Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
5 pada tahun 2008 krisis kembali meruntuhkan pondasi ekonomi hal ini yang
membuat para investor harus memperhitungkan keadaan variabel makro agar tingkat keuntungan sesuai yang diharapkan dan hal ini juga membuat sektor
properti selalu menarik untuk dikaji dan lebih jelasnya mengenai pertumbuhan properti dapat dilihat pada gambar 1.1 dibawah ini:
Gambar 1.1 Grafik Sektor Properti
Sumber: Bursa Efek Indonesia
Selain volatilitas harga saham yang tinggi, sektor properti juga sangat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian secara makro. Dampak krisis global bisa
saja akan kembali mempengaruhi bisnis properti Indonesia seperti yang terjadi pada tahun 1998. Kekhawatiran ini mulai muncul sejak tahun 2003 ketika ekspansi
1,000,000 1,200,000
1,400,000 1,600,000
1,800,000 2,000,000
2,200,000 2,400,000
2,600,000
2006 2007
2008 2009
2010 2011
PROPERTI
6 bisnis properti begitu tinggi. Pembangunan ruko, apartemen, mal dan pusat
perbelanjaan mengalami perkembangan yang signifikan, tak hanya di Jakarta namun juga di beberapa kota besar lainnya. Pada perkembangannya, membaiknya
kondisi ekonomi membuat pertumbuhan bisnis properti nasional khususnya sejak 2003 menjadi sangat tinggi. Nilai kapitalisasi proyek properti nasional melonjak,
dan puncaknya tahun 2005 nilai kapitalisasinya mencapai Rp 91,01 Triliun atau meningkat hampir sepuluh kali dibandingkan dengan nilai kapitalisasi tahun 2000
yang sebesar Rp. 9,51 Triliun.
Tabel 1.1 Berikut data mengenai nilai tukar rupiah, suku bunga SBI, Jumlah Uang
Beredar JUB dan pertumbuhan harga saham sektor properti tahun 2006- 2011
Sumber: Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik,BKPM
Tahun Nilai tukar
Rupiahdollar Suku
Bunga SBI JUB
milyar
Pertumbuhan Harga Saham
Sektor Properti milyar
2006
8.571,1 11.97
15.163.734 1.026.786
2007
8.985,4 8.03
17.580.581 2.430.874
2008
9.750,6 9.39
20.458.862 1.977.205
2009
9.425 7.49
23.709.943 1.605.056
2010
9.163,7 6.57
26.634.685 2.110.775
2011
9.086 6.75
30.854.553 2.492.910
7 Pertumbuhan sektor properti pada 2006 masih dalam tren membaik, meskipun
daya beli masyarakat menurun pascakenaikan harga BBM di Oktober 2005. Dalam periode pelaku ekonomi masih melakukan penyesuaian terhadap dampak kenaikan
harga BBM tersebut, pertumbuhan sektor properti pada 2006 masih tumbuh sebesar 9, Kinerja perekonomian tersebut banyak dipengaruhi peran kuat
stimulus fiskal dan dampak positif peningkatan harga komoditas primer dunia. Ekspansi perekonomian pada 2006 banyak bertumpu pada konsumsi pemerintah
dan ekspor, sementara secara sektoral ditopang kelompok sektor primer dan kelompok sektor jasa. Konsumsi Pemerintah meningkat tinggi dibandingkan 2005
antara lain disumbang pengeluaran bantuan langsung tunai BLT. Secara sektoral, peningkatan pertumbuhan tercatat pada sektor pertanian, sektor pengangkutan dan
komunikasi serta sektor bangunan. Sementara itu pada pertumbuhan sektor properti tercatat pertumbuhan pada
tahun 2006 mencapai yang tertinggi pada tingkat 9,0 dan mulai mengalami penurunan signifikan akibat krisis global yang mengakibatkan penurunan pada
sector property menjadi 7,05 pada tahun 2009 dan kembali mengalam penurunan sebesar 0,5 pada tahun 2010 menjadi 7,0. Penurunan ini tidak terlepas dari
imbas dari krisis global yang terjadi di Amerika serikat. Disaat terjadi krisis global membuat pasar properti global memburuk. Memburuknya pasar global tersebut
berpengaruh negatif di pasar modal dalam negeri. Memburuknya kondisi ekonomi global membuat prilaku investor cenderung ingin menghindari resiko sehingga
investasi dalam bentuk portofolio mengalami penurunan termasuk saham-saham
8 sektor properti. Setelah tahun 2009 saham properti cenderung mengalami
peningkatan, hal ini terlihat dengan total perdagangan pada tahun 2010 mencapai 2.110.775 milyar dan pada tahun 2011 saham properti juga mengalami
peningkatan menjadi 2.492.910 milyar. Peningkatan tersebut tak terlepas dari makin membaiknya perekonomian di Indonesia.
Nilai tukar rupiah mulai kembali pada tren menguat sejak triwulan II 2009 ditopang perbaikan persepsi risiko terhadap emerging market dan kondisi
fundamental domestik yang tetap terjaga. Optimisme akan pemulihan ekonomi global yang disertai dengan terjaganya kondisi fundamental domestik mendorong
terus naiknya pasokan valas dari investor asing di pasar keuangan domestik. Selain itu, neraca transaksi berjalan yang tetap surplus semakin mendukung tren
penguatan rupiah. Berbagai perkembangan tersebut mengakibatkan rupiah ditutup pada level Rp9.425 pada akhir tahun 2009 atau terapresiasi 18,4 dibandingkan
dengan akhir Maret 2009. Selama tahun 2010, nilai tukar rupiah menguat cukup signifikan terutama
disebabkan oleh derasnya aliran masuk modal asing. Pergerakan nilai tukar rupiah juga ditopang oleh keseimbangan interaksi permintaan dan penawaran valuta asing
di pasar domestik serta fundamental perekonomian domestik yang kuat. Nilai tukar rupiah mulai mengalami apresiasi sejak awal tahun dan mencapai level Rp
9.163 per dolar AS atau menguat secara rata-rata sebesar 3,8 dibandingkan dengan akhir tahun 2009. Secara point-to-point rupiah terapresiasi sebesar 4,4
Bank Indonesia, 2010.
9 Tahun 1983 dapat dipandang sebagai salah satu langkah awal modernisasi
bidang moneter di Indonesia dengan dilepaskannya sistem pengendalian secara langsung dalam mengendalikan jumlah uang beredar seperti penetapan suku bunga
simpanan, kredit perbankan dan lain-lain. Sebagai otoritas moneter, Bank Indonesia kemudian menerapkan sistem pengendalian moneter atau jumlah uang
beredar secara tidak langsung, Seperti mengeluarkan Sertifikat Bank Indonesia SBI dan surat berharga pasar uang Aulia Pohan,2008:96. Peningkatan suku
bunga membuat investor lebih berminat kepada Sertifikat Bank Indonesai SBI sehingga membuat permintaan saham menurun. Menurunnya permintaan tersebut
akan membuat harga saham menurun. Sebaliknya disaat Suku Bunga SBI diturunkan maka investor lebih berminat menanamkan dana mereka ke surat
berharga penyertaan saham sehingga permintaan akan saham tertentu akan meningkat sehingga meningkatkan harga saham tersebut. Hal ini terlihat pada
tahun 2010 dan 2011 dimana suku bunga SBI berada dititik terendah dalam lima tahun namun harga saham properti mengalami kenaikan yang signifikan pada
tahun tersebut, kenaikan saham properti dan rendahnya suku bunga SBI menggambarkan antara harga saham properti dan suku bunga SBI memiliki
hubungan yang negatif. Berdasarkan data dan penjelasan diatas maka peneliti melihat bahwa ternyata
ada 3 faktor yang setidaknya yang mempengaruhi nilai harga saham khususnya sektor properti yaitu nilai tukar, suku bunga SBI, dan Jumlah Uang Beredar JUB.
Ketiga faktor tersebut secara teoritis dan didukung oleh penelitian sebelumnya
10 sangat berkaitan dengan nilai harga saham pasar modal. Maka penulis melakukan
penelitian ini mengenai “Analisis pengaruh nilai tukar, suku bunga SBI dan Jumlah Uang Beredar JUB terhadap nilai harga saham sektor properti di Bursa
Efek Indonesia Periode 2006- 2011”.