Pembahasan Gilir Bicara Deskripsi Gilir Bicara

4.2.4 Pembahasan Gilir Bicara

Ketiga kaidah dasar gilir bicara dapat diaplikasikan dalam marhata pada setiap upacara adat perkawinan Batak Toba yaitu Penutur Merujuk Penutur Berikutnya, Penutur Berikutnya Melanjutkan, dan Penutur Sebelumnya Melanjutkan. Kaidah Pertama terdiri dari 3 bentuk gilir bicara yaitu Penutur Sebelumnya Merujuk Penutur Berikutnya PSMPB, Penutur Berikutnya Merujuk Penutur Sebelumnya PBMPS, dan Penutur Berikutnya Merujuk Penutur Berikutnya PBMPB. Penutur PSMPB atau PBMPS adalah JBPP atau sebaliknya JBPL secara berganti-gantian. Sedangkan PBMPB adalah penutur diluar kedua juru bicara tersebut. Kaidah gilir bicara yang pertama adalah paling dominan digunakan dalam marhata pada setiap upacara adat Perkawinan Batak Toba yaitu penutur merujuk penutur berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam acara marhata upacara adat perkawinan Batak Toba, tidak ada interupsi atau dapat dikatakan bahwa gilir bicara terikat secara kultural dengan adanya penggunaan istilah-istilah kekerabatan berdasarkan unsur DNT. Adanya rujukan-rujukan dalam pergantian gilir bicara menunjukkan minimnya atau tidak adanya pelanggaran dan kesalahan dalam gilir bicara. Istiah kekerabatan menjadi fenomena rujukan dalam peralihan gilir bicara dalam acara marhata pada upacara adat perkawinan Batak Toba. Rujukan- rujukan yang terdapat dalam setiap acara marhata menggunakan istilah kekerabatan yang sesuai dengan DNT. Disamping itu, rujukan gilir bicara ditandai juga dengan penggunaan pronomina Bahasa Batak Toba, khususnya Universitas Sumatera Utara pronomina orang kedua jamak . „hamu‟ dan pronomina bentuk jamak yaitu hita. Makna istilah kekerabatan yang ditemukan dalam penelitan ini tidak sama bila digunakan dalam konteks sehari-hari. Misalnya, bila seorang suku Batak memanggil „tulang‟ kepada seseorang yang baru dikenalnya, maknanya tidak sama dengan bila kata „tulang‟ dipanggil ketika acara marhata sedang berlangsung. Dan kata kekerabatan ini juga menjadi pembeda dengan kata kekerabatan lain. Misalnya, apabila seseorang berbicara dengan menggunakan kata panggilan atau sapaan Ibu dan Bapak dalam bahasa Indonesia, orang yang dipanggil ibu atau bapak itu bisa mengandung beberapa arti; bisa panggilan untuk guru, panggilan untuk orang yang dituakan, atau panggilan kepada orang yang muda sebagai perasaan rasa hormat. Seperti dibicarakan sebelumnya bahwa JPPP paling banyak mengenalkan topik percakapan dalam situasi tutur marhusip dan marpudunsaut. Kedua situasi tutur ini diadakan di daerah pihak perempuan di Medan. JBPP adalah penutur dari pihak perempuan yang memiliki kuasa mengendalikan jalannya percakapan mulai dari awal sampai akhir percakapan; orang yang menentukan siapa yang bicara untuk giliran berikutnya. Sebaliknya, situasi tutur marunjuk diadakan di daerah Pematangsiantar. Topik percakapan lebih dominan dikenalkan oleh JBPL. JBPL adalah penutur dari pihak laki-laki yang memiliki kuasa mengendalikan jalannya percakapan mulai dari awal sampai akhir percakapan. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Short 1996: 206- 7, “The behaviour of a participant at a TRP is closely associated with power: “powerful speakers in conversations have Universitas Sumatera Utara the most turns, have the longest turns, initiate conversational exchanges, control what is talked about and who talks when, and interrupt others ”. JBPP dan JBPL adalah penutur yang memiliki gilir bicara yang paling banyak dan kedua penutur ini disebut raja parhata „;juru bicara‟ baik dari pihak perempuan JBPP maupun pihak laki-laki JBPL yang memiliki kuasa untuk mengendalikan atau mengontrol jalannya acara marhata. Penutur dalam acara marhata pada ketiga situasi tutur upacara adat perkawinan Batak Toba berpartisipasi secara aktif berbicara dengan kecepatan yang cukup relatif cepat, hampir tidak ada perhentian di antara pergantian gilir bicara, dan tidak ada interupsi. Menurut Yule 1996:76 gaya berbicara seperti ciri-ciri tersebut dinamakan dengan high involvement style „gaya berbicara penutu r yang memiliki partisipasi atau keterlibatan yang tinggi‟. Fenomena ini adalah sebagai ciri-ciri bahwa seorang raja parhata „juru bicara‟ adat Batak Toba itu haruslah orang yang betul-betul pintar dan professional sebagai juru bicara adat.

4.3 Deskripsi Pasangan Berdekatan

Dalam struktur percakapan marhata upacara adat perkawinan Batak Toba ditemukan adanya urutan percakapan yang lengkap dan tidak lengkap. Struktur yang lengkap terdiri dari urutan awal, inisiasi, sela, dan respon. Urutan percakapan yang tidak lengkap terdiri dari pemicu dan respon. Respon yang ditemukan terdiri dari pasangan berdekatan yang disukai dan pasangan yang tidak disukai. Universitas Sumatera Utara