2.5.3 Proses Produksi dan Timbulnya Limbah Pabrik Billet Baja
Menurut Damanhuri 1997, proses pembuatan billet baja tidak dengan proses pembuatan slab baja. Yang berbeda adalah dimensi produk baja yang dihasilkan.
Billet baja ini merupakan bahan baku untuk pabrik kawat. Limbah yang dihasilkan adalah scale, sludge, dan debu EAF. Untuk pengolahan air yang mensuplai dan
mengelola air bersih untuk pabrik slab baja dan pabrik billet baja diperlukan bangunan pengolahan air yang disebut fluid centre, yang terdiri dari fluid centre I dan
II. Proses produksi di kedua pabrik ini sama yaitu menggunakan tanur listrik EAF untuk melebur besi spons. Sedangkan jenis buangan padat yang ditimbulkan di fluid
centre I adalah scale dan sludge. Scale berasal dari proses pendinginan slab baja dan
billet baja pada concast plant. Slab dan billet baja yang telah selesai dicetak didinginkan dengan menyemprotkannya dengan air. Sebagian sisik-sisik baja ikut
terlepas dan akan terbawa air. Air ini juga membawa sebagian minyak pelumas mesin concast.
Sisik-sisik baja kemudian akan disisihkan melalui pengendapan, minyak grease disisihkan dengan menggunakan oil skimmer. Buangan padat yang berasal
dari sisik-sisik baja ini disebut dengan scale. Lumpur sludge ditimbulkan dari proses pencucian backwash gravel filter.
Untuk pembuatan baja berkualitas, selain menggunakan bijih besi sponge juga menggunakan slag baja. Menurut Solomon 1994, slag baja digunakan sebagai
bahan campuran pembuatan baja yang proses melalui tanur pembakaran bijih baja. Proses peleburan besi selain menghasilkan buangan lumpur juga mengemisi debu ke
udara. Debu berasal dari EAF ini ditangkap dengan menggunakan dedusting plant. Sisa emisi debu EAF yang tidak tertangkap oleh dedusting plant akan masuk ke
dalam aliran air pendingin proses dan tersaring di gravel filter. Pada suatu saat tertentu tangki-tangki akan dibersihkan dengan cara pencucian. Air buangan yang
berasal dari tangki-tangki penyaring ini akan ditampung di backwash water basin dan lumpur yang dihasilkan ditampung ditangki lumpur scale tank.
2.6 Karakteristik Limbah Padat Industri Baja
Menurut Mulyowahyudi 2005, teknologi pengolahan besi menjadi baja dapat dipisahkan menjadi tiga macam. Masing-masing teknologi mempunyai
karakteristik yang berbeda mengenai bahan baku, produk, dan bahan pendukung utama yang lain, sebagai berikut:
1. Direct Reduction DR
DR adalah proses pembuatan besi dari bahan baku pellet Fe
2
O
3
menjadi DRI direct reduced iron dengan menggunakan bahan pembantu utama proses natural
gas. Penggunaan bahan pembantu utama ini yang menjadi alasan utama pemilihan teknologi. Saat ini PT Krakatau Steel menggunakan teknologi HYL III. Bahan
baku pellet PT Krakatau Steel seluruhnya diimport karena bijih besi lokal mengandung kadar Fe yang rendah dan tidak adanya industri pengolahan bijih
besi menjadi pellet pengkayaan dan pembuatan pellet. Perkembangan teknologi direct reduction
terbaru sudah mampu mengolah bijih besi secara langsung melalui teknologi FINMET dan menggunakan bahan pembantu utama natural gas
NG secara lebih hemat. Di masa mendatang, apabila supply sumber daya natural gas dapat berkembang dengan lebih baik, maka teknolog seperti FINMET
merupakan pilihan yang direkomendasikan. Jenis teknologi direct reduction selengkapnya disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Jenis teknologi direct reduction DR. HYL III KS
MIDREX FINMET
Input Pellet, Lump
Pellet, Lump Fines
Produk DRIHBI DRIHBI HBI
Konsumsi NG NG
NG Electricity
Electricity Electricity
Sumber: Mulyowahyudi 2005 2.
Blast Furnace Blast Furnace
merupakan teknologi tertua dalam pembuatan hot metal dari bahan baku agglomerated ore dan menggunakan cooking coal. Cooking coal
disini adalah batu bara dengan kandungan karbon tertentu yang digunakan sebagai bahan baku proses pembuatan hot metal. Dan cooking coal jenis ini yang tidak
ada di Indonesia. Jenis teknologi blast furnace disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Jenis teknologi blast furnac.
Input Agglomerated ore
Produk Hot metal
Karakeristik Perlu cokecoking coal
Issue lingkungan Investasi besar
Sumber: Mulyowahyudi, 2005
3. Direct Smelting
Teknologi direct smelting merupakan teknologi terbaru dari pengolahan besi baja. Teknologi ini mampu memproduksi DRI langsung dari bijih besi dengan
bahan pembantu utama batu bara. Batu bara yang dibutuhkan bukan batu bara dengan kadarkualitas tertentu, tapi bisa menggunakan batu bara muda yang
banyak terdapat di Indonesia. Bijih besi yang dibutuhkan pun tidak perlu yang berkadar tinggi, tapi bisa bijih besi kadar rendah yang juga banyak terdapat di
Indonesia. Sampai saat ini teknologi ini masih terus dikembangkan untuk disempurnakan dan belum banyak digunakan skala komersial. Jenis teknologi
direct smelting selengkapnya disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Jenis teknologi direct smelting. Corex
Hismelt DIOS
Input Iron ores
Iron ores Iron ores
Produk DRIHBI DRIHBI
HBI Konsumsi
Coal Coal
Coal NG
NG Status
Comercial Under Construction
Pilot Plant Sumber: Mulyowahyudi, 2005
Dari ketiga teknologi di atas, mengingat ketersediaan bahan baku dan bahan pembantu utama yang banyak terdapat di Indonesia, teknologi direct reduction
sejenis FINMET dan direct smelting merupakan pilihan teknologi pengolahan industri baja yang cocok untuk dikembangkan di Indonesia.
Sedangkan kekayaan cadangan bijih beji Indonesia cukup besar, diperkirakan mencapai lebih dari 2 milyar ton dan belum termanfaatkan secara optimal baik secara
industri maupun ekonomi. Prospek pemanfaatan bahan baku lokal ini dapat memberikan kontribusi cost advantages bagi penguatan daya saing industri nasional
secara signifikan. Dalam mempotensikan pemberdayaan bahan baku lokal sebenarnya telah banyak upaya-upaya sistematis untuk mempersiapkan ke arah itu, mulai dari
pemetaan cadangan bijih besi di Indonesia, penelitian skala laboratorium maupun industri, kajian-kajian prospek bisnis, hingga pelurusan pemahaman tentang bijih besi
secara objektif dan proporsional. Menurut Mulyowahyudi 2005, Bahan baku industri baja domestik saat ini
adalah pellet, disamping scrap. Bijih besi yang ada di Indonesia belum dapat digunakan langsung karena teknologi yang ada di Indonesia saat ini tidak bisa
mengakomodasi hal itu dan belum ada industri nasional yang mengolah bijih besi menjadi pellet. Bijih besi yang diproduksi di Indonesia semuanya di ekspor.
Walaupun jumlahnya masih kecil, ada kekhawatiran, bahwa dimasa mendatang akan dilakukan eksplorasi dan eksploitasi bijih besi lokal secara besar-besaran dan di
ekspor semuanya ke luar negeri. Padahal dengan mengolah sendiri ataupun menggunakan bijih besi untuk industri nasional, nilai tambah yang didapat secara
nasional akan jauh lebih besar karena akan membawa multiplier effect dalam hal penciptaan kesempatan kerja, kegiatan ekonomi, dan sektor-sektor penunjang lainnya
yang berujung pada kontribusi pembangkitan perekonomian nasional. Gambar 8 merupakan kondisi sumberdaya dan cadangan bijih besi di Indonesia.
Gambar 8. Sumberdaya dan cadangan bijih besi di Indonesia Mulyowahyudi, 2005 Seharusnya bahan baku baja tersebut diatas merupakan ketahanan nasional
untuk dapat menekan pasar, sehingga industri baja nasional mempunyai kekuatan posisi tawar dengan supplier. Untuk itu diperlukan kebijakan pemerintah agar
penambangan bijih besi yang ada di dalam negeri dikelola dari hulu-hilir terjadi terciptanya keharmonisan, maka kebijakan pemerintah yang diperlukan adalah:
1. Izin konsesi penguasaan penambangan yang selama ini sudah terlanjur
diotonomikan ke pemerintah daerah, agar dapat ditarik dan dikelola pemerintah pusat. Alasannya adalah : a Agar eksploitasi sumber daya dapat dilakukan
secara good mining practice sudah memperhatikan AMDAL dan dampak sosial
lainnya. b Untuk menghindar penambangan-penambangan liar yang dapat merusak lingkungan. c Pengelolaan industri mining harus dikelola secara
industrialisasi agar memenuhi economic skill. d Untuk menjamin industri mining sustainable
. 2.
Untuk menjamin pengelolaan bijih besi dan komoditi lain atau produk turunannya dapat dikelola secara baik, dengan mengemukakan kepentingan nasional.
3. Menciptakan iklim investasi yang kondusif disektor industri mining, misalnya
dengan memberikan incentif perpajakan terhadap aktivitas pembangunan industri mining.
4. Pemerintah membangun infrastruktur di pusat-pusat lokasi yang akan dibangun
industri mining, terutama prasarana jalan, pelabuhan, sumber energi dan air.
2.7 Pemodelan Sistem