Evaluasi Pelaksanaan Kemitraan Evaluasi Kemitraan dan Analisis Pendapatan Usahatani Penangkaran Benih Padi Bersertifikat (Kasus Kemitraan: PT. Sang Hyang Seri Regional Manajer I Sukamandi, Kabupaten Subang)

78 sanksi bahwa petani mitra akan diberhentikan apabila melanggar kesepakatan baik tertulis maupun tidak tertulis. Penerapan sanksi ini tidak serta merta dilakukan pada pelanggaran pertama. Sebelum diberhentikan, PT. SHS akan memberikan teguran terlebih dahulu kepada petani mitra. Apabila petani mitra tetap melakukan pelanggaran barulah kemudia diberhentikan sebagai petani mitra oleh PT. SHS.

6.4 Evaluasi Pelaksanaan Kemitraan

Pelaksanaan kemitraan antara PT. SHS dengan petani mitra diatur dalam suatu peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis. Peraturan tertulis terdapat dalam Kontrak Kerjasama yang berlaku untuk setiap musim. Peraturan tertulis maupun tidak tertulis mengatur hak dan kewajiban dari petani mitra maupun dari PT. SHS. Berdasarkan uraian hak dan kewajiban, dapat dievaluasi pelaksanaan kemitraan tersebut. Keenam belas poin kerjasama yang digunakan untuk mengevaluasi kemitraan ditentukan berdasarkan peraturan tertulis dan peraturan tidak tertulis. Poin-poin tersebut adalah pembinaan dan pengawalan teknis, pembayaran benih pokok, pembayaran bagi hasil, pembayaran biaya operasional, penjualan hasil panen, pengelolaan areal, sanksi terhadap pelanggaran aturan, ketentuan luas lahan garapan, penerapan jadwal tebar tanam panen, penyediaan sarana produksi, kegiatan pembasmian tikus, penerapan harga beli hasil panen oleh PT. SHS, pembagian risiko budidaya, respon terhadap keluhan, pengangkutan hasil panen dan pembayaran hasil panen. Secara ringkas, evaluasi pelaksanaan kemitraan dapat dilihat pada matriks evaluasi, dimana dapat terlihat beberapa peraturan yang tidak berjalan sesuai perjanjian yang telah disepakati Lampiran 3. Pelaksanaan kemitraan antara PT. SHS dengan petani mitra dilihat dari kesepakatan baik tertulis maupun tidak tertulis adalah: A. Peraturan Tertulis. 1. Pembinaan dan Pengawalan Teknis. PT. SHS diwajibkan untuk melakukan pembinaan dan pengawalan teknis produksi. Pembinaan dan Pengawalan Teknis Produksi mewakili frekuensi kegiatan pembinaan serta pengawalan teknis yang dilakukan oleh PT. SHS serta menilai kualitas SDM yang dimiliki PT. SHS dalam memberikan 79 pembinaan dan pengawalan. Pembinaan dan pengawalan teknis dilakukan hampir setiap hari oleh PT. SHS. Hal ini cukup mudah dilakukan, karena lahan penangkaran benih padi merupakan milik PT. SHS dan berada di wilayah PT. SHS. Dari seluruh lahan milik PT. SHS dibagi menjadi lima wilayah, dimana setiap wilayah memiliki kepala wilayah atau supervisor. Kepala wilayah inilah yang berperan melakukan pembinaan dan pengawalan teknis. Petani di setiap wilayah pasti mengenal kepala wilayahnya, dan terjalin komunikasi yang baik, sehingga aliran informasi baik mengenai PT. SHS maupun mengenai budidaya dapat diterima oleh petani. Pelaksanaan poin kerjasama ini telah sesuai dengan kesepakatan kerjasama. 2. Pembayaran Benih Pokok. Pembayaran benih pokok diatur di dalam kontrak, dimana petani mitra diwajibkan membeli benih pokok 25 kg per hektar per musim dari PT. SHS. Harga benih pokok pada musim tanam 20102011 adalah Rp 7.500 per kg. Pembelian benih pokok ke PT. SHS dimaksudkan untuk menjaga kualitas benih yang dihasilkan. Jenis varietas yang ditanam ditentukan oleh perusahaan. Petani diwajibkan untuk menanam padi sesuai dengan varietas yang ditentukan oleh PT. SHS. Hal ini berdasarkan banyaknya kebutuhan dari varietas padi itu sendiri. Varietas yang ditanam oleh PT. SHS pada musim tanam 20102011 adalah Inpari 1, Situbagendit, Ciherang, Inpago 3 SHS, Cigeulis, Inpara 3, Inpari 13, Mekongga dan IR64. Varietas Inpago 3 SHS dan Inpari 13 hanya dibudidayakan pada kegiatan swakelola. Sejauh ini, petani mitra selalu mematuhi ketentuan tersebut sehingga pelaksanaan poin kerjasama ini telah sesuai dengan kesepakatan kerjasama. Walaupun sebenarnya banyak petani yang sudah mulai kurang menyukai varietas yang ditentukan oleh perusahaan. Beberapa petani menyatakan bahwa kini banyak varietas lokal yang lebih tinggi produktivitasnya. 3. Pembayaran Bagi Hasil. Sesuai dengan Surat Perjanjian Kerjasama SPK, petani mitra diwajibkan untuk membayar bagi hasil sebesar 1.200 kg per hektar per musim sebagai 80 biaya sewa atas lahan yang digunakan. Pembayaran dilakukan ketika panen dengan pemotongan hasil panen. Sejauh ini dalam pelaksanaannya petani mematuhi kesepakatan kerjasama tersebut. Menurut petani bagi hasil sebesar 1.200 kg per hektar per musim tidak memberatkan. 4. Pembayaran Biaya Operasional. Pembayaran biaya operasional diatur di dalam SPK. Biaya operasional terdiri dari biaya roguing, sanitasi, materai dan PHT. Biaya yang dikenakan adalah sebesar Rp 130.000,00 per hektar per musim dan dibayar setelah panen. Menurut petani biaya ini sudah cukup bahkan termasuk murah, dan sejauh ini petani mematuhinya. Sehingga pelaksanaan poin kerjasama ini telah sesuai dengan kesepakatan kerjasama. 5. Penjualan Hasil Panen. Pada kontrak dinyatakan bahwa petani menjual dan memasukkan hasil panennya ke PT. SHS bila dibutuhkan. Hal ini dimaksudkan bahwa hasil panen yang dibeli oleh PT. SHS setiap musimnya tergantung dari kebutuhan PT. SHS. Setiap musimnya PT. SHS memiliki target produksi. Target inilah yang digunakan untuk menentukan berapa ton benih yang harus diserahkan petani mitra per hektarnya. Namun ditambahkan dalam peraturan tidak tertulis, bahwa petani diwajibkan menjual seluruh hasil panennya kepada PT. SHS karena kebutuhan benih yang tinggi. PT. SHS hanya mengizinkan petani mengambil hasil panen untuk konsumsi pribadi. Namun dalam pelaksanaannya banyak petani yang menjual sedikit hasil panennya ke tengkulak dengan alasan lebih cepat dalam pembayaran sehingga pelaksanaan poin kerjasama ini kurang sesuai dengan kesepakatan kerjasama. Selain itu, penjualan di luar PT. SHS tidak menggunakan rafaksi harga, sehingga harga yang didapat bisa lebih tinggi dibandingkan di PT. SHS. 6. Pengelolaan Areal Lahan. Pengelolaan areal lahan diatur di dalam SPK. Petani diwajibkan untuk mengelola lahan sebaik-baiknya dan tidak diperbolehkan memindah tangankan tanpa diketahui oleh PT. SHS dan melalui prosedur yang telah ditetapkan. Sejauh ini peraturan ini diikuti oleh petani sehingga 81 pelaksanaan poin kerjasama ini telah sesuai dengan kesepakatan kerjasama. Namun penggunaan pupuk kimia anorganik yang berlebihan oleh petani semakin menurunkan kualitas tanah. Kurangnya penggunaan pupuk organik semakin menyebabkan tanah menjadi tidak subur. 7. Sanksi Terhadap Pelanggaran Aturan. Sesuai dengan ketentuan yang tercantum di dalam SPK, petani yang tidak mematuhi peraturan bersedia untuk diberhentikan dari kerjasamanya dengan PT. SHS. Namun sebelum diberhentikan, PT. SHS akan memberikan teguran terlebih dahulu. Sejauh ini, belum pernah ada petani mitra yang diberhentikan karena melanggar peraturan. B. Peraturan Tidak Tertulis 1. Ketentuan Luas Lahan Garapan. Sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh PT. SHS, maksimal luas lahan yang dapat disewa oleh petani adalah 2 hektar untuk setiap petani. Hal ini terutama karena luas lahan PT. SHS yang terbatas dan banyaknya petani yang berminat menjadi petani mitra. Peraturan ini pada dasarnya telah dipatuhi dan pelaksanaannya sesuai dengan kesepakatan kerjasama, namun terdapat beberapa petani yang tercatat menyewa lahan lebih dari 2 hektar. Menurut PT. SHS hal tersebut terjadi karena lokasi lahan yang tanggung dan biasanya berada di pinggir. 2. Penerapan Jadwal Tebar, Tanam, Panen. Penerapan kegiatan tebar, tanam, panen yang dilakukan oleh petani semuanya diatur oleh PT. SHS. Petani melaksanakannya sesuai jadwal yang telah ditetapkan oleh PT. SHS. Kelima wilayah memiliki waktu tebar, tanam dan panen yang berbeda. Hal ini bertujuan agar terjadi kontinuitas persediaan serta untuk mempermudah dalam panen, pengangkutan, dan pengelolaan setelah panen. Kapasitas pabrik PT. SHS kurang lebih 80 hektar per hari. Petani tidak dapat menentukan waktu tebar, tanam dan panen sesuai keinginannya. Sejauh ini pelaksanaan poin kerjasama telah sesuai dengan kesepakatan kerjasama. 82 3. Penyediaan Sarana Produksi. PT. SHS menyediakan sarana produksi selain bibit seperti pupuk dan obat- obatan dalam bentuk pinjaman. Namun menurut petani, pupuk dan obat- obatan sering tidak tersedia ketika dibutuhkan. Selain itu, harganya lebih tinggi bila dibandingkan dengan harga di kios. Hal ini disebabkan karena pupuk dan obat-obatan yang disediakan oleh PT. SHS merupakan pupuk dan obat-obatan yang tidak bersubsidi. Petani mitra tidak membeli pupuk dan obat-obatan di PT. SHS. Para petani lebih memilih untuk membeli di kios. Pelaksanaan poin kerjasama ini kurang sesuai dengan kesepakatan kerjasama. 4. Kerjasama Pembasmian Tikus. Kerjasama pembasmian tikus atau yang dikenal dengan istilah gropyok tikus dilakukan oleh PT. SHS dengan petani karena banyak terdapat tikus di wilayah lahan PT. SHS. Gropyok tikus dilakukan dua kali dalam seminggu, yaitu pada hari rabu dan sabtu. Setiap petani wajib mengikuti kegitan gropyok tikus. Namun beberapa petani menyatakan jarang mengikuti gropyok tikus, terutama petani yang lahannya tidak diserang tikus sehingga pelaksanaan poin kerjasama ini kurang sesuai dengan kesepakatan kerjasama. 5. Penetapan Harga Beli Hasil Panen Oleh PT. SHS. PT. SHS melakukan penetapan harga berdasarkan survei pada tiga desa dan tiga varietas, yang sedang melaksanakan panen pada saat yang sama, kemudian diambil harga rata-rata. Hal ini dilakukan agar harga beli tidak berbeda jauh dengan harga di pasaran. Survei harga dilakukan seminggu sekali, sehingga harga benih berubah-ubah sesuai harga pasar. Apabila tidak ada pelaksanaan panen di desa sekitar, maka penetapan harga beli dilakukan dengan musyawarah, antara PT. SHS dengan perwakilan petani yang akan melaksanakan panen. Penetapan harga beli juga dipengaruhi oleh kadar air serta kotoran yang dikandung gabah hasil panen, dimana ketika musim kemarau kadar air normal yaitu 23 persen dan kadar kotoran 3 persen. Sedangkan pada musim hujan kadar air normal yaitu 25 persen dan kadar kotoran 5 persen. Kadar air serta kotoran ini membentuk rafaksi 83 harga. Petani merasa sedikit dirugikan dengan adanya rafaksi harga, namun hal ini dilakukan oleh PT. SHS untuk menjaga kualitas benih dan meningkatkan motivasi petani agar menghasilkan benih padi dengan kualitas yang bagus dan lebih memperhatikan kondisi benih ketika panen, agar kadar air dan kotoran sesuai dengan kriteria perusahaan. Pelaksanaan poin kerjasama ini telah sesuai dengan kesepakatan kerjasama. 6. Pembagian Risiko Budidaya. Pembagian risiko budidaya tidak diatur dalam peraturan tertulis. Namun PT. SHS menyatakan bahwa risiko yang bersifat kelalaian manusia ditanggung oleh petani, sedangkan risiko yang tidak dapat dikendalikan oleh manusia, seperti bencana alam, iklim, cuaca dan serangan hama penyakit ditanggung bersama oleh petani mitra dan PT. SHS. Selama dua musim, yaitu pada musim tanam 20092010 dan musim tanam 2010, PT. SHS mengalami puso atau gagal panen karena serangan hama wereng. PT. SHS tidak membebankan sepenuhnya kepada petani. Pembayaran bagi hasil selama dua musim tidak perlu dilakukan, namun tetap dibayarkan pada musim selanjutnya. Pelaksanaan poin kerjasama ini telah sesuai dengan kesepakatan kerjasama. 7. Respon Terhadap Keluhan. Petani menyampaikan keluhannya kepada PT. SHS melalui kepala wilayah. Selanjutnya keluhan dilanjutkan ke bagian kebun, yaitu bagian yang bertanggung jawab terhadap kemitraan. Menurut petani, belum ada solusi nyata dari keluhan yang disampaikan, terutama mengenai keterlambatan waktu pembayaran hasil panen sehingga pelaksanaan poin kerjasama ini kurang sesuai dengan kesepakatan kerjasama. 8. Pengangkutan Hasil Panen. Pengangkutan hasil panen difasilitasi oleh PT. SHS dengan menyediakan truk. Namun biaya transportasi tetap ditanggung oleh petani, karena PT. SHS menerima hasil panen di perusahaan. Musim ini terdapat kendala, yaitu kurangnya jumlah truk pengangkut, sehingga banyak hasil panen yang terbengkalai dan dibiarkan saja di lahan hingga lebih dari tiga hari melewati jadwal sehingga tidak sesuai dengan kesepakatan kerjasama. 84 9. Pembayaran Hasil Panen PT. SHS tidak menyatakan secara pasti berapa lama jangka waktu pembayaran. Namun perusahaan menyatakan bahwa jangka waktu pembayaran maksimal kurang lebih satu bulan. Pada kenyataannya banyak petani yang mengeluhkan hal tersebut, karena pembayaran hasil panen bahkan pernah terjadi setelah musim tanam selanjutnya. Menurut PT. SHS pembayaran hasil panen menunggu pencairan dana. Pelaksanaan poin kerjasama ini tidak sesuai dengan kesepakatan kerjasama. Dari enam belas poin kerjasama terdapat enam poin yang pelaksanaannya belum sesuai dengan kesepakatan. Keenam poin tersebut adalah penjualan hasil panen, penyediaan sarana produksi, kegiatan pembasmian tikus, respon terhadap keluhan, pengangkutan hasil panen serta pembayaran hasil panen.

6.5 Kendala-kendala di Dalam Pelaksanaan Kemitraan