Analisis Efisiensi Tataniaga Sistem tataniaga tomat (Kasus di Desa Tugumukti, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat

110 Nilai rasio keuntungan terhadap biaya pada saluran tataniaga V adalah 0,59. Artinya, setiap Rp 100,00 biaya yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga pada saluran tersebut akan memberikan keuntungan sebesar Rp 59,00. Pada saluran ini, biaya tataniaga terbesar dikeluarkan oleh pedagang pengecer yaitu sebesar Rp 761,22 untuk setiap kilogram tomat yang akan dijual. Pedagang pengecer juga merupakan pihak yang mendapatkan keuntungan terbesar dalam saluran tataniga V yaitu sebesar Rp 477,74 per kilogram tomat. Pada saluran tataniaga terakhir, yaitu saluran tataniaga VI, nilai rasio keuntungan terhadap biaya yang tebentuk adalah 0,49. Artinya, setiap Rp 100,00 biaya yang dikeluarkan maka akan memberikan keuntungan sebesar Rp 49,00. Lembaga tataniaga yang beroperasi pada saluran ini hanya PBPIK yang menjual tomat langsung kepada konsumen restoran dan katering makanan. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari PBPIK, volume penjualan langsung kepada konsumen tidak terjadi secara rutin. Konsumen hanya datang sesekali untuk membeli tomat kepada PBPIK karena tidak ada ikatan khusus antara PBPIK dan konsumen tersebut sehingga konsumen bebas membeli tomat kepada siapa saja. Akibatnya volume penjualan pada saluran tataniaga VI relatif lebih sedikit dibandingkan dengan volume penjualan pada saluran V.

6.9 Analisis Efisiensi Tataniaga

Efisiensi tataniaga dapat tercapai apabila sistem tataniaga yang terjadi telah memberikan kepuasan, baik dalam bentuk manfaat benefit maupun keuntungan profit, pada pelaku-pelaku tataniaga yang terlibat mulai dari petani sebagai produsen hingga konsumen. Dari hasil analisis yang dilakukan pada sistem tataniaga tomat di Desa Tugumukti diperoleh beberapa nilai indikator kuantitatif yang terdiri dari nilai marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio i C i untuk menentukan efisiensi tataniaga untuk masing-masing saluran tataniaga yang terlihat pada Tabel 28 dan Tabel 29. Dalam menentukan saluran yang relatif lebih efisien, peneliti melakukan analisis perbandingan terhadap indikator-indikator efisiensi, diantaranya harga tomat di tingkat petani, total biaya tataniaga, marjin tataniaga, farmer’s share, dan nilai rasio keuntungan terhadap biaya. Analisis untuk menentukan saluran yang 111 relatif efisien dilakukan dengan cara membandingkan saluran yang memiliki kemiripan dari segi jumlah lembaga yang terlibat. Dalam hal ini, peneliti membagi saluran yang ada menjadi dua kelompok besar untuk kemudian dibandingkan. Kelompok satu adalah perbandingan antara saluran I, saluran III dan saluran V. Pengelompokan ini didasarkan pada kemiripan lembaga dan saluran yang dilalui oleh tomat dari petani yaitu melalui pedagang besarkecil kemudian pedagang pengecer dan berakhir di konsumen. Kelompok dua adalah perbandingan antara saluran II, saluran IV dan saluran VI. Pengelompokan ini didasarkan pada kemiripan saluran dan lembaga yang dilalui tomat dalam sistem tataniaga tomat. Tabel 28. Perbandingan Nilai Efisiensi Tataniaga pada Saluran I, III dan V dalam Sistem Tataniaga Tomat di Desa Tugumukti Bulan Mei 2012 Saluran Tataniaga Harga di Tingkat Petani RpKg Total Biaya RpKg Marjin Tataniaga Rp Farmer’s Share Rasio , i C i Saluran I 1991,67 945,55 1514,52 55,97 0,60 Saluran III 2117,13 1517,39 1980,01 50,35 0,95 Saluran V 2306,67 1279,22 1714,76 56,32 0,59 Tabel 28 menggambarkan perbandingan indikator-indikator yang digunakan dalam menilai efisiensi tataniaga pada pada kelompok satu, yaitu perbandingan antara saluran I, III dan V. Dilihat dari sisi harga, harga tomat tertinggi di tingkat petani berada pada saluran V. Artinya, petani pada saluran V memiliki kesempatan untuk mendapatkan penerimaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan saluran I dan III. Apabila dilihat dari total biaya yang dikeluarkan, total biaya terendah terdapat pada saluran tataniaga I yaitu Rp 945,55 per kilogram. Hal ini menandakan bahwa lembaga tataniaga pada saluran I secara operasional relatif lebih efisien karena dapat menyalurkan tomat dari petani hingga konsumen dengan biaya operasional tataniaga yang serendah-rendahnya dibandingkan dengan saluran III dan V. Biaya terkecil kedua berada pada saluran III dan biaya terbesar berada pada saluran V. Berdasarkan Tabel 28, apabila dilakukan perbandingan terhadap indikator marjin tataniaga pada saluran I, III dan V, maka nilai marjin tataniaga terkecil 112 berada pada saluran tataniaga I, diikuti oleh saluran tataniaga V di peringkat kedua dan marjin tataniaga terbesar berada pada saluran III. Dilihat dari nilai farmer’s share , nilai farmer’s share tertinggi berada pada saluran V yaitu 56,32 persen. Sedangkan apabila dilihat dari sisi nilai rasio keuntungan terhadap biaya yang dikeluarkan, penyebaran nilai rasio keuntungan terhadap biaya yang relatif lebih merata berada pada saluran V. Berdasarkan perbandingan yang dilakukan pada kelompok satu, maka saluran yang relatif lebih efisien adalah saluran V dimana harga tomat di tingkat petani merupakan harga tertinggi, total biaya tataniaga menempati urutan kedua terendah, nilai marjin tataniaga menempati urutan kedua terkecil dengan nilai farmer’s share tertinggi dan persebaran rasio keuntungan terhadap biaya yang relatif lebih merati dibandingkan dengan saluran I dan saluran III. Tabel 29. Perbandingan Nilai Efisiensi Tataniaga pada Saluran II, IV dan VI dalam Sistem Tataniaga Tomat di Desa Tugumukti Bulan Mei 2012 Saluran Tataniaga Harga di Tingkat Petani RpKg Total Biaya RpKg Marjin Tataniaga Rp Farmer’s Share Rasio , i C i Saluran II 1991,67 654,08 1514,52 55,97 1,31 Saluran IV 2117,13 565,25 522,49 78,85 7,16 Saluran VI 2306,67 518,00 475,81 82,18 0,49 Tabel 29 merupakan perbandingan indikator-indikator dalam menilai efisiensi pada kelompok dua, yaitu perbandingan antara saluran II, IV dan VI. Dilihat dari harga tomat yang diterima petani, terlihat harga tertinggi diterima oleh petani pada saluran VI yaitu Rp 2306,00 per kilogram. Artinya, petani pada saluran VI memiliki kesempatan untuk mendapatkan penerimaan yang lebih besar dibandingkan dengan saluran II dan IV. Total biaya tataniaga terendah terdapat pada saluran tataniaga VI yaitu Rp 518,00 per kilogram. Artinya saluran ini mampu menyalurkan tomat dari petani hingga konsumen dengan biaya paling kecil dibandingan dengan saluran II dan IV. Dilihat dari nilai marjin tataniaga, Saluran VI merupakan saluran dengan marjin tataniaga terendah. Nilai farmer’s share tertinggi berada pada saluran tataniaga VI yang artinya petani mendapatkan bagian paling tinggi dari harga yang dibayarkan oleh konsumen jika dibandingkan dengan saluran II dan IV. Nilai rasio keuntungan 113 terhadap biaya pada kelompok ini tidak dapat dikatakan merata atau tidak merata karena tidak terdapat pembanding pada masing-masing saluran. Pada kelompok saluran ini, tomat yang didapatkan dari petani langsung dijual oleh pedagang PKPAB, PBPIC, dan PBPIK kepada konsumen, tidak melalui pedagang pengecer. Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa saluran tataniaga VI merupakan saluran yang relatif lebih efisien dibandingkan dengan saluran tataniaga II dan saluran tataniaga IV. Berdasarkan pertimbangan yang dilakukan dengan melihat hasil perbandingan antara saluran pada kelompok satu dan kelompok dua di atas, serta melihat kondisi riil di lapangan, maka saluran tataniaga tomat yang relatif lebih efisien dibandingkan dengan saluran lainnya adalah saluran V dan VI dimana tomat dipasarkan ke wilayah Pasar Induk Kramat Jati Jakarta. Namun apabila saluran V dan VI dibandingkan, maka yang relatif lebih efisien adalah saluran V karena melihat dari indikator-indikator yang telah dibahas di atas dan berdasarkan informasi dari PBPIK, volume penjualan tomat yang terjadi pada saluran V lebih besar dibandingkan dengan volume penjualan pada saluran VI. Berdasarkan keterangan dari PBPIK, volume penjualan tomat pada saluran VI lebih kecil disebabkan frekuensi pembelian oleh konsumen tidak rutin dilakukan dan volume pembelian tomat pada setiap transaksi relatif lebih sedikit dibandingkan dengan pedagang pengecer. Pada kondisi ini, PBPIK pada kesehariannya memasarkan tomat kepada pedagang pengecer lebih banyak dibandingkan penjualan tomat kepada konsumen akhir secara langsung. Namun pada kenyataannya saluran VI masih belum berjalan secara optimal. Hal ini disebabkan PBPIK masih merupakan pihak yang sangat dominan dalam menentukan harga tomat ke petani dan petani merupakan pihak yang menerima harga dalam tata cara penentuan harga yang tersebut, informasi terkait kondisi pasar yang diterima petani relatif lebih sedikit terbatas, dan kondisi kerjasama antara petani dan pedagang masih belum stabil. Ketidakstabilan kerjasama antara lembaga tataniaga yang terlibat pada saluran V disebabkan tidak ada kerjasama bisnis jual-beli yang jelas, berupa kontrak kerjasama dan kemitraan, antara pihak-pihak yang terlibat. Dikhawatirkan tidak adanya kerjasama yang jelas antara lembaga tataniaga dapat menimbulkan kecurangan- 114 kecurangan moral hazard dalam pelaksanaan kerjasama antara semua pihak yang terlibat dalam proses tataniaga tomat dari petani di Desa Tugumukti hingga sampai kepada konsumen. VII KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan