PANDUAN PELAKSANAAN PEMBELAJARAN EKSTRKURIKULER OLAHRAGA Melalui Klub Olahraga di Sekolah Dasar
33
mengungkapkan bahwa olahragawan membutuhkan karakter khusus sesuai dengan cabang olahraganya. Undang-undang No. 3 tahun 2005 tentang
Sistem Keolahragaan Nasional menegaskan bahwa olahraga berfungsi mengembangkan kemampuan jasmani rohani dan sosial serta membentuk
watak kepribadian bangsa yang bermanfaat. Dimensi non fisikal yang dikandung dalam olahraga dan pendidikan jasmani pada dasarnya dapat
melahirkan berbagai kondisi kepribadian dan sikap mental positif. Perkembangan nilai-nilai karakter dan keterampilan membuat keputusan etis
merupakan unsur utama yang dapat diperoleh dari hasil proses olahraga.
c. Nilai-nilai moral dalam olahraga
Ada sembilan jenis karakter yang sangat penting yang dapat dibangun melalui olahraga antara lain: kejujuran, keadilan, tanggung jawab, kedamaian,
respek terhadap diri sendiri atau kepercayaan diri, rasa hormat dan kepedulian terhadap orang lain, menghormati peraturan dan kewenangan,
apresiasi terhadap kebhinekaan, dan semangat kerja. Karakter ini sangat diperlukan sebagai modal dasar untuk memecahkan masalah besar yang
menjadi akar dari kemunduran bangsa Indonesia selama ini yaitu korupsi, konflik horizontal yang berkepanjangan, perasaan sebagai bangsa kelas dua,
semangat kerja dan semangat belajar yang rendah. a Kejujuran
b Keadilan c Tanggung Jawab
d Kedamaian e Respek Terhadap Diri Sendiri Atau Kepercayaan Diri
f Rasa Hormat Dan Kepedulian Terhadap Orang Lain
g Menghormati peraturan dan kewenangan h Apresiasi terhadap kebhinekaan
i Semangat Kerja.
d. Olahraga dan Pendidikan Karakter
Untuk menjawab isu itu beberapa asumsi diajukan oleh para ahli pendukung, olahraga sebagai alat pembentukan karakter. Terlepas dari kekurangan yang
ada yang sering ditampilkan oleh olahraga, khususnya olahraga kompetitif, Shields dan Bredemeier mengatakan bahwa “sport is at once a mirror and
PANDUAN PELAKSANAAN PEMBELAJARAN EKSTRKURIKULER OLAHRAGA Melalui Klub Olahraga di Sekolah Dasar
34
molder of social values; it reflects society’s potentials and limitations.” Dengan kata lain, olahraga merupakan cermin dan sekaligus wadah penjabaran nilai
sosial; olahraga itu sekaligus mencerminkan potensi dan kelemahan masyarakat. Namun di bagian lain, Shields dan Bredemeier mengungkapkan
bahwa ? . . . sport is replete with opportunities to encounter, learn, transform, and enact moral values.
” Begitu melimpah kesempatan untuk langsung mengalami, belajar dan mengalihkan nilai moral dalam olahraga. Selanjutnya
dijelaskan bahwa begitu sering terjadi konflik moral dalam olahraga, seperti “the norm of fair play” dan “the desire to win”. Atas dasar alasan itulah,
seperti pendapat Brickman dan Mark, Briant dan Lehman, yang dirangkum
oleh Shields da n Bredemeier 1995: 2 yaitu “Sport may be an ideal setting for
introducing children to conventional moral thinking. Some have ever suggested that society could benefit from emulating sport’s predominantly
equity-based justice system. ” Dikatakan ideal, karena dalam olahraga itu di
antaranya diperagakan nilai inti yaitu sistem keadilan berlandaskan kesetaraan.
Setelah kita cermati paparan di atas, maka kita perlu menegaskan posisi. Pertama, sudah waktunya profesi pendidikan jasmani dan olahraga di
Indonesia mengambil peranan ikut serta peduli untuk melaksanakan pendidikan karakter. Kedua, terkait dengan ide itu, dibutuhkannya landasan
filosofi, berkenaan dengan psikologi moral, yakni perlu dihapus pandangan dualisme jiwa-raga. Dalam kaitan ini kita sepaham dengan teori klasik Piaget
yang menegaskan bahwa “ . . . children’s physical play to be the foundation for every cognitive advance, from quantum physic to interpersonal morality.
” Piaget menekankan pentingnya aktivitas jasmani bagi anak karena penting
bagi perkembangan kemampuan kogntif dan moral. Karena itu implikasi penting adalah perlunya diberikan kesempatan seluas mungkin bagi anak
untuk mengeksplorasi lingkungannya melalui kegiatan bermain dan aktivitas jasmani yang sehat dan aman. Kemalasan dalam segala bentuknya dan
hilangnya fitrah anak sebagai “mahluk bermain” merupakan bagian dari ancaman yang nyata kita hadapi karena menghambat perkembangan anak
secara menyeluruh. Ketiga, perlu dihapus pandangan dikhotomi individu dan masyarakat. Dalam
konteks perkembangan moral, prosesnya tidak terlepas dari lingkungan. Pada
PANDUAN PELAKSANAAN PEMBELAJARAN EKSTRKURIKULER OLAHRAGA Melalui Klub Olahraga di Sekolah Dasar
35
awalnya Kohlberg, dalam pengembangan teori moral terfokus pada “individual moral reasoning
”, pertimbangan moral secara individual. Baru akhir-akhir ini para sarjana mulai secara seksama mencermati
“ . . . how social interaction and social context affect morality” Kurtines Gewirtz, 1987, 1991 a, 1991b, 1991c; Lind, Hartmann, Wakenhut, 1985;
dalam Shields dan Bredemeier 1995: 3. Posisi penting yang menjadi pegangan berikutnya adalah teori social-cognitive, yang menekankan model
kausalitas, hubungan timbal balik antara perilaku manusia, faktor kognisi dan personal lainnya, dan kejadian di lingkungan.
Ungkapan tentang olahraga sebagai wahana pembentukan karakter pada masa kini dapat dirunut ke latar belakang sejarah. Perkembangan olahraga
modern sebagai entitas global memiliki kaitan yang kompleks dengan pendidikan, ungkap Rees dan Miracle 2001; dalam Coakley Dunning,
Ed., 2006:277 dalam pembukaan artikelnya yang berjudul Education and Sports. Terdapat kesepahaman di kalangan sarjana olahraga misalnya,
Dunning, 1971; Gutmann, 1994; Mangan, 1981 bahwa pemanfaatan olahr
aga sebagai alat pembentukan watak bermula di sekolah “pemerintah” sebenarnya di asrama sekolah swasta di Inggris, tepatnya pada
pertengahan abad ke-19. Di situlah olahraga beregu pertama dibina sebagai alat pendidikan untuk membina kebajikan Mangan, 1981; dalam Shields dan
Bredemeier, 1995: 1760 dan Rees dan Miracle 2001; dalam Coakley Dunning, Ed., 2006:277. Olahraga seperti kriket dan rugby dibina dengan
maksud untuk “ . . . to teach “manly” characteristic such as group loyality, physical toughness and self reliance
.” Rees dan Miracle 2001; dalam Coakley Dunning, Ed., 2006:277. Istilah “manly” di sini menunjuk kepada
sifat kelaki-lakian, dan menurut Mangan 1981 yang dikutip Rees dan Miracle
2001; dalam Coakley Dunning, Ed., 2006:278 kegiatan itu dilakukan setiap hari, tetapi biasanya tiga kali seminggu. Praktik pembinaan itu sangat
popular pada tahun 1880-an, dimaksudkan sebagai bagian dari kehidupan Spartan di asrama, membina anak laki-laki untuk memikirkan dirinya sebagai
orang-orang elit di masyarakat dan menyiapkan mereka menerima kepemimpinan di dalam dan di luar negeri.
Menurut catatan Mangan, program pembinaan tersebut menjadi bagian dari gerakan “Muscular Christianity yang intinya menegaskan bahwa menjadi
PANDUAN PELAKSANAAN PEMBELAJARAN EKSTRKURIKULER OLAHRAGA Melalui Klub Olahraga di Sekolah Dasar
36
kewajiban kaum ge ntleman Inggris “ . .. to help civilize what they perceive to
be “less” fortunate” races which become part of the expanding British Empire.” Orang Inggris berkewajiban untuk memberadabkan ras yang “tidak
beruntung” agar menjadi bagian Inggris Raya. Istilah “tidak beruntung” di sini sekadar penghalusan ungkapan “tidak beradab.”
Program pembinaan olahraga sebagai alat pembentukan watak itu selanjutnya mengandung motif politik untuk mendukung kepentingan Inggris
di negara-negara jajahannya, yakni membekali pemuda Inggris dengan sifat- sifat tangguh seperti “percaya diri, determinisme, kekuatan fisik dan mental,
dan keberanian guna memberdayakan mereka menjadi tentara, administrator
dan misionaris di negara- negara koloni” Shields dan Bredemeier, 1995: 176.
Gerakan Muscular Christianity jadi popular dalam novel Charles Kingsley, dan khususnya dalam
Tom Crown’s Schoolday, karangan Thomas Hughes, yang memperkuat mitos tentang ide bahwa “olahraga membentuk karakter ” Rees
dan Miracle 2001; dalam Coakley Dunning, Ed., 2006:278.
Penelusuran benang merah dalam literatur, bagaimana kaitan antara olahraga dan pendidikan watak, dalam konteks kemasyarakatan Indonesia
cukup sulit karena terbatasnya sumber-sumber yang ditulis secara cermat dan sungguh-sungguh oleh sarjana olahraga Indonesia. Namun dalam dokumen
terpisah-pisah dapat dijumpai informasi. Pertama, dikembangkannya olahraga modern dengan mengadopsi olahraga Barat yang diperkenalkan oleh para
penjajah dalam hal ini Inggris dan Belanda tiada lain merup akan “alat”
perjuangan untuk menuju masyarakat modern. Dalam kaitan ini Collin Brown 2006:433 menjelaskan partisipasi dalam olahraga Barat itu merupakan “ . . .
symbolic of the breaking of ties with traditional society, and adopting the
individualistic, egalitarian norms of the modernizing world; it was in many respects a quasy-revolutionary act
.” Status dalam olahraga benar-benar pada perorangan, bukan karena hubungan kerabat, sebab prestasi secara
transparan dicapai oleh jerih payah pribadi, bukan karena keberpihakan siapa-siapa. Berdasarkan ciri ini De Wachter 2001 yang disitir kembali oleh
Brown 2006: 432 menyebutkan olahraga modern adalah “a mirror of modernity
”—cermin dari modernitas. Dengan mengadopsi olahraga Barat yang terjadi adalah semacam revolusi dalam perbuatan, karena secara
PANDUAN PELAKSANAAN PEMBELAJARAN EKSTRKURIKULER OLAHRAGA Melalui Klub Olahraga di Sekolah Dasar
37
simbolik seseorang melepaskan dirinya dari ikatan tradisional, mengadopsi nilai individualistik, dan norma egaliter yang dicirikan oleh dunia modern.
Kedua, praktik pembinaan olahraga di Indonesia pada awal revolusi ditandai oleh motif, olahraga sebagai bagian dari kebangkitan bangsa. Sangat kentara
motif ini setelah pasca revolusi, ketika mulai digulirkan Pekan Olahraga Nasional. Tokoh sentral Bung Karno, tidak diragukan, memposisi olahraga
dalam visi “character and nation building dan gerakan olahraga merupakan bagian revolusi nasional Rusli Lutan, 2004. Di bagian lain Rusli Lutan
menuturkan bahwa perkembangan olahraga ketika mencapai puncaknya dalam era Soekarno awal tahun 1960-an didorong oleh motif politik,
pengungkapan nasionalisme, dan lebih tegas lagi dalam rangka membangun Indonesia baru melalui tesisnya yang terkenal: menjebol dan membangun.
Sasaran utama Soekarno, melalui olahraga adalah untuk membentuk self- esteem
bangsa, yang dikonsepsikannya sebagai “ Indonesia Baru” dalam pengertian ras dan anthropologi, yang berdiri tegak fisik dan mental.
Soekarno menegaskan: “Kita ingin menjadi Indonesia baru yang berani melihat dunia dengan jiwa terbuka, percaya diri dan kuat jasmani dan
rokhani.” Rusli Lutan, 2004
Ungkapan politis seperti itu sebenarnya bukanlah baru, karena sejak PON diselenggarakan misalnya, dalam setiap sambutannya di depan publik Bung
Karno selalu memfokuskan perhatian pada kemerdekaan, Indonesia memerintah dirinya sendiri dan juga tentang hormat diri bangsa. Tujuan
nasional Indonesia, kata Soekarno adalah untuk membentuk kehidupan bangsa sesuai dengan prinsip Pancasila. Senafas dengan tujuan ini dalam
pidatonya yang ditulis tangan Djakarta 1 Djanuari 1954 antara lain beliau mengomentari keikutsertaan para atlet dalam PON yang meningkat dari PON
ke PON: “Apakah ini berarti kenaikan minat-sport saja? Ja. Tetapi juga lebih dari itu. Ini berarti pula bahwa di kalangan pemuda-pemuda dan pemudi-
pemudi kita tidak pernah luntur trisumpah, bertanah air satu, berbangsa satu, berbahasa satu. Bahkan dengan sport dapatlah kesetiaan kepada trisumpah
itu dipupuk- dihidupkan” Dikutip di sini sesuai dengan ejaan aslinya.
Jarang kita mendengar fikiran tokoh lainnya tentang olahraga. Hatta sebagai wakil presiden mengutarakan buah pendapatnya dengan gaya yang berbeda.
PANDUAN PELAKSANAAN PEMBELAJARAN EKSTRKURIKULER OLAHRAGA Melalui Klub Olahraga di Sekolah Dasar
38
Bila Soekarno singkat, lugas, sederhana tetapi membakar semangat. Hatta menulis dalam paparan lebih akademis dalam ungkapan campur-campur
bahasa Belanda, Inggris dan Jerman. Tetapi benang merah yang paling menarik, yang didokumentasikan dalam Laporan resmi 1954 beliau
menegaskan pentingnya “sporting spirit” , penyempurnaan “karakter olahraga” Atmosantoso, 1951; dalam Collin Brown 2006: 435. Hatta
menekankan bahwa spirit keolahragaan itu penting bagi perkembangan
demokrasi Indonesia. Pada dasarnya pembinaan siswa melaui klub olahraga merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari upaya mewujudkan tujuan pendidikan secara menyeluruh. Pembinaan klub olahraga tidak hanya berurusan dengan
bagaimana seorang siswa mahir dalam menunujkan keterampilan berolahraganya, akan tetapi mereka juga harus mampu bersikap dan
berprilaku baik dan menjadi model of lfe dari anak-anak yang lainnya. Sudah menjadi keyakinan yang tak terbantahkan dan banyak didukung oleh bukti-
bukti empirik berupa hasil penelitian bahwa olahraga sangat efektif dalam pembentukan karakter masyarakat. Oleh karena itu pendidikan karakter sejak
usia dini sebagaimana yang dilakukan pada klub olahraga merupakan upaya yang strategis untuk menjadikan manusia yang unggul. Dengan demikian
penekanan pada latihan di klub olahraga tidak semata mata pada keterampilan olahraga akan tetapi harus juga menenkankan pada karakter
baik sebagai seorang atlet. Untuk mewujudkan manusia unggul tersebut tidak hanya aktivitas olahraga
saja yang menjadi tumpuan, akan tetapi dibutuhkan guru atau pelatih yang benar-benar memiliki kompetensi yang mumpuni. Pada proses pelatihan,
pendidikan karakter bukan hanya berurusan dengan penanaman nilai bagi siswa, namun merupakan sebuah usaha bersama untuk menciptakan sebuah
lingkungan pendidikan di mana setiap individu dapat menghayati kebebasannya sebagai sebuah prasyarat bagi kehidupan moral yang dewasa.
Pendidikan karakter lebih merupakan sebuah usaha manusia untuk menciptakan kultur kehidupan yang mendukung pertumbuhan individunya
secara autentik. Lickona 1991, menyimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah usaha sengaja untuk menolong orang agar memahami, peduli akan,
dan bertindak atas dasar inti nilai-nilai etis. la menegaskan bahwa tatkala kita
PANDUAN PELAKSANAAN PEMBELAJARAN EKSTRKURIKULER OLAHRAGA Melalui Klub Olahraga di Sekolah Dasar
39
berpikir tentang bentuk karakter yang ingin ditunjukkan oleh anak-anak, teramat jelas bahwa kita menghendaki mereka mampu menilai apa yang
benar, peduli tentang apa yang benar, serta melakukan apa yang diyakininya benar, bahkan ketika harus menghadapi tekanan dari luar dan godaan dari
dalam. Sepertinya layak untuk diikuti saran dari Kidder 1995 yang memberitujuh
kualitassuatu program pendidikan karakteryang sebut sebagai seven Es,
yaitu: Empowered pemberdayaan.Guru pelatih harus diberdayakan untuk
mengajar pendidikan karakter, dengan kemampuan mengorganisasi dan
memberi teladan perilaku yang baik. Effective efektif.Proses pendidikan
yang diberikan benar-benar meningkatkan kemampuan penalaran moral
mereka.Extended into the community diperluas ke komunitas. Jangan
pemah mencoba menyusun program pendidikan karakter tanpa melibatkan komunitas terlebih dahulu, karena tatkala Anda mulai menjalankan progam,
akan ada suara yang mempertanyakan, nilai-nilai siapa yang diajarkan?
Embedded melekat. Jangan memberikan pendidikan karakter secara
terpisah; jangan menciptakan semacam ghetto etik yang menempatkan
pendidikan karakter pada suatu sudut kurikulum. Engaged terlibat.Tatkala
guru pelatih mengajarkan keterampilan olahraga pada anak-anak, pertama- tama
bicarakanlah segi-segi
etik dalam
pelaksanaannya, dan
seterusnya.Epistemological epistemologis. Mesti ada koherensi antara
cara berpikir tentang makna etik dengan upaya menolong siswa untuk mampu
menerapkannya secara baik.Evaluative evaluatif. Buatlah beberapa
struktur, seperti pre-tests dan post-tests, yang memungkinkan guru memetakan kemajuan siswa. Kidder menawarkan skala lima poin yang
bermula dari 1 kesadaran etik, 2 kepercayaan diri untuk berpikir tentang, dan membuat keputusan etik, 3 kapasitas untuk menggunakan kepercayaan
diri itu secara praktis dalam kehidupan seseorang, 4 kapasitas untuk menggunakan pengalaman praktis itu dalam komunitas, dan 5 kapasitas
untuk menjadi agen perubahan-untuk merealisasikan ide-ide etik ini dan menciptakan dunia yang berbeda. Guru bisa membawa siswa mengarungi
tahap-tahap itu dan mengevaluasi di mana posisi mereka dalam tahapan
tersebut.
PANDUAN PELAKSANAAN PEMBELAJARAN EKSTRKURIKULER OLAHRAGA Melalui Klub Olahraga di Sekolah Dasar
40
C. PERKEMBANGAN DAN BELAJAR GERAK 1. Tujuan