15
pemasaran yang baru. Pada proses kemitraan, pihak-pihak ekternal yakni Agroindustry berusaha mengubah pola pikir para petani subsisten untuk dapat
menghasilkan produksi yang bernilai tinggi dan berorientasi ekspor. Hal tersebut akan memiliki efek berlipat pada pekonomian pedesaan. Oleh karena itu,
mekanisme kemitraan mungkin dapat meningkatkkan kehidupan petani kecil dengan memberi segudang manfaat untuk melawan era liberalisasi ekonomi yang
terjadi. Beberapa manfaat kemitraan antara lain adalah dapat mengurangi biaya
transaksi yang tinggi akibat dari kegagalan pasar atau kegagalan pemerintah dalam upaya menyediakan sarana dan prasarana input pertanian baik kredit,
asurannsi, informasi serta lembaga-lembaga pemasarannya. Dengan berkurangnya biaya transaksi maka laba yang didapatkan oleh pihak produsen akan semakin
tinggi. Alur informasi yang lancar juga akan memberikan kemudahan akses pemasaran.
Penerapan kemitraan dalam agribisnis dibagi menjadi 2 jenis kemitraan, yakni kemitraan vertikal dan kemitraan horizontal. Kemitraan vertikal biasanya
akibat adanya masing-masing kebutuhan antar subsistem dalam sistem agribsnis. Sedangkan kemitraan horizontal biasanya dilakukan didalam satu subsistem yang
sama.
2.5. Penelitian Terdahulu
2.5.1. Penelitian Usahatani
Penelitian mengenai usahatani cabai rawit yang terkait dengan kemitraan belum pernah dijadikan sebagai topik penelitian di IPB. Adapun berbagai macam
penelitian usahatani yakni yang dilakukan pada spesies cabai lainnya seperti cabai merah besar dan cabai keriting. Diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh
Nurliah 2002, dengan judul Analisis Pendapatan Usahatani dan Pemasaran Cabai Merah Keriting di Desa Sindangmekar, Kecamatan Wanaraja, Kabupaten
Garut. Hasil pennelitian diperoleh bahwa hasil produksi cabai merah keriting petani dalam satu musim tanam untuk luasan satu hektar sebesar 10.714,3 kg,
harga jual rata- rata yang terjadi di tingkat petani sebesar Rp. 3.000,00 sehingga total penerimaan sebesar Rp. 32.142.900,00. Biaya tunai terbesar yang
16
dikeluarkan adalah untuk tenaga kerja luar keluarga sebesar Rp. 4.032.480,00 atau sebesar 26,86. Biaya tunai terbesar kedua adalah pestisida sebesar Rp.
3.375.710,00 atau sebesar 22,49. Selain biaya tunai, dihitung pula biaya yang diperhitungkan yang terdiri dari tenaga kerja dalam keluarga, penyusutan alat dan
sewa tanah. Petani memperoleh pendapatan atas biaya total sebesar Rp. 17.131.413,00 per hektar dengan RC yang diperoleh sebesar 2,14.
Khairina 2006, juga melakukan penelitian mengenai Analisis Pendapatan Usahatani dan Pemasaran Wortel dengan Budidaya Organik Studi Kasus: Desa
Citeko, Kecamatan Cisarua, Bogor, dengan hasil bahwa analisis pendapatan terbesar, baik atas biaya tunai maupun atas biaya total diterima oleh petani wortel
organik sebesar Rp.8.577.806,08 per hektar dan Rp.6.715.338,37 per hektar. Besarnya nilai perbandingan RC petani wortel organik atas biaya total dan biaya
tunai adalah 2,28 dan 3,53. Artinya setiap Rp 1,00 biaya yang dikeluarkan oleh petani wortel organik menghasilkan penerimaan sebesar Rp 2,28 untuk biaya total
yang dikeluarkan dan Rp 3,53,- untuk biaya tunai yang dikeluarkan. Sedangkan nilai perbandingan RC atas biaya total dan RC atas biaya tunai petani wortel
konvensional adalah 1,70 dan 2,48. Dari nilai perbandingan RC atas biaya tunai dan biaya total petani responden wortel organik memiliki nilai perbandingan yang
lebih tinggi dibandingkan petani wortel konvensional. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani wortel organik lebih menguntungkan dibandingkan usahatani
wortel konvensional. Iryanti 2005, melakukan penelitian dengan judul Analisis Usahatani
Komoditas Tomat Organik dan Anorganik Studi Kasus: Desa Batulayang, Kecamatan Cisarua, Bogor. Dari analisis ini diperoleh bahwa sistem usahatani
tomat organik yang dilakukan oleh petani di Desa Batulayang secara umum sama dengan sistem usahatani tomat secara konvensional anorganik. Perbedaan yang
terdapat dalam usahatani tomat secara organik dan anorganik adalah tidak adanya penggunaan pupuk kimia dalam sistem usahatani organik. Rata- rata produksi
tomat yang dihasilkan petani organik untuk luasan rata- rata lahan 0,18 ha sebanyak 4.589,24 kg dan untuk 1 ha yaitu sebanyak 25.495,75 kg, sedangkan
produksi tomat yang dihasilkan petani anorganik untuk luasan rata- rata lahan 0,15 ha sebanyak 4.515,95 kg dan untuk 1 ha yaitu sebanyak 30.106,33 kg. Hal ini
17
menunjukkan bahwa penggunaan pupuk kimia dapat mempengaruhi produksi tomat. Namun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa petani yang berusahatani
tomat secara organik memperoleh pendapatan atas biaya tunai pada luasan lahan 0,18 ha sebesar Rp. 6.280.275,85 sedangkan pada luasan lahan 1 ha pendapatan
atas biaya tunai sebesar Rp. 34.890.421,39. Pendapatan atas biaya total yang diperoleh pada luasan lahan 0,18 ha untuk tomat organik sebesar Rp. 5.728.221,46
sedangkan pendapatan total pada luas lahan 1 ha sebesar Rp. 31.823.452,55. Pendapatan atas biaya tunai yang diperoleh dari tomat anorganik untuk lahan 0,15
dan 1 ha masing-masing adalah Rp. 4.083.678,56 dan Rp. 27.224.490,96 sedangkan pendapatan atas biaya total yang diperoleh pada lahan 0,5 dan 1 ha
masing-masing adalah Rp. 3.579.549,60 dan Rp. 23.863.631,23. Berdasarkan penelitian terdahulu, maka dapat dilihat bahwa terdapat
persamaan dan perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini. Persamaannya adalah sama-sama menganalisis tentang pendapatan yang
dihasilkan oleh petani, baik pada komoditas cabai ataupun komoditas lainnya seperti tomat dan wortel. Ada juga yang bertujuan melihat pendapatan usahatani
dari organik dan organik sedangkan dalam penelitian ini bertujuan untuk melihat pendapatan usahatani kemitraan dan non-kemitran. Untuk perbedaanya yaitu
lokasi penelitian yang berbeda, komoditi yang berbeda dan responden petani yang digunakan juga berbeda, sehingga hasil yang diharapkan juga berbeda
dengan penelitian lainnya.
2.5.2. Penelitian Kemitraan