AGRIBISNIS TEMBAKAU BESUKI NA- OOGST: TINJAUAN EKONOMI PERTANIAN
(2)
AGRIBISNIS TEMBAKAU
BESUKI NA- OOGST:
TINJAUAN EKONOMI PERTANIAN
(3)
(4)
AGRIBISNIS TEMBAKAU
BESUKI NA- OOGST:
TINJAUAN EKONOMI PERTANIAN
Soetriono
Evita Solihahani
Fenti Anisa Zulan
Nur Inayatin
Nanda Susanti
Qory Zuniana
(5)
Soetriono, dkk.
AGRIBISNIS TEMBAKAU BESUKI NA-OOGST:
Tinjauan Ekonomi Pertanian
Editor
Drs. Setiyono Wahyudi, D.Ng. Cover Design:
Yudista Layout :
Dayat
Penerbit
Surya Pena Gemilang Anggota IKAPI Jatim
Jln. Rajawali Tutut Arjowinangun 12 Malang - Jawa Timur
Tlp. 082140357082 Fax. (0341) 751205
e-mail: [email protected] Jumlah: viii + 228 hlm.
Ukuran: 17 x 24 cm
November 2014 ISBN: 978-602-71895-4-6
Hak cipta dilindungi undang-undang.
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
(6)
Kata Pengantar
Puji syukur ke hadirat Allah swt., atas selesainya buku Agribisnis Tembakau Besuki Na-oogst: Tinjauan Ekonomi Pertanian. Hanya atas karuniaNya buku ini bisa terwujud. Buku ini membahas pemahaman agribisnis secara makro, efisiensi usahatani, faktor yang memengaruhi produksi dan pendapatan, daya saing, agroindustri cerutu, dan struktur pasar tembakau na-oogst. Agar mendapatkan gambaran secara teori dan kajian maka pada subbab masing-masing bagian diberikan aplikasi agar memudahkan dalam memahami teori dan penerapannya. Pada aplikasi, penerapan data yang digunakan yakni hasil kajian yang dilakukan oleh penyusun beserta tim penulis yang merupakan hasil penelitian Payung Agribisnis Tembakau Na-oogst.
Dengan kesederhanaan dan kerendahan hati penyusun berusaha merangkum dan memberikan gambaran dengan harapan agar mahasiswa S1, S2, dan S3 dan berbagai pihak yang berminat atas ilmu ini lebih dapat mendalaminya. Penyusun mohon maaf kepada semua pihak yang kara-ngannya kami salin, teriring rasa simpati akan maksud untuk mengutip buku yang ada, hanya karena rasa tanggung jawab terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan aplikasinya terhadap tembakau na-oogst,
Pada kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih, terutama kepada tim riset yang tercantum pada buku ini. Akhirnya penyusun berharap agar tulisan ini bermanfaat dan memberikan inspirasi baru bagi pembaca yang berminat mendalami agribisnis tembakau na-oogst.
(7)
(8)
Daftar Isi
Kata Pengantar ... v
Daftar Isi ... vii
Bab I Agribisnis... 1
1.1 Strategi dan Kebijakan Pembangunan Agribisnis ... 1
1.2 Wawasan dan Sistem Agribisnis ... 7
1.3 Agroindustri Sebagai Sektor Terdepan ... 11
1.4 Beberapa Agroindustri yang Potensial di Pedesaan ... 14
1.5 Industrialisasi Desa ... 16
1.6 Kendala-Kendala Agroindustri ... 18
1.7 Kebijaksanaan Strategi Pengembangan Agroindustri ... 20
1.8 Kelembagaan Agribisnis Pedesaan... 23
Bab II Usahatani Tembakau Besuki NA-OOGST... 25
2.1 Keberadaan Tembakau Besuki Na-Oogst ... 25
2.2 Usahatani Tembakau Besuki Na-Oogst ... 29
2.3 Kajian Terdahulu... 31
2.4 Teori Produksi dan Pendapatan ... 34
2.5 Teori Efisiensi ... 41
2.7 Aplikasi Analisis Usahatani Tembakau Besuki Na-Oogst 42 Bab III Analisis Dayasaing Tembakau Besuki NA-OOGST ... 73
3.1 Kajian Terdahulu... 74
3.2 Kebijakan ... 75
3.3 Prinsip Dasar Dayasaing ... 78
3.4 Teori Policy Analysis Matrix (PAM) ... 79
3.5 Teori Harga Sosial ... 82
3.6 Analisis Sensitivitas ... 86
3.7 Aplikasi Analisis Dayasaing ... 86
Bab IV Agroindustri Cerutu ... 121
4.1 Agroindustri Cerutu ... 121
4.2 Cerutu ... 122
(9)
4.4 Analisis Finansial Agroindustri Cerutu ... 135 4.5 Strategi Pengembangan Agroindustri Cerutu Koperasi
Karyawan Kartanegara PTPN X Jember ... 144 Bab V Struktur, Perilaku, dan Kinerja Pasar Tembakau Besuki
NA-OOGST ... 163 5.1 Pasar ... 164 5.2 Teori SCP (Structure, Conduct, and Performance) ... 165 5.3 Aplikasi Analisis Struktur, Perilaku, dan Kinerja Pasar
Tembakau Besuki Na-Oogst Di Kabupaten Jember ... 171 5.4 Pangsa Pasar (Market Share) Tembakau Besuki
Na-Oogst di Kabupaten Jember ... 178 5.5 Pemimpin Pasar (Market Leader) Tembakau Besuki
Na-Oogst di Kabupaten Jember ... 201 5.6 Konsentrasi Rasio Tembakau Besuki Na-Oogst
di Kabupaten Jember ... 204 5.7 Perilaku Pasar Tembakau Besuki Na-Oogst
di Kabupaten Jember ... 205 5.8 Kinerja Pasar Tembakau Besuki Na-Oogst
di Kabupaten Jember ... 212 Daftar Pustaka ... 225
(10)
BAB I
AGRIBISNIS
Agribisnis merupakan sistem pertanian menyeluruh yang bermuara dari hulu sampai dengan hilir (Soetriono:2005). Dengan mencermati uraian bab ini, diharapkan pembaca dapat memahami apa yang dimak-sudkan agribisnis, sebelum masuk pada ranah agribisnis kopi robusta. Dalam membahas teori agribisnis ini, penulis mengacu pada buku penulis yang berjudul Pengantar Ilmu Pertanian.
1.1 Strategi dan Kebijakan Pembangunan Agribisnis
Proses perkembangan pembangunan ekonomi menghendaki berbagai tindakan penyesuaian. Pada tataran ini, diperlukan reorientasi pem-bangunan pertanian agar proses pempem-bangunan pertanian yang berangkat dari orientasi peningkatan produksi pada masa pembangunan yang lalu dapat menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan strategisnya sehingga menjadi proses pembangu-nan yang berwawasan agribisnis yang kompetitif. Penyesuaian ini secara siste-mik dirancang untuk kesejahteraan yang adil dan merata.
Reorientasi arah pembangunan pertanian tersebut, pada dasarn-ya merupakan rancangan strategi untuk menjawab tantangan masa depan, yang pada hakikatnya merupakan antisipasi untuk menangkap signal-sig-nal dari adanya kecenderungan dan perubahan lingkungan strategi, baik lingkungan global maupun nusantara.
Pada perkembanganya, meskipun ada perubahan orientasi dan wawasan, tetapi tujuan pembangunan pertanian tetap konsisten diarahkan pada perwujudan amanat pembangunan nasional, yaitu untuk mening-katkan pendapatan dan taraf hidup petani-nelayan, memperluas lapangan kerja, dan kesempatan usaha, serta memenuhi permintaan dan memperluas pasar, baik pasar dalam negeri maupun luar negeri, melalui pengembangan postur pertanian yang maju, efisien, dan tangguh, serta yang semakin mampu meningkatkan dan menganekaragamkan hasil, meningkatkan
(11)
mutu, dan derajat pengolahan produksi, dan menunjang pembangunan wilayah.
Dalam rangka pencapaian tujuan tersebut, secara sadar dilakukan upaya untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi berkembangnya sistem agribisnis dengan agroindustri yang dapat meningkatkan nilai tambah dan daya saing hasil pertanian. Terkait dengan iklim kondusif itu, perlu ditang-gapi berbagai kecenderungan yang berimplikasi perlunya pergeseran peran dan perilaku birokrasi, seperti mengurangi campur tangan pemerintah dalam mekanisme ekonomi, pasar, dan adanya dunia swasta yang mampu menjadi lokomotif pertumbuhan perekonomian.
1. Tantangan, Peluang, dan Prospek Perkembangan Agribisnis
Rendahnya pendapatan penduduk pedesaan, terutama yang bekerja di sektor pertanian ada hubungannya dengan struktur pertanian atau pedesaan yang kurang kondusif bagi perkembangan agribisnis yang dinamis dan kompetitif karena sosok usahatani yang lemah, prasarana fisik dan nonfisik yang masih belum memadai, serta terbatasnya jangkauan pasar. Kita semua mengetahui bahwa hampir seluruh produksi pangan dan sebagian besar produksi hasil perkebunan, peternakan, dan perikanan merupakan hasil dari jerih payah petani, peternak dan nelayan yang bertumpu pada usahatani keluarga yang berlahan sempit dan didukung sumberdaya manusia dan iptek yang masih tertinggal. Kondisi struktural demikian itu, menyebabkan terbatasnya kemampuan petani untuk men-jangkau sarana produksi dan kesempatan memeroleh sinergi yang diper-lukannya untuk berkembang.
Ditinjau dari aspek dukungan pendanaan dari perbankan, ternyata investasi pertanian juga sangat kurang diminati dunia usaha. Hal ini menjadi salah satu indikator dari adanya suku bunga perbankan yang dirasakan terlalu tinggi untuk usahatani di pedesaan. Fakta mengatakan bahwa lembaga dan sistem perbankan belum sepenuhnya menjangkau petani, baik dari segi kelembagaannya maupun prosedurnya. Kalaupun jangkauan itu sampai, ternyata, lembaga perbankan telah menjadi sarana untuk mengalirnya dana dari pedesaan ke perkotaan. Hal ini terjadi, karena pedesaan lebih banyak menyimpan daripada meminjam. Di sini terlihat bahwa ketertinggalan dan keterbatasan petani ternyata merupakan faktor kondisional yang berada di balik mengalirnya dana dari pedesaan ke perkotaan tersebut.
(12)
Kondisi lain yang ikut memperlambat laju penanaman modal di sektor pertanian, yakni keharusan untuk sejak awal menerapkan pendekatan terpadu yang utuh. Kebanyakan produk pertanian mem-punyai karakteristik yang mudah rusak dan bervolume besar dibanding-kan nilainya. Penanganan pascapanen, penyimpanan, pengolahan, pengang-kutan dan lancarnya pemasaran menjadi sangat penting. Apabila penanam modal tidak mampu menerapkan prinsip integrasi vertikal dalam investasinya, terpaksa harus bergantung pada investasi lain yang menjamin hadirnya semua mata rantai yang diperlukan agar produknya dapat dipasarkan dengan baik.
Hal-hal yang juga memberikan andil dalam memperlebar kesenjangan antarwilayah maupun di antara masyarakat pedesaan sendiri, yakni: Pertama, apa yang di sebut dengan kegagalan pasar. Dari pengalaman selama ini, dapat ditunjukkan bahwa perkembangan ekonomi yang mengandalkan pada kekuatan pasar justru hanya dinikmati oleh masyarakat kelas menengah ke atas. Masyarakat ekonomi lemah termasuk di dalamnya petani kecil di pedesaan tidak mampu memanfaatkannya. Kedua, kebi-jaksanaan yang cenderung bersifat uniform. Seperti kita ketahui bahwa negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kera-gaman tinggi. Homogenitas kebijaksanaan pembangunan, baik regional maupun sektoral, tanpa memperhatikan keragaman di atas, akan meng-hasilkan respons yang berbeda antara pelaku ekonomi yang kuat dan yang lemah maupun antara daerah yang kaya dengan sumberdaya alam dan prasarana dengan daerah yang miskin.
Berhadapan dengan berbagai tantangan yang menggugah tekad untuk menghadapinya hal itu, terbuka luas peluang berkembangnya agribisnis untuk memenuhi permintaan pasar dalam negeri maupun luar negeri akan berbagai hasil pertaniannya yang lokasi dan sumberdayanya berada di Indonesia, serta didukung dengan sumberdaya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi, organisasi dan manajemen, serta modal, kekayaan sosial ekonomi, dan sosial budaya bangsa Indonesia sebagai bangsa pejuang yang handal. Landasan hasil-hasil pembangunan pertanian yang sudah di-letakkan oleh proses pembangunan merupakan asset nasional yang secara fungsional dan struktural menjadi kekuatan nasional untuk membangun sistem agribisnis yang mewadahi perakitan berbagai perangkat kegiatan pembangunan pertanian dalam satuan-satuan kelembagaan pelaku eko-nomi yang handal.
(13)
Peluang dari segi permintaan, timbul di samping karena dinamika pertumbuhan penduduk, juga karena dinamika pertumbuhan ekonomi, sosial, budaya, dan arus globalisasi. Penduduk yang bertambah, per-tumbuhan perkotaan, industrialisasi, peningkatan pendapatan, pening-katan kecerdasan atau pendidikan, dan lain-lain, merupakan perubahan lingkungan strategis dari sisi permintaan yang kalau diantisipasi dan di-apresiasi secara tepat akan menjadi peluang usaha agribisnis yang men-janjikan nilai tambah. Dari segi penawaran, peluang itu terbuka karena kemampuan ekonomi pedesaan yang semakin besar dan semakin terbuka sebagai hasil dari perubahan dan kemajuannya dalam transformasi struktural pertanian tradisional menjadi pertanian dan pedesaan maju. Berkat pengalaman dan pelajaran yang diraih dalam proses pembangunan dan moder-nisasi pertanian untuk mencapai swasembada pangan, ekonomi pedesaan sudah menjadi bagian integral dari sistem ekonomi nasional. Proses perubahan untuk menjawab kebutuhan pangan nasional itu, telah mengembangkan kelembagaan sistem agribisnis di pedesaan, yaitu perang-kat yang menjadi pengantar masukan iptek, sarana, dana, dan jasa, serta industri pengolaham hasil secara meluas di seluruh pedesaan.
Tantangan dan peluang serta kondisi sumberdaya pertanian yang merupakan kekayaan sumberdaya potensial dalam menapak era pemba-ngunan pertanian dan yang dilengkapi dengan kebijaksanaan pembangu-nan yang berorientasi ke pedesaan, menempatkan pembangupembangu-nan pertanian pada posisi sebagai arena pembangunan ekonomi yang perlu melakukan penyesuaian dalam pendekatan, yaitu dari orientasi usahatani untuk men-cukupi kebutuhan menjadi pendekatan agribisnis untuk meraih nilai tambah bagi wilayah pedesaan melalui kemam-puannya untuk bersaing guna mencapai kesejahteraan yang adil dan merata.
Strategi pembangunan pertanian yang berwawasan agribisnis meru-pakan upaya sistemik yang ampuh dalam mencapai beberapa tujuan ganda, antara lain:
a. menarik dan mendorong sektor pertanian,
b. menciptakan struktur perekonomian yang tangguh, efisien dan flek-sibel,
c. menciptakan nilai tambah,
d. meningkatkan penerimaan devisa, e. menciptakan lapangan kerja, dan f. memperbaiki pembagian pendapatan.
(14)
Dengan sistem agribisnis sebagai perangkat penggerak pembangunan, pertanian akan dapat memainkan peranan positif dalam pembangunan nasional, baik dalam pertumbuhan, pemerataan maupun stabilitas. Wajar, bila ternyata masyarakat pembangunan selalu dihadapkan pada kenyataan bahwa sasarannya selalu meningkat di satu pihak. Padahal, kendalanya, ternyata mengikat pada pihak lainnya. Pencapaian semua tujuan dan sasa-ran yang menjadi harapan itu, bergantung pada kehandalan dari sistem agribisnis/agroindustri yang dikembangkan.
Beberapa faktor strategis yang terkait dengan kehandalan tatanan agribisnis/agroindustri yang dikembangkan itu, seperti: a. lingkungan strategis, b. permintaan,c. sumberdaya, dan d. ilmu pengetahuan dan teknologi.
a. Lingkungan Strategis
Pada dasawarsa terakhir ini, ditandai dengan terjadinya perubahan-perubahan mendasar pada struktur ekonomi dunia. Keadaan pere-konomian serta pola perdagangan dan industri internasional saat ini, diwarnai arus globalisasi dalam bentuk tumbuh dan berkembangnya blok-blok kerjasama regional dan menyatunya kawasan dan kekuatan ekonomi besar. Contoh yang sangat tampak, antara lain, MEE (pasar tunggal Eropa) atau European Economic Community, Pasaran bersama Amerika Utara atau North America Free Trade (NAFTA), perkembangan kegiatan ekonomi di kawasan Asia Pasifik atau Asia Pacific Economic Cooperation, serta berbagai kebangkitan ekonomi di wilayah Eropa Timur. Bahkan terealisasinya “korporasi” antara Indonesia-Malaysia-Singapura dalam Triangle Growth serta AFTA (Asean Free Trade Area) merupakan indikasi perubahan struktur tersebut.
Pengaruh globalisasi dengan sangat cepat menyusup pada struktur dan strategi badan-badan usaha multinasional (TNE = Trans National Enterprises). Persaingan antarindustri telah berubah dengan munculnya kerjasama antara badan-badan usaha yang selama ini saling bersaing untuk mencapai tingkat keuntungan ekonomi yang tinggi. Dampak dari itu semua seringkali sulit untuk diantisipasi karena pengaruhnya dapat saja melanggar kaidah-kaidah ekonomi yang fundamental. Gambaran tersebut, sesungguh-nya menunjukkan betapa teori keunggulan komparatif tidak lagi sesuai dengan perkembangan ekonomi dunia dewasa ini.
(15)
b. Permintaan
Dalam dunia pertanian dampak globalisasi ekonomi akan segera terlihat pada sektor-sektor produksi dari berbagai komoditas pertanian. Jika kita ingin terus ditingkatkan kemampuan bersaing komoditas perta-nian Indonesia di pasar internasional, maka mau tidak mau harus mampu menangkap setiap gejala ataupun pergerakan yang terjadi pada pasar internasional tersebut. Jelas bahwa kecenderungan peningkatan produksi komoditas primer di satu pihak, yang disertai lambannya pertumbuhan permintaan, telah menimbulkan kelebihan penawaran, yang pada giliran-nya akan semakin menajamkan persaingan antarsesama negara produsen. Sementara itu, negara-negara konsumen menjadi semakin sadar akan kepentingannya dalam menghadapi negara produsen sehingga sistem produksi pertanian harus senantiasa dikelola dengan berorientasi pada permintaan pasar.
Perubahan perilaku dan selera pasar yang semakin cepat sangat sulit untuk diantisipasi dengan tepat oleh negara-negara produsen. Teknologi industri yang semakin canggih semakin menuntut keefisienan ekonomi, keandalan kualitas, dan disiplin, serta profesionalisme dengan segala etika yang terkait dengannya.
Agar bisa menjabarkan implikasi operasional tindakan pembangunan yang tepat ditinjau dari watak permintaan pasar itu. Untuk itu, diperlukan market inteligence dan market information sebagai perangkat lunak untuk meningkatkan daya saing dalam pemasaran atau perdagangan interna-sional, sehingga dapat mengantisipasi dan menyesuaikan dengan segmen-tasi pasar, perubahan selera konsumen, pesaing potensial, dan lain-lain.
c. Sumberdaya
Indonesia merupakan negara yang sangat kaya sumberdaya alam. Dari keadaan ini, masalahnya, yakni bagaimana mengelola, memanfaatkan secara optimal, dan sekaligus memperluas resource base dari sumberdaya alam dimaksud, sebagaimana disyaratkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3. Secara hakiki, upaya pembangunan yang sedang ditempuh pada saat ini dapat dilakukan dengan mendayagunakan berbagai sumberdaya potensial yang tersedia di setiap wilayah maupun yang dapat diusahakan dari luar wilayah yang bersangkutan. Di antara sumberdaya potensial tersebut, ada yang berupa sumber-daya alam (natural resources), sumberdaya manusia (human resources) dan sumberdaya buatan ( man-made resources).
(16)
Kesemua gambaran tersebut, pada dasarnya menunjukkan bahwa potensi sumberdaya pertanian memberikan kesempatan yang sangat luas untuk mengembangkan prinsip-prinsip keunggulan kompetitif tanpa meninggalkan dua prinsip penting, yaitu wawasan agroekosistem dan wawasan lokalita/wilayah/regional. Kedua wawasan tersebut, pada dasar-nya memberikan arah agar kegiatan agribisnis selalu memperhatikan kon-disi dan potensi sumberdaya alam dan lingkungannya.
d. Ilmu dan Teknologi
Ilmu dan teknologi merupakan perangkat instrumental hasil karya manusia untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi karyanya, termasuk karya dalam menumbuhkembangkan agribisnis di pedesaan. Peningkatan produktivitas dan efisiensi setiap simpul dalam rangkaian sistem agribisnis akan menghasilkan perbaikan dalam perolehan nilai tambah secara proporsional bagi setiap pelaku di dalam rangkaian sistem tersebut.
Sarana pengembangan dan penyebaran serta adopsi iptek oleh sistem agribisnis tidak cukup dengan eksistensi lembaga perguruan tingggi dengan litbang saja, tetapi juga diperlukan juga hadirnya secara menyeluruh fasilitas belajar di pedesaan, seperti lembaga penyuluhan pertanian, sekolah-sekolah kejuruan, berbagai kursus keterampilan, dan lembaga konsultasi yang tersebar dan mampu bergerak melayani masyarakat petani/pedesaan.
Berbagai tantangan, peluang, lingkungan strategis, permintaan/ penawaran, sumberdaya dan iptek, beserta iklim kondusif yang diciptakan oleh perangkat kebijakan dan pengaturan merupakan komponen fung-sional/struktural dari perangkat masyarakat ekonomi yang menjadi wadah dari proses transformasi pembentukan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sebagai komponen, tentunya, dia hanya akan berarti bila berada dalam tatanan tertentu yang memberinya posisi, aturan, daya, enersi, arah, takaran, dan ukuran yang tepat guna terwujudnya transformasi menjadi luaran secara efisien dan menghasilkan nilai tambah yang opti-mal. Ini berarti dibutuhkan suatu sistem yang tepat agar pembangunan pertanian bisa mengantarkan pertanian pada kondisi yang tangguh, maju, dan efisien. Sistem itulah yang disebut sistem agribisnis.
1.2 Wawasan dan Sistem Agribisnis
Istilah agribisnis yang terungkap sejauh ini memberikan kesan kepada kita bahwa agribisnis merupakan suatu corak pertanian tertentu dengan
(17)
jati diri yang berbeda dari pertanian tradisional (yang dilakoni mengikuti tradisi budidaya yang berakar pada adat istiadat dari komunitas tradisional) maupun dari pertanian hobi yang tidak mendambakan nilai tambah komersial. Agribisnis adalah pertanian yang organisasi dan manajemennya secara rasional dirancang untuk mendapatkan nilai tambah komersial yang maksimal dengan menghasilkan barang dan/atau jasa yang diminta pasar. Oleh karena itu, dalam agribisnis proses transformasi material yang di-selenggarakannya tidak terbatas pada budidaya proses biologis dari biota (tanaman, ternak, ikan) tetapi juga proses prausahatani, pascapanen, pengolahan, dan niaga yang secara struktural diperlukan untuk mem-perkuat posisi adu tawar (bargaining) dalam interaksi dengan mitra transaksi di pasar. Ikatan keterkaitan fungsional dari kegiatan prausahatani, budidaya, pascapanen, pengolahan, pengawetan, dan pengendalian mutu serta niaga perlu terwadahi secara terpadu dalam suatu sistem agribisnis yang secara sinkron menjamin kinerja dari masing-masing satuan subproses menjadi pemberi nilai tambah yang menguntungkan, baik bagi dirinya maupun bagi keseluruhan.
Wawasan swasembada dan wawasan agribisnis merupakan dua wa-wasan yang sekaligus harus diamalkan dalam pembangunan pertanian dewasa ini. Wawasan agribisnis adalah cara pandang terhadap pertanian sebagai lapangan usaha dan lapangan kerja yang menghasilkan barang dan jasa, untuk memenuhi permintaan pasar dengan tujuan memeroleh nilai tambah yang maksimal secara kompetitif. Dalam meraih nilai tambah itu, agribisnis memandang ruang gerak dan ruang hidupnya tidak terbatas pada budidaya, tetapi juga usaha pada penyediaan bahan, sarana lain dan jasa di sektor hulu usahatani, serta pascapanen, pengolahan, penanganan hasil, pemasaran, dan lain-lain di sektor hilirnya. Pendeknya, lapangan usaha pada usahatani maupun sektor pendukung dan penunjangnya, baik yang di hulu maupun di hilir. Ditinjau dari sudut perilaku, wawasan agribisnis tersebut, diharapkan menimbulkan sikap dan motivasi yang sesuai dari subjek pelaku pembangunan pertanian dalam menanggapi era industrialisasi dan globalisasi yang semakin gencar.
Sistem agribisnis adalah perangkat masyarakat yang mewadahi proses transformasi pembentukan nilai tambah dari rangkaian kegiatan yang terkait di hulu dan hilir dari usahatani (budidaya). Dalam pengertian sistem, agribisnis merupakan subjek (pelaku) sosial yang mandiri, dalam arti mempunyai kemampuan berinteraksi dengan lingkungan hidupnya, yaitu kemampuan untuk eksis, berkarya, berkembang, beradaptasi, berasosiasi,
(18)
dan lain-lain. Sebagai individu, pelaku sosial sistem agribisnis mempunyai daur hidup, seperti: lahir, tumbuh, berkembang, berkarya, bermasyarakat, sakit, bahkan berhak dan mati. Sebagai individu dia lahir karena lingku-ngannya membutuhkan, yaitu ada tantangan, peluang akan masalah ter-tentu yang tidak bisa ditangani dengan sistem serta mekanisme yang ada. Kematangan kondisi lingkungan untuk lahirnya sistem agribisnis dewasa ini sudah tiba.
Secara konsepsional sistem agribisnis dapat diartikan seba-gai semua aktivitas, mulai dari pengadaan dan penyaluran sarana produksi sampai pada pemasaran produk-produk yang dihasilkan oleh usahatani dan agroindustri, yang terkait satu sama lain. Dengan demikian, sistem agribisnis merupakan suatu sistem yang terdiri atas berbagai subsistem, yaitu:
1. sub sistem pengadaan dan penyaluran sarana produksi, teknologi dan pengem-bangan sumberdaya pertanian,
2. subsistem budidaya atau usahatani,
3. subsistem pengolahan hasil pertanian atau agroindus-tri, dan 4. subsistem pemasaran hasil pertanian,
5. subsistem prasarana, dan 6. subsistem pembinaan.
Subsistem penyediaan dan penyaluran sarana produksi mencakup semua kegiatan perencanaan, pengelolaan, pengadaan, dan penyaluran sarana produksi untuk memungkinkan terlaksananya penerapan teknologi usahatani dan pemanfaatan sumberdaya pertanian secara optimal. Dengan demikian, dalam subsistem pengadaan dan penyaluran sarana produksi ini, aspek-aspek yang ditangani tidak semata-mata menyangkut penyediaan dan penyaluran sarana produksi, seperti benih/bibit, pupuk, pestisida serta alat-alat dan mesin pertanian, tetapi juga penyediaan informasi pertanian yang dibutuhkan petani, berbagai alternatif teknologi baru yang kom-patibel, pengerahan dan pengelolaan tenaga kerja, dan sumber energi lainnya secara optimal, serta unsur-unsur pelancarnya.
Untuk mendorong terciptanya sistem agribisnis yang dinamis, khususnya guna menunjang terlaksananya kegiatan usahatani yang baik, maka pengembangan subsistem pengadaan dan penyaluran sarana pro-duksi, diarahkan pada upaya penyediaan dan penyaluran berbagai sarana produksi yang dibutuhkan oleh petani secara tepat waktu, tepat jumlah, tepat jenis, tepat mutu, dan terjangkau oleh daya beli petani, yang disertai
(19)
dengan penyediaan berbagai informasi dan paket teknologi secara kon-tinyu. Dalam kaitan ini, pengembangan prasarana dan institusi pedesaan yang memadai merupakan faktor yang sangat penting. Oleh karena pengembangan prasarana dan institusi tersebut, akan terkait erat dengan kegiatan sektor lainnya, maka sangat diperlukan koordinasi.
Dalam subsistem usahatani, kegiatan yang ditangani mencakup pembinaan dan pengembangan usahatani dalam rangka peningkatan produksi pertanian, baik usahatani rakyat maupun usahatani berskala besar. Termasuk dalam kegiatan subsistem ini, yakni perencanaan mengenai lokasi, komoditas, teknologi, pola usahatani, dan skala usahanya untuk mencapai tingkat produksi yang optimal.
Dalam pada itu, subsistem pengolahan hasil atau agroindustri men-cakup aktivitas pengolahan sederhana di tingkat petani dan keseluruhan kegiatan mulai dari penanganan pascapanen komoditi pertanian yang dihasilkan sampai pada tingkat pengolahan lanjut, selama bentuk, susunan, dan cita rasa komoditi tersebut tidak berubah. Dengan demikian, proses pengupasan, pembersihan, pengekstrasian, penggilingan, pembekuan, dehidrasi, peningkatan mutu, dan pengepakan/pengemasan masuk dalam lingkup sistem pengolahan hasil sebagai komponen dari sistem agribisnis di pedesaan.
Sementara itu, subsistem pemasaran hasil mencakup kegiatan distri-busi dan pemasaran usahatani, hasil-hasil usahatani atau hasil olahannya, baik untuk pasar dalam negeri maupun luar negeri. Untuk memungkinkan berkembangnya subsistem pemasaran hasil, maka berbagai kegiatan, seperti pemantauan dan pengembangan informasi pasar (market development, market promotion, dan market inteligence) sangat penting untuk dilak-sanakan.
Keempat subsistem tersebut, hanya menjalankan fungsi dan pera-nannya apabila berada dalam lingkungan hidup yang menyediakan berbagai sarana dan fasilitas yang diperlukannya. Sumberdaya dan fasilitas yang harus tersedia dan siap pakai di lokalita sistem agribisnis itu, di antaranya ada yang bersifat prasarana publik, yang keberadaannya harus ditangani oleh aparatur birokrasi pemerintahan. Prasaranajalan, perhubu-ngan, pengairan, pengendalian, pengamanan, dan konservasi menjadi syarat bagi lancarnya proses transformasi produktif yang diselenggarakan dunia usaha dan masyarakat pedesaan.
Demikianlah sistem agribisnis merupakan suatu rangkaian aktivitas yang saling berkait, yang keberhasilan pengembangannya sangat ditentukan
(20)
oleh tingkat kehandalan dari setiap komponen yang menjadi subsistemnya. Untuk mencapai kehandalan yang simultan dari setiap subsistem dalam sistem agribisnis dibutuhkan ulur dan campur tangan pemerintah melalui regulasi, koordinasi, perlindungan, stimulasi, pelayanan, dan penilaian terhadap seluruh subsistem dalam sistem agribisnis beserta lingkungan yang memengaruhinya. Selain itu, kondisi sumberdaya, lingkungan, dan prasarana juga merupakan faktor yang menentukan kehidupan dan per-kembangan sistem agribisnis tersebut. Oleh karena itu, sumberdaya ling-kungan dan prasarana tersebut, perlu dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu menunjang terlaksananya berbagai aktivitas dalam setiap subsistem secara memadai.
Gambar 1. Sistem Agribisnis
1.3 Agroindustri Sebagai Sektor Terdepan
Agroindustri diartikan sebagai semua kegiatan industri yang terkait erat dengan kegiatan pertanian. Agroindustri mencakup beberapa kegiatan, antara lain sebagai berikut.
(21)
1. Industri pengolahan hasil pertanian dalam bentuk setengah jadi dan produk akhir, seperti industri minyak kelapa sawit, industri pengolahan karet, industri pengalengan ikan, dan sebagainya.
2. Industri penangan hasil pertanian segara, seperti industri pembekuan ikan, penanganan bunga segar, dan sebagainya.
3. Industri pengadaan sarana produksi pertanian, seperti pupuk, pestisida dan bibit.
4. Industri pengadaan alat-alat pertanian dan agroindustri lainnya, seperti industri traktor pertanian, perontok, mesin pengolah minyak sawit, dan sebagainya.
Mencermati secara saksama uaraian tersebut maka Agroindustri dapat dikatakan menjadi suatu sektor yang terdepan didasarkan pada perkem-bangan: unit usaha, nilai tambah, penyerapan tenaga kerja, dan ekspor serta pemikiran-pemikiran sebagai berikut.
Pertama, agroindustri memilki keterkaitan (linkages) yang besar, baik kehulu maupun ke hilir. Agroindustri pengolah yang menggunakan bahan baku hasil pertanian berarti memiliki keterkaitan yang kuat dengan kegiatan budidaya pertanian maupun dengan konsumen akhir atau dengan kegiatan industri lain. Sedangkan, bagi agroindutri penyedia dan juga dengan industri atau kegiatan lain yang menyediakan input. Keterkaitan yang erat ini merupakan hal yang logis dan sebagai konsekuensinya juga akan menciptakan pengaruh multipler yang besar terhadap kegiatan-kegaitan tersebut.
Kedua, produk-produk agroindustri, terutama agroindustri pengolah, umumnya memiliki elastisatas permintaan akan pendapatan yang relatif tinggi (elastis), jika dibandingkan produk pertanian dalam bentuk segar atau bahan mentah. Dengan semakin besar pendapatan masyarakat akan makin terbuka pula pasar bagi produk agroindustri. Hal ini akan mem-berikan prospek yang baik bagi kegiatan agroindustri sendiri. Dengan demikian, akan memberikan pengaruh pula pada seluruh kegiatan yang dipengaruhinya.
Ketiga, kegiatan agroindustri umumnya bersifat resource base industri sehingga dengan dukungan potensi sumber daya alam Indonesia akan semakin besar kemungkinan untuk memiliki keunggulan komperatif dan keunggulan kompetitif dalam pasar dunia, di samping dapat memiliki pasar domestik yang cukup terjamin.
(22)
Keempat, kegiatan agroindutri umumya menggunakan input yang renewable sehingga keberlangsungan (sustainability) kegaitan ini dapat lebih terjamin, di mana kemungkinan untuk timbulnya massalah pengu-rasan sumberdaya alam yang lebih kecil.
Kelima, agroindustri merupakan sektor yang telah dan akan terus memberikan sumbangan yang besar bagi ekspor nonmigas. Bahkan, beberapa data empiris telah menujukan terjadinya peningkatan pangsa ekspor produk pertanian olahan (produk agroindustri). Sedangkan, di lain pihak harga produk hasil pertanian primer cenderung mengalami gejolak pasar yang lebih tidak pasti. Hal ini menunjukan bahwa agro-industri memiliki peluang besar untuk terus berkembang karena kapasitas pasarnya yang masih cukup besar, yang berarti pula belum terlalu ketatnya kendala pasar bagi produk sektor ini.
Keenam, agroindutri yang memiliki basis di pedesaan akan mengu-rangi kecenderungan perpindahan tenaga kerja yang berlebihan dari desa ke kota, yang berarti dapat mengurangi rangkain masalah yang menyer-tainya. Di samping itu, agroindustri di pedesaan juga dapat mengahasilkan produk dengan “muatan lokal” (local content) yang relatif lebih besar sehingga dapat memiliki akar yang lebih kuat pada kegiatan ekonomi desa. Sebagai akumulasinya, melalui agroindustri di pedesaan akan dapat lebih kuat kegiatan ekonomi desa, peluang bagi masyarakat tradisional di pedesaan untuk menyesuaiakan diri terhadap proses transformasi struktural secara bertahap. Dengan demikian, pengembangan agroindustri tidak hanya ditunjukan untuk pengembangan kegiatan industri itu sendiri, tetapi sekaligus untuk mengembangkan kegiatan budidaya (on farm agribusines) dan kegaitan-kegaitan lain dalam sistem agribisnis secara keseluruhan. Hal ini dapat memberikan pengaruh yang sangat besar bagi pencapaian berbagai tujuan pembangunan, seperti mengatasi kemiskinan, peningkatan pemerataan, peningkatan kesempatan kerja, peningkatan kesempatan berusaha, peningkatan ekspor, pengembangan kegiatan pelestarian lingkungan, dan sebagainya.
Pengembangan kegiatan agroindustri akan dapat meningkatkan pendapatan petani yang kemudian berakibat pada peningkatan permintaan dan pembelian barang nonpertanian, perkembangan pasar tenaga kerja di pedesaan, dan perkembangan pasar uang pedesaan, serta sekaligus dapat menaik perkembangan sektor pertanian sebagai dampak dari keterkaitan kebelakang kegiatan agroindustri itu sendiri. Jika dilihat dari sasarannya, strategi pengembangan agroindustri yang dinilai sesuai, yakni dengan
(23)
mengembangkan agroindustri kecil dan menengah di pedesaan sebagai subsistem pengolahan yang merupakan kelanjutan dari subsistem produksi sekaligus bagian dari demand-sale-strategy. Hal ini merupakan alaternatif untuk mengatasi masalah dan kendala dalam usaha meningkatkan pen-dapatan masyarakat pedesaan yang selama ini dihadapi jika kegiatan ekonomi desa lebih banyak tertumpu pada kegiatan usahatani.
Jika dilihat dari kosepnya, pengembangan agroindustri pedesaan lebih mengembangkan kelas menengah di pedesaan dengan memberikan peluang bagi anggota masyartakat pedesaan untuk dapat menggunakan potensi kapital yang ada di wilayahnya sendiri serta memanfatkannya dalam bentuk perputaran ekonomi yang berada dalam lingkup wilayah pedesaan sendiri. Di samping itu juga pengembangan agroindustri pedesaan sekaligus dapat memecahkan masalah dualisme ekonomi desa. Oleh karena kegiatan modern dan komersial yang diciptakan dalam sistem ekonomi desa merupakan bentuk pengembangan dari kegiatan yang selama ini telah dilakukan dan dikembangkan oleh masyarakat itu sendiri serta memiliki dasar keterkaitan yang erat dengan kegiatan ekonomi tradisional. Kedua hal tersebut, merupakan dasar dari pencapaian kondisi ekonomi yang lebih demokratis di pedesaan.
Di samping itu, pengembangan agroindustri di pedesaan juga akan mengurangi tekanan masalah ketenagakerjaan bagi kegiatan pertanian (budidaya) per satuan tenaga kerja dapat menjadi lebih besar. Dengan demikian, menjadi lebih dimungkinkan untuk mengadakan pengembangan kegiatan pertanian itu sendiri, jadi fase transisi menuju transformasi struktural pertanian ke industri secara menyeluruh.
1.4 Beberapa Agroindustri yang Potensial di Pedesaan
Setelah menelaah uraian pada subbab pada bagian terdahulu maka pembangunan industri pertanian (agroindustri) dewasa ini, baik dari segi jumlah maupun jenisnya lebih didominasi oleh industri pengolahan hasil pertanian yang berada di pedesaan. Industri pengolahan hasil pertanian perlu didorong dan dikembangkan karena tahap penting agar proses trasformasi perekonomian Indonesia didominasi dari sektor pertanian menjadi dominasi sektor industri dapat berjalan dengan mulus dan efisien, yakni mendorong tumbuh dan berkembangnya agroindustri. Dari sini, diharapkan terjadi proses serupa pada perokonomian pedesaan, yang dicirikan oleh, antara lain pangsa tenaga kerja di pedesaan pada sektor
(24)
pertanian menurun dan pangsa pada sektor industri meningkat, pangsa pendapatan masyarakat pedesaan dari sektor pertanian menurun dan dari industri meningkat, serta sektor pertanian tetap mampu menyediakan bahan makanan dan bahan baku industri dalam jumlah yang memadai.
Upaya yang perlu dilakukan sekarang, yakni mengidentifikasi agroindustri uang potensial untuk didorong dan dikembangkan di pe-desaan dan yang lebih mampu mempercepat berlangsungnya proses trasformasi. Agroindustri sebagai fator penarik pembangunan sektor pertanian berperan dalam menciptakan pasar bagi hasil-hasil pertanian lewat berbagai produk olahannya. Apabila agroindustri di pedesaan telah diidentifikasi, maka dari segi industri pegolahannya ada dua hal yang harus senantiasa diperhatikan, yaitu 1). bagaimana mendorong pening-katkan harga produk olahannya; 2). bagaimana merangsang terciptanya sejumlah produk olahan baru. Kedua hal tersebut, sangat penting dalam upaya mendorong dan menyerap peningkatan produksi suatu hasil pertanian sekaligus menghindarkan penurun harga secara drastis apabila terjadi kemerosotan harga salah satu produk olahannya.
Dari segi sektor pertanian, yang harus diperhatikan yakni menjaga kontuinuitas menyediakan hasil pertanian bahan baku industri pengolahan sekaligus memperbaiki dan memnjaga mutunya. Oleh karena itu, industri pengolahan yang didorong dan dikembangkan haruslah disesuaikan dengan hasil pertanian dominan didaerah pedesaan agar kontuinitas penyediaan tersebut dapat terjamin. Mengingat hasil pertanian dominan tersebut, umumnya melibatkan rumah tangga petani dalam jumlah besar, maka industri pegolahan yang dikembangkan sebaiknya yang padat karya. Dalam kondisi demikian, baik sektor pertanian maupun industri pengo-lahan sangat prospektif di masa mendatang.
Berdasarkan dari uraian tersebut, maka bidang usaha agroindustri yang masih perlu dikembangkan maupun didorong pertumbuhannya, terutama industri pengolahan hasil pertanian yang potensial di pedesaan. Secara garis besar bidang usaha agroindustri yang perlu dikembangkan dan ditumbuhkan disajikan pada Tabel 1. Bidang-bidang usaha agroindutri itulah yang diharapkan mampu memacu terwujudnya kelima sasaran pengembangan agroindustri di Indonesia sesuai prospek pasarnya, baik domestik maupun luar negeri, baik sekarang maupun di masa akan datang.
(25)
Tabel 1 Bidang-bidang Agroindustri yang Perlu dikembangkan dalam Rangka Industrualisasi Pedesaan
1.5 Industrialisasi Desa
Pembangunan industri yang berlokasi di pedesaan mengandung arti dinamis dan keterkaitan. Secara dinamis industrialiasasi di pedesaan per-kembangan industri, baik secara vertikal, horizontal maupun berkesinam-bungan di daerah pedesaan. Perkembangan industri secara horizontal merupakan diversifikasi jenis industri yang tidak mempunyai batas input output. Sedangkan, perkembangan industri secara vertikal adalah diveri-sifikasi jenis industri dalam satu rangkaian yang berhubungan melalui in-put outin-put.
Berdasarkan pengertian tersebut maka jenis industri yang dapat di-kembangkan untuk industrialisasi pedesaan haruslah yang berkemampuan tinggi untuk mendorong perkembangan industri-industri, baik vertikal
(26)
maupun horizontal. Hal ini berarti bahwa industri tersebut harus mampu menjadi mesin penggerak perkembangan perekonomian (engine of growth) desa.
Suatu industri dapat mendorong perkembangan industri-industri lainnya melalui dua kaitan pertama, yaitu: 1). kaitan input–output, dan 2). kaitan konsumsi pendapatan rumah tangga.
Kaitan input input di antaranya muncul karena suatu industri meng-gunakan hasil produksi lainnya sebagai bahan bakunya. Kaitan semacam ini, disebut kaitan ke belakang (bagkward lankages). Apabila suatu industri berkembang, maka permintaan akan bakunya pun akan meningkat. Hal ini akan mendorong berkembangnya industri-industri yang menghasilkan bahan baku tersebut. Sebagai misal, jika industri makanan ternak ber-kembang di pedesaan, maka permintaan akan gaplek yang merupakan bahan baku makanan ternak akan meningkat pula. Hal ini selanjutnya akan mendorong berkembangnya industri pembuatan gaplek dan sahatani ubikayu.
Kaitan input-output dapat pula muncul karena produksi suatu industri dipakai sebagai bahan baku oleh industri-industri lainnya. Kaitan semacam ini, disebut kaitan ke depan (forward linkages). Apabila produksi suatu industri meningkat, maka harganya pun akan menurun sehingga industri-industri lainnya yang mengolah lebih lanjut produk tersebut, dapat berkembang. Sebagi misal, jika industri makanan ternak berkembang di suatu desa, maka ketersediaan makanan ternak di daerah tersebut, mening-kat sehingga usaha ternak akan dapat berkembang.
Kaitan konsumsi muncul melalui penggunaan nilai tambah (keuntu-ngan dan upah kerja), yang dibangkitkan baik secara langsung pada suatu industri (pengolahan makanan ternak pada contoh di atas) maupun secara tidak langsung pada industri-industri terkait (usahatani ubi kayu, usaha pembuatan gaplek, usahatani ternak, dan sebagainya), untuk membeli barang-barang yang dihasilkan oleh berbagai industri pedesaan. Pening-katan permintaan sebagai akibat peningPening-katan pendapatan ini, mendorong perkembangan lebih lanjut, baik industri yang terkait melalui input-out-put maupun yang tidak. Kaitan antara berbagai industri konsumsi/ pendapatan ini disebut efek dorongan (indusce effects)
Dari uraian tersebut, tampak bahwa kaitan konsumsi/permintaan merupakan faktor yang sangat berperan untuk mendominasi sistem industri yang ada di suatu kawasan (desa). Apabila kaitan konsumsi ini cukup besar, maka sistem industri yang ada akan dapat berkembang secara dinamis
(27)
dan berkesinambungan. Sudah barang tentu bahwa kaitan konsumsi akan tinggi bila dipenuhi beberapa syarat antara lain:1. nilai tambah yang dibangkitkan diterima oleh penduduk desa. Dan 2. produk-produk indus-tri yang dikembangkan di pedesaan di konsumsi oleh penduduk desa dengan elastisitas permintaan yang tinggi.
Nilai tambah yang dikaitkan oleh industri dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu: upah pekerja dan keuntungan usaha dari pemilik perusahaan, maka kecenderungan konsumsi pekerja lebih tinggi. Jadi dampak konsumsi nilai tambah upah pekerja lebih tinggi dari pada keuntungan.
Dari uraian tersebut, jelaslah agroindutri yang berkesinambungan untuk mendorong industrialisasi di pedesaan tidak sekadar industri yang berlokasi di pedesaan. Ada beberapa syarat (ciri) yang harus dimiliki agar agroindustri dapat bertindak sebagai penggerak industrialisasi di pedesaan, antara lain:
1. memunyai kaitan input-output yang tinggi dengan industri-industri lainnya;
2. nilai tambah yang dihasilkan diterima oleh penduduk desa; 3. padat tenaga kerja; dan
4. produk industri yang dikembangkan tersebut dikonsumsi oleh pen-duduk desa dengan elastisitas permintaan yang tinggi.
Industri yang memunyai ciri-ciri tersebut, disebut industri kunci. Dikatakan demikian karena industri inilah yang berperan sebagai mesin utama penggerak perkembangan industri sekitarnya.
1.6 Kendala-Kendala Agroindustri
Di samping berbagai potensi yang dimiliki, kegiatan agroindustri secara menyeluruh masih tetap menghadapi berbagai tantangan, antara lain sebagai berikut.
Pertama, masih dirasakan adanya produksi berbagai produk per-tanian maka keberhasilan usaha peningkatan produksi menyebabkan kemungkinan terjadinya masalah surplus produksi dimasa sekarang dan yang akan datang, seperti yang telah terjadi dengan beberapa komoditi. Indikasi tersebut menunjukan bahwa pengolahan sisi penawaran dari produk pertanian masih membutuhkan perhatian yang cukup besar.
(28)
Kedua, peningkatan penduduk di pedesaan telah mendorong ter-jadinya fragmentasi yang serius dalam kegiatan usaha pertanian, antara lain ditandai dengan semakin kecilnya rata-rata pemilikan luas lahan pertanian. Hal ini juga merupakan tantangan yang besar karena dengan skala usaha yang kecil sulit dapat diharapkan kegiatan agroindustri berkembang secara efisien.
Ketiga, perkembangan globalisasi perekonomian yang terus bergulir. Dampak langsung dari fenomena tersebut, berkaitan dengan upaya untuk menciptakan pasar yang lebih bebas bagi komoditas yang diperdagangkan secara internasional, termasuk komodiats pertanian. Kondisi ini, ditambah dengan semakin terintergasinya kegiatan ekonomi desa-kota serta mod-ern-tradisional akan memberikan dampak yang luas terhadap kegiatan pertanian, seperti tuntutan atas kejelasan dan kepasatian mutu, keragaman jenis, fleksibilitas penawaran, dan sebaginya.
Namun demikian, bagi kegiatan agroindustri perkembangan kondisi pasar dunia ternyata juga memberikan peluang yang cukup cerah, karena seperti telah dijelaskan sebelumnya pasar produk agroindustri menunjukan kecenderungan untuk terus berkembang jika dibandingkan dengan pasar produk pertanian primer.
Keempat, adanya keterbatasan dalam ketersediaan sumberdaya manusia, terutama jika dilihat dari tingkat ketrampilan dan pengetahuan serta kemampuan wiraswasta. Kelima, adanya keterbatasan teknologi yang secara khusus dikembangkan bagi kegiatan agroindustri, khususnya yang berskala kecil di pedesaan. Orentasi teknologi industri yang terkait per-tanian yang sekarang berkembang, ternyata masih menempatkan kegiatan industri sebagai bagian yang sama sekali terpisah dari kegiatan pertanian itu sendiri. Dalam hal ini, agroindustri, sebenarnya dapat menjadi wahana bagi pengembangan dan penerapan teknologi canggih, misalnya dalam berbagai aspek rekayasa genetika dan bioteknologi, teknologi penanganan pascapanen, teknologi pengolahan produk lanjutan, dan sebagainya.
Keenam, infrastruktur dan kelembagaan yang sekarang dikem-bangkan belum memberikan tunjangan yang optimal bagi pengembangan agroindustri. Hal ini dapat dilihat dari orientasi pembangunan sarana dan prasarana, rangkaian kebijaksanaan yang telah banyak memberikan perlindungan bagi industri-industri nonagroindustri, dan sebagainya.
Ketujuh, disadari pula masih terdapat kendala-kendala yang bersifat sosial budaya, bahkan politik yang dapat menyebabkan manfaat yang diperoleh dari pengembangan agroindutri tersebut, akhirnya justru tidak
(29)
dirasakan oleh sasaran pengembanganya, yaitu masyarakat pedesaan. Hal ini menyangkut keseimbangan antara kebebasan masyarakat untuk me-nentukan jenis usahanya sendiri dan perlindungan bagi kelompok masya-rakat yang memiliki skala usaha kegiatan relatif kecil.
Tantangan-tantangan tersebut menuntut suatu penerjemahan strategi pembangunan yang tepat, yaitu yang sesuai dengan perkembangan yang terjadi sekaligus dapat tetap menunjang pencapaian tujuan akhir pemba-ngunan. Dalam hal konsep pembangunan harus pula dapat terus dilanjut-kan penerapannya. Dengan demikian, jika pada pembangunan pada waktu yang lalu kegiatan pertanian (budidaya) memeroleh perhatian utama, maka sekarang dan masa datang kegiatan agribisnis secara keseluruhan dengan agroindustri sebagai intinya perlu menjadi perhatian utama.
1.7 Kebijaksanaan Strategi Pengembangan Agroindustri
Setiap penelaahan terhadap arah dan strategi pembangunan di masa mendatang merupakan usaha untuk mengadakan perencanaan atas pembangunan itu sendiri. Dalam hal ini, strategi pembangunan ekonomi diarahkan untuk didasarkan pada sistem mekanisme pasar terkendali. Dalam strategi ini, peranan pemerintah untuk menjaga agar setiap pelaku ekonomi dapat berperan optimal melalui peniadaan distorsi yang mungkin ada.
Memperhatikan strategi umum dan hal-hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah serta kendala yang dihadapi, maka beberapa bentuk kebijaksanaan yang perlu diambil oleh pemerintah dalam rangka pengembangan seluruh sistem agribisnis pada umumnya agroindustri khususnya, sebagai berikut.
1. Farming Reorganization
Kebijaksanaan ini bertujuan untuk mengembangkan subsistem budi-daya pada usahatani kecil. Secara khusus perlu memerhatikan pentingnya usaha untuk mengatasi masalah keterbatasan (smallness) usahatani. Sulit dibayangkan usahatani yang luasnya hanya 0,1 hektar dapat berperan secara aktif dalam keterkaitan dengan sistem agroindustri yang kompleks. Oleh sebab itu, perlu kiranya dilakukan kebijaksanaan reorganisasi usahatani terutama dalam hal reorganisasi jenis kegiatan usaha yang di-lakukan sehingga dapat tercapai diversifikasi usaha yang menyertakan usaha komoditas-komoditas yang bernialai tinggi dan dengan sifat
(30)
elastisitas pendapatan yang tinggi pula. Di samping itu, perlu pula dila-kukan reorganisasi managemen sedemikian sehingga dapat diperoleh skala manageman yang lebih besar, walaupun pemilikan usahanya tidak harus berada dalam satu pihak tertentu. Dengan demikian, reorganisasi usaha produksi (budidaya) pertanian tersebut, akan memilki dimensi tingkat usahatani dan dimensi wilayah (regional).
2. Small-scale Industrial Modernization
Pengembangan agroindustri kecil dan menengah merupakan inti dari pengembangan agrobisnis. Dalam hal ini kebijaksanaan modernisasi kegiatan industri perlu menjadi fokus perhatian utama. Modernisasi yang perlu dilakukan menyangkut modernisasi teknologi berikut seluruh perangkat penunjangnya, modernisasi sistem organisasi, dan manajemen serta dalam pola hubungan dan orentasi pasar.
3. Service Rasionalization
Pengembangan layanan agroindustri merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengembangan agroindustri secara keseluruhan. Rasio-nalisasi lembaga-lembaga penunjang kegiatan agribisnis harus dilakukan sehubungan dengan peningkatan efisiensi dan daya saing lembaga penun-jang kegiatan agroindustri harus dilakukan sehubungan dengan pening-katan efisiensi dan daya saing lembaga tersebut, baik dalam negeri maupun luar negeri, serta dengan pengembangan kepercayaan dunia usaha terhadap kemampuan dan kehandalan lembaga-lembaga pemberi jasa tersebut dalam memberikan tunjangan terhadap kegiatan yang dilakukan. Secara khusus, lembaga penunjang yang perlu mendapat perhatian khusus, yakni lembaga keuangan (financial institution), khususnya di pedesaan dan lembaga pene-litian dan pendidikan, khusunya penyuluhan.
4. Policy Integration
Kebijaksanaan pengembangan agroindustri perlu dilaksanakan secara terpadu dalam konteks sistem agribisnis secara keseluruhan. Hal ini di-dasarkan pada latar belakang pengembangan agroindustri itu sendiri yang memiliki keunggulan justru karena keterkaitan dengan kegiatan lain dalam sistem agribisnis. Dengan demikian, pengembangan agroindustri tidak dapat dilakukan tanpa perkembangan subsistem lain yang memadai.
(31)
Kebijaksanaan yang terpadu tersebut, mencakup beberapa bentuk kebijaksanaan. Pertama, kebijaksanaan pengembangan produksi dan produkstivitas di tingkat perusahaan (firm level policy). Kedua, kebijak-sanan tingkat sektoral untuk mengembangakan seluruh kegiatan usaha sejenis. Ketiga, kebijaksanaan di tingkat sistem agroindustri yang mengatur keterkaitan antara beberapa sektor. Keempat, kebijaksanaan ekonomi makro yang mengatur seluruh kegiatan perekonomian yang berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap agroindustri.
Sebagai langkah awal, hal tesebut dapat diwujudkan dengan 1) mengembangkan sistem komunikasi yang dapat mengoordininasi-kan pelaku-pelaku kegiatan agroindustri dengan penentu kebijaksanaan yang dapat memengaruhi sistem agroindustri secara keseluruhan maupun masing-masing subsistem agroindusri; 2) membentuk, mengembangkan, dan menguatkan asosiasi pengusaha yang terlibat dalam kegiatan agro-industri pada berbagai jenjang, tidak hanya asosisi yang dapat bergerak antara subsistem, yaitu asosiasi dengan integrasi vertikal; dan 3) mengem-bangkan kegiatan masing-masing subsistem agroindustri, terutama dituju-kan untuk meningkatdituju-kan produktivitas dan kemampuan manajemen melalui kegiatan penelitian dan pengembangan teknologi.
Berdasarkan uraian tersebut, pengembangan kegiatan agroindustri dengan konsep Agroindustry Lead Development Strategy pada saat sekarang dan mendatang merupakan kelanjutan strategi yang kemarin. Aspek kelanjutan ditunjukan oleh pengembangan kegiatan bukan usahatani (off farm) setelah dicapai keberhasilan pada kegiatan-kegiatan di tingkat usahatani. Aspek peningkatan ditunjukan oleh diversifikasi kegiatan petani dan kegiatan pedesaan dengan pengembangan kegiatan nonbudidaya, seperti pengolahan, pemasaran, dan kegiatan penunjang setelah kegiatan budidaya berhasil dikusai.
Sedangkan, aspek kelanjutan dan peningkatan lainnya ditunjukan oleh usaha untuk menyeimbangkan kegiatan di antara para pelaku eko-nomi. Dalam tataran ini, peran pihak swasta dalam arti yang seluas-luasnya semakin ditingkatkan. Dalam hal ini, peran pemerintah dapat ditekankan pada kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pengembangan infra-struktur, penelitian, dan pengembangan, serta lembaga koordinasi yang bertanggung jawab terhadap kegiatan agroindustri tersebut di tingkat pusat.
(32)
1.8 Kelembagaan Agribisnis Pedesaan
Di Dalam pengembangan agribisnis kehadiran keenam komponen subsistem agribisinis di tingkat lokalita belumlah lengkap. Untuk men-cukupi persyaratan keberadaabn sistem agribisnis di pedesaaan perlu didukung oleh rancang bangun, model atau arsitektur agribisnis yang dapat merakit dan mengintegrasikan semua komponen dalam sistem dan faktor pendukungnya dengan berlandasan arah dan strategi pengembang pasar-nya. Dengan demikian, pelaku agribisnis, terutama kelompok tani dapat digerakkan dan mempunyai akses terhadap usaha agribisnis secara terncana dan terpola.
Dalam kaitan di atas, wirausaha dan kemitraan usaha tampil sebagai pemrakarsa, perakit dan perekayasa, penggerak, dan pemandu berkerjanya sistem agribisnis pada lokalita tertentu. Instrumen yang berperan di dalam proses perekayasaan yakni penetapan komoditas unggulan, penetapan kawasan agribisnis, forum komunikasi sebagai kelembagaan penggerak, konsultan agribisnis yang dapat diperankan oleh penyuluh sebagai motor penggerak dan didukung oleh penyelenggaraan inkubator sebgai wadah yang dapat membentuk enterpreneurship serta koperasi usaha bersama (KUBA) sebagai wadah kelompok tani untuk memperkuat posisi dalam beragribisnis.
Sejalan dengan itu, jaringan kelembagaan agribisnis yang dibutuhkan adalah jaringan kelembagaan yang lebih menitikberatkan pada pember-dayaan petani sekaligus yang dapat mengarahkan para pelaku bisnis dalam menghadapi era globalisasi. Dalam hal ini, suatu jaringan kelembagaan agribisnis yang perlu dimantapkan di tingkat lokalita seyogyanya memiliki sedikitnya tiga visi, yaitu: pertama, memberikan dorongan kepada pengusaha yang terkait sebagai pelaku-pelaku agribisnis untuk melakukan pembenahan di sektor produksi; visi kedua, sebagai pusat mengenai agribisnis termasuk agroindustri; ketiga memberikan bimbingan kepada para pelaku agribisnis khususnya yang bergerak di sektor hulu sehingga mereka mampu memperkuat posisi tawarnya dalam era terbuka nantinya.
(33)
(34)
BAB II
USAHATANI TEMBAKAU
BESUKI NA-OOGST
2.1 Keberadaan Tembakau Besuki Na-Oogst
Pada umumnya, berdasarkan musim tanamnya, jenis dan varietas tanaman tembakau yang dibudidayakan di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua, yaitu; 1) tembakau VO (Voor-Oogst), merupakan jenis tembakau yang ditanam di akhir musim hujan dan dipetik pada musim kemarau. Tembakau jenis ini digunakan sebagai bahan membuat rokok putih maupun rokok kretek dan kebanyakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan 2) tembakau NO (Na-Oogst), merupakan tembakau yang ditanam di akhir musim kemarau dan dipanen atau dipetik pada awal musim penghujan. Tembakau Na-Oogst merupakan sejenis tembakau yang dipakai untuk bahan dasar membuat cerutu dan hampir seluruh produknya diekspor (Santoso, 1991).
Sejak tahun 1863, pengembangan tembakau bahan cerutu di Indo-nesia terpusat di tiga areal pengembangan, yaitu Deli (Sumatra Utara), di Klaten (Jawa Tengah), dan di Karesidenan Besuki (Jawa Timur) (Dutch Tobacco Growers, dalam Djajadi, 2008). Dalam perkembangan selanjutnya, areal terluas penanaman tembakau cerutu (sekitar 80% dari total areal penanaman) berada di daerah Karesiden Besuki, terutama di Kabupaten Jember. Di Deli dan Klaten, seluruh areal tembakau cerutu dikelola oleh perkebunan besar Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sedangkan tembakau cerutu di Karesidenan Besuki 81,88% (8.654,65 ha) dikelola oleh petani dengan penuh risiko, dan sisanya seluas 1.916,25 ha (18,12%) dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) serta perusahaan swasta (Basoenando, 2001).
Tanaman tembakau cerutu Besuki di Kabupaten Jember terdiri atas beberapa jenis, yaitu tembakau Besuki Na-Oogst tradisional (BesNOTRA); tembakau Besuki Na-Oogst tanam awal (BesNOTA), yang pada dasarnya
(35)
dikeringkan secara alami; dan tembakau bawah naungan (TBN) yang merupakan hasil terobosan teknologi tahun 1984 dengan cara menggu-nakan naungan (waring) (BPSMB-LT dan KUTJ, 2008).
Tembakau BesNOTRA ditanam pada pertengahan musim kemarau dan dipanen pada musim penghujan. Tembakau BesNOTA dan TBN ditanam pada akhir musim penghujan dan dipanen pada musim kemarau. Namun demikian, karena tembakau BesNOTRA, BesNOTA, dan TBN, tersebut tidak berbeda pemanfaatannya, yaitu sebagai bahan pembuat rokok cerutu, maka untuk selanjutnya ketiga jenis tembakau tersebut disebut sebagai tembakau cerutu Besuki atau Besuki Na-Oogst. Dalam penelitian ini, tembakau Besuki Na-Oogst. Tembakau yang dimaksud ini ditekankan pada jenis tembakau BesNOTRA dan BesNOTA yang di-budidayakan oleh para petani tembakau di Kabupaten Jember.
Wilayah sentra penanaman tembakau cerutu Besuki, di Kabupaten Jember, yang masih dikembangkan sampai dengan saat sekarang, terdapat di daerah Utara-Timur, terutama tersebar di desa-desa di kecamatan Arjasa, Sumberjambe, Ledokombo, Kalisat, Sukowono, dan Pakusari. Di daerah Tengah-Utara, tersebar di desa-desa di kecamatan Ajung, Jenggawah, Mumbulsari, Sukorambi, Rambipuji, Sumbersari, dan Patrang. Di Selatan, tersebar di desa-desa di kecamatan Ambulu, Wuluhan, Balung, dan Puger (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jember, 2009). Tembakau cerutu di daerah Jember Utara-Tengah merupakan wilayah penanaman tembakau Besuki Na-Oogst Tradisional (BesNOTRA). Sedangkan, di daerah Jember Selatan, yakni wilayah penanaman untuk tembakau Besuki Na-Oogst Tanam Awal (BesNOTA). Tembakau cerutu di daerah Jember Utara-Tengah dan di daerah Jember Selatan memiliki karakteristik yang berbeda. Tembakau cerutu yang dihasilkan di daerah Jember Utara-Tengah, yakni tembakau untuk mutu pengisi cerutu (filler) dan pembalut cerutu (omblad). Sedangkan, di daerah Jember Selatan hasil mutu utamanya, yakni tembakau omblad dan dekblad.
Pada mulanya, daerah Jember Utara merupakan sentra penanaman tembakau Besuki Na-Oogst. Namun, dalam perkembangannya, pena-naman tembakau Besuki Na-Oogst di daerah Jember Utara bergeser ke daerah Jember Selatan.Beberapa penyebab bergesernya areal penanaman tembakau Besuki Na-Oogst dari wilayah Jember Utara ke wilayah Jember Selatan karena menurunnya kesuburan tanah dan meningkatnya infestasi penyakit (Rachman et al, 2001). Penurunan kesuburan lahan dan mening-katnya serangan penyakit di daerah Jember Utara menyebabkan rendahnya
(36)
produksi yang dihasilkan, meskipun mutu filler yang dihasilkan masih lebih tinggi daripada mutu filler yang dihasilkan di daerah Jember Selatan. Adanya perbedaan kondisi topografi lahan, besarnya curah hujan antara Jember Utara dan Jember Selatan serta bergesernya waktu tanam akan berpengaruh terhadap perbedaan karakteristik agroekologi yang nantinya juga menentukan tembakau berproduksi dan bermutu tinggi (Djajadi, 2008).
Di samping hal tersebut, teknik budidaya untuk tembakau BesNOTA dan BesNOTRA memiliki beberapa perbedaan. Salah satu di antaranya, pengolahan tanah untuk tembakau BesNOTA dan BesNOTRA. Tembakau BesNOTA ditanam di musim kemarau. Lepas dari adanya penyimpangan cuaca, tanah diolah pada saat hujan akan berakhir dan tembakau hidup pada saat tidak ada hujan sampai panen berakhir sehingga tanah diolah dari suasana basah ke suasana kering. Tembakau BesNOTRA ditanam di akhir musim kemarau dan mulai dipanen pada awal musim penghujan. Tanah diolah sewaktu cuaca kering dan tembakau hidup dalam dua keadaan cuaca, dari kering ke basah. Dengan keadaan yang demikian, mengin-dikasikan bahwa pengolahan tanah yang selama ini dilakukan tidak semuanya tepat sama pada budidaya tembakau BesNOTA.
Perkembangan luas areal dan produksi tanaman tembakau Bes NOTRA dan BesNOTA di Kabupaten Jember dapat dilihat pada Tabel 2.1. Data Tabel 2.1 menunujukkan bahwa dari tahun 2001 hingga 2009 terjadi penurunan jumlah luas areal tembakau, baik tembakau BesNOTRA maupun tembakau BesNOTA, begitu pula dengan jumlah produksi yang semakin terus menurun setiap tahunnya. Hal ini tentunya, selaras dengan Tabel 2.2 mengenai perkembangan harga tembakau krosok BesNOTA dan BesNOTRA karena petani dalam mengusahakan usahataninya terpengaruh oleh keadaan yang lampau. Namun demikian, hal ini merupakan sikap dari petani tembakau tradisional, bahwa ketika terjadi kenaikan harga tembakau, maka dapat diprediksikan pada tahun berikutnya akan terjadi lonjakan pengembangan areal. Akan tetapi, bila terjadi penurunan harga maka, umumnya, pada tahun tanam berikut akan diikuti pengurangan areal tanaman tembakau. Salah satu sifat petani tembakau pada zaman dahulu, yakni walaupun petani dihadapkan pada usahatani yang kurang menguntungkan sebagai akibat turunnya harga tembakau, namun sebagian besar petani tetap menanam tembakau. Fenomena yang terjadi sekarang petani tembakau cenderung untuk ber-sikap rasional. Kondisi pasar tembakau Besuki Na-Oogst yang tidak
(37)
berpihak kepada petani mengakibatkan petani mengalihkan minatnya untuk menanam tanaman lain yang dianggap lebih menguntungkan, seperti holtikultura, padi, dan palawija.
Tabel 2.1 Perkembangan Luas Areal dan Produksi Tembakau BesNOTRA dan BesNOTA di Kabupaten Jember Tahun 2001-2009
Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Jember (2009)
Harga tembakau merupakan faktor utama yang menentukan petani dalam melakukan usahatani tembakau di samping juga dipengaruhi oleh harga faktor produksi. Hal ini karena faktor tersebut sangat menentukan pendapatan petani. Untuk mengetahui perkembangan harga produksi tembakau tiga tahun terakhir dapat dilihat dalam Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Perkembangan Harga Rata-Rata Tembakau Krosok BesNOTA dan BesNOTRA di Kabupaten Jember Tahun 2008-2009
(38)
Secara umum dapat diketahui tahun 2008 harga tembakau untuk mutu filler, dekblad, dan omblad meningkat cukup baik daripada tahun 2007, perkembangan lahan tembakau meningkat sebesar 21,8% pada tahun 2009. Akan tetapi, tahun 2009 harga tembakau cenderung menurun sehingga berpengaruh terhadap areal serta pendapatan dari usahatani tembakau BesNOTA dan BesNOTRA. Cuaca yang tidak menentu untuk mendukung penanaman tembakau Besuki Na-Oogst, keterbatasan informasi tentang kapasitas pembelian oleh tembakau dari para pengusaha dan kualitas yang dikehendaki pasar serta belum adanya kepastian pasar atas produk tembakau yang dihasilkan petani juga menjadi penyebab menurunnya animo petani tembakau di Kabupaten Jember untuk menanam tembakau Besuki Na-Oogst (Lembaga Penelitian dan Pengembangan Tembakau Besuki, 2001).
Dihadapkan pada kondisi produksi tembakau BesNOTA dan BesNOTRA yang menurun, kondisi cuaca yang tidak menentu, teknik budidaya yang berbeda, harga faktor produksi cenderung naik serta harga tembakau yang tidak menentu serta tingkat luas lahan yang bervariasi mendorong dilakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi, pendapatan serta dampak penerapan teknologi baru. Penerapan teknologi yang dimaksudkan di sini, yakni perbedaan musim tanam tembakau antara tembakau BesNOTA dan BesNOTRA yang nantinya akan berkaitan dengan teknik budidaya. Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi petani sebagai informasi dalam mengalokasikan faktor-faktor input usahatani. Di samping itu, bagi pemerintah daerah merupakan masukan dalam menentukan kebijakan. Sedangkan, untuk para pelaku bisnis tembakau Besuki Na-Oogst, khususnya pedagang dan eksportir diharapkan dapat dipergunakan untuk pertimbangan dalam menentukan harga maupun omset kebutuhan bahan baku tembakau. Mengingat, hubungan petani tembakau sebagai produsen dan pedagang/eksportir sebagai konsumen merupakan kemitraan yang saling tergantung dengan prinsip saling menguntungkan.
2.2 Usahatani Tembakau Besuki Na-Oogst
Ditinjau dari aspek agronomi, tembakau Besuki Na-Oogst mem-punyai sistematika sebagai berikut.
Divisi : Spermatophyta Anak divisi : Angiospermae
(39)
Kelas : Dicotyledonae Bangsa : Personatae Suku : Solanaceae Marga : Nicotiana Jenis : Tabacum
Dari sistematika tersebut, tembakau Besuki Na-Oogst dikenal dengan nama Nicotiana tabacum L. Pengusahaannya di Jawa Timur telah dimulai sejak tahun 1856. Sedangkan, penyebarannya dewasa ini, terpusat di Kabupaten Jember dan sedikit di Kabupaten Bondowoso.
Tembakau Besuki Na-Oogst menghendaki tanah-tanah ringan atau tanah vulkanis dengan sifat penyerap yang baik, dengan reaksi tanah dari asam lemah sampai mendekati netral (pH 5-6). Suhu optimum untuk pertumbuhan antara 24-27 °C dengan kelembaban relatif rata-rata 75-80%. Curah hujan yang jumlahnya sedang, yaitu sekitar 300 mm selama musim tanam berpengaruh paling baik terhadap pertumbuhan tanaman sehingga menghasilkan produksi yang maksimal (Hartana (1978) dalam Syafi’i (1994).
Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan usahatani tembakau Besuki Na-Oogst, yakni adanya pengolahan tanah yang baik dengan tujuan untuk:
a. pengendalian gulma dan pemanfaatan sisa tanaman;
b. persiapan tempat menanam bibit yang baik dan tanah supaya cukup gembur serta homogen sebagai pertumbuhan akar;
c. untuk memperbaiki struktur tanah sehingga tercipta sifat hidrolisis tanah sehingga tercipta sifat hidrolisis tanah, kecepatan infiltrasi, ka-pasitas penahanan air dan sifat ketahanan tanah terhadap pertumbuhan akar yang sesuai dengan kebutuhan tanaman; dan
d. membuat guludan.
Dengan pengolahan tanah yang baik, maka kegiatan agronomi lainnya, seperti pemupukan, perlindungan tanaman, dan sebagainya akan lebih mudah dan lebih efektif. Pengolahan tanah untuk tanaman tembakau di beberapa daerah berbeda-beda bergantung pada kebiasaan setempat. Untuk tanaman tembakau yang ditanam setelah tanaman padi, maka pengolahan tanah perlu mendapat perhatian yang lebih intensif karena, pada umumnya, tanah setelah tanaman padi memiliki struktur tanah yang jelek untuk tanaman tembakau.
(40)
Faktor lain yang perlu mendapat perhatian, yakni pemakaian benih. Untuk mendapatkan keseragaman dalam pertubuhan tanaman maupun mutu daun perlu digunakan benih murni dari varietas unggul yang berasal dari benih dasar yang dihasilkan oleh balai penelitian. Kebutuhan benih untuk satu hektar pertanaman rata-rata 10 gram. Pada umumnya, benih tembakau tidak memunyai masa istirahat sehingga benih yang baru dihasilkan langsung dapat disebar. Apabila benih tersebut tidak langsung digunakan, maka dalam penyimpanannya harus dimasukkan dalam kaleng yang diberi kapur tohor untuk menghisap air dan ditutup rapat. Untuk menghasilkan pertumbuhan benih yang baik, sebelum benih ditaburkan di bedengan lebih dahulu direndam pada kain basah di tempat yang terkena sinar matahari secara tidak langsung selama kurang lebih tiga hari sampai sebagian dari benih mulai pecah kulitnya. Penyebaran benih untuk seluruh areal tanaman tidak dilaksanakan sekaligus melainkan dalam beberapa gelombang dengan selang waktu tertentu. Dalam penyebaran ini, masing-masing gelombang penyebaran benih menghasilkan blok-blok pertanaman tersendiri yang berdasarkan urutan saat penyebarannya. Tujuan menye-barkan benih secara bergelombang antara lain untuk:
a. memperkecil resiko kerusakan oleh hujan;
b. mengatur kegiatan tenaga kerja dalam tahap-tahap pekerjaan selanjut-nya (tanam, pemeliharaan, pemetikan, dan pengeringan);
c. menyesuaikan dengan kapasitas gudang pengering.
2.3 Kajian Terdahulu
Penelitian mengenai analisis usahatani telah dilakukan oleh banyak peneliti terhadap komoditas-komoditas sektor pertanian yang lain, bukan hanya pada komoditas tembakau. Pada tahun 1986, Imam Syafi’i melakukan penelitian mengenai tembakau Besuki Na-Oogst di Desa Ajung. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mempelajari tingkat pendapatan petani tembakau Besuki Na-Oogst pada berbagai bentuk penjualan hasil (tebasan, daun basah, dan daun kering) serta faktor-faktor yang meme-ngaruhi pendapatan petani tembakau Besuki Na-Oogst. Dalam penelitian tersebut, dijelaskan bahwa dari tiga bentuk penjualan yang umum dilaksanakan oleh petani tembakau Besuki Na-Oogst di Desa Ajung, ternyata bentuk penjualan secara daun kering memberikan tingkat pendapatan yang lebih besar dibandingkan penjualan dalam bentuk daun basah maupun tebasan. Faktor yang berpengaruh terhadap tingkat
(41)
pendapatan petani tembakau Besuki Na-Oogst, yakni modal, curahan jam kerja, bentuk penjualan hasil, dan sistem penjualan hasil.
Penelitian dengan topik yang lain telah dilakukan oleh Imam Syafi’i pada tahun 1989. Dalam penelitiannya yang berjudul Analisa Biaya dan Pendapatan Usahatani Tembakau Besuki Na-Oogst berdasarkan Luas Tanah Garapan menyimpulkan bahwa secara absolut ternyata semakin luas tanah garapan petani yang berusahatani tembakau Na-Oogst, maka semakin rendah rata-rata biaya yang dibutuhkan. Selain itu, variabel yang berpengaruh terhadap pendapatan petani tembakau Besuki Na-Oogst, yakni biaya bibit, pupuk, tenaga kerja, processing,dan harga jual. Apabila ditinjau dari analisis efisiensi, ternyata usahatani tembakau Na-Oogst. menunjukkan usaha tani efisien dengan nilai R/C Ratio = 2,63.
Soeyono (1991) juga mengadakan penelitian yang menggunakan analisis efisiensi usahatani tembakau di Kecamatan Ledokombo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usahatani tembakau membutuhkan modal yang jumlahnya relatif besar dan usaha tani tembakau di Kecamatan Ledokombo sudah cukup efisiensi dengan tingkat efisiensi sebesar 245%. Penelitian mengenai tembakau Besuki Na-Oogst telah dilakukan kembali oleh Imam Syafi’i pada tahun 1993. Dalam penelitian ini, peneliti menyimpulkan bahwa 1) semakin luas lahan garapan tembakau Besuki Na-Oogst maka biaya produksi yang dikeluarkan semakin besar dan pendapatan yang diperoleh juga semakin tinggi; 2) faktor utama yang berpengaruh terhadap pendapatan usaha tani Tembakau Besuki Na-Oogst yakni harga jual dan tenaga kerja; 3) saluran pemasaran yang paling efisien, yakni saluran pemasaran ke-4, yaitu dari petani ke eksportir; 4) salah satu faktor yang menyebabkan terjadi penurunan penanaman tembakau Besuki Na-Oogst, yakni pendapatan yang diperoleh petani tidak seimbang dengan kerja yang dilakukannya.
Selain itu, Soetriono (1993) juga telah meneliti mengenai Faktor-Faktor yang memengaruhi Produksi Efisiensi Pendapatan dan Volume Ekspor Tembakau Besuki Na-Oogst. Dalam penelitiannya dijelaskan bahwa alokasi biaya usahatani yang dikelola anggota HIPPA sudah efisien dengan R/C Ratio 2,32. Faktor produksi yang berpengaruh terhadap tingkat pro-duksi usaha tani yang dikelola anggota HIPPA, yakni luas tanah garapan, pupuk, dan tenaga kerja.
Syafi’i, et al (1994) malakukan Analisis Produksi dan Pendapatan Serta Pengaruh Volume Ekspor Terhadap Produksi dan Luas Areal Tembakau Besuki Na-Oogst. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk
(42)
memelajari pengaruh faktor-faktor produksi terhadap besarnya produk tembakau Besuki Na-Oogst yang diperoleh, mempelajari efisiensi, dan tingkat pendapatan usahatani tembakau Besuki Na-Oogst dan mempelajari pengaruh volume ekspor terhadap jumlah produksi dan luas areal tembakau Besuki Na-Oogst. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi produksi tembakau Na-Oogst,yakni luas lahan, pemakaian pupuk urea, dan varietas yang digunakan para petani, usahatani tembakau Besuki Na-Oogst tergolong efisien terutama pada usahatani yang luas, perubahan volume ekspor akan memengaruhi terhadap jumlah produksi musim tanam berikutnya dan luas areal.
Penelitian di atas merupakan landasan bagi penulis untuk melakukan dengan topik sejenis. Walapun begitu, penelitian yang dilakukan tidak akan mengadopsi secara langsung model penelitian dan hipotesis penelitian sebelumnya melainkan akan dilakukan modifikasi dengan menentukan variabel-variabel penelitian yang didasarkan pada teori dan pakar-pakar yang lain. Selain itu, dalam buku ini juga digunakan teori-teori lain yang berhubungan untuk menentukan variabel-variabel yang lebih relevan dengan penelitian yang dilakukan.
Penelitian terdahulu mengenai komoditas tembakau yang juga menjadi acuan, yakni penelitian Basoenando (2001). Peneliti menganalisis mengenai “Pemasaran Tembakau Besuki NO, Produksi Petani di Kabupaten Jember, Faktor-Faktor yang Berpengaruh dan Strategi Pengembangannya”. Analisis yang digunakan terdiri atas tiga, yaitu analisis usahatani tembakau Besuki Na-Oogst, analisis prioritas faktor penentu harga tembakau Besuki Na-Oogst, dan analisis strategi. Dari hasil analisis, peneliti menyimpulkan bahwa pengusahaan di wilayah pengembangan, dengan kisaran nilai B/C = 0,8-2,6 lebih rawan keberhasilan apabila dibanding wilayah tradisional dengan kisaran B/C = 1,2-2,6. Faktor-faktor yang sangat berpengaruh terhadap pendapatan petani, yakni komposisi tembakau berkualitas baik, tingkat pendidikan formal petani, dan produktivitas yang dicapai.
Djajadi (2008), dalam penelitiannya menjelaskan bahwa perbedaan kondisi topografi lahan dan besarnya curah hujan antara Jember Utara dengan daerah pengembangan baru tembakau cerutu besuki (Jember Selatan) akan berpengaruh terhadap perbedaan karakteristik agroekologi yang menentukan tembakau berproduksi dan bermutu tinggi. Sebagai daerah yang berpotensi untuk menghasilkan mutu tinggi (mutu pembalut dan pembungkus cerutu/dek-omblad), daerah Jember Selatan memerlukan teknologi yang sesuai dengan karakteristik agroekologi.
(43)
2.4 Teori Produksi dan Pendapatan
Menurut Budiono (1992), setiap proses produksi memunyai landasan teknis, yang dalam teori ekonomi disebut Fungsi Produksi. Fungsi produksi adalah suatu fungsi atau persamaan yang menunjukkan hubungan antara tingkat output dan kombinasi penggunaan input-input. Hubungan antara masukan dan keluaran ini secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:
Q = f (X1, X2, X3…..Xn)
Keterangan: Q = Tingkat produksi (output) dipengaruhi oleh faktor produksi X
X = berbagai input yang digunakan atau variabel yang memengaruhi Q
Dalam teori ekonomi diambil pula satu asumsi dasar mengenai sifat dari fungsi produksi, yaitu fungsi produksi dari semua produksi. Dalam teori ini, semua produsen dianggap tunduk pada suatu hukum yang disebut: The Law of Diminishing Return. Hukum ini mengatakan bahwa bila suatu input ditambah penggunaannya, sedangkan input-input lain tetap, maka tambahan output yang dihasilkan dari setiap tambahan satu unit input yang ditambahkan mula-mula menaik, tetapi kemudian sete-rusnya menurun bila input tersebut harus ditambah. Tambahan output yang dihasilkan dari penambahan satu unit input variabel tersebut, disebut marginal physical product (MPP) dari input tersebut.
Elastisitas produksi (Ep) adalah persentase perubahan dari output sebagai akibat dari persentase perubahan input. Hal ini menunjukkan bahwa dalam tahapan usaha terjadi peristiwa tambahan input yang menye-babkan tambahan output yang semakin menaik (increasing rate) kemudian menurun (decreasing negative) sampai pada produk marginal (PM) yang negatif. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 2.1 sebagai berikut:
(44)
Sumber: Mubyarto (1991)
Gambar 2.1 Tahapan dari Suatu Proses Produksi
Dalam teori ekonomi asumsi dasar sifat fungsi produksi merupakan hukum kenaikan hasil yang semakin berkurang (the law of diminishing return). Spesifikasi bentuk fungsi produksi tersebut, dapat dijabarkan dalam tiga tahap. Secara umum hubungan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Tahap 1: nilai Ep>1, produk total, produk rata-rata menaik dan produk marginal juga nilainya menaik kemudian menurun sampai nilainya sama dengan produk rata-rata, merupakan daerah irasional karena produsen meningkatkan output melalui peningkatan input. 2. Tahap II: nilai Ep adalah 1 > Ep > 0, produk total menaik tetapi
produk rata-rata menurun dan produk marjinal nilainya juga menurun sampai 0 dan merupakan daerah rasional untuk membuat keputusan produksi. Dengan demikian, daerah ini terjadi efisiensi.
(45)
3. Tahap III: nilai Ep < 0, produk total dan produk rata-rata menurun, sedangkan nilai produk marjinal negatif, juga merupakan daerah irasional karena dengan penambahan input akan mengurangi output.
2.4.1 Fungsi Produksi Cobb-Douglas
Pendekatan dengan menggunakan fungsi produksi secara luas banyak digunakan dalam penelitian yang berkaitan dengan pembahasan ekonomi produksi, khususnya dalam bidang pertanian. Beberapa bentuk fungsi produksi yang umum digunakan, misalnya bentuk linier, kuadratik, Cobb-Douglas, dan CES (Constant Elasticity of Substitution). Dua bentuk yang terakhir ini, sering digunakan dalam analisis ekonomi produksi, sebelum mulai diperkenalkan pendekatan yang lain, yaitu dengan pendekatan fungsi keuntungan (profit function approach).
Menurut Soekartawi (1990), ada tiga alasan mengapa fungsi produksi Cobb-Douglas lebih banyak dipakai dalam penelitian, yaitu sebagai berikut. 1. Penyelesaian fungsi Cobb-Douglas relatif lebih mudah dibandingkan
fungsi yang lain, seperti fungsi kuadratik.
2. Hasil pendugaan garis melalui fungsi Cobb-Douglass akan meng-hasilkan koefisien regresi yang sekaligus juga menunjukkan besaran elastisitas.
3. Besaran elastisitas tersebut, sekaligus menunjukkan tingkat return to scale.
4. Apabila jumlah variabel yang diestimasikan dalam jumlah besar, maka fungsi Cobb-Douglas lebih mudah digunakan.
Fungsi produksi Cobb Douglas dikembangkan oleh para peneliti, sehingga namanya bukan saja fungsi produksi, tetapi juga fungsi biaya Cobb-Douglas dan fungsi keuntungan Cobb-Douglas. Hal ini menjadi indikasi bahwa fungsi Cobb-Douglas dianggap penting. Fungsi Cobb-Douglas adalah suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel yang secara matematik dapat dituliskan sebagai berikut:
Y = aX1b1X 2
b2...Xnbneu
ln Y = ln a + b1lnX1 + b2lnX2 +...bnlnXn + e
Pada persamaan tersebut, terlihat bahwa nilai b1, b2, bi....bn adalah tetap walaupun variabel yang terlibat telah dilogaritmakan. Hal ini karena b1, b2, ....bn pada fungsi Cobb-Douglas sekaligus menunjukkan elastisitas
(46)
X terhadap Y, dan jumlah dari elastisitas merupakan ukuran return to scale. Fungsi produksi Cobb-Douglas dalam penyelesaiannya selalu dilogaritmakan dan bentuknya menjadi fungsi linier.
Dalam menentukan model fungsi produksi Cobb-Douglas dengan data cross sectional (data survei usahatani), pada umumnya ada beberapa hal yang penting dan yang harus diperhatikan dalam melakukan analisis, yaitu (Soekartawi, 1990) sebagai berikut.
1) Tidak ada nilai pengamatan yang bernilai nol, sebab logaritma dari nol adalah suatu bilangan yang besarnya tidak diketahui (infinite). 2) Variasi dari berbagai variabel yang tidak disertai dalam analisis
(misal-nya jenis tanah, cara bercocok tanam, dan iklim) hendak(misal-nya kecil. 3) Sebaliknya, variasi dari kombinasi masukan yang dipakai oleh sampel
lebih beragam (misalnya, tidak semua sampel memakai pupuk dalam dosis yang hampir sama).
4) Jumlah sampel yang diperlukan harus memadai (paling sedikit 40 sampel).
5) Asumsi, fungsi Cobb-Douglas harus menggunakan asumsi-asumsi yang tepat. Asumsi-asumsi ini, yakni: 1) teknologi dianggap netral, yang artinya intercept boleh beda, tetapi slope garis penduga Cobb-Dou-glas dianggap sama, dan 2) sampel dianggap price takers.
6) Perbedaan lokasi (pada fungsi produksi) seperti iklim, sudah tercakup pada faktor kesalahan.
7) Tiap variabel X merupakan perfect competition.
2.4.2 Teori Biaya dan Pendapatan
Menurut Sukirno (2002), dalam berusahatani harus mempertim-bangkan tingkat biaya produksi yang dikeluarkan. Biaya produksi dapat didefinisikan semua pengeluaran yang dilakukan oleh perusahaan untuk memperoleh faktor-faktor produksi dan bahan-bahan mentah yang digu-nakan, untuk menciptakan barang-barang yang diproduksikan perusahaan tersebut. Apabila jumlah sesuatu faktor produksi yang digunakan selalu berubah-ubah, maka biaya produksi yang dikeluarkan juga berubah-ubah nilainya. Apabila jumlah sesuatu faktor produksi yang digunakan tetap, maka biaya produksi yang dikeluarkan untuk memperolehnya juga tetap nilainya. Dengan demikian, keseluruhan jumlah biaya produksi yang dikeluarkan produsen dapat dibedakan menjadi dua jenis pembiayaan, yaitu; “biaya yang selalu berubah (biaya variabel)” dan “biaya tetap”.
(1)
jukkan bahwa share keuntungan yang diterima oleh pedagang pengumpul dan eksportir juga tidak merata karena share keuntungan pedagang pengumpul sebesar 5,40%, sedangkan share keuntungan eksportir sebesar 64,98%. Pemasaran tembakau Bes NOTA pada saluran III juga menun-jukkan saluran pemasaran yang logis dimana share keuntungan sebesar 77,09% lebih besar daripada share biaya, yaitu sebesar 22,91%. Nilai efisiensi pemasaran sebesar 2,42% yang berarti saluran pemasaran tersebut tergolong efisien.
Tabel 5.13 Saluran IV Pemasaran Tembakau Bes NOTA di Desa Sabrang Kecamatan Ambulu
Saluran IV : Petani - Belandang - Pedagang Pengumpul - Eksportir
(2)
Tabel 5.14 tabel saluran pemasaran IV tembakau Bes NOTA di Desa Sabrang, yaitu pemasaran dari tingkat petani melalui belandang dan pedagang pengumpul kemudian sampai pada tingkat eksportir. Kolom distribusi margin menunjukkan bahwa share keuntungan yang diterima oleh belandang dan pedagang pengumpul jika dibandingkan eksportir tidak merata karena share keuntungan belandang 3,30% dan pedagang pengumpul sebesar 3,50%, sedangkan share keuntungan eksportir sebesar 63,67%. Pemasaran tembakau Bes NOTA pada saluran IV juga menun-jukkan saluran pemasaran yang logis dimana share keuntungan labih besar daripada share biaya, yaitu sebesar 77,15% sedangkan share biaya biaya yaitu sebesar 22,85%. Nilai efisiensi pemasaran saluran IV sebesar 4,83%. Hal ini berarti saluran pemasaran tersebut tergolong efisien.
(3)
Daftar Pustaka
Adiningsih, S. 1999. Ekonomi Mikro, Edisi Pertama. Yogyakarta:BPFE. Aunuddin. 2005. Statistika: Rancangan dan Analisis. Bogor: IPB Press. Aziz, N. 2003. Pengantar Mikro Ekonomi, Aplikasi dan Manajemen.
Malang: Bayumedia Publishing.
Balai Pengujian Sertifikasi Mutu Barang Dan Lembaga Tembakau (BPSMB-LT) dengan Komisi Urusan Tembakau Jember (KUTJ). 2008. Good Manufacturing Practices (GMP) Tembakau Besuki Na-Oogst (disampaikan pada Sosialisasi Penyusunan dan Penerapan Sistem Good Manufacturing Practices (GMP) Tembakau Na-Oogst dan Voor-Oogst. Jember: BPSMB-LT dan KUTJ.
Boediono. 1992. Ekonomi Mikro: Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No.1. Yogyakarta: BPFE.
Basoenando. 2001. Pemasaran Tembakau Besuki NO, Produksi Petani di Kabupaten Jember, Faktor-faktor yang Berpengaruh dan Strategi Pengembangannya. Tidak dipublikasikan. Tesis. Jember: Program Pascasarjana Universitas Jember.
Cahyono, B. 1998. Tembakau: Budi Daya dan Analisis Usaha Tani. Yogyakarta: Kanisius.
Datu, Devi Yulianda. 2011. Faktor Determinan Produksi Kakao di Kabupaten Jembrana (Tesis tidak dipublikasikan). Jember : Uni-versitas Jember
Departemen Keuangan. 2009. Penerimaan negara dari cukai rokok pada tahun 2009 berjumlah Rp 55 Triliun. Siaran Pers
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jember. 2009. Buku Data
Perkebunan Kabupaten Jember Tahun 2008. Jember: Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jember.
Djajadi. 2008. Tembakau Cerutu Besuki-NO: Pengembangan Areal dan Permasalahannya di Jember Selatan. Perspektif, 7 (1): 12-19. ____________. 1999. Prospek Pertanian Organik dan Hayati Dalam
Budidaya Tembakau. Dalam Prosiding Semiloka Teknologi Tembakau. Balai Tembakau dan Tanaman Serat. Jakarta.
Friyatno dan Sumaryanto. 1993. Analisis Penggunaan Faktor Produksi Padi. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi: Bogor.
(4)
Ghozali, Imam. 2006. Aplikasi AnalisisMultivariat dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Gomez, K. A. dan Gomez, A. A. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Gujarati. 2006. Ekonometrika Dasar. Alih bahasa Oleh Sumarno Zain dari Basic Econometrics. Jakarta: PT Erlangga.
Hartana, I. 1996. Peningkatan produktivitas dan kualitas tembakau cerutu melalui pemanfaatan hasil penelitian. Makalah disajikan pada pertemuan teknis tembakau ekspor tahun 1996 di kantor Lembaga Tembakau Cabang Jatim II, Jember. 13p
Haryanto, I. 1993. Studi Keunggulan Komparatif Antar Komoditi Perkebunan di Jawa Timur. Laporan Penelitian. Jember: Lembaga penelitian Universitas Jember.
Haryono, A.L. dan Yusuf. 1994. Dasar-dasar Akuntansi Jilid 1 Edisi 4. Yogyakarta: STIE YKPN
Hasan, MI. 2002. Pokok-pokok Materi Statistik (Statistik Deskriptif). Jakarta: PT. Bumi Aksara
Hernanto, F. 1996. Ilmu Usahatani. Jakarta: Penebar Swadaya.
Koentjoro, M. 2009. Seputar Pengusahaan Tembakau (disajikan pada
pertemuan Pembinaan Mutu dan Daya Saing Tembakau). Jember.
Kompas. 2010. Pasar Ekspor Tembakau Terbuka Lebar. 15 Januari 2010. KUTJ dan Dinas Perkebunan Kabupaten Jember. 2004. Panduan Budidaya dan Pengolahan Hasil Tembakau di Kabupaten Jember (Tembakau
Na-Oogst). Jember: KUTJ dan Dinas Perkebunan Kabupaten
Jember.
Lembaga Penelitian dan Pengembangan Tembakau Besuki. 2001. Kajian Permasalahan Tembakau Besuki NO. Jember: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Tembakau.
Mahekam, J. L. dan R.L. Malcolm. 1991. Manajemen Usahatani Daerah Tropis. Jakarta: LP3ES. 384 Halaman.
Mardiasmo. 2006. Perpajakan. Yogyakarta: CV Andi Offset. Mubyarto. 1995. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta : LP3ES. Nazir, M. 1989. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Nicholson, W. 1995. Teori Ekonomi, Prinsip Dasar dan Perluasan, Alih Bahasa: Daniel Wirajaya, Edisi ke 5. Jakarta: Binarupa Aksara. Rahardja, P. dan Mandala, M. 1999. Teori Ekonomi Mikro Suatu Pengantar.
(5)
Rahardja dan Manurung. 2000. Teori Ekonomi Mikro : Suatu Pengantar. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indone-sia.
Rachman, A., Mukani, Kadarwati, F.D. 2000. Karakterisasi dan Evaluasi Wilayah Pengembangan Tembakau Cerutu Besuki. Jurnal Penelitian Tanaman Industri, 9 (2): 25-37.
Rachman, A., Puriani, E., Dalamadiyo, G. 2001. Penggunaan irigasi curah pada tembakau besuki tanam awal. Jurnal Ilmu Pertanian Gadjah Mada (9) 2: 85-92
Rahim dan Diah Retno. 2007. Pengantar. Teori dan Kasus Ekonomika Pertanian. Seri Agriwawasan. Jakarta: Penebar Swadaya.
Rijanto, Soetriono dan A. Suwandari. 2002. Pengantar Ilmu Pertanian. Jember: Fakultas Pertanian-Universitas Jember.
Santoso, K. 1991. Tembakau: dalam Analisis Ekonomi. Jember: Badan Penerbit Universitas Jember.
____________.1994. Studi Analisa Kebijakan Pertanian untuk Menunjang Pengembangan Agoindustri. Makalah Seminar Nasional Kebijakan dan Strategi pengembangan Agribisnis. Jember. Universitas Jember. Sholeh, Mochammad, dkk. 2000. Pengaruh Komposisi Pupuk KS, ZA, dan Urea serta Dosis N terhadap Mutu Tembakau Besuki NO. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat.
Sisno. 2001. Efsiensi Relatif Usahatani Tembakau berdasarkan Luas Lahan Garapan. Tesis. Program Pasca Sarjana UGM Yogyakarta.
Soekartawi. 1990. Teori ekonomi Produksi dengan Pokok Bahasan Analisis Fungsi Cobb Douglas. Jakarta: Rajawali Press.
____________. 1993. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rajawali Press.Soekartawi. 1994. Analisis Usahatani. Jakarta : UI Press.
___________. 1994. Teori Ekonomi Produksi dengan Pokok Bahasan Analisis Fungsi Cobb Douglas. Jakarta: PT. Raja Grafindo. ___________. 1995. Analisis Fungsi Produksi. Jakarta : UI Press.
___________. 1997. Agribisnis:Teori dan Aplikasinya. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
___________. 2002. Analisis Usahatani. Jakarta: Universitas Indonesia. Soenardi. 1999. Perlu,Koperasi dalam Usaha Tani Tembakau, Prosiding
Semiloka Teknologi Tembakau. Malang: Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat.
(6)
Soetriono. 1993. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efisiensi Pendapatan
dan Volume Ekspor Tembakau Besuki Na-Oogst. Laporan
Pene-litian. Jember: Pusat Penelitian Universitas Jember.
Soeyono. 1991. Studi Tentang Efisiensi Usahatani Tembakau di Kecamatan Ledokombo Kabupaten Jember. Laporan Penelitian. Jember: Pusat Penelitian Universitas Jember.
Sudarman, A. 1999. Teori Ekonomi Mikro I. Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka.
Sudarsono. 1995. Pengantar Ekonomi Mikro. Jakarta: LP3ES. Sugiyono. 2007. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Sukirno, S. 2002. Pengantar Teori Mikroekonomi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sumarsono, S. 2007. Ekonomi Mikro: Teori dan Soal Latihan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Syafi’i, Imam. 1986. Bentuk Penjualan Tembakau Besuki Na-Oogst dalam
Hubungannnya dengan Tingkat Pendapatan Petani. Laporan
Penelitian. Jember: Pusat Penelitian Uiversitas Jember.
___________. 1989. Analisa Biaya dan Pendapatan Usahatani Tembakau
Besuki Na-Oogst berdasarkan Luas Tanah Garapan. Laporan
Penelitian. Jember: Pusat Penelitian Universitas Jember.
___________. 1993. Analisis Biaya dan Efisiensi Pemasaran Tembakau Besuki Na-Oogst. Laporan Penelitian. Jember: Pusat Penelitian Uni-versitas Jember.
Syafi’i, Rijanto, Ardaniah, Januar, dan Sutriono. 1994. Analisis Produksi dan Pendapatan serta Pengaruh Volume Ekspor terhadap Produksi
dan Luas Areal Tembakau Besuki Na-Oogst. Jember: Pusat
Penelitian Universitas Jember.
Wardani. 2008. “Analisis Usaha Tani Kakao”. Panduan Lengkap Kakao: Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Cetakan Pertama. Penebar Swadaya: Jakarta.
Wibowo, R. 2001. Ringkasan Kuliah Pengantar Teori Ekonomi Mikro. Jember : Fakultas Pertanian Universitas Jember.
Wibowo, R. 2000. Ekonometrika Analisis Data Parametrik. Jember: Fakultas Pertanian Universitas Jember.