Keadaan Umum Wilayah Desa Cigedug Kondisi Kemitraan di Desa Cigedug

38 Tabel 4. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Cabai Rawit di Tingkat Kecamatan Kabupaten Garut Tahun 2009-2011 Kecamatan Luas Panen Ha 2009 2010 2011 Caringin 318 180 283 Talegong 266 107 152 Bungbulang 162 142 139 Cigedug 162 152 254 Produksi Ton Caringin 4.410 231 3.667 Talegong 3.134 1.220 1.831 Bungbulang 1.963 1.601 1.669 Cigedug 1.865 1.869 3.304 Produktivitas TonHa Caringin 138,68 128,17 129,58 Talegong 117,82 113,99 120,46 Bungbulang 121,17 112,75 120,07 Cigedug 115,12 122,94 130,08 Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Garut 2012

5.2. Keadaan Umum Wilayah Desa Cigedug

Desa Cigedug merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Cigedug, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Desa ini terletak di daerah dataran tinggi dengan ketinggian berkisar antara 1.200 meter di atas permukaan laut dengan tingkat kemiringan 75 persen berbukit, 20 persen landai dan 5 persen curam. Desa Cigedug terletak di sebelah selatan dari kabupaten Garut dengan jarak 30 km dari ibu kota kabupaten. Desa Cigedug memiliki luas wilayah sekitar 1138,2 ha, yang terdiri dari tanah sawah 3,90 ha, tanah kering 644,87 ha, lahan perkebunan 67 aa, fasilitas umum 4,14 ha, dan tanah hutan 172,39 ha. Tanah kering dimanfaatkan untuk tanaman sayuran dan buah-buahan 76,9 persen, dan tanaman keras 22 persen, dan kolam air 1,1 persen. Penduduk Desa Cigedug berjumlah 10.201 jiwa yang terdiri dari 5.117 jumlah laki-laki dan 5.084 jumlah perempuan, dengan jumlah Kepala Keluarga sebanyak 2.647 KK yang mayoritas memeluk agama islam. Secara umum masyarakat Desa Cigedug bermata pencaharian di sektor pertanian dengan Jumlah rumah tangga petani sebanyak 661 orang. Jenis tanahnya terdiri dari Regosol 60 persen Latosol, 25 persen dan tanah Alluvia,l 15 dengan keadaan drainase 70 persen baik, 20 persen cukup baik dan 39 10 kurang baik. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya penanaman tanaman sepanjang tahun. Berdasarkan hasil analisis pengamatan curah hujan tiga tahun terakhir menunjukan bahwa rata-rata jumlah hari hujan 156 hari dan tipe iklim untuk Kecamatan Cigedug termasuk tipe iklim C agak basah, dimana setiap tahunnya antara 7-8 bulan basah dan 3-4 bulan kering. Keadaan iklim seperti ini membuat wilayah Desa Cigedug sesuai untuk pengembangan budidaya sayuran, seperti tomat, kentang, kol, cabai, jagung, pecay, dan wortel.

5.3. Karakteristik Petani Cabai Rawit Merah

Petani Cabai Rawit Merah yang dipilih sebagai responden adalah sebanyak 30 responden di Desa Cigedug. Usahatani yang dilakukan responden menggunakan sistem tumpang sari dengan tanaman pokok tumpangsari yaitu tomat dan kol . Hal ini dilakukan karena tanaman cabai rawit merah di dataran tinggi seperti di Desa Cigedug memiliki waktu siap panen yang cukup lama yakni 6 bulan sehingga akan lebih efisien dan ekonomis jika dijadikan sebagai tanaman tumpang sari dari tomat dan kol yang hanya berumur 3-4 bulan. Karakteristik petani yang akan diuraikan meliputi usia dan pengalaman petani, tingkat pendidikan, status kepemilikan lahan dan luas lahan yang digarap. Karakteristik petani responden selengkapnya diuraikan sebagai berikut.

5.3.1. Usia dan Pengalaman Petani Responden

Secara umum, rata- rata usia petani responden yang mengusahakan cabai rawit merah baik yang melakukan kemitraan maupun yang tidak adalah antara 30- 80 tahun. Sebaran umur petani ini dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu petani responden yang berusia muda dengan umur kurang dari 40 tahun, petani berusia sedang dengan umur 41 sampai 60 tahun, dan petani responden berusia tua dengan umur lebih dari 60 tahun. Jika dilihat dari sebaran umur petani responden, sebagian besar responden adalah petani yang usianya tergolong kategori petani berusia sedang yaitu pada kelompok usia 41-60 tahun sebesar 54,17. Sebaran usia petani responden dapat dilihat pada Gambar 4. 40 Gambar 4. Perbandingan Kelompok Usia Responden Menurut Nainggolan 2001 diacu dalam Iryanti 2005 bahwa umur seseorang dapat mempengaruhi fungsi biologis dan psikologis individu tersebut. Semakin muda umur petani diduga akan mempengaruhi kemampuan dan kemauan dalam mengadopsi inovasi. Para petani tersebut melakukan kegiatan usahatani sesuai dengan pengalaman dan pengetahuan sehingga tingkat adopsi mereka terhadap inovasi dan sistem yang baru tinggi. Dari 24 responden yang ada diketahui bahwa sebanyak 58,33 persen memiliki pengalaman usahatani antara 3 hingga 5 tahun, 37,50 persen telah berusahatani cabai rawit merah kurang dari 3 tahun, dan sebanyak 4,17 persen dari petani responden telah menjalankan usahatani cabai rawit merah selama lebih dari 5 tahun. Bagi petani di Desa Cigedug budidaya cabai rawit merah bukanlah hal yang relatif sulit dilakukan. Teknik budidaya cabai rawit merah tidak jauh berbeda dengan tanaman lain sejenisnya seperti tomat dan cabai merah besar atau cabai keriting. Pengalaman usahatani yang berbeda-beda pada setiap petani sangat berpengaruh terhadap teknik budidaya cabai rawit merah terutama pada penggunaan jenis dan dosis pupuk serta obat-obatan yang digunakan. Petani yang berusia lebih tua tidak selalu memiliki pengalaman usahatani cabai rawit merah lebih lama dibandingkan petani yang berusia lebih muda. Para petani di Desa Cigedug rata-rata baru membudidayakan tanaman cabai rawit merah akibat adanya peningkatan harga secara signifikan di pasaran. Usahatani 37.50 54.17 8.33 Usia 4 Usia 41 - 60 Usia 6 41 cabai rawit merah dianggap sebagai usahatani yang kurang menguntungkan sebelum terjadinya ledakan harga di pasar. Kemitraan bukan merupakan alasan para petani membudidayakan cabai rawit merah. Tabel 5. Sebaran Petani responden berdasarkan pengalaman usahatani cabai rawit merah di desa cigedug tahun 2012 Lama Berusahatani tahun Jumlah jiwa Persentase kurang dari 3 9 37,50 3 hingga 5 14 58,33 lebih dari 5 1 4,17 Total 24 100,00

5.3.2. Tingkat Pendidikan Petani Responden

Inovasi dan teknologi baru yang berkembang dalam usahatani dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan formal dalam memperoleh dan mengaplikasikannya. Baik dari sisi produksi, pemasaran, pengolahan, maupun keuangan. Petani yang menjadi responden dalam penelitian ini memiliki pendidikan yang beragam mulai dari jenjang SD, SMP SMA dan sarjana. Sebaran tingkat pendidikan petani responden dapat dilihat pada Tabel 6. Namun, berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap responden, dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan tidak berpengaruh langsung terhadap kegiatan usahatani. Pengetahuan usahatani yang petani miliki berasal dari pengalaman bertani dan pengetahuan turun-temurun. Menurut Soeharjo dan Patong 1973, tingkat pendidikan pada umumnya akan mempengaruhi cara berpikir petani. Pendidikan yang relatif tinggi dan umur yang muda menyebabkan petani lebih dinamis dalam mengadopsi inovasi baru. Salah satu petani responden yang memiliki pendidikan setingkat sarjana terlihat lebih matang dalam melakukan perencanaan usahataninya. Hal tersebut dapat dilihat adanya sebuah perencanaan secara tertulis baik dalam mempersiapkan faktor input maupun dalam hal pemasaran. 42 Tabel 6. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Desa Cigedug tahun 2012 Tingkat Pendidikan Jumlah jiwa Persentase SD 9 37,50 SMP 6 25,00 SMA 8 33,33 Sarjana 1 4,17 Total 24 100,00

5.3.3. Luas dan Status Pengelolaan Lahan

Rata-rata petani responden memiliki dan menggarap lahan cabai rawitnya sendiri. Beberapa petani yang memiliki luas lahan lebih dari 1 ha memberikan kepercayaan kepada orang lain untuk menggarap lahannya. Petani tersebut hanya mengawasi dan mengambil keputusan terhadap kegiatan usahatani pada lahannya. Besar luas lahan yang dikelola untuk lahan cabai rawit merah sangat beragam. Namun, sebanyak 25 dari petani responden menjalankan usahatani cabai rawit merah pada lahan yang relatif kecil yaitu kurang dari 0,2 ha. Besar luas lahan petani responden dalam menjalankan usahatani cabai rawit merah dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5 . Perbandingan Luas Lahan Petani Responden 25.00 37.50 16.67 20.83 Persentase Luas Lahan . 2.001 – 5.000 5.001 - 10.000 . 43 Sebagian besar petani di Desa Cigedug baik yang bermitra maupun yang tidak bermitra memiliki lahan sendiri untuk menjalankan kegiatan usahatani cabai rawit merah. Namun ada sebagian kecil petani yang menyewa lahan untuk menjalankan kegiatan usahataninya. Petani yang tidak memiliki lahan sehingga harus menyewa lahan untuk menjalankan usahatani cabai rawit merah hanya sebesar 29,17 persen dari 24 orang petani responden. Tabel 7 menunjukkan perbandingan status kepemilikan lahan antara petani yang memiliki lahan sendiri dengan petani yang meyewa lahan. Tabel 7. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan Tahun 2012 Status Kepemilikan Jumlah jiwa Persentase Milik 17 70,83 Sewa 7 29,17 Total 24 100,00 Hernanto 1996 menyatakan bahwa pengaruh status kepemilikan lahan terutama lahan milik sendiri terhadap pengelolaan usahatani antara lain : a Petani bebas mengelola lahan pertaniannya. b Petani bebas merencanakan dan menentukan jenis tanaman yang akan ditanam. c Petani bebas menggunakan teknologi dan cara budidaya. d Petani bebas memperjualbelikan lahan yang dimilikinya. e Dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab petani terhadap apa yang dimilikinya.

5.3.4. Jenis dan Pola Tanam Tumpang Sari

Tanaman cabai rawit merah di Desa Cigedug ditanam bersama dengan tanaman lain atau dikenal dengan istilah pola tanam tumpang sari. Tanaman cabai rawit merah dapat ditumpang sarikan dengan tanaman seperti tomat, kol, kentang, kacang merah, dan pecay. Tanaman cabai rawit merah memiliki usia produktif lebih lama dibandingkan tanaman tomat, kol, kentang dan sebagainya. Tanaman cabai rawit dianggap sebagai tanaman yang dapat menghasilkan penerimaan tambahan tanpa harus menambah lebih banyak biaya yang dikeluarkan. 44 Sebanyak 66,67 persen petani di Desa Cigedug membudidayakan cabai rawitnya dengan tomat dan kol dalam satu musim tanam. Tanaman pecay ditanam sebagai substitusi dari tanaman kol sedangkan tanaman kacang merah dapat ditanam sebagai substitusi tanaman tomat. Tanaman kentang juga bisa ditumpang sari dengan cabai rawit merah menggunakan teknik khusus sehingga tidak banyak petani yang melakukannya. Pada umumnya petani yang menggunakan pola tanam seperti ini termotivasi karena efisiensi biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan penerimaan setinggi-tingginya. Petani cenderung menggunakan pola tanam tumpang sari dengan menanam tomat dan cabai rawit secara bersamaan disusul dengan kol saat tanaman tomat selesai di panen. Hal tersebut dapat dilakukan karena tanaman cabai rawit memiliki umur produktif selama 1,5 tahun dengan umur siap panen selama 6 bulan sedang umur produktif tomat dan kol hanya berkisar 3 hingga 5 bulan saja. 45 VI. KERAGAAN USAHATANI CABAI RAWIT MERAH

6.1. Kondisi Usahatani Cabai Rawit Merah Desa Cigedug

Kegiatan usahatani cabai rawit merah mulai berkembang di Desa Cigedug pada 5 tahun yang lalu yaitu pada tahun 2007. Pada mulanya, benih yang digunakan merupakan benih impor. Namun, benih impor dianggap memiliki kelemahan antara lain adalah tidak tahan dengan serangan hama dan penyakit serta jumlah produksi yang lebih rendah dibandingkan benih lokal. Beberapa petani yang tidak puas menggunakan benih impor mulai mencoba menggunakan benih lokal yang berasal dari kawasan Lembang Bandung. Budidaya cabai rawit merah dianggap sebagai usaha yang kurang menguntungkan karena terdapat fluktuasi harga yang berlaku di pasar pada beberapa tahun ke belakang sehingga tidak menjadi pilihan bagi sebagian besar petani di Desa Cigedug. Padahal, cabai rawit merupakan jenis tanaman tumpang sari yang memiliki nilai ekonomis. Sebab sebagian biaya cabai rawit merah telah tertutupi oleh penerimaan hasil tanaman pokok tumpang sari. Cabai rawit merah juga memiliki masa panen yang cukup lama yakni dapat mencapai satu hingga satu setengah tahun dengan intensitas panen satu minggu hingga dua minggu sekali panen. Faktor produksi yang umum digunakan dalam usahatani cabai rawit merah di Desa Cigedug antara lain bibit, pupuk kandang, pupuk kimia, obat- obatan dan tenaga kerja. Terdapat beberapa tahapan proses usahatani cabai rawit merah di Desa Cigedug yakni pengolahan lahan pencangkulan, pembedengan, pemupukan dasar, dan pemasangan mulsa, penanaman, perawatan pemupukan, penyemprotan, dan pengairan, hingga panen dan pasca panen. Keragaan usahatani cabai rawit merah di Desa Cigedug diuraikan sebagai berikut : 46 Gambar 6 . Alur Proses Produksi Usahatani Cabai Rawit Merah Di Desa Cigedug

6.1.1. Pengolahan Lahan

Pada umumnya pengolahan lahan yang dilakukan oleh petani mitra maupun nonmitra di Desa Cigedug dimulai dengan membersihkan sampah, plastik mulsa dan sisa-sisa tanaman pada periode tanam sebelumnya. Kemudian untuk mengembalikan kondisi kesuburan tanah agar tetap gembur, hampir 80 persen petani mengolah tanah menggunakan cangkul. Penggunaaan cangkul dilakukan karena hampir 80 persen petani memiliki lahan dengan luas kurang dari 0,5 ha sehingga akan lebih efisien dibandingkan menggunakan traktor. Tanah dicangkul hingga menjadi gembur. Kedalaman cangkul berkisar antara 20 cm hingga 30 cm agar akar tanaman dapat dengan leluasa memperoleh zat hara yang ada di dalam tanah. Setelah gembur tanah dibuat bedengan setinggi 30 cm hingga 40 cm, dengan lebar bedengan ± 100 cm, serta jarak antar bedengan ± 40 cm hingga 50 cm dengan tujuan agar bisa dilalui oleh petani. Sedangkan untuk panjang bedengan bergantung pada bentuk dan luas lahan yang dimiliki oleh petani. Setelah tanah selesai dibedeng kemudian dilakukan pemupukan dasar. Pemupukan dasar perlu dilakukan petani untuk menjaga kebutuhan akan unsur hara tanah bagi tanaman yang telah hilang pada periode sebelumnya. Pemupukan Pengolahan Lahan Pembersihan, Pencangkulan, Pemasangan Mulsa Pemupukkan Dasar pupuk kandang Penanaman Perawatan Pemupukkan, Pengobatan, Pengairan Pemanenan Penyortiran dan Pemipilan oleh Vendor Petani Mitra Pemasaran Oleh Tengkulak Desa Petani Nonmitra 47 dasar yang dilakukan petani menggunakan jenis pupuk kandang baik yang berasal dari kotoran ayam maupun dari kotoran kambing atau domba. Pada petani mitra dosis rata-rata pupuk kandang yang digunakan yang diberikan berkisar 18 ton per hektar sedangkan pada petani nonmitra dosis rata- rata pupuk kandang yang digunakan hanya sebesar 9,5 ton per hektar. Penambahan zat kapur dapat ditambahkan jika kondisi tanah telah jenuh dan bersifat asam. Tanah kembali diaduk rata dikubur pada bedengan agar kandungan pada pupuk dasar yang diberikan merata. Pada umumnya petani cabai rawit merah di Desa Cigedug melakukan pemasangan mulsa pada lahannya. Hal ini dilakukan untuk menghindari serangan gulma, hama dan penyakit, menjaga kelembaban dan suhu tanah agar relatif stabil. Plastik mulsa juga berfungsi untuk mencegah pupuk terbawa oleh air hujan. Agar bedengan dapat tertutup rapat pemasangan mulsa dapat dilakukan pada waktu menjelang siang hari sehingga plastik mulsa dapat sedikit memanjang akibat pemuaian. Pemasangan mulsa dilakukan dengan cara ditarik pada kedua ujung mulsa sepanjang bedengan yang dibuat. Plastik mulsa direkatkan ke tanah menggunakan pasak yang terbuat dari bilah bambu berbentuk U kemudian ditancapkan pada setiap sisi bedengan hingga permukaan atas bedengan tertutup rapat. Setelah mulsa terpasang dengan rapih, selanjutnya mulsa diukur untuk menentukan jarak tanaman yang diinginkan sesuai dengan pola tumpang sari yang digunakan. Rata-rata petani mitra menggunakan pola menyilang pada setiap bedengan. Dua lubang pada kedua sisi kanan dan kiri dengan masing jarak antar lubang 50 x 50 cm dan satu lubang yang berada di tengah kedua lubang kanan dan kiri dengan jarak antar lubang 75 x 75 cm. Sedangkan petani nonmitra biasanya menggunakan pola tanam sejajar pada setiap bedengan. Jarak antar masing-masing lubang adalah 30 x 30 cm. Plastik mulsa yang telah diukur kemudian dilubangi menggunakan alat pembolong mulsa yang dapat dibeli pada toko Saprotan seharga Rp. 50.000buah. 48 a b Gambar 7. a Pola Tanam Sejajar ; b Pola Tanam Menyilang

6.1.2. Penyemaian Benih dan Pembibitan

Pembibitan untuk budidaya cabai rawit merah dapat dilakukan oleh petani responden sendiri. Pada petani mitra sebanyak 78,54 persen memperoleh bibit dengan cara membeli dari para penyemai benih. Sedangkan pada petani nonmitra sebanyak 36,48 persen petani yang memilih untuk membeli bibit langsung kepada petani lain yang melakukan pembibitan. Petani lebih memilih untuk membeli bibit yang telah jadi karena luas lahan yang dimiliki oleh rata-rata petani tidak terlalu besar. Sedangkan untuk tomat dan kol sebagai tanaman tumpang sari benih dapat diperoleh dengan membeli di toko yang telah di percaya oleh masing-masing petani. Proses pembibitan dapat dilihat sebagai berikut.

6.1.2.1. Penyiapan Benih

Secara umum dalam hal penyemaian benih cabai rawit merah yang dilakukan oleh petani mitra dan non mitra tidak memiliki perbedaa yang signifikan. Benih cabai rawit merah diperoleh dari tanaman induk harus berasal dari tanaman yang sehat dan buah yang baik. Biji buah cabai rawit merah diambil dari buah yang telah matang yaitu pada saat usia tanaman mencapai sembilan bulan. Buah yang memenuhi syarat dipotong menjadi tiga bagian yang setiap bagiannya harus sama panjang. Biji untuk benih diambil dari potongan bagian tengah. Potongan bagian tengah ini umumnya memiliki biji yang lebih padat, lebih banyak, lebih besar, dan kemungkinan sudah mengalami penyerbukan sempurna. Potongan yang dipilih dibelah, kemudian bijinya dikeluarkan untuk dijemur sampai kering. Setelah biji cabai rawit merah untuk benih diperoleh, 49 tahap berikutnya melakukan seleksi biji untuk mendapatkan benih cabai rawit merah yang baik. Penyeleksian dilakukan dengan cara biji calon benih dimasukkan ke dalam ember atau bak berisi air dan diaduk- aduk. Perhatikan hingga tampak terdapat biji yang mengambang dan yang tenggelam. Biji yang mengambang merupakan biji yang kurang baik untuk benih. Biji ini merupakan biji yang tidak berisi kosong. Sebaliknya, biji yang tenggelam merupakan biji yang berisi. Setelah dilakukan seleksi pada biji maka biji siapa untuk disemaikan. Bila tidak langsung digunakan, benih yang terpilih dapat disimpan. Untuk dapat disimpan benih dikeringkan terlebih dahulu dengan cara dijemur di atas tampah, tetapi tidak langsung di bawah sinar matahari. Lama penjemuran tergantung kondisi cuaca saat itu. Bila hari panas, lamanya pengeringan 3 hari. Sebaliknya bila hari hujan, lamanya pengeringan dapat dilakukan hingga seminggu. Benih yang sudah kering dapat dimasukkan ke dalam botol hingga ¾ tinggi botol, sedangkan ruang sisanya diisi abu pembakaran. Dengan cara ini benih cabai rawit merah dapat disimpan hingga 2-3 bulan tanpa mempengaruhi daya tumbuhnya. Sebelum disemai, benih yang terpilih direndam selama 1-2 jam ke dalam air hangat. Cara ini agar dapat mempercepat perkecambahan dan juga dapat membantu menghilangkan sisa- sisa bakteri dan cendawan yang bisa mengganggu. Setelah itu, benih dapat langsung ditebarkan ke persemaian. Persiapan benih tanaman kol dan tomat dilakukan dengan cara yang lebih sederhana. Benih yang dibeli di toko terpercaya cukup direndam dalam larutan fungisida seperti Frevikur N 0,1 persen selama ± 2 jam, kemudian dikeringkan. Hal tersebut perlu dilakukan agar mikroorganisme yang dapat menimbulkan penyakit mati. Setelah semua perlakuan selesai dilakukan benih kol dan tomat siap untuk disemai.

6.1.2.2. Penyemaian Benih

Penyemaian benih secara umum baik pada cabai rawit merah, kol maupun tomat dapat dilakukan pada bedengan yang dibuat khusus untuk pembibitan atau menggunakan suatu media yang dinamakan “complong”. Media ini terbuat dari daun pisang yang dibentuk menyerupai tabung kecil yang berisikan campuran tanah dan kompos sebagai media. 50 Jika disemai diatas bedengan maka jarak tebaran antara 3 –6 cm. Setelah benih ditebarkan, di atas benih tersebut ditaburkan pupuk kandang dan kompos. Setiap meter persegi luas bedengan diberi 5 –10 kg pupuk kandang. Benih yang ditebarkan harus dilindungi dari terpaan sinar matahari langsung ataupun air hujan. Di atas bedengan diberi naungan yang tingginya sekitar 1 m di bagian barat dan 1,5 m di bagian timur. Untuk mendapatkan bibit yang siap tanam, tentunya semaian harus dirawat dengan baik. Secara umum, perawatan yang dilakukan antara lain penyiraman serta pengendalian serangan hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan dua kali sehari, yaitu pagi dan sore bila di bedengan penyemaian sangat panas. Bila udara dingin atau terjadi hujan, penyiraman dapat ditiadakan atau hanya sekali penyiraman saja yaitu pada pagi hari saja. Persemaian perlu dijaga dari kemungkinan serangan hama dan penyakit. Hama dan penyakit yang sering mengganggu persemaian antara lain semut, cacing dan jamur. Biasanya petani responden melakukan pengendalian hama dan penyakit dengan menggunakan pengobatan secara alami, yaitu menggunakan daun sirsak, daun surai, ataupun bisa juga dengan daun sereh. Setelah berumur 1 –2 minggu setelah penebaran, bibit cabai rawit merah sudah mulai bertunas. Bila umur calon bibit sudah dua minggu, sebagian naungannya dibuang. Sisa naungannya dapat dibuang setelah umur bibit tersebut sudah 3 minggu dan bibit sudah siap dipindah kepada lahan untuk ditanam. Bibit tanaman kol yang telah berumur 3 –4 minggu dan memiliki 4–5 daun juga dapat dikatakan telah siap ditanam. Sedangkan bibit tanaman tomat siap untuk ditanam setelah berumur 30 –45 hari.

6.1.3. Penanaman

Secara umum budidaya cabai rawit merah di Desa Cigedug dilakukan secara tumpang sari dengan tanaman utama kol dan tomat. Satu musim tanam dalam budidaya tanaman cabai rawit merah ini dilakukan selama 1 –1,5 tahun yakni mengikuti usia produktif tanaman cabai rawit. Penanaman ini dilakukan pada bedengan-bedengan lahan yang sudah disiapkan sebelumnya. 51

6.1.3.1. Penentuan Jarak dan Pola Tanam

Penentuan jarak tanam ditentukan saat selesai dilakukan pemasangan mulsa. Berdasarkan pengalaman petani di Desa Cigedug jarak tanam yang lebar akan lebih baik untuk kesehatan tanaman. Petani mitra rata-rata menggunakan pola menyilang dengan dua lubang pada kedua sisi kanan dan kiri dengan masing jarak antar lubang 50 x 50 cm dan satu lubang yang berada di tengah kedua lubang kanan dan kiri dengan jarak antar lubang 75 x 75 cm. Petani nonmitra biasanya menggunakan pola tanam sejajar pada setiap bedengan. Jarak antar masing-masing lubang adalah 30 x 30 cm. Pola tanam antara tomat dan cabai rawit merah bersifat saling berlawanan. Apabila tomat ditanam dengan dengan pola menyilang, maka cabai rawit merah akan ditanam dengan pola lurus, begitu juga sebaliknya,tetapi dengan waktu penanaman yang bersamaan. Jarak tanam dan pola tanam yang digunakan dapat mempengaruhi produktifitas yang didapat oleh masing-masing petani. Secara umum jarak tanam yang lebar akan memberikan dampak positif terhadap kesehatan tanaman utama dan tanaman tumpang sari lain karena dapat mengurangi tingkat kompetisi masing-masing tanaman dalam memperoleh makanan, air, dan sinar matahari atau cahaya yang cukup karena tanaman akan tidak saling menaungi. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pada petani nonmitra dengan rata-rata pola dan jarak tanam yang lebih rapat memiliki kemampuan produktifitas yang lebih kecil daripada petani mitra. Gambar 8. Jarak dan Pola Tanam Cabai Rawit, Kol, dan Tomat Merah di Desa Cigedug. Waktu dan pola penananam terhadap ketiga tanaman tumpang sari yakni tomat, kol dan cabai rawit merah merupakan salah satu faktor penting penunjang 52 keberhasilan produktifitas yang baik bagi semua tanaman. Waktu tanam tanaman cabai rawit yang dibudidayakan di dataran tinggi seperti di Desa Cigedug dapat di lakukan pada segala musim dengan tingkat risiko yang berbeda-beda. Penanaman yang dilakukan pada musim kemarau memiliki risiko kekeringan dan hama seperti lalat buah dan trip. Sedangkan penanaman yang dilakukan pada musim penghujan dapat meningkatkan risiko terserang penyakit sepertis layu fusarium, busuk batang, dan jamur. Petani mitra dituntut untuk dapat memproduksi cabai rawit merah pada setiap musim untuk menjaga keberlanjutan pasokan ke pabrik Indofood. Sedangkan petani responden yang tidak bermitra dapat memperhitungkan waktu tanam yang paling tepat agar dapat mendapat harga pasar terbaik. Pada umumnya pola tanam yang dilakukan petani cabai rawit merah baik yang bermitra maupun yang tidak bermitra di Desa Cigedug menanam cabai rawit merah terlebih dahulu. Selang satu bulan tomat baru ditanam. Sedangkan penanaman kol baru dilakukan setelah tomat selesai di panen. Pada saat itu tanaman cabai rawit merah telah berusia 4 bulan belum mencapai masa panen. Namun, ada pula yang menanam dengan waktu hampir secara bersamaan ketiga tanaman tersebut tergantung pada musim saat penanaman. Jarak dan pola tanam yang dilakukan petani Desa Cigedug dapat dilihat pada Gambar 8.

6.1.3.2. Penanaman Bibit

Sebelum penanaman biasanya perlu dilakukan penyemprotan insektisida ke dalam lubang tanam. Bibit yang telah siap tanam ditempatkan di tengah lubang tanam yang telah digali kemudian ditimbun kembali oleh media tanam bekas galian sebelumnya hingga kembali cukup padat. Hal ini bertujuan agar akar tanaman lebih kokoh dan tanaman tidak mudah goyah. Jumlah bibit yang akan ditanam baik tomat, kol maupun cabai rawit merah sangat bergantung pada jarak dan pola tanam ketiganya. Apabila menggunakan jarak 50 x 50 cm maka dalam satu hektar bibit tanaman cabai rawit merah dapat ditanam sebanyak 15.000 - 17.000 pohon. Sedangkan jika jarak tanamnya mencapai 30 x 30 tanaman cabai rawit merah dapat ditanam sebanyak 17.000 – 20.000 pohon. Sedangkan untuk tanaman tomat dan kol secara bergantian biasanya hanya mampu ditanam sebanyak 15.000 pohon. 53 Waktu penanaman sebaiknya dilakukan pada pagi hari antara pukul 07.00- 09.00 WIB atau sore hari setelah pukul 15.00 WIB. Setelah penanaman, penyiraman dapat langsung dilakukan. Terkadang pelindung tanaman juga diperlukan untuk tanaman cabai merah, fungsinya untuk melindungi tanaman agar tanaman tidak terkena sengatan sinar matahari secara langsung serta terhindar dari terpaan air hujan dan angin kencang.

6.1.4. Pemeliharaan Tanaman

Pemeliharaan tanaman perlu dilakukan sejak tanaman ditanam hingga tanaman selesai dipanen. Adapun kegiatan pemeliharaan tanaman cabai rawit merah beserta kol dan tomat antara lain yaitu penyulaman, pemasangan ajir, pemupukan tambahan cor atau suntik, pengendalian hama dan penyakit dengan menyemprot obat-obatan yang tersedia serta penyiraman. Penyulaman tanaman pada cabai rawit merah diperlukan untuk mengganti tanaman utama yang gagal tumbuh atau mati. Proses penyulaman ini dilakukan sejak satu hingga dua minggu setelah tanam. Caranya adalah dengan mengganti tanaman yang mati dengan tanaman yang baru. Bibit yang digunakan untuk penyulaman adalah sisa bibit yang masih ada. Pemasangan ajir dilakukan saat umur cabai rawit merah atau tomat mencapai empat minggu agar tidak merusak tanaman yang masih kecil. Pemasangannya dilakukan dengan sistem ajir miring, yaitu dua bilah bambu ditancapkan secara menyilang secara sejajar pada percabangan tanaman cabai rawit merah mengikuti arah panjang bedengan. Masing-masing tanaman dipasangkan satu ajir. Antara ajir yang satu dengan ajir yang lainnya dihubungkan dengan bilah bambu memanjang atau melintang kemudian diikat dengan tali galar atau tali rafia. Pemasangan ajir itu dimanfaatkan sebagai penyangga tanaman tomat dan cabai rawit merah. Seminggu setelah penanaman, dapat pula dilakukan pemupukan tambahan. Tujuan pemupukan ini adalah agar tanaman yang ditanam baik tomat, kol maupun cabai rawit merah mendapat mendapatkan cukup nutrisi makanan yang tersedia dalam tanah tanpa terjadi perebutan makanan antara masing-masing tanaman. Proses pemupukan baik pada petani mitra maupun nonmitra dilakukan dengan teknik kocoran larutan hasil campuran pupuk dengan air dengan dosis tertentu. 54 Hal ini dilakukan agar tanah yang sudah tetutup mulsa pada permukaan mudah menyerap nutrisi pupuk. Pupuk yang biasa digunakan baik oleh petani mitra maupun oleh petani nonmitra adalah campuran dari pupuk kimia seperti TSP, KCL, KNO, dan NPK. Pada tanaman tomat dan kol biasanya cukup menggunakan larutan NPK Mutiara sebagai pupuknya. Dosis yang diberikan oleh petani mitra cenderung lebih sedikit dibandingkan dengan dosis pemakaian pupuk kimia yang digunakan oleh petani nonmitra. Pada petani mitra pemakaian pupuk kimia dibatasi sesuai dengan petunjuk dari agrofield Indofood sebagai syarat agar dapat diterima di pabrik. Sedangkan pada petani nonmitra dosis pemakaian pupuk kimia didasarkan pada pengalaman petani masing-masing. Baik pada petani mitra maupun nonmitra, aturan pemberian pupuk pada tomat dan kol yang dilakukan petani pada yaitu sebanyak 3 kali dalam satu musim. Pengecoran pada tomat dilakukan ketika tanaman tomat berusia 30 hari, 60 hari dan 90 hari sedangkan untuk kol pupuk diberikan pada saat usia tanaman kol 15 hari, 30 hari dan 45 hari. Pengecoran pupuk tambahan pada cabai rawit merah dilakukan ketika tanaman tomat dan kol telah habis di panen. Hal ini dilakukan agar cabai rawit tetap mendapatkan kebutuhan nutrisi untuk menunjang hasil panen. Pemberian obat-obatan seperti fungisida dan insektisida diberikan untuk mencegah serangan hama dan penyakit pada tanaman terutama pada tomat dan cabai rawit merah. Adapun jenis obat-obatan yang biasa digunakan oleh petani responden antara lain Dakonil, Antrakol, Prepaton, Polaram, Cekpoin, Unicef, Ekuisen, Oktanil, Manep, Bion M, Klorotaronil, Afidor, Confidor, Demolis, Gramaxon, Kolikron, Kurakron, ABSA, Napel, Supergo, Abamektin dan obat sejenis lainnya. Pada umumnya penyemprotan obat-obatan dilakukan setiap 2 minggu sekali. Namun jika memasuki musim penghujan maka untuk mencegah serangan hama dan penyakit maka penyemprotan dapat dilakukan setiap satu hingga 2 kali dalam seminggu. Rata-rata penggunaan obat-obatan pada petani mitra relatif lebih sedikit dibandingkan dengan penggunaan obat-obatan pada petani nonmitra. Hal ini terjadi karena perawatan terhadap serangan hama dan penyakit pada petani mitra dilakukan berdasarkan saran dan masukan dari agrofield Indofood sehingga 55 pemakaian obat diberikan sesuai dengan kebutuhan tanaman. Selain itu cara penanggulangan terhadap tanaman yang telah terserang hama dan penyakit benar- benar diperhatikan oleh para petani mitra, sedangkan petani nonmitra bertindak apa adanya tanpa ada target dan batasan tertentu.

6.1.5. Panen

Proses panen pada tanaman cabai rawit merah akan dapat dilakukan pertama kalinya pada usia 5-7 bulan setelah masa tanam. Sedangkan tomat dan kol mulai dapat dipanen pada usia 3 bulan setelah masa tanam. Kondisi siap panen cabai rawit merah pada dataran tinggi menjadi lebih lama dibandingkan di dataran rendah. Tanaman cabai rawit merah pada dataran rendah mulai dapat dipanen pada usia 3-4 bulan. Setelah mencapai usia 1,5 tahun rata-rata tanaman cabai rawit merah tidak mampu berproduksi sehingga petani memilih untuk mencabut tanaman tersebut. Selama masa produktif tanaman yaitu 1,5 tahun rata-rata cabai rawit merah di Desa Cigedug dapat dipanen sebanyak 48 kali dengan intensitas panen setiap seminggu satu kali selama satu tahun masa panen. Pada kondisi yang ideal, jumlah hasil panen cabai rawit merah akan mengalami peningkatan hingga mencapai panen ke -15. Kemudian biasanya akan mengalami jumlah pemanenan yang stabil hingga panen ke-20. Kemudian secara bertahap akan mengalami penurunan jumlah panen hingga seperti kondisi awal panen. Setiap pemanenan membutuhkan tenaga kerja dengan maksimum kekuatan setiap tenaga kerja dalam sehari adalah 10 hingga 15 kg. Proses panen biasanya dilakukan pada pagi hari. Tenaga kerja yang digunakan adalah tenaga kerja wanita. Namun beberapa petani memberikan upah borongan untuk proses pemanenannya. Cara pemetikan buah hendaknya dilakukan dengan mengikutkan tangkai buahnya. Tujuannya agar buah tidak cepat busuk setelah dipanen. Tingkat kematangan buah sewaktu panen pun dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Petani dapat memanen dua jenis panenan, yakni panen hijau atau panen merah. Para petani yang melakukan kemitraan mempunyai aturan tersendiri dalam proses pemanenan. Tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan dari pabrik Indofood sesuai dengan kualitas dan kualitas yang telah disepakati kedua belah pihak. Ciri-ciri buah yang menjadi spesifikasi pabrik antara lain harus merupakan 56 panen merah atau minimal lebih dari 70 persen telah berwarna merah, Warna cabai rawit merah yang digunakan untuk pabrik akan mempengaruhi warna dari produk yang dihasilkan yakni sambal. Buah cabai rawit merah hasil panen petani mitra tidak boleh busuk atau terkena hama patek dan tidak boleh terlihat bekas pestisida. Petani langsung melakukan proses penyortiran sendiri di kebun sebelum hasil panen diberikan kepada Gapoktan Cagarit sebagai vendor Indofood yang berada di desa untuk kembali dilakukan penyortiran dan “pemipilan” atau pembuangan tangkai cabai agar menjadi siap olah di pabrik. Bagi petani nonmitra, proses pemanenan tidak ada aturan khusus yang mengikat. Petani hanya perlu memanen sesuai dengan kebutuhan. Setelah dipanen buah cabai rawit merah langsung dikemas menggunakan karung bekas pupuk dengan ukuran 45-50 kg per karung. Kemudian dijual kepada “calo” atau tengkulak untuk selanjutnya didistribusikan ke pasar lokal atau pasar induk. Proses penyortiran dilakukan oleh petani nonmitra dilakukan saat pemanenan dikebun. Buah yang dipanen hanya buah yang sehat sedangkan buah yang terkena hama dibiarkan begitu saja di pohon.

6.1.6. Pemasaran Hasil Panen

Hasil cabai rawit merah yang telah dipanen oleh para petani mitra selanjutnya didistribusikan kepada pihak yang disebut sebagai vendor, yaitu Gapoktan “Cagarit” dengan harga yang diterima petani antara Rp. 10.000,00kg dengan margin harga sebesar Rp 5.000,00kg yang diterima oleh vendor dari pabrik menjadi Rp 15.000,00kg cabai rawit merah. Vendor merupakan pihak perwakilan para petani yang menjalin kemitraan dengan Indoofood dan memiliki bukti hukum yang jelas yakni kontrak. Vendor indofood dalam kasus ini adalah Gapoktan “Cagarit”. Peran Gapoktan Cagarit sebagai vendor cukup membantu bagi pihak Indofood untuk mengkoordinir hasil dari kemitraan dari petani agar sesuai dengan spesifikasi pabrik yang diinginkan baik dari kuantitas maupun kualitas cabai rawit merah. Sedangkan petani nonmitra menjual cabai rawit merah yang telah dipanen kepada tengkulak tingkat desa yang kemudian didistribusikan ke pasar lokal yaitu Pasar Cikajang ataupun didistribusikan langsung ke pasar-pasar induk seperti Caringin Bandung, Tanah Tinggi Tanggerang, Cibitung Bekasi, dan Keramat Jati 57 Jakarta. Salah satu faktor yang menyebabkan fluktuasi harga yang diterima oleh petani cabai rawit merah yang tidak menjalin kemitraan adalah terdapat fluktuasi harga pasar karena adanya perbedaan waktu tanam antara masing-masing daerah penghasil cabai rawit merah. Harga akan semakin meningkat di pasar saat pasokan cabai rawit merah di pasar induk acuan dari daerah penghasil cabai rawit merah lain seperti di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur belum memasuki musim panen. Informasi mengenai waktu tanam yang tepat belum dijadikan acuan bagi petani cabai rawit merah yang tidak menjalin kemitraan di Desa Cigedug agar dapat menjual hasil panen cabai rawit merahnya dengan harga yang tinggi di pasar. Harga yang diterima oleh petani responden berbeda-beda tergantung kepada masing-masing tengkulak yang menjalin kerja sama dengan petani tersebut. Namun rata-rata harga yang diterima oleh petani non mitra adalah sebesar Rp 10.397,00.

6.2. Kondisi Kemitraan di Desa Cigedug

Bedasarkan sudut pandang perusahaan, kemitraan antara petani di Desa Cigedug dengan perusahaan mitra seperti PT. Indofood Fritolay Makmur telah terjalin kurang lebih selama 5 tahun. Pada mulanya kemitraan antara petani Desa Cigedug dengan PT Indofood Fritolay Sukses makmur dilakukan pada komoditi kentang. Jenis kentang yang dibudidayakan oleh petani merupakan jenis kentang impor yaitu kentang Atlantik. Jenis kentang ini berbeda dengan jenis kentang impor lainnya yaitu kentang Granola karena kentang atlantik memiliki kadar air dan kandungan gula yang lebih rendah sehingga cocok untuk kebutuhan industri Indofood. Selain itu, benih kentang atlalntik belum dapat dibudidayakan di Indonesia sehingga penggadaan benih kentang masih diatur oleh perusahaan. PT. Indofood Fritolay Makmur melakukan pengembangan pada komoditas cabai rawit merah dan singkong untuk memenuhi kebutuhan pabrik. Pada tahun 2009 perusahaan melakukan riset di Desa Cigedug untuk komoditi cabai rawit merah dan mulai melakukan jalinan kemitraan pada komoditi cabai rawit merah. Keberhasilan jalinan kemitraan pada komoditi cabai rawit merah di Cigedug mendorong perusahaan melakukan pengembangan di daerah Kabupaten Garut dan Tasikmalaya pada tahun 2010. Namun, pada akhir 2010 terjadi peningkatan harga cabai rawit merah di pasaran yang sangat signifikan. Hal ini membuat sebagian 58 besar petani yang menjalin kemitraan melanggar kontrak kemitraan dan menjual hasil panen cabai rawitnya ke pasar untuk mendapatkan keutungan dari peningkatan harga yang signifikan di pasar. Berkurangnya jumlah pasokan yang dialami perusahaan dalam memenuhi kebutuhan pabrik mendorong perusahaan melakukan pengembangan kemitraan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur pada tahun 2011-2012. Sebanyak kurang lebih 500 petani cabai rawit merah dan besar tersebar di Pulau Jawa. Pada dasarnya latar belakang dibentuknya kemitraan di Desa Cigedug adalah karena perusahaan membutuhkan kepastian pasokan cabai rawit merah untuk diolah dengan kuantitas dan kualitas yang terukur. Perusahaan juga membutuhkan kepastian budgeting dalam menjalankan industrinya. Kemitraan merupakan bentuk program pemberdayaan masyrakat khususnya petani yang dilakukan oleh Corporate Social Responsibility CSR dari PT. Indofood Fritolay Makmur. Perbaikan aturan yang mengikat antara petani dan perusahaan senantiasa dilakukan agar hak dan kewajiban masing-masing dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Alasan petani bermitra dengan perusahaan cenderung karena adanya kepastian harga dan pasar yang diberikan perusahaan kepada petani. Selain itu, adanya bantuan berupa kemudahan pinjaman modal dan saprotan kepada petani menambah minat petani untuk menjalin kemitraan dengan PT. Indofood Sukses Makmur. Petani juga mendapatkan pembinaan dan kesempatan berkonsultasi kepada para agrofield Indofood yang bertugas di Desa Cigedug mulai dari teknis budidaya hingga sistem administrasi. Disamping hak-hak yang didapat oleh petani, petani juga memiliki kewajiban diantaranya menjamin pasokan dari kualitas yakni panen merah dan kuantitas sesuai hasil panen yang terdaftar pada lahan yang dibudidayakan cabai rawit merah serta mengembalikkan segala bentuk bantuan pinjaman secara berangsur-angsur. Pada umumnya petani menganggap proses kemitraan ini mudah dilakukan walaupun sebagain kecil petani menganggap sulit karena terdapat beberapa kendala seperti harga yang dianggap tidak sesuai, barang yang terkena sortiran pabrik sehingga dikembalikkan sebagai barang afkir serta masalah pemenuhan kuantitas produk karena hasil panen yang menurun akibat cuaca yang 59 kurang mendukung. Hak dan kewajiban baik petani maupun perusahaan dapat dilihat selengkapnya pada Lampiran 8. Penentuan harga kemitraan didasarkan pada harga kesepakatan antara petani dan perusahaan yang diwakilkan oleh Gapoktan Cagarit. Harga yang menjadi rujukan adalah harga pasar induk seperti Keramat Jati, Cibitung dan pasar-pasar induk lainnya. Besar harga yang diterima oleh petani sesuai dengan kesepakatan pada mulanya sebesar Rp 7.000,00. Namun, harga pasar yang cenderung naik dari tahun ke tahun membuat kesepakatan harga yang diterima oleh petani meningkat menjadi Rp 10.000,00 dengan harga yang diterima oleh vendor sebesar Rp 15.000,00. Oleh karena itu terdapat margin sebesar Rp 5.000,00 sebagai biaya untuk penyortiran, pemipilan, dan pengangkutan yang dilakukan oleh Gapoktan Cagarit. Bagi petani cabai rawit merah sendiri adanya selisih harga yang diterima oleh Gapoktan Cagarit sebagai vendor dengan petani sebesar Rp 5.000,00 dianggap tidak wajar dan kurang menguntungkan bagi petani. Besar margin harga sebanyak Rp 5.000,00 digunakan oleh Gapoktan Cagarit sebagai imbalan atas proses penyortiran, pemipilan dan biaya transportasi untuk mengantar cabai rawit merah ke pabrik. Margin ini dapat diminimalkan apabila petani mitra mau untuk melakukan proses pascapanen masing-masing sebelum diserahkan ke pabrik sehingga manfaat margin sebesar Rp 5.000,00kg dapat dirasakan juga oleh para petani yang menjalin kemitraan. Terdapat biaya kompensasi yang diterima oleh petani mitra apabila harga pasar melebihi Rp 20.000,00. Besar biaya kompensasi harga atas harga pasar yang diterima oleh petani mitra adalah sebanyak 50 persen dari kelebihan harga diatas Rp 20.000,00. Namun sebaliknya apabila harga pasar kurang dari Rp 10.000,00 maka harga yang diterima petani sesuai dengan harga kesepakatan awal yakni sebesar Rp 10.000,00. Kebijakan yang cenderung menguntungkan bagi petani tersebut secara nyata tidak menjadikan loyalitas petani untuk bermitra semakin tinggi. Salah satu kelemahan dari pola kemitraan ini adalah belum ditetapkannya sanksi yang dianggap paling bijaksana terhadap petani yang melanggar kesepakatan kontrak selain diputus sebagai petani mitra. 60 Peningkatan harga yang sangat tinggi di pasar dianggap sangat memberikan keuntungan bagi petani dibandingkan tetap menjalin kemitraan. Walaupun kondisi tersebut hanya terjadi pada waktu yang tidak menentu. Bagi petani nonmitra menjalin sebuah kemitraan hanya memberikan keuntungan yang tidak seimbang kepada petani. Sehingga petani lebih memilih tetap bertahan dengan tengkulak yang selama ini menjadi agen pemasar dari hasil produksi cabai rawit yang dihasilkan. 61 VII. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI CABAI RAWIT MERAH

7.1. Sistem Usahatani Cabai Rawit Merah