merealisasikan komitmen eksplorasinya. Selain itu, terdapat perusahaan yang mengelola lebih dari 30 Wilayah Kerja sehingga secara teknis dan finansial menjadi kurang sehat dan produktif. • Permasalahan sosial, birokrasi dan teknis, seperti perizinan daerah, lahan, sosial dan keamanan juga menjadi penyebab kendala produksi minyak, selain permasalahan teknis seperti unplanned shutdown, kebocoran pipa, kerusakan peralatan, kendala subsurface dan gangguan alam serta keterlambatan on- stream proyek. Kendala paling menonjol yang menjadi penghambat jadwal produksi adalah pembebasan lahan yang berlarut-larut di Blok Cepu, sehingga menyebabkan keterlambatan onstream POD lapangan Banyu Urip, yang seharusnya direncanakan onstream pertama kali tahun 2008, menjadi tahun 2014 dan tahun 2015. • Mekanisme pengenaan PBB. Sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah No 79 Tahun 2010 seluruh pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan PBB Migas ditanggung oleh pemerintah melalui mekanisme “Assume and Discharge”, di mana pengenaan PBB Migas dibayarkan oleh pemerintah. Namun, sejak pemberlakuan PP Nomor 79 Tahun 2010 seluruh pengenaan PBB Migas dimasukkan sebagai komponen biaya bagi KKKS Migas pada Masa Eksplorasi dan akan dikembalikan melalui mekanisme Cost Recovery pada saat masa produksi, sehingga Kontrak Kerja RENSTRA KESDM 2015-2019 75 Sama KKS yang ditandatangani setelah tahun 2010, diwajibkan untuk membayar lebih dahulu PBB Migas dan baru dapat dibebankan sebagai biaya ketika berproduksi. • Pengenaan PBB pada masa eksplorasi dirasa masih memberatkan kontraktor mengingat masa eksplorasi belum terdapat kepastian penemuan cadangan migas dan masih terdapat kemungkinan kegagalan eksplorasi sehingga terdapat biaya yang tidak dapat dikembalikan. Dampaknya, terjadi penurunan minat keikutsertaan penawaran langsung wilayah kerja WK. Pada tahun 2013 penawaran langsung sebanyak 16 WK dan hanya 5 WK yang berlanjut ke penandatanganan kontrak 31. Sedangkan 5 tahun sebelum tahun 2013, penawaran langsung yang berlanjut ke penandatanganan kontrak rata-rata sebesar 81. b. Pemanfaatan energi domestik masih rendah Gas bumi masih ada yang terikat kontrak ekspor, meskipun volumenya semakin menurun tiap tahun, hingga tahun 2013 dimana volume ekspor lebih rendah dari pemanfaatan domestik. Keterbatasan infrastruktur gas bumi merupakan salah satu penyebab pemanfaatan gas bumi domestik belum maksimal. Selain itu, terdapat juga kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan dan lokasi sumber gas berada jauh dari lokasi pertumbuhan. Batubara Indonesia cukup besar potensinya, namun sekitar 80 produksinya masih diperuntukkan untuk ekspor dan selebihnya untuk domestik. Kendala eksploitasi batubara, yaitu terbatasnya infrastruktur pelabuhan dan jalur pengangkutan batubara. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan batubara terutama di Sumatera dan Kalimantan diperlukan peningkatan penggunaan batubara untuk kebutuhan dalam negeri terutama pembangkit listrik dan industri, sehingga penyerapan batubara untuk kebutuhan dalam negeri semakin besar.

c. Akses energi terbatas