Analisis brand equity beberapa merek wafer pada remaja tingkat sekolah menengah atas (Kasus : Siswa di beberapa SMA Negeri Kota Bogor)
Oleh :
HARRITZ DERMAWAN A14104108
PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS
DEPARTEMEN ILMU-ILMU SOSIAL EKONOMI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
(2)
I PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia. Pemenuhan pangan untuk energi menjadi kebutuhan yang utama selain sandang dan papan. Pangan sebagai sumber energi berguna untuk menjalankan aktivitas keseharian. Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas keseharian, maka kebutuhan akan energi semakin meningkat pula. Hal ini dapat dilihat dari pengeluaran untuk makanan yang semakin meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2006, pengeluaran rumah tangga per kapita untuk makanan jauh lebih besar daripada bukan makanan. Pengeluaran rumah tangga untuk makanan sebesar 53,01 persen sedangkan untuk bukan makanan sebesar 46,99 persen. Persentase ini lebih tinggi daripada tahun sebelumnya yang sebesar 51,37 persen untuk makanan dan 48,63 persen untuk bukan makanan1
Pangan dapat diperoleh bukan hanya dari makanan jadi namun juga dari makanan olahan. Namun seiring dengan perubahan gaya hidup dan aktivitas yang meningkat menyebabkan pola makan masyarakat berubah menjadi lebih praktis. Pangan olahan menjadi alternatif dalam pemilihan makanan karena kepraktisannya dalam mengkonsumsi. Kondisi ini didukung oleh semakin tingginya pertumbuhan industri pengolahan makanan di Indonesia pada tahun 2007. Pertumbuhan industri makanan bersama minuman serta tembakau merupakan kedua terbesar setelah industri kertas dan barang cetakan lainnya. Pertumbuhan tersebut diikuti sektor lainnya seperti industri alat angkut, mesin dan
1Percentage of Monthly Average per Capita Expenditure by Commodity Group Indonesia, 1999-2006. www.bps.go.id/sector/consumpexp/tables.19 Maret 2008
(3)
peralatannya; industri pupuk, kimia dan barang dari karet; industri semen dan barang galian bukan logam; dan industri lainnya. Laju pertumbuhan industri pengolahan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Laju Pertumbuhan Industri Pengolahan Tahun 2005-2007 Lapangan Usaha Pertumbuhan (persen)
2005 2006 2007 (sem I)
INDUSTRI PENGOLAHAN 4.57 4.63 5.43
a. Industri Migas -5.94 -1.22 0.77
1. Pengilangan Minyak Bumi -5.00 -0.97 -0.41 2. Gas Alam Cair -6.66 -1.41 1.70
b. Industri Non Migas 5.86 5.27 5.92
1. Makanan, Minuman dan Tembakau 2.75 7.22 8.16 2. Tekstil, Brg.kulit, & Alas kaki 1.31 1.23 -1.53 3. Brg.Kayu & Hasil Hutan Lainnya -0.92 -0.66 -2.01 4. Kertas dan Barang Cetakan 2.39 2.09 10.78 5. Pupuk, Kimia & Barang dari Karet 8.77 4.48 6.96 6. Semen & Brg.Galian bukan logam 3.81 0.53 5.60 7. Logam Dasar Besi & Baja -3.70 4.73 1.08 8. Alat angk., mesin & peralatannya 12.38 7.55 7.16
9. Barang lainnya 2.61 3.62 -0.04
PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDB) 5.68 5.48 6.13
PDB TANPA MIGAS 6.57 6.09 6.71
Sumber : BPS diolah Pusat Data dan Informasi Departemen Perindustrian (Pusdatin Depperin) 2007
Berdasarkan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), industri makanan, minuman dan tembakau menempati urutan pertama yang mencapai 29,33 persen dari total PDB sektor industri pengolahan non migas. Sedangkan industri alat angkut, mesin dan peralatannya menempati urutan kedua dengan kontribusi sebesar 28,99 persen. Kemudian disusul industri pupuk, kimia dan barang dari karet 12,65 persen dan industri tekstil, barang kulit dan alas kaki 11,02 persen. Sedangkan sektor industri lainnya memberikan kontribusi kurang dari 10 persen terhadap industri pengolahan non migas (Departemen Perindustrian, 2007).
(4)
Salah satu bisnis makanan olahan yang mempunyai potensi untuk terus berkembang adalah industri biskuit. Pasar biskuit adalah salah satu pasar yang memiliki daya tarik besar. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor. Pertama, pasarnya yang besar yaitu dengan jumlah penduduk sebesar 230 juta jiwa dan tingkat penerimaan masyarakat terhadap biskuit yang hampir 100 persen baik di perkotaan maupun pedesaan, tidak mengherankan kalau nilai pasarnya bisa mencapai lebih dari Rp 5 triliun. Kedua, pasar ini juga bertumbuh terus dengan tingkat pertumbuhan sekitar 10 persen. Ini bisa terjadi oleh karena biskuit sudah menjadi snack yang populer, sebagai pengganti nasi saat lapar dan sekaligus juga sebagai makanan saat berkumpul maupun saat melakukan aktivitas di luar rumah. Selain itu kebiasaan masyarakat Indonesia untuk memberikan hadiah dalam bentuk biskuit saat merayakan Hari Raya atau saat mengunjungi teman/sanak keluarga yang sakit, menjadikan pasar biskuit berkembang. Daya tarik ketiga dari pasar ini adalah sumber diferensiasinya yang besar, yaitu tingkat inovasi dari produk ini sangat terbuka. Produsen dapat melakukan diferensiasi dengan meluncurkan produk baru dengan rasa baru, tekstur baru maupun dengan kemasan baru sehingga tidak mengherankan bila setiap tahun, puluhan atau ratusan jenis biskuit baru diluncurkan di pasar.2
Data Departemen Perdagangan menunjukkan total nilai produksi biskuit di Indonesia mengalami peningkatan pada periode 2001-2005. Tahun 2001 nilai produksi biskuit adalah sebesar 156.351 ton dan meningkat menjadi 231.685 ton pada tahun 2005 atau naik sebesar 48,18 persen. Peningkatan yang signifikan juga
(5)
terjadi pada tahun 2005 sebesar 27,45 persen dari tahun sebelumnya. Perkembangan produksi biskuit dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Perkembangan Produksi Biskuit di Indonesia Tahun 2001-2005 Tahun Produksi
(ton)
Kenaikan ( %)
2001 156.351 - 2002 165.753 6,01 2003 178.650 7,78 2004 181.785 1,75 2005 231.685 27,45
Sumber : Departemen Perdagangan (Depdag), 2006
Selain untuk memenuhi kebutuhan biskuit pasar domestik, produsen nasional juga telah menembus pasar luar negeri. Secara umum, nilai perdagangan ekspor-impor biskuit nasional pada periode tahun 2001-2005 mengalami surplus perdagangan. Pada tahun 2001 surplus perdagangan sebesar 28,22 juta US dollar. Meski terjadi penurunan pada tahun 2002, yaitu sebesar 17,09 persen, peningkatan kembali terjadi pada tahun berikutnya. Tahun 2003 nilai ekspor impor biskuit nasional mengalami peningkatan yang signifikan yaitu sebesar 92,39 persen. Tahun 2004 peningkatan sebesar 8,49 persen dan tahun tahun 2005 kembali peningkatan yang cukup besar yakni sebesar 38,74 persen.
Tabel 3. Perkembangan Ekspor-Impor Biskuit di Indonesia Tahun 2001-2005
Tahun Ekspor Impor Surplus (US$)
Laju Surplus ( %) Berat (kg) Nilai (US$) Berat (kg) Nilai (US$)
2001 22.853.857 32.263.415 2.873.820 4.046.083 28.217.332 - 2002 23.840.036 27.575.364 2.394.386 4.179.824 23.395.540 -17,09 2003 52.758.550 49.023.218 2.729.338 4.012.275 45.010.943 92,39 2004 45.831.925 57.374.612 6.692.616 8.538.263 48.836.349 8,49 2005 47.596.065 76.691.297 7.850.473 8.936.533 67.754.764 38,74
Sumber : Depdag, 2006
Pasar biskuit sendiri sebenarnya terdiri dari berbagai sub-kategori seperti wafer, crackers, cookies, biskuit keras dan lain-lain. Wafer termasuk salah satu jenis biskuit yang memiliki pasar yang besar atau sekitar 25 persen dari total pasar
(6)
biskuit. Menurut sumber Majalah SWA, total pasar bisnis wafer di Indonesia diperkirakan mencapai Rp 1,5-2 triliun.
Sementara itu, seiring dengan kebutuhan masyarakat akan pangan yang semakin tinggi banyak produsen yang muncul menawarkan produk-produknya. Produk yang ditawarkan tidak lagi sangat umum yaitu satu produk bisa untuk semua orang, namun juga sangat bervariasi. Seperti halnya pada produk susu, ditemukan dengan berbagai variasi tambahan vitamin dan mineral. Susu juga bukan hanya untuk anak-anak tapi juga tersedia susu untuk ibu hamil dan susu untuk lanjut usia. Selain itu juga ditemukan susu dengan tambahan berbagai aroma. Begitu juga halnya pada produk-produk makanan olahan lainnya.
Laporan United State Department of Agriculture (USDA) menyebutkan pascakrisis ekonomi di Indonesia industri makanan olahan mendapat kenyataan adanya perubahan profil konsumen. Mereka adalah masyarakat yang menginginkan kepuasan yang lebih, kritis, dan berpendidikan. Konsumen ini mulai mengenal produk-produk fortifikasi, seperti susu, biskuit, es krim yang ditambahi vitamin dan mineral. Perubahan keinginan konsumen itu bukan hanya karena bertambahnya pengetahuan sebagian konsumen setelah mereka hidup, bersekolah, dan bekerja di luar negeri. Mereka memiliki pengetahuan yang baru berkat media yang diakui berperan penting dalam "mengedukasi" konsumen. Akibatnya saat ini banyak dilakukan riset-riset yang mengarah pada inovasi produk dengan segmentasi dan target konsumen yang sangat tajam seperti segmentasi berdasar umur dan juga targetted product. 3
3 Maryoto, Andreas. Industri Makanan dan Profil Konsumen Setelah Krisis Ekonomi. www.kompas.co.id. 25 Februari 2008.
(7)
Salah satu segmentasi yang banyak diburu produsen saat ini adalah konsumen remaja. Bagi produsen, kelompok usia remaja adalah salah satu pasar yang potensial. Alasannya antara lain karena pola konsumsi seseorang terbentuk pada usia remaja dan pola tersebut akan mempengaruhi pola konsumsinya di masa mendatang. Di samping itu, remaja biasanya mudah terbujuk rayuan iklan, suka ikut-ikutan teman, tidak realistis, dan cenderung boros dalam menggunakan uangnya. Sifat-sifat remaja inilah yang dimanfaatkan oleh sebagian produsen untuk memasuki pasar remaja.
Jumlah populasi kalangan remaja menurut data Statistik Indonesia 2005 sebesar 40,41 juta jiwa dan diproyeksikan akan meningkat sebesar 1,08 persen pada tahun 2009. Jumlah ini merupakan sasaran dari pemasaran berbagai barang dan jasa, tidak terkecuali industri makanan olahan seperti wafer.
Wafer merupakan produk makanan ringan kategori biskuit. Wafer biasanya dikonsumsi di waktu senggang, ketika beristirahat, maupun disaat diskusi ataupun rapat. Wafer cocok dikonsumsi pada segala usia mulai dari anak-anak, dewasa hingga orangtua. Namun, saat ini wafer tersedia berbagai macam jenis sesuai segmen umur mulai untuk anak-anak, remaja hingga dewasa. Hal itulah yang dilakukan produsen wafer seperti Grup Orang Tua dan Garudafood. Grup Orang Tua merupakan pemain lama yang mendominasi di bisnis wafer dengan produk andalannnya Tango, sedangkan Garudafood merupakan produsen pendatang baru dengan produknya Gery. Produsen lain yang cukup besar berkecimpung di bisnis ini adalah Nabisco, Mayora dan Nissin. Beberapa produsen besar biskuit dan turunannya dapat dilihat pada Tabel 4.
(8)
Tabel 4. Beberapa Produsen Biskuit dan Turunannya
Produsen Produksi Alamat
PT. Garudafood
Putra-Putri Indonesia biskuit, wafer Gresik, Jawa Timur PT. Ultra Prima Abadi wafer, crackers Karawang, Jawa Barat PT. Arnott’s Indonesia biskuit, cookies Bekasi, Jakarta
PT. Interbis Sejahtera
Food Industry biskuit, wafer Palembang, Sumsel PT. Khong Guan Biskuit
Factory biskuit, wafer Jakarta Timur PT. Mayora Indah biskuit, wafer Tangerang, Banten PT. Nabisco Foods biskuit, wafer Bekasi, Jakarta
PT.Nissin Biskuit
Indonesia biskuit, wafer Semarang, Jawa Tengah PT. Kaldu Sari Nabati
Indonesia wafer Bandung, Jawa barat
Sumber : BPS, 2007.
Berbagai produsen biskuit dan wafer tersebut tentunya akan meramaikan pasar biskuit dan akan meningkatkan persaingan antara satu dengan yang lainnya. Untuk memenangi persaingan salah satunya adalah dengan meningkatkan ekuitas merek. Produsen yang memiliki ekuitas merek terkuat akan menambah nilai bagi produsen itu sendiri dan juga konsumennya.
1.2. Perumusan masalah
Wafer Tango sudah cukup lama beredar di masyarakat yakni mulai tahun 1993. Dari awal perjalanannya, PT Ultra Prima Abadi (UPA) selaku produsen Tango memang mensegmen produk ini pada kalangan muda hingga orang dewasa. Produsen ini sudah banyak menerapkan strategi pemasaran seperti menciptakan produk dengan banyak varian rasa yaitu strawberry, coklat, vanilla, kurma madu dan tiramisu. Selain itu, sebagai differensiasi Tango dikemas dalam kemasan mini dan dapat sekali gigit. Dalam pendistribusiannya, Tango didukung jaringan distribusi PT Artha Boga Cemerlang (anak perusahaan dari Grup Orang
(9)
Tua) sehingga mampu memenetrasi pasar dengan sangat mendalam dan dalam waktu singkat produk Tango sudah menyebar di seluruh penjuru Tanah Air. Tango juga menjadikan berbagai event remaja sebagai sponsor utama seperti event Indonesian Idol. Strategi ini menyebabkan Tango meraih 75 persen pangsa pasar wafer di Indonesia dan berproduksi pada kapasitas penuh yakni 1.500 ton/bulan.4
Namun pada tahun 2001, dominasi Tango mulai terganggu. Produsen baru yaitu Garudafood dengan produk andalannya Gery mengancam posisi Tango di pasar. Gery memang di segmen untuk kalangan anak-anak dan remaja. Segmen yang diambil oleh Gery ini tentunya akan menghadapi persaingan yang kuat dari Tango yang juga mengincar segmen remaja hingga dewasa. Namun produsen Gery telah menerapkan strategi yang yang tepat yaitu menawarkan produk lebih murah dan mengemas wafer dengan ukuran yang sama dengan Tango. Terbukti pada tahun pertama setelah produk dikeluarkan (2001-2002), angka pertumbuhannya mencapai 179 persen; tahun 2003, tumbuh 300 persen; tahun 2004, tumbuh 60 persen; tahun 2005, tumbuh 60 persen; dan tahun 2006, tumbuh 50 persen.5 Tahun 2007, Gery mendapat penghargaan Indonesian Best Brand Award (IBBA) dengan predikat Golden Brand pada kategori wafer coating coklat.
Garudafood juga telah mengeluarkan biaya cukup besar pada komunikasi pemasaran untuk mempromosikan produknya di berbagai media. Berdasarkan pantauan Nielsen Media Reseach, selama Januari 2006-Juni 2007, Garudafood sudah mengeluarkan tidak kurang dari Rp 116,18 miliar untuk komunikasi
4 Hidayat, Taufik dan Dyah H. Palupi. Gery vs Tango berebut pasar wafer Rp 2 Triliun. www.swa.co.id/swamajalah/sajian/details.7 Februari 2008.
5 Hidayat, Taufik dan Dyah H. Palupi. Gery vs Tango berebut pasar wafer Rp 2 Triliun. www.swa.co.id/swamajalah/sajian/details.7 Februari 2008.
(10)
pemasaran tersebut. Angka tersebut sedikit lebih besar dibandingkan jumlah yang dikeluarkan Grup Orang Tua khusus untuk Tango, yaitu Rp 112,77 miliar.
Langkah yang dilakukan Gery tersebut tentunya akan mengancam keberadaan wafer Tango di pasaran khususnya pada konsumen remaja yaitu penurunan penjualan. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara oleh sumber Majalah Swa terhadap beberapa supermarket, grosiran hingga warung-warung di Jakarta yang menjual merek Tango dan Gery, menyatakan bahwa beberapa tahun lalu Tango memang mendominasi penjualan wafer di tokonya. Namun sejak Gery hadir, penjualan Tango berkurang drastis. Adanya fenomena tersebut menurut informasi yang diperoleh baik dari konsumen maupun penjual, disebabkan oleh karena harga Gery yang lebih murah dan sering mengadakan program promosi yang diadakan di toko.
Selain itu keberadaan pemain lain yaitu Nabisco dan Nabati juga tidak dapat diabaikan. Produsen-produsen tersebut kini juga mengikuti jejak Grup Orang Tua dan Garudafood dengan mengincar segmen yang lebih sempit. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh peneliti di kantin-kantin sekolah, warung dan swalayan di kota Bogor, terdapat merek Richeese dan Oreo Wafer yang memang sengaja disegmen untuk remaja. Produk Richeese dan Oreo wafer dikemas dalam kemasan kecil dengan harga yang terjangkau bagi remaja.
Dengan banyaknya produsen tersebut tentunya akan meramaikan pasar biskuit khususnya wafer, sehingga alternatif konsumen remaja akan wafer juga banyak. Disini pilihan konsumen sangat tergantung pada merek. Merek merupakan salah satu kekuatan perusahaan terbesar sekaligus aset perusahaan yang sangat tinggi nilainya. Sebagai aset yang tidak kasat mata (Intangible Asset),
(11)
Oleh :
HARRITZ DERMAWAN A14104108
PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS
DEPARTEMEN ILMU-ILMU SOSIAL EKONOMI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
(12)
I PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia. Pemenuhan pangan untuk energi menjadi kebutuhan yang utama selain sandang dan papan. Pangan sebagai sumber energi berguna untuk menjalankan aktivitas keseharian. Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas keseharian, maka kebutuhan akan energi semakin meningkat pula. Hal ini dapat dilihat dari pengeluaran untuk makanan yang semakin meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2006, pengeluaran rumah tangga per kapita untuk makanan jauh lebih besar daripada bukan makanan. Pengeluaran rumah tangga untuk makanan sebesar 53,01 persen sedangkan untuk bukan makanan sebesar 46,99 persen. Persentase ini lebih tinggi daripada tahun sebelumnya yang sebesar 51,37 persen untuk makanan dan 48,63 persen untuk bukan makanan1
Pangan dapat diperoleh bukan hanya dari makanan jadi namun juga dari makanan olahan. Namun seiring dengan perubahan gaya hidup dan aktivitas yang meningkat menyebabkan pola makan masyarakat berubah menjadi lebih praktis. Pangan olahan menjadi alternatif dalam pemilihan makanan karena kepraktisannya dalam mengkonsumsi. Kondisi ini didukung oleh semakin tingginya pertumbuhan industri pengolahan makanan di Indonesia pada tahun 2007. Pertumbuhan industri makanan bersama minuman serta tembakau merupakan kedua terbesar setelah industri kertas dan barang cetakan lainnya. Pertumbuhan tersebut diikuti sektor lainnya seperti industri alat angkut, mesin dan
1Percentage of Monthly Average per Capita Expenditure by Commodity Group Indonesia, 1999-2006. www.bps.go.id/sector/consumpexp/tables.19 Maret 2008
(13)
peralatannya; industri pupuk, kimia dan barang dari karet; industri semen dan barang galian bukan logam; dan industri lainnya. Laju pertumbuhan industri pengolahan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Laju Pertumbuhan Industri Pengolahan Tahun 2005-2007 Lapangan Usaha Pertumbuhan (persen)
2005 2006 2007 (sem I)
INDUSTRI PENGOLAHAN 4.57 4.63 5.43
a. Industri Migas -5.94 -1.22 0.77
1. Pengilangan Minyak Bumi -5.00 -0.97 -0.41 2. Gas Alam Cair -6.66 -1.41 1.70
b. Industri Non Migas 5.86 5.27 5.92
1. Makanan, Minuman dan Tembakau 2.75 7.22 8.16 2. Tekstil, Brg.kulit, & Alas kaki 1.31 1.23 -1.53 3. Brg.Kayu & Hasil Hutan Lainnya -0.92 -0.66 -2.01 4. Kertas dan Barang Cetakan 2.39 2.09 10.78 5. Pupuk, Kimia & Barang dari Karet 8.77 4.48 6.96 6. Semen & Brg.Galian bukan logam 3.81 0.53 5.60 7. Logam Dasar Besi & Baja -3.70 4.73 1.08 8. Alat angk., mesin & peralatannya 12.38 7.55 7.16
9. Barang lainnya 2.61 3.62 -0.04
PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDB) 5.68 5.48 6.13
PDB TANPA MIGAS 6.57 6.09 6.71
Sumber : BPS diolah Pusat Data dan Informasi Departemen Perindustrian (Pusdatin Depperin) 2007
Berdasarkan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), industri makanan, minuman dan tembakau menempati urutan pertama yang mencapai 29,33 persen dari total PDB sektor industri pengolahan non migas. Sedangkan industri alat angkut, mesin dan peralatannya menempati urutan kedua dengan kontribusi sebesar 28,99 persen. Kemudian disusul industri pupuk, kimia dan barang dari karet 12,65 persen dan industri tekstil, barang kulit dan alas kaki 11,02 persen. Sedangkan sektor industri lainnya memberikan kontribusi kurang dari 10 persen terhadap industri pengolahan non migas (Departemen Perindustrian, 2007).
(14)
Salah satu bisnis makanan olahan yang mempunyai potensi untuk terus berkembang adalah industri biskuit. Pasar biskuit adalah salah satu pasar yang memiliki daya tarik besar. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor. Pertama, pasarnya yang besar yaitu dengan jumlah penduduk sebesar 230 juta jiwa dan tingkat penerimaan masyarakat terhadap biskuit yang hampir 100 persen baik di perkotaan maupun pedesaan, tidak mengherankan kalau nilai pasarnya bisa mencapai lebih dari Rp 5 triliun. Kedua, pasar ini juga bertumbuh terus dengan tingkat pertumbuhan sekitar 10 persen. Ini bisa terjadi oleh karena biskuit sudah menjadi snack yang populer, sebagai pengganti nasi saat lapar dan sekaligus juga sebagai makanan saat berkumpul maupun saat melakukan aktivitas di luar rumah. Selain itu kebiasaan masyarakat Indonesia untuk memberikan hadiah dalam bentuk biskuit saat merayakan Hari Raya atau saat mengunjungi teman/sanak keluarga yang sakit, menjadikan pasar biskuit berkembang. Daya tarik ketiga dari pasar ini adalah sumber diferensiasinya yang besar, yaitu tingkat inovasi dari produk ini sangat terbuka. Produsen dapat melakukan diferensiasi dengan meluncurkan produk baru dengan rasa baru, tekstur baru maupun dengan kemasan baru sehingga tidak mengherankan bila setiap tahun, puluhan atau ratusan jenis biskuit baru diluncurkan di pasar.2
Data Departemen Perdagangan menunjukkan total nilai produksi biskuit di Indonesia mengalami peningkatan pada periode 2001-2005. Tahun 2001 nilai produksi biskuit adalah sebesar 156.351 ton dan meningkat menjadi 231.685 ton pada tahun 2005 atau naik sebesar 48,18 persen. Peningkatan yang signifikan juga
(15)
terjadi pada tahun 2005 sebesar 27,45 persen dari tahun sebelumnya. Perkembangan produksi biskuit dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Perkembangan Produksi Biskuit di Indonesia Tahun 2001-2005 Tahun Produksi
(ton)
Kenaikan ( %)
2001 156.351 - 2002 165.753 6,01 2003 178.650 7,78 2004 181.785 1,75 2005 231.685 27,45
Sumber : Departemen Perdagangan (Depdag), 2006
Selain untuk memenuhi kebutuhan biskuit pasar domestik, produsen nasional juga telah menembus pasar luar negeri. Secara umum, nilai perdagangan ekspor-impor biskuit nasional pada periode tahun 2001-2005 mengalami surplus perdagangan. Pada tahun 2001 surplus perdagangan sebesar 28,22 juta US dollar. Meski terjadi penurunan pada tahun 2002, yaitu sebesar 17,09 persen, peningkatan kembali terjadi pada tahun berikutnya. Tahun 2003 nilai ekspor impor biskuit nasional mengalami peningkatan yang signifikan yaitu sebesar 92,39 persen. Tahun 2004 peningkatan sebesar 8,49 persen dan tahun tahun 2005 kembali peningkatan yang cukup besar yakni sebesar 38,74 persen.
Tabel 3. Perkembangan Ekspor-Impor Biskuit di Indonesia Tahun 2001-2005
Tahun Ekspor Impor Surplus (US$)
Laju Surplus ( %) Berat (kg) Nilai (US$) Berat (kg) Nilai (US$)
2001 22.853.857 32.263.415 2.873.820 4.046.083 28.217.332 - 2002 23.840.036 27.575.364 2.394.386 4.179.824 23.395.540 -17,09 2003 52.758.550 49.023.218 2.729.338 4.012.275 45.010.943 92,39 2004 45.831.925 57.374.612 6.692.616 8.538.263 48.836.349 8,49 2005 47.596.065 76.691.297 7.850.473 8.936.533 67.754.764 38,74
Sumber : Depdag, 2006
Pasar biskuit sendiri sebenarnya terdiri dari berbagai sub-kategori seperti wafer, crackers, cookies, biskuit keras dan lain-lain. Wafer termasuk salah satu jenis biskuit yang memiliki pasar yang besar atau sekitar 25 persen dari total pasar
(16)
biskuit. Menurut sumber Majalah SWA, total pasar bisnis wafer di Indonesia diperkirakan mencapai Rp 1,5-2 triliun.
Sementara itu, seiring dengan kebutuhan masyarakat akan pangan yang semakin tinggi banyak produsen yang muncul menawarkan produk-produknya. Produk yang ditawarkan tidak lagi sangat umum yaitu satu produk bisa untuk semua orang, namun juga sangat bervariasi. Seperti halnya pada produk susu, ditemukan dengan berbagai variasi tambahan vitamin dan mineral. Susu juga bukan hanya untuk anak-anak tapi juga tersedia susu untuk ibu hamil dan susu untuk lanjut usia. Selain itu juga ditemukan susu dengan tambahan berbagai aroma. Begitu juga halnya pada produk-produk makanan olahan lainnya.
Laporan United State Department of Agriculture (USDA) menyebutkan pascakrisis ekonomi di Indonesia industri makanan olahan mendapat kenyataan adanya perubahan profil konsumen. Mereka adalah masyarakat yang menginginkan kepuasan yang lebih, kritis, dan berpendidikan. Konsumen ini mulai mengenal produk-produk fortifikasi, seperti susu, biskuit, es krim yang ditambahi vitamin dan mineral. Perubahan keinginan konsumen itu bukan hanya karena bertambahnya pengetahuan sebagian konsumen setelah mereka hidup, bersekolah, dan bekerja di luar negeri. Mereka memiliki pengetahuan yang baru berkat media yang diakui berperan penting dalam "mengedukasi" konsumen. Akibatnya saat ini banyak dilakukan riset-riset yang mengarah pada inovasi produk dengan segmentasi dan target konsumen yang sangat tajam seperti segmentasi berdasar umur dan juga targetted product. 3
3 Maryoto, Andreas. Industri Makanan dan Profil Konsumen Setelah Krisis Ekonomi. www.kompas.co.id. 25 Februari 2008.
(17)
Salah satu segmentasi yang banyak diburu produsen saat ini adalah konsumen remaja. Bagi produsen, kelompok usia remaja adalah salah satu pasar yang potensial. Alasannya antara lain karena pola konsumsi seseorang terbentuk pada usia remaja dan pola tersebut akan mempengaruhi pola konsumsinya di masa mendatang. Di samping itu, remaja biasanya mudah terbujuk rayuan iklan, suka ikut-ikutan teman, tidak realistis, dan cenderung boros dalam menggunakan uangnya. Sifat-sifat remaja inilah yang dimanfaatkan oleh sebagian produsen untuk memasuki pasar remaja.
Jumlah populasi kalangan remaja menurut data Statistik Indonesia 2005 sebesar 40,41 juta jiwa dan diproyeksikan akan meningkat sebesar 1,08 persen pada tahun 2009. Jumlah ini merupakan sasaran dari pemasaran berbagai barang dan jasa, tidak terkecuali industri makanan olahan seperti wafer.
Wafer merupakan produk makanan ringan kategori biskuit. Wafer biasanya dikonsumsi di waktu senggang, ketika beristirahat, maupun disaat diskusi ataupun rapat. Wafer cocok dikonsumsi pada segala usia mulai dari anak-anak, dewasa hingga orangtua. Namun, saat ini wafer tersedia berbagai macam jenis sesuai segmen umur mulai untuk anak-anak, remaja hingga dewasa. Hal itulah yang dilakukan produsen wafer seperti Grup Orang Tua dan Garudafood. Grup Orang Tua merupakan pemain lama yang mendominasi di bisnis wafer dengan produk andalannnya Tango, sedangkan Garudafood merupakan produsen pendatang baru dengan produknya Gery. Produsen lain yang cukup besar berkecimpung di bisnis ini adalah Nabisco, Mayora dan Nissin. Beberapa produsen besar biskuit dan turunannya dapat dilihat pada Tabel 4.
(18)
Tabel 4. Beberapa Produsen Biskuit dan Turunannya
Produsen Produksi Alamat
PT. Garudafood
Putra-Putri Indonesia biskuit, wafer Gresik, Jawa Timur PT. Ultra Prima Abadi wafer, crackers Karawang, Jawa Barat PT. Arnott’s Indonesia biskuit, cookies Bekasi, Jakarta
PT. Interbis Sejahtera
Food Industry biskuit, wafer Palembang, Sumsel PT. Khong Guan Biskuit
Factory biskuit, wafer Jakarta Timur PT. Mayora Indah biskuit, wafer Tangerang, Banten PT. Nabisco Foods biskuit, wafer Bekasi, Jakarta
PT.Nissin Biskuit
Indonesia biskuit, wafer Semarang, Jawa Tengah PT. Kaldu Sari Nabati
Indonesia wafer Bandung, Jawa barat
Sumber : BPS, 2007.
Berbagai produsen biskuit dan wafer tersebut tentunya akan meramaikan pasar biskuit dan akan meningkatkan persaingan antara satu dengan yang lainnya. Untuk memenangi persaingan salah satunya adalah dengan meningkatkan ekuitas merek. Produsen yang memiliki ekuitas merek terkuat akan menambah nilai bagi produsen itu sendiri dan juga konsumennya.
1.2. Perumusan masalah
Wafer Tango sudah cukup lama beredar di masyarakat yakni mulai tahun 1993. Dari awal perjalanannya, PT Ultra Prima Abadi (UPA) selaku produsen Tango memang mensegmen produk ini pada kalangan muda hingga orang dewasa. Produsen ini sudah banyak menerapkan strategi pemasaran seperti menciptakan produk dengan banyak varian rasa yaitu strawberry, coklat, vanilla, kurma madu dan tiramisu. Selain itu, sebagai differensiasi Tango dikemas dalam kemasan mini dan dapat sekali gigit. Dalam pendistribusiannya, Tango didukung jaringan distribusi PT Artha Boga Cemerlang (anak perusahaan dari Grup Orang
(19)
Tua) sehingga mampu memenetrasi pasar dengan sangat mendalam dan dalam waktu singkat produk Tango sudah menyebar di seluruh penjuru Tanah Air. Tango juga menjadikan berbagai event remaja sebagai sponsor utama seperti event Indonesian Idol. Strategi ini menyebabkan Tango meraih 75 persen pangsa pasar wafer di Indonesia dan berproduksi pada kapasitas penuh yakni 1.500 ton/bulan.4
Namun pada tahun 2001, dominasi Tango mulai terganggu. Produsen baru yaitu Garudafood dengan produk andalannya Gery mengancam posisi Tango di pasar. Gery memang di segmen untuk kalangan anak-anak dan remaja. Segmen yang diambil oleh Gery ini tentunya akan menghadapi persaingan yang kuat dari Tango yang juga mengincar segmen remaja hingga dewasa. Namun produsen Gery telah menerapkan strategi yang yang tepat yaitu menawarkan produk lebih murah dan mengemas wafer dengan ukuran yang sama dengan Tango. Terbukti pada tahun pertama setelah produk dikeluarkan (2001-2002), angka pertumbuhannya mencapai 179 persen; tahun 2003, tumbuh 300 persen; tahun 2004, tumbuh 60 persen; tahun 2005, tumbuh 60 persen; dan tahun 2006, tumbuh 50 persen.5 Tahun 2007, Gery mendapat penghargaan Indonesian Best Brand Award (IBBA) dengan predikat Golden Brand pada kategori wafer coating coklat.
Garudafood juga telah mengeluarkan biaya cukup besar pada komunikasi pemasaran untuk mempromosikan produknya di berbagai media. Berdasarkan pantauan Nielsen Media Reseach, selama Januari 2006-Juni 2007, Garudafood sudah mengeluarkan tidak kurang dari Rp 116,18 miliar untuk komunikasi
4 Hidayat, Taufik dan Dyah H. Palupi. Gery vs Tango berebut pasar wafer Rp 2 Triliun. www.swa.co.id/swamajalah/sajian/details.7 Februari 2008.
5 Hidayat, Taufik dan Dyah H. Palupi. Gery vs Tango berebut pasar wafer Rp 2 Triliun. www.swa.co.id/swamajalah/sajian/details.7 Februari 2008.
(20)
pemasaran tersebut. Angka tersebut sedikit lebih besar dibandingkan jumlah yang dikeluarkan Grup Orang Tua khusus untuk Tango, yaitu Rp 112,77 miliar.
Langkah yang dilakukan Gery tersebut tentunya akan mengancam keberadaan wafer Tango di pasaran khususnya pada konsumen remaja yaitu penurunan penjualan. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara oleh sumber Majalah Swa terhadap beberapa supermarket, grosiran hingga warung-warung di Jakarta yang menjual merek Tango dan Gery, menyatakan bahwa beberapa tahun lalu Tango memang mendominasi penjualan wafer di tokonya. Namun sejak Gery hadir, penjualan Tango berkurang drastis. Adanya fenomena tersebut menurut informasi yang diperoleh baik dari konsumen maupun penjual, disebabkan oleh karena harga Gery yang lebih murah dan sering mengadakan program promosi yang diadakan di toko.
Selain itu keberadaan pemain lain yaitu Nabisco dan Nabati juga tidak dapat diabaikan. Produsen-produsen tersebut kini juga mengikuti jejak Grup Orang Tua dan Garudafood dengan mengincar segmen yang lebih sempit. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh peneliti di kantin-kantin sekolah, warung dan swalayan di kota Bogor, terdapat merek Richeese dan Oreo Wafer yang memang sengaja disegmen untuk remaja. Produk Richeese dan Oreo wafer dikemas dalam kemasan kecil dengan harga yang terjangkau bagi remaja.
Dengan banyaknya produsen tersebut tentunya akan meramaikan pasar biskuit khususnya wafer, sehingga alternatif konsumen remaja akan wafer juga banyak. Disini pilihan konsumen sangat tergantung pada merek. Merek merupakan salah satu kekuatan perusahaan terbesar sekaligus aset perusahaan yang sangat tinggi nilainya. Sebagai aset yang tidak kasat mata (Intangible Asset),
(21)
keberadaan merek acap kali melebihi aset yang nyata (Tangible Asset). Kenyataan ini yang menjadi tantangan bagi para pelaku bisnis, termasuk yang bergerak di industri Consumer Goods untuk terus meningkatkan awareness merek mereka di benak publik.
Selain sebagai identitas, merek juga mampu menciptakan ekuitas yang tinggi bagi perusahaan, image dan loyalitas jangka panjang. Merek terkuat adalah merek yang selama bertahun-tahun mampu menempatkan diri pada posisi puncak (Top), yakni (1) Top of market share, (2) Top of mind share, dan (3) Top of commitment share. Namun, yang disesali banyak merek hanya kuat selama satu atau dua tahun pada posisi puncak, namun kemudian semakin melemah pada tahun-tahun berikutnya.
Berbagai fenomena di atas mendorong peneliti untuk mendapatkan informasi mengenai brand equity pada berbagai merek wafer pada remaja sehingga dapat diketahui merek mana yang paling kuat di dalam benak konsumen dan elemen-elemen apa yang menyusun ekuitas dari merek tersebut. Dengan adanya informasi tersebut, diharapkan dapat berguna bagi pihak produsen untuk meningkatkan ekuitas merek pada mereknya. Dengan demikian, pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah
1. Bagaimana elemen-elemen ekuitas merek (brand equity) produk wafer beberapa merek pada konsumen remaja?
(22)
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah 1. Menganalisis elemen-elemen ekuitas merek (brand equity) produk wafer
beberapa merek pada konsumen remaja.
2. Mengetahui merek wafer yang mempunyai ekuitas terkuat.
1.4 Kegunaan Penelitian
Penilitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pihak manajemen produsen wafer dalam mempertahankan ekuitas mereknya pada konsumen khususnya konsumen remaja.
1.5 Ruang Lingkup
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis elemen-elemen ekuitas merek dari produk wafer pada remaja. Ruang lingkup yang membatasi penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. wafer yang diteliti adalah wafer flat uncoated dimana pada merek yang diteliti memproduksi wafer tersebut.
2. Merek yang diteliti adalah empat merek yaitu Tango, Gery, Oreo dan Richeese. Pemilihan empat merek tersebut pada penelitian ini didasarkan atas pertimbangan bahwa : 1) merek tersebut merupakan merek yang memiliki segmen kalangan muda yaitu remaja dan 2) Merek Tango dan Gery merupakan merek yang mempunyai rating tertinggi pada kategori biskuit dan aktif melakukan promosi sedangkan merek Oreo dan Richeese merupakan produk wafer baru dan paling banyak dijumpai pada toko, warung dan kantin
(23)
sekolah. Pada merek Gery, Oreo dan Richeese yang banyak memiliki lini produk, wafer yang diteliti adalah merek Gery Wafer Cream, Oreo Wafer dan Richeese Nabati yang memiliki jenis wafer yang sama dengan Tango yaitu wafer flat uncoated sehingga ketiga merek tersebut dapat dibandingkan ekuitasnya antar satu merek dengan merek lainnya.
3. Responden yang dipilih adalah remaja tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Pemilihan responden tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa remaja tingkat SMA merupakan fase awal dan akhir dari pubertas (usia 15-18 tahun) dimana pada usia tersebut remaja lebih mudah terbujuk rayuan iklan, suka ikut-ikutan teman, tidak realistis, dan cenderung konsumtif.
(24)
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Wafer
Wafer merupakan sejenis makanan ringan pada kategori biskuit. Biskuit merupakan makanan olahan yang sudah sangat dikenal luas dalam kehidupan sehari-hari. Definisi biskuit menurut Standar Nasional Indonesia (Departemen Perindustrian, 1992) adalah produk makanan kering yang dibuat dengan cara memanggang adonan yang mengandung bahan dasar terigu, lemak, dan bahan pengembang dengan atau tanpa penambahan bahan makanan dan bahan tambahan makanan lain yang diizinkan. Biskuit diklasifikasikan menjadi empat jenis yaitu sebagai berikut :
1. biskuit keras adalah jenis biskuit manis yang dibuat dari adonan keras, berbentuk pipih, dapat berkadar lemak tinggi atau rendah dan bila dipatahkan penampang potongannya bertekstur padat.
2. crackers adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan keras, melalui proses fermentasi atau pemeraman, berbentuk pipih yang rasanya lebih asin dan relatif renyah, serta bila dipatahkan penampang potongannya berlapis-lapis. 3. cookies adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak, berkadar lemak
tinggi, renyah dan bila dipatahkan penampang potongannya bertekstur kurang padat.
4. wafer adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan cair, berpori-pori kasar, renyah dan bila dipatahkan penampang potongannya berongga-rongga.
Macrae (1992) menyebutkan bahwa wafer adalah biskuit yang sangat tipis dengan ketebalan lebih kecil dari 1 mm dan 4 mm, mempunyai tekstur yang
(25)
lembut dan renyah serta mempunyai permukaan yang halus yang dibentuk secara tepat ukuran dan detail permukaannya. Wafer dibentuk dari adonan yang dipanggang di antara sepasang plat metal yang panas. Wafer hasil pemanggangan berbentuk sheet atau lembaran yang datar dan besar yang kemudian dilapis krim sebelum pemotongan dan mungkin juga dilapisi dengan coklat. Bentuk wafer ini disebut dengan wafer flat. Wafer yang dilapisi dengan coklat disebut wafer coated sedangkan yang tidak dilapisi disebut uncoated.
Ada dua jenis wafer yang biasanya dijual di pasaran, yaitu wafer flat dan wafer stick. Wafer stick mempunyai bentuk bulat yang panjang seperti stick. Meskipun demikian banyak variasi jenis wafer lain yang beredar di pasar seperti bentuk cone untuk es krim, serta wafer yang berbentuk gulungan (rolled) dan lipatan (folded).
Gambar 1. Produk Wafer : (a) wafer flat coated, (b) wafer flat uncoated (c) wafer crispy caramel dan (d) wafer stick
(a) (b)
(26)
2.2 Definisi Remaja
Remaja pada umumnya merujuk kepada golongan manusia yang berumur 12-21 tahun (wikipedia.org). Menurut Rumini dan Sundari (2004), remaja merupakan masa anak-anak menuju dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek/fungsi untuk memasuki masa dewasa. Menurut Mappiare (1982) secara teoritis dan empiris dari segi psikologis rentangan usia remaja dalam usia 12 sampai 21 tahun bagi wanita, dan 13 sampai 22 tahun bagi pria. Secara teoritis beberapa tokoh psikologi mengemukakan tentang batas-batas umur remaja, tetapi dari sekian banyak tokoh yang mengemukakan tidak dapat menjelaskan secara pasti tentang batasan usia remaja karena remaja ini adalah masa peralihan.
Selain itu Hurlock (2001), juga menambahkan definisi masa remaja dengan menggunakan ciri-ciri tertentu yang dapat membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya, yaitu : masa remaja sebagai periode yang penting, masa remaja sebagai periode peralihan, masa remaja sebagai periode perubahan, masa remaja sebagai usia yang bermasalah, masa remaja sebagai masa yang mencari identitas, masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan, masa remaja sebagai masa yang tidak realistik, dan masa remaja sebagai ambang masa dewasa.
Untuk mengenal kepribadian remaja, perlu diketahui tugas-tugas perkembangannya. Tugas-tugas perkembangan tersebut adalah sebagai berikut :6 1. Sebagian besar remaja tidak dapat menerima keadaan fisiknya. Hal tersebut
terlihat dari penampilan remaja yang cenderung meniru penampilan orang lain atau tokoh tertentu.
(27)
2. Usaha remaja untuk memperoleh kebebasan emosional sering disertai perilaku "pemberontakan" dan melawan keinginan orangtua. Bila tugas perkembangan ini sering menimbulkan pertentangan dalam keluarga dan tidak dapat diselesaikan di rumah, maka remaja akan mencari jalan keluar dan ketenangan di luar rumah.
3. Pada masa remaja, remaja sudah seharusnya menyadari akan pentingnya pergaulan. Remaja yang menyadari akan tugas perkembangan yang harus dilaluinya adalah mampu bergaul dengan kedua jenis kelamin maka termasuk remaja yang sukses memasuki tahap perkembangan ini.
Dari sudut perkembangan manusia, remaja merujuk kepada satu peringkat perkembangan manusia, yaitu peringkat transisi antara peringkat kanak-kanak dan peringkat dewasa. Seseorang yang berada di masa remaja akan mengalami pelbagai perubahan yang drastis, termasuk perubahan jasmani, sosial, emosi, dan bahasa. Oleh karenanya remaja merupakan seseorang yang emosinya tidak stabil, dan sentiasa “bermasalah". Ciri-ciri khusus pada remaja, di antaranya pertumbuhan fisik yang sangat cepat, emosinya tidak stabil, perkembangan seksual sangat menonjol, cara berpikirnya bersifat kausalitas (hukum sebab akibat), dan terikat erat dengan kelompoknya.
2.3 Periode-Periode Pada Usia Remaja
Berdasarkan definisi para pakar, maka masa remaja dapat dibagi dalam dua periode yaitu sebagai berikut :
(28)
1. Periode Masa Puber (12-18 tahun)
a. Masa Prapubertas (12-13 tahun), peralihan dari akhir masa kanak-kanak ke masa awal pubertas. Ciri-cirinya: tidak suka diperlakukan seperti anak kecil lagi dan mulai bersikap kritis
b. Masa Pubertas (14-16 tahun), masa remaja awal. Ciri-cirinya: mulai cemas dan bingung tentang perubahan fisiknya, memperhatikan penampilan, sikap tidak menentu/plin-plan, dan suka berkelompok dengan teman sebaya dan senasib.
c. Masa Akhir Pubertas (17-18 tahun), peralihan dari masa pubertas ke masa adolesen. Ciri-cirinya: pertumbuhan fisik sudah mulai matang tetapi kedewasaan psikologisnya belum tercapai sepenuhnya, dan proses kedewasaan jasmaniah pada remaja putri lebih awal dari remaja pria.
2. Periode Remaja Adolesen (19-21 tahun)
Merupakan masa akhir remaja. Beberapa sifat penting pada masa ini adalah perhatiannya tertutup pada hal-hal realistis, mulai menyadari realitas, sikapnya mulai jelas tentang hidup, dan mulai nampak bakat dan minatnya.
Melihat ciri-ciri dari ketiga periode masa remaja diatas dapat disimpulkan bahwa periode yang lebih menunjukkan pada remaja yang lebih rentan dan potensial terpengaruh adalah remaja usia 12-18 tahun. Remaja usia tersebut dengan ciri-ciri diantaranya adalah : anak tidak suka diperlakukan seperti anak kecil lagi, anak mulai bersikap kritis, mulai cemas dan bingung tentang perubahan fisiknya, memperhatikan penampilan sikapnya yang tidak menentu, suka berkelompok dengan teman sebaya, dan pertumbuhan fisik sudah mulai matang tetapi kedewasaan psikologisnya belum tercapai sepenuhnya.
(29)
Kepribadian remaja masih sangat labil dan rentan terhadap pengaruh luar (stimulus) yang akan membentuk sikap dan pola hidupnya, terutama pada remaja dengan batasan usia 12-18 tahun. Gejolak emosi, pikiran, dan keyakinan remaja bisa sewaktu-waktu berubah secara drastis dengan tidak terduga sebelumnya. Budaya dan karakteristiknya ditandai dengan sifat-sifat seperti eklusif, solidaritas tinggi dan serba tidak menentu. Berkelompok dengan penuh dinamika dan romantika serta ikut-ikutan adalah ciri kegiatannya. Pada diri remaja amat besar peniruannya.
Masa remaja merupakan sebuah periode dalam kehidupan manusia yang batasannya usia maupun peranannya seringkali tidak terlalu jelas. Pubertas yang dahulu dianggap sebagai tanda awal keremajaan ternyata tidak lagi valid sebagai patokan atau batasan untuk pengkategorian remaja sebab usia pubertas yang dahulu terjadi pada akhir usia belasan (15-18) kini terjadi pada awal belasan bahkan sebelum usia 11 tahun.
Bagi produsen, kelompok usia remaja adalah salah satu pasar yang potensial. Alasannya antara lain karena pola konsumsi seseorang terbentuk pada usia remaja. Di samping itu, remaja biasanya mudah terbujuk rayuan iklan, suka ikut-ikutan teman, tidak realistis, dan cenderung boros dalam menggunakan uangnya. Di kalangan remaja rasa ingin menunjukkan bahwa mereka juga dapat mengikuti mode yang sedang beredar sangatlah besar, padahal mode itu sendiri selalu berubah sehingga para remaja tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya, sehingga muncullah perilaku yang konsumtif tersebut. Sifat-sifat
(30)
remaja inilah yang dimanfaatkan oleh sebagian produsen untuk memasuki pasar remaja.7
Perilaku konsumtif pada remaja sebenarnya dapat dimengerti bila melihat usia remaja sebagai usia peralihan dalam mencari identitas diri. Remaja ingin diakui eksistensinya oleh lingkungan dengan berusaha menjadi bagian dari lingkungan itu. Kebutuhan untuk diterima dan menjadi sama dengan orang lain yang sebaya itu menyebabkan remaja berusaha untuk mengikuti berbagai atribut yang sedang in. Remaja dalam perkembangan kognitif dan emosinya masih memandang bahwa atribut yang superfisial itu sama penting (bahkan lebih penting) dengan substansi. Apa yang dikenakan oleh seorang artis yang menjadi idola para remaja menjadi lebih penting (untuk ditiru) dibandingkan dengan kerja keras dan usaha yang dilakukan artis idolanya itu untuk sampai pada kepopulerannya
2.4 Penelitian terdahulu
Penelitian mengenai perilaku konsumen dan ekuitas merek sudah banyak dilakukan. Laksmi (2006) meneliti tentang Analisis respon konsumen remaja terhadap performance dan positioning Es Krim Conello, studi kasus Kota Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses keputusan pembelian Es Krim Conello oleh remaja, mengetahui atribut yang perlu diperbaiki untuk meningkatkan penjualan di pasar remaja berdasarkan analisis tingkat kepentingan, performa ideal dan tingkat pelaksanaan atribut Es Krim Conello menurut penilaian remaja yang jarang dan sering mengkonsumsi es krim, mengetahui
7 Tambunan, R. Remaja dan Perilaku Konsumtif. http://www.e-psikologi.com/remaja/. 28 Februari 2008
(31)
posisi relatif kinerja atribut-atribut Conello berdasarkan pandangan remaja yang jarang dan sering mengkonsumsi es krim dibandingkan dengan Concerto dan Puncak Pazz, dan merumuskan alternatif strategi pemasaran bagi perusahaan. Responden yang terlibat adalah siswa SMA Negeri 1 Bogor, SMA Regina Pacis, dan SMA Bina Insani. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah tabulasi deskriptif, model angka ideal, dan analisis biplot. Model angka ideal digunakan untuk mengetahui tingkat kepentingan atribut, nilai ideal dan tingkat kepercayaan konsumen terhadap produk. Biplot digunakan untuk mengetahui positioning produk Conello terhadap pesaing-pesaingnya.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pada tahap pengenalan kebutuhan, motivasi responden untuk mengkonsumsi Es Krim Conello adalah karena ingin mencoba produk baru tersebut. Pada tahap pencarian informasi, media yang paling mempengaruhi responden adalah media televisi dengan unsur yang paling diperhatikan jalan ceritanya yang menarik. Pada tahap evaluasi alternatif, indikator yang menjadi pertimbangan dalam melakukan pembelian adalah citarasa es krim. Pada tahap pembelian, responden pada umumnya merasakan keinginan untuk membeli ketika berada di tempat pembelian. Pada tahap evaluasi pasca pembelian, umumnya responden masih bersedia membeli Es Krim Conello rasa lain jika rasa pilihannya tidak tersedia, namun langsung mengganti pilihannya pada Es Krim Wall’s jenis lain apabila Es Krim Conello yang diinginkan tidak tersedia. Meskipun demikian responden cenderung untuk tetap membeli Es Krim Conello jika terjadi kenaikan harga. Secara keseluruhan Conello memperoleh penilaian yang lebih ideal dibandingkan pesaingnya. Atribut yang memiliki tingkat kepentingan tinggi bagi responden adalah citarasa, pilihan
(32)
rasa, dan kejelasan tanggal kadaluarsa sedangkan atribut yang kurang ideal oleh reponden adalah atribut harga yang mahal, volume yang sedikit dan tanggal kadaluarsa yang kurang jelas.
Agustini (2005) meneliti tentang Analisis elemen-elemen ekuitas merek Biskuit Milna dan implikasinya pada bauran pemasaran perusahaan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat kesadaran merek (brand awareness), asosiasi merek (brand association), persepsi kualitas merek (brand perceived quality) dan tingkat kesetiaan merek (brand loyalty) serta strategi pemasaran bagi Biskuit Milna sesuai dengan hasil analisis ekuitas merek. Penelitian dilakukan di Kota Bogor dengan teknik pengambilan sampel berupa judgement sampling. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian adalah tabulasi deskriptif, uji Cochran dan uji reliabilitas, skala Likert dan performance-importance analysis, dan brand switching matrix.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa brand awareness Biskuit Milna lebih baik dibanding yang lainnya (71 persen). Berdasarkan tingkat brand association, merek Nestle, Farley’s dan Promina memiliki asosiasi pembentuk brand image yang sama yang terdiri dari kandungan gizi, manfaat, kejelasan tanggal kadaluarsa, merek terkenal, harga terjangkau, serta mudah didapat. Hasil analisis brand perceived quality dari keempat merek tersebut memiliki kinerja yang buruk. Hasil analisis loyalitas merek menyatakan bahwa sebagian besar responden (>50 persen) masuk kedalam satisfied buyer.
Arfiyanto (2007) meneliti tentang analisis perilaku konsumen terhadap keberadaan biskuit merek pengikut di Kota Bogor. Penelitian ini dilakukan terhadap merek Oreo dan Rodeo. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
(33)
karakteristik konsumen biskuit, proses keputusan pembelian, persepsi konsumen terhadap biskuit merek Oreo dan Rodeo serta daya saing biskuit merek Rodeo terhadap biskuit merek Oreo di pasar, dan preferensi serta tingkat kepuasan konsumen terhadap biskuit. Alat analisis yang digunakan Cochran test, descriptive analysis, analisis multiatribut Fishbein, perceived analysis, analisis tingkat kesenjangan (gap) dan uji chi-square.
Hasil yang diperoleh menunjukkan kinerja biskuit Oreo memiliki angka yang positif pada atribut rasa, kemasan, label halal, dan tekstur/kesegaran. Label harga merupakan atribut yang mempunyai nilai persepsi tertinggi. Pada biskuit Rodeo, atribut volume dan harga menunjukkan nilai positif sedangkan atribut yang lainnya bernilai negatif. Biskuit Rodeo unggul dalam hal harga dan volume sedangkan biskuit Oreo atribut-atribut yang unggul adalah label halal, kemasan, rasa, dan tekstur/kesegaran. Dari analisis, terlihat tidak ada hubungan antara karakteristik responden dengan sikap. Hal ini dikarenakan produk biskuit merupakan impulse buying artinya tidak ada perencanaan terlebih dahulu sebelum melakukan pembelian.
Susanti (2006) meneliti tentang analisis ekuitas merek mie instan. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Bogor Barat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat kesadaran merek akan keberadaan merek-merek mie instan, seberapa kuat asosiasi tertanan di benak konsumen, persepsi kualitas merek mie instan, merek mie instan yang memiliki loyalitas tertinggi, dan merek mie instan yang mempunyai ekuitas terkuat. Alat analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif untuk elemen kesadaran merek, uji reliabilitas dan uji Cochran untuk elemen asosiasi merek, importance and performance analysis untuk elemen
(34)
persepsi kualitas, dan ProT (probability rate of transition) untuk elemen loyalitas merek.
Hasil yang diperoleh menunjukkan merek yang paling diingat adalah Indomie diikuti Mie Sedaap, Sarimi, dan Supermie. Asosiasi yang membentuk brand image pada merek Indomie adalah harga terjangkau, rasa yang enak, kemudahan mendapat, iklan menarik, dan merek terkenal. Untuk Mie Sedaap semua asosiasi selain nama perusahaan pembuatnya, dan untuk Sarimi dan Supermie semua asosiasi dapat membentuk brand image. Persepsi kualitas paling unggul diperoleh Indomie dan Sarimie dengan atribut rasa yang enak, tanggal kadaluarsa dan keterangan halal untuk Indomie. Untuk Supermie atribut yang sesuai adalah harga, kemudahan mendapat, tanggal kadaluarsa dan keterangan halal. Bila dilihat dari persentase yang tidak loyal, Mie Sedaap memiliki tingkat loyal paling tinggi dibandingkan dengan merek lain. Kesimpulan yang diperoleh Indomie dan Supermie memiliki ekuitas terkuat dibandingkan Mie sedaap dan sarimie karena memiliki keunggulan elemen ekuitas lebih banyak.
Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian terdahulu yaitu dalam hal produk yang dianalisis. Produk yang diteliti pada penelitian ini adalah beberapa merek wafer yaitu Tango, Gery, Oreo, dan Richeese Nabati. Selain itu yang dijadikan responden pada penelitian ini adalah remaja dengan tingkat Sekolah Menengah Negeri. Untuk alat analisis yang digunakan sama dengan alat analisis yang digunakan oleh Susanti (2006) oleh karena tujuan yang dilakukan pada penelitian sama yaitu menganalisis brand awareness, brand association, perceived quality, dan brand loyalty, dan mengetahui merek wafer apa yang
(35)
mempunyai ekuitas terkuat. Penelitian terdahulu secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Penelitian Terdahulu
Nama Tahun Judul Penelitian Metode Hasil Laksmi 2006 Analisis respon
konsumen remaja terhadap performance dan positioning Es Krim Conello, studi kasus Kota Bogor.
tabulasi deskriptif, model angka ideal, dan analisis biplot.
Secara keseluruhan Conello memperoleh penilaian yang lebih ideal dibandingkan pesaingnya. Atribut yang memiliki tingkat kepentingan tinggi adalah citarasa, pilihan rasa, dan kejelasan tanggal kadaluarsa sedangkan atribut yang kurang ideal adalah atribut harga yang mahal, volume yang sedikit dan tanggal kadaluarsa yang kurang jelas.
Agustini 2005 Analisis elemen-elemen ekuitas merek Biskuit Milna dan implikasinya pada bauran pemasaran perusahaan.
tabulasi deskriptif, uji cochran dan uji reliabilitas, skala Likert dan performance-importance analysis, dan brand switching matrix.
Kesimpulan yang diperoleh biskuit bayi Milna memiliki ekuitas terkuat dibandingkan pesaingnya karena memilki keunggulan elemen ekuitas lebih banyak
Arfiyanto 2007 Analisis perilaku konsumen
terhadap keberadaan biskuit merek pengikut di Kota Bogor. (studi kasus merek Oreo dan Rodeo)
Cochran test, descriptive analysis, analisis multiatribut Fishbein, perceived analysis, analisis tingkat kesenjangan (gap) dan uji chi-square
Kinerja biskuit Oreo menunjukkan angka yang positif pada atribut rasa, kemasan, label halal, dan tekstur/kesegaran. Dari analisis, tidak ada hubungan antara karakteristik responden dengan sikap. Hal ini dikarenakan produk biskuit merupakan impulse buying artinya tidak ada perencanaan terlebih dahulu sebelum melakukan pembelian. Susanti 2006 Analisis ekuitas
merek mie instan di Kecamatan Bogor Barat.
analisis deskriptif, uji cochran dan uji reliabilitas, skala likert dan performance-importance analysis, ProT (probability rate of transition)
Kesimpulan yang diperoleh Indomie dan Supermie memiliki ekuitas terkuat
dibandingkan Mie sedaap dan Sarimie karena memilki keunggulan elemen ekuitas lebih banyak
(36)
III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Definisi Merek
Fenomena persaingan yang ada dalam era globalisasi akan semakin mengarahkan sistem perkonomian Indonesia ke mekanisme pasar yang memposisikan pemasar untuk selalu mengembangkan dan merebut market share (pangsa pasar). Salah satu aset untuk mencapai keadaan tersebut adalah brand (merek). Menurut Durianto, et. al., 2004, sebenarnya merek merupakan nilai tangible dan intangible yang terwakili dalam trade mark (merek dagang) yang mampu menciptakan nilai dan pengaruh tersendiri di pasar bila diatur dengan tepat. Merek menjadi sangat penting saat ini, karena beberapa faktor seperti : 1. Emosi konsumen terkadang turun naik. Merek mampu membuat janji emosi
menjadi konsisten dan stabil.
2. Merek mampu menembus setiap pagar budaya dan pasar. Bisa dilihat bahwa suatu merek yang kuat mampu diterima di seluruh dunia dan budaya.
3. Merek mampu menciptakan komunikasi interaksi dengan konsumen. Semakin kuat suatu merek, makin kuat pula interaksinya dengan konsumen dan semakin banyak asosiasi merek yang terbentuk dalam merek tersebut.
4. Merek sangat berpengaruh dalam membentuk perilaku konsumen. Merek yang kuat akan sanggup merubah perilaku konsumen.
5. Merek memudahkan pengambilan keputusan pembelian oleh konsumen. Dengan adanya merek, konsumen dapat dengan mudah membedakan produk yang akan dibelinya dengan produk lain sehubungan dengan kualitas, kepuasan, kebanggan, ataupun atribut lain yang melekat pada merek tersebut.
(37)
6. Merek berkembang menjadi sumber aset terbesar bagi perusahaan.
Dalam kondisi pasar yang kompetitif, preferensi dan loyalitas pelanggan adalah kunci kesuksesan. Terlebih lagi pada kondisi sekarang, nilai suatu merek yang mapan sebanding dengan realitas makin sulitnya menciptakan suatu merek.
American Marketing Association dalam Kotler (2000) mendefinisikan merek sebagai nama, istilah, tanda, simbol, atau desain, atau kombinasi semuanya yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa seorang atau sekelompok penjual dan untuk membedakannya dari barang atau jasa pesaing. Merek sebenarnya merupakan janji penjual secara konsisten memberikan feature, manfaat, dan jasa tertentu pada pembeli. Merek-merek terbaik memberikan jaminan kualitas, namun lebih dari sekedar simbol. Merek dapat menyampaikan enam tingkat pengertian :
1. Atribut : merek mengingatkan pada atribut-atribut tertentu.
2. Manfaat : suatu merek lebih dari serangkaian atribut sehingga diterjemahkan menjadi manfaat fungsional dan emosional.
3. Nilai : merek juga dapat menyatakan sesuatu tentang nilai produsen. 4. Budaya : merek juga melambangkan budaya tertentu.
5. Kepribadian : merek dapat mencerminkan kepribadian tertentu.
6. Pemakai : merek menunjukkan jenis konsumen yang membeli atau menggunakan produk tersebut.
Merek diartikan sebagai nama dan atau simbol yang bersifat membedakan (seperti sebuah logo, cap, atau kemasan) dengan maksud mengidentifikasi barang atau jasa dari seorang penjual atau sebuah kelompok penjual tertentu, dengan demikian membedakannya dari barang-barang dan jasa yang dihasilkan para
(38)
kompetitor (Aaker,1997). Jadi suatu merek yang melekat pada suatu produk adalah suatu upaya untuk membuat produk tersebut berbeda dan lebih mudah dikenali oleh konsumen.
3.2 Konsep Ekuitas Merek (Brand Equity)
Brand equity adalah seperangkat aset dan liabilitas merek yang terkait dengan suatu merek, nama, simbol, yang mampu menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh sebuah produk atau jasa baik pada perusahaan maupun pada pelanggan (Aaker,1997). Ekuitas merek dapat dikelompokkan dalam lima kategori, yaitu : (1) brand awareness (kesadaran merek), (2) brand association (asosiasi merek), (3) perceived quality (persepsi kualitas), (4) brand loyalty (loyalitas merek), (5) other proprietary brand assets (aset-aset merek lainnya). Empat elemen ekuitas merek di luar aset-aset merek lainnya dikenal dengan elemen-elemen utama dari ekuitas merek. Elemen ekuitas merek yang kelima secara langsung akan dipengaruhi oleh kualitas dari empat elemen utama tersebut. Berikut konsep ekuitas merek dijelaskan pada Gambar 2. Gambar tersebut juga memperlihatkan bahwa ekuitas merek menciptakan nilai, baik kepada konsumen maupun kepada perusahaan.
(39)
Gambar 2. Konsep Ekuitas Merek (Brand Equity) Menurut David A. Aaker
3.3 Elemen Ekuitas Merek
Elemen-elemen utama dari ekuitas merek yaitu brand awareness (kesadaran merek), brand association (asosiasi merek), perceived quality(persepsi kualitas), brand loyalty (loyalitas merek).
3.3.1 Brand Awareness(Kesadaran Merek)
Brand awareness adalah kesanggupan seorang calon pembeli untuk mengenali atau mengingat kembali bahwa suatu merek merupakan bagian dari kategori produk tertentu. Kesadaran merek merupakan ekuitas merek yang sangat penting. Kesadaran merek membutuhkan continum ranging (jangkauan kontinum) dari perasaan yang tidak pasti bahwa merek tertentu telah dikenal sebelumnya, sehingga konsumen yakin bahwa produk tersebut merupakan satu-satunya merek
Persepsi kualitas Kesadaran merek
Loyalitas merek
Asosiasi merek
Aset hak milik merek yang lain
Memberikan nilai kepada produsen dengan memperkuat :
• Efisiensi dan efektivitas program pemasaran
• Brand loyalty • Perluasan merek
• Peningkatan perdagangan • Keuntungan kompetitif Memberikan nilai kepada pelanggan
dengan memperkuat : • Interpretasi/proses informasi
• Rasa percaya diri dalam pembelian
• Pencapaian kepuasan dari pelanggan
Brand equity
(40)
dalam suatu kelompok produk. Kontinum ini dapat terwakili dalam tingkatan brand awareness yang berbeda.
Menurut Aaker (1997) pengukuran brand awareness berdasarkan tingkat kesadaran merek yang mencakup top of mind (puncak pikiran), brand recall(pengingatan kembali), brand recognition(pengenalan merek), dan brand unaware (tidak menyadari merek).
Gambar 3. Piramida Kesadaran Merek
Top of mind menggambarkan merek yang pertama kali diingat responden atau pertama kali disebut ketika yang bersangkutan ditanya tentang suatu kategori produk. Merek yang berada pada tingkat ini merupakan merek yang utama dalam benak konsumen, sehingga dalam situasi pembelian, merek lain tidak diperhitungkan.
Brand recall atau pengingatan kembali merek mencerminkan merek-merek apa yang diingat responden setelah menyebutkan merek-merek yang pertama kali disebut. Tingkatan ini sering disebut juga dengan unaided recall (pengingatan kembali tanpa bantuan)
Top of mind
(puncak pikiran)
Brand recall
(pengingatan kembali merek)
Brand recognition
(pengenalan merek)
Brand unaware
(41)
Brand recognition atau pengenalan kesadaran merek responden dimana kesadarannya diukur dengan diberikan bantuan (an aided call). Pertanyaan yang diajukan dibantu dengan menyebutkan ciri-ciri produk merek tersebut (aided question). Pertanyaan tersebut bertujuan untuk mengetahui seberapa banyak responden yang perlu diingatkan akan keberadaan merek tersebut. Untuk mengukur pengenalan brand awareness selain mengajukan pertanyaan dapat dilakukan dengan menunjukkan photo yang menggambarkan ciri-ciri merek tersebut.
Brand unaware adalah tingkatan yang paling rendah dalam pengukuran kesadaran merek, dimana responden sama sekali tidak menyadari atau mengenal akan suatu merek setelah diberikan bantuan.
3.3.2 Brand Association (Asosiasi Merek)
Asosiasi merek adalah pencitraan suatu merek terhadap suatu kesan tertentu dalam kaitannya dengan kebiasaan, gaya hidup, manfaat, atribut produk, geografis, harga, pesaing, selebriti, dan lain lain. Kesan-kesan yang terkait merek akan semakin meningkat dengan semakin banyaknya pengalaman konsumen dalam mengkonsumsi suatu merek atau dengan semakin seringnya penampakan merek tersebut dalam strategi komunikasinya, ditambah lagi jika kaitan tersebut didukung oleh suatu jaringan dari kaitan-kaitan lain.
Suatu merek yang telah mapan akan memiliki posisi menonjol dalam persaingan bila didukung oleh berbagai asosiasi yang kuat. Berbagai asosiasi merek yang saling berhubungan akan menimbulkan suatu rangkaian yang disebut brand image. Semakin banyak aosiasi merek yang berhubungan, semakin kuat
(42)
brand image yang dimiliki oleh merek tersebut. Pada umumnya asosiasi merek (terutama yang membentuk brand image-nya) menjadi pijakan konsumen dalam proses keputusan pembelian dan loyalitasnya pada merek tersebut. (Durianto et al, 2004).
Dalam prosesnya, terdapat banyak sekali kemungkinan asosiasi dan variasi dari brand association yang dapat memberikan nilai bagi suatu merek, baik dipandang dari sisi perusahaan maupun dari sisi pengguna. Berbagai fungsi asosiasi merek tersebut adalah :
1. Membantu proses penyusunan informasi
2. Memberikan landasan yang penting bagi upaya pembedaan suatu merek dari merek lain.
3. Membangkitkan berbagai atribut produk atau manfaat bagi konsumen yang dapat memberikan alasan spesifik bagi konsumen untuk membeli dan menggunakan merek tersebut.
4. Merangsang suatu perasaan positif yang pada gilirannya akan berpengaruh ke merek yang bersangkutan.
5. Menghasilkan landasan bagi suatu perluasan dengan menciptakan rasa kesesuaian antara merek dan produk baru, atau dengan menghadirkan alasan untuk membeli produk perluasan tersebut.
Asosiasi-asosiasi yang terkait dengan suatu merek biasanya dihubungkan dengan beberapa hal yaitu : atribut produk, atribut tidak berwujud, manfaat bagi pelanggan, harga relatif, penggunaan, pengguna/pelanggan, orang terkenal/khalayak, gaya hidup/kepribadian, kelas produk, para pesaing, dan negara/wilayah geografis. Dalam kenyataannya, tidak semua merek produk
(43)
memiliki semua asosiasi diatas. Merek tertentu berasosiasi dengan beberapa hal di atas dan merek lainnya berasosiasi dengan beberapa hal yang lain. Atribut-atribut tersebut merupakan karakteristik yang melekat dari sebuah merek yang nantinya akan membentuk brand image.
3.3.3 Perceived Quality (Persepsi Kualitas)
Persepsi kualitas adalah persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas/keunggulan suatu produk atau jasa layanan berkenaan dengan apa yang diharapkan oleh pelanggan. Persepsi terhadap kualitas keseluruhan dari suatu produk atau jasa dapat menentukan nilai dari produk atau jasa tersebut dan berpengaruh secara langsung kepada keputusan pembelian dan loyalitas konsumen terhadap produk tersebut. Karena persepsi kualitas merupakan persepsi dari pelanggan maka persepsi kualitas tidak dapat ditentukan secara obyektif. Apabila persepsi kualitas pelanggan negatif, produk tidak akan disukai dan tidak akan bertahan lama di pasar. Sebaliknya, jika persepsi kualitas pelanggan positif, produk akan disukai.
Persepsi pelanggan akan melibatkan apa yang penting bagi pelanggan, karena setiap pelanggan memiliki kepentingan yang berbeda-beda terhadap suatu produk atau jasa. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa membahas persepsi kualitas berarti akan membahas keterlibatan dan kepentingan pelanggan sehingga setiap produk atau merek akan memiliki persepsi yang berbeda-beda. Persepsi yang berbeda tersebut tergantung pada dimensi-dimensi persepsi kualitas yang ada pada produk tersebut. Menurut David A. Garvin dalam Durianto et al.(2004), dimensi persepsi kualitas dibagi menjadi tujuh yaitu :
(44)
kinerja, pelayanan, ketahanan, keandalan, karakteristik produk, kesesuaian dengan spesifikasi dan hasil.
Perceived quality mempunyai peran penting dalam membangun merek dan dapat menjadi alasan yang penting pada pembelian serta merek mana yang akan dipertimbangkan untuk dibeli. Seorang konsumen mungkin tidak memiliki informasi yang cukup untuk disaring yang mengarahkannya kepada penentuan kualitas suatu merek secara obyektif. Mungkin pula konsumen tidak termotivasi untuk memproses informasi, tidak mempunyai kesanggupan dan sumberdaya untuk memperoleh dan memproses informasi sehingga dalam konteks ini perceived quality menjadi sangat berperan dalam keputusan pelanggan (Engel, et.al, 1994). Secara umum perceived quality dapat menghasilkan nilai-nilai berikut :
Gambar 4. Perceived Quality Menghasilkan Nilai Sumber : Durianto, et al (2004)
3.3.4 Brand Loyalty (Loyalitas/Kesetiaan Produk)
Loyalitas merupakan suatu ukuran keterikatan pelanggan kepada sebuah merek. Loyalitas merek akan memberikan gambaran tentang mungkin tidaknya seorang pelanggan beralih ke merek produk lain, terutama jika merek tersebut
Perceived quality
Alasan untuk membeli
Differensiasi atau posisi
Harga premium
Perluasan saluran distribusi
(45)
didapati adanya perubahan, baik menyangkut harga ataupun atribut lain. Loyalitas merek dapat menjadi aset strategis bagi perusahaan bila dilakukan pengelolaan dan pemanfaatan yang benar. Loyalitas merek dapat memberikan nilai dan manfaat seperti mengurangi biaya pemasaran, meningkatkan perdagangan, menarik minat pelanggan baru, dan memberi waktu untuk merespons ancaman persaingan. (Durianto et al, 2004).
Seorang pelanggan yang sangat loyal kepada suatu merek tidak akan dengan mudah memindahkan pembeliannya ke merek lain, apapun yang terjadi dengan merek tersebut. Bila loyalitas pelanggan terhadap suatu merek meningkat, kerentanan kelompok pelanggan tersebut dari ancaman dan serangan merek produk pesaing dapat diminimalkan. Dengan demikian, brand loyalty merupakan salah satu indikator inti dari brand equity yang jelas terkait dengan peluang penjualan, yang berarti pula jaminan perolehan laba perusahaan di masa mendatang.
Pelanggan yang loyal pada umumnya akan melanjutkan pembelian merek tersebut walaupun dihadapkan pada banyak alternatif merek produk pesaing yang menawarkan karakteristik produk yang lebih unggul dipandang dari berbagai sudut atributnya. Bila banyak pelanggan dari suatu merek masuk dalam kategori ini berarti merek tersebut memiliki brand equity (ekuitas merek) yang kuat.
Sebaliknya, jika pelanggan tidak loyal kepada suatu merek, pada saat mereka melakukan pembelian akan merek tersebut, pada umumnya tidak didasarkan ketertarikan mereka pada mereknya tetapi lebih didasarkan pada karakteristik produk, harga dan kenyamanan pemakaiannya ataupun berbagai atribut lain yang ditawarkan oleh merek produk alternatif. Bila sebagian besar
(46)
pelanggan dari suatu merek termasuk dalam kategori ini, berarti kemungkinan brand equity (ekuitas merek) produk tersebut lemah.
Loyalitas terdiri dari beberapa tingkatan dan masing-masing tingkatannya menunjukkan tantangan pemasaran yang harus dihadapi sekaligus aset yang dapat dimanfaatkan. Tingkatan tersebut yaitu :
1. switcher (berpindah-pindah). Pembeli yang berada pada tingkat ini merupakan pembeli yang berada pada tingkat yang paling dasar. Semakin tinggi frekuensi pembeli untuk memindahkan pembeliannya dari suatu merek ke merek-merek yang lain mengindikasikan mereka sebagai pembeli yang sama sekali tidak loyal atau tidak tertarik pada merek tersebut. Ciri pembeli pada tingkat ini adalah membeli suatu produk karena harga yang murah.
2. habitual buyer (pembeli yang bersifat kebiasaan). Pembeli yang berada pada tingkat ini dikategorikan sebagai pembeli yang puas dengan merek produk yang dikonsumsinya atau setidaknya mereka tidak mengalami ketidakpuasan dalam mengkonsumsi merek produk tersebut. Alasan yang mendasari pembeli untuk membeli suatu produk adalah berdasarkan kebiasaan selama ini.
3. satisfied buyer(pembeli yang puas). Pada tingkatan ini, pembeli merek masuk dalam kategori puas bila mereka mengkonsumsi merek tersebut. Meskipun demikian mungkin saja mereka memindahkan pembeliannya ke merek lain dengan menanggung switching cost (biaya peralihan) yang terkait dengan waktu, uang, atau resiko kinerja yang melekat dengan tindakan mereka beralih merek.
(47)
4. likes the brand(menyukai merek). Pembeli yang masuk dalam tingkat ini merupakan pembeli yang sungguh-sungguh menyukai merek tersebut. Pada tingkatan ini dijumpai perasaan emosional yang terkait dengan merek.
5. commited buyer(pembeli yang komit). Pada tingkat ini pembeli merupakan pelanggan yang setia. Salah satu aktualisasi loyalitas pembeli ditunjukkan oleh tindakan merekomendasikan dan mempromosikan merek tersebut kepada pihak lain.
5.a. 5.b. Gambar 5. Diagram Piramida Loyalitas
Sumber : Durianto,et.al (2004)
Adapun tampilan piramida loyalitas merek yang umum dapat dilihat pada Gambar 5. Pada Gambar 5.a dapat dilihat bahwa porsi terbesar dari konsumennya berada pada tingkatan switcher. Selanjutnya porsi terbesar kedua dan seterusnya ditempati oleh konsumen yang berada pada tahap habitual buyer, satisfied buyer, liking the brand, dan commited buyer. Merek yang memilki piramida seperti ini dapat dikatakan belum memiliki loyalitas merek yang kuat. Namun merek yang memiliki loyalitas merek yang kuat akan menunjukkan bentuk piramida terbalik seperti Gambar 5.b. terlihat pada piramida tersebut bahwa tingkatannya semakin ke atas semakin melebar sehingga diperoleh jumlah commited buyer.
Commited buyer Liking the brand
Satisfied buyer Habitual buyer
switcher
Commited buyer Liking the brand Satisfied buyer Habitual buyer
(48)
3.4 Kerangka Pemikiran Operasional
Penelitian ini bertujuan untuk menilai brand equity dari beberapa merek wafer seperti Tango, Gery, Oreo dan Richeese. Penelitian ini merujuk pada dominannya Tango di pasar wafer mulai tahun 1993 dengan menguasai 75 % pangsa pasar wafer di Indonesia. Dalam waktu singkat, Tango berhasil menyebar ke seluruh penjuru Tanah Air. Keberadaan Tango di pasaran langsung membawanya menjadi merek wafer terdepan dan dominasi ini berlanjut hingga tahun 2000.
Sementara itu, setelah krisis ekonomi terjadi perubahan profil konsumen yang menyebabkan perubahan pola konsumsi masyarakat. Perubahan profil konsumen ini disebabkan karena semakin meningkatnya pengetahuan dan keinginan konsumen dalam mengkonsumsi makanan. Fenomena ini menuntut produsen untuk menawarkan produknya dengan segmen yang lebih sempit. Perubahan profil konsumen tersebut merupakan peluang potensial bagi para produsen Consumer Goods. Sehingga pada akhirnya, banyak merek pesaing yang masuk pasar dan mempengaruhi penilaian brand equity Tango dalam jangka panjang, khususnya wafer Gery sebagai pesaing utama yang memiliki banyak lini produk dan sangat gencar dalam mengiklankan produknya.
Produsen-produsen wafer dengan merek-merek yang ada di pasaran saat ini tentunya akan menghadapi tingkat persaingan yang tinggi. Produsen wafer untuk bisa memenangkan persaingan dan merebut pasar adalah mengetahui informasi perilaku konsumen melalui riset ekuitas merek, sehingga dapat diketahui keunggulan suatu merek wafer dibandingkan dengan merek pesaing lainnya dilihat dari masing-masing elemen ekuitas merek.
(49)
Penelitian ini dilakukan untuk mengukur elemen-elemen utama brand equity yakni elemen kesadaran merek (brand awareness), asosiasi merek (brand association), persepsi kualitas (perceived quality) dan loyalitas merek (brand loyalty). Penelitian ini diawali dengan menganalisis kesadaran merek pada konsumen. Melalui penyebaran kuesioner kepada responden di lokasi, akan diketahui seberapa dikenal merek tersebut (brand awareness) yang meliputi puncak pikiran, pengingatan kembali, pengenalan merek dan tidak menyadari merek. Hasil brand awareness ini diolah dengan menggunakan analisis dekriptif (Gambar 6).
Gambar 6. Kerangka Pemikiran Operasional Kesadaran Merek
Kemudian dari pengenalan merek tersebut diketahui lebih lanjut bagaimana konsumen mempersepsikan atau mengasosiasikan antara merek yang satu dengan merek yang lainnya. Wafer yang akan diketahui asosiasinya dalam penelitian ini adalah wafer Tango, Gery, Oreo dan Richeese. Asosiasi dari masing-masing atribut akan membentuk brand image produk tersebut. Analisis ini menggunakan uji Cochran (Gambar 7).
Brand awareness
Pucak pemikiran
Pengingatan kembali Pengenalan merek
Tidak kenal merek
Penyebaran kuesioner
Analisis Deskriptif
(50)
Gambar 7. Kerangka Pemikiran Operasional Asosiasi Merek
Selanjutnya diteliti bagaimana konsumen mengesankan merek wafer sebagai merek yang berkualitas (perceived quality). Atribut yang dianalisis adalah produk secara keseluruhan, kemasan, harga, distribusi dan promosi (Gambar 8).
Asosiasi merek
Gaya hidup aktif Produk remaja
Rasa enak Harga terjangkau
Volume banyak Tekstur bagus Mouthfeel pas Rasa bervariasi Kemasan menarik
Merek terkenal
Cochran test
B R A N D I M A G E Tango
Gery Oreo Richeese
Mudah didapat Undian berhadiah
Iklan menarik Produk berkualitas
(51)
Gambar 8. Kerangka Pemikiran Operasional Kesan Kualitas
Terakhir diteliti tingkat kesetiaan konsumen terhadap merek wafer yang meliputi pembeli kebiasaan, pembeli yang terpuaskan, pembeli yang menyukai merek, pelanggan setia dan switching cost dengan menggunakan interpretasi skala Likert (Gambar 9). Analisis ini menggunakan analisis deskriptif dan matriks brand switching pattern.
Gambar 9. Kerangka Pemikiran Operasional Kesetiaan Merek Kesan kualitas wafer
produk kemasan harga disribusi promosi
Penilaian konsumen (performance)
Diagram
Performance-Importance
Brand loyalty
Brand switching
pattern matrix Analisis Deskriptif
Skala Likert
Berpindah-pindah
kebiasaan Pembeli yang puas
Menyukai merek
Pelanggan setia
(52)
Setelah dilakukan analisis maka akan diketahui ekuitas merek produk mana yang terkuat sehingga akan berguna bagi produsen untuk mempertahankan dan memperbaiki kualitas produknya. Selain itu dengan adanya pembenahan oleh produsen, maka diharapkan produk dapat memberikan nilai yang sesuai bagi konsumen. Secara umum kerangka pemikiran operasional penelitian ini dapat digambakran dengan alur sebagai berikut :
Dominasi pasar wafer oleh Tango
Masuknya pendatang baru seperti Gery
Persaingan menyebabkan ekuitas merek dari Tango terancam di masa yang akan
datang
Analisis ekuitas merek wafer Perubahan Profil konsumen Peningkatan pengetahuan dan keinginan konsumsi makanan Kesadaran merek Asosiasi merek Persepsi kualitas Loyalitas merek Analisis Deskriptif
Uji Cochran Diagram
Performance-Importance
Brand Switching Pattern Matrix (Analisis ProT)
Ekuitas Merek Terkuat
Memberikan nilai kepada konsumen dan produsen
(53)
IV METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di beberapa SMA Negeri di kota Bogor. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive). Pertimbangan yang diambil adalah bahwa kota Bogor memiliki penduduk potensial yang cukup besar dengan sebaran pendapatan yang baik. Kota Bogor memiliki penduduk sejumlah 891.467 orang dan penduduk usia remaja sebanyak 148.613 orang (BPS Kota Bogor, 2005). Kota Bogor juga merupakan kota sedang atau menengah (Dinas Perindustrian, 2007), dengan kemudahan akses ke ibukota negara sehingga karakteristik dan pengetahuan remaja Bogor diharapkan dapat mewakili remaja di daerah perkotaan besar maupun kecil.
Pengambilan responden dilakukan di beberapa SMA Negeri. Pertimbangan yang diambil adalah SMA Negeri merupakan sekolah dimana siswanya berasal dari keluarga yang cukup beragam pendapatannya sehingga akan mempengaruhi pengeluarannya. Diharapkan dapat mewakili remaja yang memiliki pengeluaran cukup tinggi maupun remaja yang memiliki pengeluaran kecil. Sebelum melakukan pengumpulan data, perlu dilakukan survei pada kantin-kantin sekolah untuk mengetahui apakah pada kantin-kantin sekolah selalu atau pernah menyediakan merek-merek wafer tersebut. Hal ini dikarenakan siswa remaja yang berada di suatu lingkungan akan lebih mudah terpengaruh oleh lingkungannya tersebut. Begitu juga halnya pada pola konsumsi, remaja yang berada di lingkungan yang pernah menyediakan suatu produk tentunya akan lebih mudah terpengaruh untuk mengkonsumsi produk tersebut.
(54)
SMA Negeri yang dituju adalah SMAN 2, SMAN 3, SMAN 4, SMAN 5, SMAN 7, SMKN 1, SMKN 3 dan MAN 1. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa pada kantin sekolah tersebut selalu atau pernah menyediakan merek-merek wafer tersebut. Waktu penelitian di lapang dilaksanakan pada awal hingga pertengahan Bulan April 2008.
4.2 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data kualitatif yang dikuantitatifkan dengan menggunakan skala yang diperoleh dengan survei dan observasi melalui hasil penyebaran kuesioner dan wawancara secara langsung dengan pihak konsumen (Mahasin, 2007). Dalam penelitian ini data primer berasal dari kuesioner yang diberikan kepada responden meliputi data demografi responden dan pertanyaan-pertanyaan mengenai elemen-elemen ekuitas merek.
Kuesioner yang diberikan terdiri dari pertanyaan tertutup, pertanyaan semi terbuka dan pertanyaan terbuka. Pertanyaan tertutup adalah pertanyaan yang alternatif jawabannya telah disediakan sehingga responden hanya memilih salah satu jawaban yang menurutnya paling sesuai. Pertanyaan semi terbuka adalah pertanyaan yang selain memberikan pilihan, juga menyediakan tempat untuk menjawab secara bebas jika jawaban responden ada di luar pilihan yang telah tersedia. Sedangkan pertanyaan terbuka adalah pertanyaan yang memberikan kebebasan kepada responden untuk menjawab.
Paket kuesioner yang dibagikan terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berkaitan dengan identitas responden, sedangkan bagian kedua berisikan
(1)
6. Atribut Kemasan Menarik
f x f.x x2 f.x2 % Rata-rata
Jelek Sekali 0 1 0 1 0 0
Jelek 6 2 12 4 24 22,22
Cukup 15 3 45 9 135 55,56
Baik 6 4 24 16 96 22,22
Baik Sekali 0 5 0 25 0 0
Total 27 81 55 255 100 3
7. Atribut Pilihan Rasa
f x f.x x2 f.x2 % Rata-rata
Jelek Sekali 14 1 14 1 14 51,85
Jelek 12 2 24 4 48 44,44
Cukup 1 3 3 9 9 3,70
Baik 0 4 0 16 0 0
Baik Sekali 0 5 0 25 0 0
Total 27 41 55 71 100 1,52
8. Atribut Merek Terkenal
f x f.x x2 f.x2 % Rata-rata
Jelek Sekali 0 1 0 1 0 0
Jelek 5 2 10 4 20 18,52
Cukup 12 3 36 9 108 44,44
Baik 8 4 32 16 128 29,63
Baik Sekali 2 5 10 25 50 7,41
Total 27 88 55 306 100 3,26
9. Atribut Kemudahan Memperoleh
f x f.x x2 f.x2 % Rata-rata
Jelek Sekali 1 1 1 1 1 3,70
Jelek 1 2 2 4 4 3,70
Cukup 9 3 27 9 81 33,33
Baik 12 4 48 16 192 44,44
Baik Sekali 4 5 20 25 100 14,82
(2)
10. Atribut Sering ada undian berhadiah
f x f.x x2 f.x2 % Rata-rata
Jelek Sekali 19 1 19 1 19 70,37
Jelek 8 2 16 4 32 29,63
Cukup 0 3 0 9 0 0
Baik 0 4 0 16 0 0
Baik Sekali 0 5 0 25 0 0
Total 27 35 55 51 100 1,30
Lampiran 8. Perhitungan
Importance-Performance
Wafer Oreo
Lampiran 8.a Perhitungan
Importance
Wafer Oreo
1. Atribut Rasa Enak
f x f.x x2 f.x2 % Rata-rata
Sangat tidak penting 0 1 0 1 0 0
Tidak Penting 0 2 0 4 0 0
Biasa saja 1 3 3 9 9 12,5
Penting 2 4 8 16 32 25
Sangat Penting 5 5 25 25 125 62,5
Total 8 36 55 166 100 4,5
2. Atribut Harga Terjangkau
f x f.x x2 f.x2 % Rata-rata
Sangat tidak penting 0 1 0 1 0 0
Tidak Penting 0 2 0 4 0 0
Biasa saja 2 3 6 9 18 25
Penting 2 4 8 16 32 25
Sangat Penting 4 5 20 25 100 50
Total 8 34 55 150 100 4,25
3. Atribut Volume/Isi Banyak
f x f.x x2 f.x2 % Rata-rata
Sangat tidak penting 0 1 0 1 0 0
Tidak Penting 0 2 0 4 0 0
Biasa saja 1 3 3 9 9 12,5
Penting 2 4 8 16 32 25
Sangat Penting 5 5 25 25 125 62,5
(3)
4. Atribut Tekstur Bagus
f x f.x x2 f.x2 % Rata-rata
Sangat tidak penting 0 1 0 1 0 0
Tidak Penting 0 2 0 4 0 0
Biasa saja 5 3 15 9 45 62,5
Penting 1 4 4 16 16 12,5
Sangat Penting 2 5 10 25 50 25
Total 8 29 55 111 100 3,63
5. Atribut
Mouthfeel
Pas
f x f.x x2 f.x2 % Rata-rata
Sangat tidak penting 0 1 0 1 0 0
Tidak Penting 0 2 0 4 0 0
Biasa saja 1 3 3 9 9 12,5
Penting 5 4 20 16 80 62,5
Sangat Penting 2 5 10 25 50 25
Total 8 33 55 139 100 4,13
6. Atribut Kemasan Menarik
f x f.x x2 f.x2 % Rata-rata
Sangat tidak penting 0 1 0 1 0 0
Tidak Penting 0 2 0 4 0 0
Biasa saja 7 3 21 9 63 87,5
Penting 1 4 4 16 16 12,5
Sangat Penting 0 5 0 25 0 0
Total 8 25 55 79 100 3,13
7. Atribut Pilihan Rasa
f x f.x x2 f.x2 % Rata-rata
Sangat tidak penting 0 1 0 1 0 0
Tidak Penting 0 2 0 4 0 0
Biasa saja 1 3 3 9 9 12,5
Penting 5 4 20 16 80 62,5
Sangat Penting 2 5 10 25 50 25
Total 8 33 55 139 100 4,13
8. Atribut Merek Terkenal
f x f.x x2 f.x2 % Rata-rata
Sangat tidak penting 0 1 0 1 0 0
Tidak Penting 0 2 0 4 0 0
Biasa saja 0 3 0 9 0 0
Penting 1 4 4 16 16 12,5
Sangat Penting 7 5 35 25 175 87,5
(4)
9. Atribut Kemudahan Memperoleh
f x f.x x2 f.x2 % Rata-rata
Sangat tidak penting 0 1 0 1 0 0
Tidak Penting 0 2 0 4 0 0
Biasa saja 0 3 0 9 0 0
Penting 4 4 16 16 64 50
Sangat Penting 4 5 20 25 100 50
Total 8 36 55 164 100 4,5
10. Atribut Sering ada undian berhadiah
f x f.x x2 f.x2 % Rata-rata
Sangat tidak penting 1 1 1 1 1 12,5
Tidak Penting 4 2 8 4 16 50
Biasa saja 1 3 3 9 9 12,5
Penting 1 4 4 16 16 12,5
Sangat Penting 1 5 5 25 25 12,5
Total 8 21 55 67 100 2,63
Lampiran 8.b Perhitungan
Performance
Wafer Oreo
1. Atribut Rasa Enak
f x f.x x2 f.x2 % Rata-rata
Jelek Sekali 0 1 0 1 0 0
Jelek 0 2 0 4 0 0
Cukup 2 3 6 9 18 25
Baik 1 4 4 16 16 12,5
Baik Sekali 5 5 25 25 125 62,5
Total 8 35 55 159 100 4,38
2. Atribut Harga Terjangkau
f x f.x x2 f.x2 % Rata-rata
Jelek Sekali 0 1 0 1 0 0
Jelek 0 2 0 4 0 0
Cukup 3 3 9 9 27 37,5
Baik 3 4 12 16 48 37,5
Baik Sekali 2 5 10 25 50 25
(5)
3. Atribut Volume/Isi Banyak
f x f.x x2 f.x2 % Rata-rata
Jelek Sekali 0 1 0 1 0 0
Jelek 5 2 10 4 20 62,5
Cukup 2 3 6 9 18 25
Baik 1 4 4 16 16 12,5
Baik Sekali 0 5 0 25 0 0
Total 8 20 55 54 100 2,5
4. Atribut Tekstur Bagus
f x f.x x2 f.x2 % Rata-rata
Jelek Sekali 0 1 0 1 0 0
Jelek 0 2 0 4 0 0
Cukup 2 3 6 9 18 25
Baik 5 4 20 16 80 62,5
Baik Sekali 1 5 5 25 25 12,5
Total 8 31 55 123 100 3,88
5. Atribut
Mouthfeel
Pas
f x f.x x2 f.x2 % Rata-rata
Jelek Sekali 0 1 0 1 0 0
Jelek 0 2 0 4 0 0
Cukup 2 3 6 9 18 25
Baik 3 4 12 16 48 37,5
Baik Sekali 3 5 15 25 75 37,5
Total 8 33 55 141 100 4,13
6. Atribut Kemasan Menarik
f x f.x x2 f.x2 % Rata-rata
Jelek Sekali 0 1 0 1 0 0
Jelek 0 2 0 4 0 0
Cukup 4 3 12 9 36 50
Baik 3 4 12 16 48 37,5
Baik Sekali 1 5 5 25 25 12,5
(6)
7. Atribut Pilihan Rasa
f x f.x x2 f.x2 % Rata-rata
Jelek Sekali 5 1 5 1 5 62,5
Jelek 3 2 6 4 12 37,5
Cukup 0 3 0 9 0 0
Baik 0 4 0 16 0 0
Baik Sekali 0 5 0 25 0 0
Total 8 11 55 17 100 1,38
8. Atribut Merek Terkenal
f x f.x x2 f.x2 % Rata-rata
Jelek Sekali 0 1 0 1 0 0
Jelek 0 2 0 4 0 0
Cukup 1 3 3 9 9 12,5
Baik 5 4 20 16 80 62,5
Baik Sekali 2 5 10 25 50 25
Total 8 33 55 139 100 4,13
9. Atribut Kemudahan Memperoleh
f x f.x x2 f.x2 % Rata-rata
Jelek Sekali 0 1 0 1 0 0
Jelek 0 2 0 4 0 0
Cukup 6 3 18 9 54 75
Baik 1 4 4 16 16 12,5
Baik Sekali 1 5 5 25 25 12,5
Total 8 27 55 95 100 3,38
10. Atribut Sering ada undian berhadiah
f x f.x x2 f.x2 % Rata-rata
Jelek Sekali 5 1 5 1 5 62,5
Jelek 3 2 6 4 12 37,5
Cukup 0 3 0 9 0 0
Baik 0 4 0 16 0 0
Baik Sekali 0 5 0 25 0 0