Ekosistem Terumbu Karang Development model for regional conservation of coastal and small islands case study of Weda Bay

16 Tabel 3 Beberapa dampak dari kegiatan manusia terhadap ekosistem lamun Kegiatan Dampak Potensial Pengerukan dan pengurugan yang berkaitan dengan pembangunan pemukiman pinggir laut, pelabuhan, industri, dan saluran navigasi  Perusakan total padang lamun  Perusakan habitat di lokasi pembuangan hasil pengerukan  Dampak sekunder pada perairan dengan meningkatnya kekeruhan air, dan terlapisnya insang hewan ikan Pencemaran limbah industri terutama logam berat, dan senyawa organoklorin  Terjadinya akumulasi logam berat padang lamun melalui proses biological magnification Pembuangan sampah organik cair sewage  Penurunan kandungan oksigen terlarut  Dapat terjadi eutrofikasi yang mengakibatkan blooming perifiton yang menempel di daun lamun, dan juga meningkatkan kekeruhan yang dapat menghalangi cahaya matahari Pencemaran oleh limbah pertanian  Pencemaran pestisida dapat mematikan hewan yang berasosiasi dengan padang lamun  Pencemaran pupuk dapat mengakibatkan eutrofikasi Pencemaran minyak  Lapisan minyak pada daun lamun dapat menghalangi proses fotosintesa Sumber : Bengen 2002 Secara umum terumbu karang terdiri atas 3 tiga tipe yaitu terumbu karang tepi fringing reef, terumbu karang penghalang barrier reef dan terumbu karang cincin atau atol. Terumbu karang tepi dan penghalang berkembang sepanjang pantai, namun perbedaannya adalah bahwa terumbu karang penghalang berkembang lebih jauh dari daratan dan berada di perairan yang lebih dalam dibandingkan dengan terumbu karang tepi. Terumbu karang cincin atau atol merupakan terumbu karang yang muncul dari perairan dalam dan jauh dari daratan. Perkembangan terumbu karang dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik lingkungan yang dapat menjadi pembatas bagi karang untuk membentuk terumbu. Adapun faktor-faktor fisik lingkungan yang berperan dalam perkembangan terumbu karang adalah sebagai berikut : 1 Suhu air 18 o C, tapi bagi perkembangan yang optimal diperlukan suhu rata-rata tahunan berkisar antara 36- 40 o C; 2 Kedalaman perairan 50 m, dengan kedalaman bagi perkembangan optimal pada 25 m atau kurang; 3 Salinitas air yang konstan berkisar antara 30- 36 o oo ; dan 4 Perairan yang cerah, bergelombang besar dan bebas dari sedimen. Terumbu karang merupakan habitat bagi beragam biota dengan komposisi sebagai berikut : 1 Beraneka ragam avertebrata hewan tak bertulang belakang, terutama karang batu stony coral, juga berbagai krustasea, siput dan kerang- kerangan, ekinodermata; 2 Beranekaragam ikan, 50-70 ikan karnivora oportunistik, 15 ikan herbivora dan sisanya omnivora; 3 Reptil, umumnya ular laut dan penyu; dan 4 Ganggang dan rumput laut, algae koralin, algae hijau berkapur dan lamun. Peran terumbu karang khususnya terumbu karang tepi dan penghalang berperan penting sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan arus kuat yang berasal dari laut. Selain itu, terumbu karang mempunyai peran utama sebagai habitat, tempat mencari makan, tempat asuhan dan pembesaran, tempat pemijahan bagi berbagai biota yang hidup di terumbu karang atau sekitarnya. 17 Terumbu karang dapat dimanfaatkan baik secara langsung maupun tidak langsung antara lain : 1 Sebagai tempat penangkapan berbagai jenis biota laut konsumsi, dan berbagai jenis ikan hias; 2 Bahan konstruksi bangunan dan pembuatan kapur; 3 Bahan perhiasan; dan 4 Bahan baku farmasi. Kegiatan manusia dalam pemanfaatan ekosistem terumbu karang memberikan dampak yang besar terhadap kerusakan terumbu karang Berwick 1983 in Dahuri et al. 2001; Dutton et al. 2001 in Bengen 2002. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Dampak kegiatan manusia pada ekosistem terumbu karang Kegiatan Dampak Potensial  Penambangan karang dengan atau tanpa bahan peledak  Perusakan habitat dan kematian masal hewan terumbu  Pembuangan limbah panas  Meningkatnya suhu air 5-10 o C di atas suhu ambient, dapat mematikan karang dan biota lainnya  Pengundulan hutan di lahan atas  Sedimen hasil erosi dapat mencapai terumbu karang di sekitar muara sungai, sehingga mengakibatkan kekeruhan yang menghambat difusi oksigen ke dalam polip  Pengerukan di sekitar terumbu karang  Meningkatnya kekeruhan yang mengganggu pertumbuhan karang  Kepariwisataan  Peningkatan suhu air karena buangan air pendingin dari pembangkit listrik perhotelan  Pencemaran limbah manusia yang dapat menyebabkan eutrofikasi  Kerusakan fisik karang oleh jangkar kapal  Rusaknya karang oleh penyelam  Koleksi dan keanekaragaman biota karang menurun  Penangkapan ikan hias dengan menggunakan bahan beracun misalnya Kalium Sianida  Mengakibatkan ikan pingsan, mematikan karang dan biota avertebrata  Penangkapan ikan dengan bahan peledak  Mematikan ikan tanpa diskriminasi, karang dan biota avertebrata yang tidak bercangkang anemon Sumber : Berwick 1983 in Dahuri et al. 2001; Dutton et al. 2001 in Bengen 2002

2.7 Penataan Ruang Zonasi

Zonasi adalah suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumberdaya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam ekosistem pesisir. Zonasi adalah suatu sistem pembentukan wilayah daratan atau perairan untuk dialokasikan kepada penggunaan yang spesifik; pembagian suatu wilayah khusus ke dalam beberapa kawasan zona dimana tiap zona direncanakan untuk suatu penggunaan atau kumpulan penggunaan khusus Clark 1977. Penataan ruang zonasi merupakan suatu proses pengaturan yang membagi suatu wilayah secara geografis ke dalam subwilayah, dimana setiap subwilayah dirancang untuk suatu penggunaan khusus. 18 Kay and Alder 2005 zonasi didasarkan pada konsep pemisahan dan pengontrolan pemanfaatan yang tidak sesuai secara spasial, yang diterapkan dalam berbagai situasi dan dapat dimodifikasi untuk disesuaikan dengan berbagai lingkungan ekologi, sosial ekonomi dan politik. Sebagian ahli berpendapat bahwa zonasi adalah pembagian kawasan lindung dan budidaya berdasarkan potensi dan karakteristik sumberdaya alam untuk kepentingan perlindungan dan pelestarian serta pemanfaatan guna memenuhi kebutuhan manusia secara berkelanjutan. Penataan ruang merupakan kegiatan yang cukup kompleks karena bersifat multi sektor, multi proses, dan multi disiplin. Aspek yang harus dikaji dalam penyusunan tata ruang pesisir pulau-pulau kecil, yaitu aspek ekologi biofisik, sosial ekonomi, budaya dan kebijakan. Dalam kaitan dengan sistem pengelolaannya, penataan sistem zonasi Taman Nasional yaitu pembagian ruang berdasarkan peruntukan dan kepentingan pengelolaan, seperti zona inti, pemanfaatan dan zona lainnya sesuai peruntukannya. Pada prinsipnya, sistem zonasi adalah pengaturan ruang untuk mengaturmengelola jenis-jenis kegiatan manusia di dalam kawasan, sehingga dapat saling mendukung dan diharapkan dapat mengakomodasikan semua kegiatan masyarakat di sekitar kawasan. Kawasan Konservasi Perairan didefinisikan sebagai kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Pengertian KKP menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan serta perubahannya Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang konservasi sumberdaya ikan, paling tidak memuat dua hal penting yang menjadi paradigma baru dalam pengelolaan konservasi. Pertama, Pengelolaan KKP diatur dengan sistem zonasi. Empat pembagian zona yang dapat dikembangkan didalam KKP yakni zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya. Zona perikanan berkelanjutan tidak pernah dikenal dan diatur dalam regulasi pengelolaan kawasan konservasi menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1998. Kedua, dalam hal kewenangan, pengelolaan kawasan konservasi yang selama ini menjadi kewenangan pemerintah pusat, Berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 serta Permen KKP Nomor 02 Tahun 2009, pemerintah daerah diberi kewenangan dalam mengelola kawasan konservasi diwilayahnya. Hal ini sejalan dengan mandat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang pemerintahan daerah terkait pengaturan pengelolaan wilayah laut dan konservasi. Terkait dengan pembangunan pesisir dan pulau-pulau kecil melalui Undang- Undang 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil, pemerintah telah mengatur bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya dilakukan berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomi secara menyeluruh dan terpadu dengan pulau besar di dekatnya serta diprioritaskan untuk salah satu atau lebih kepentingan : konservasi; pendidikan dan pelatihan; penelitian dan pengembangan; budidaya laut; pariwisata; usaha perikanan dan kelautan serta industri perikanan secara lestari; pertanian organik, danatau; peternakan.