Deliniasi dan kesesuaian kawasan konservasi

100 pendidikan dan peningkatan kesadaran konservasi sumberdaya alam hayati, wisata bahari dan rekreasi; b. mempunyai luas wilayah pesisir yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik serta pengelolaan pesisir yang berkelanjutan; dan c. kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan wisata bahari dan rekreasi. Kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai sub zona suaka pesisir di kawasan Weda Tengah memiliki kriteria sebagai berikut : a. merupakan wilayah pesisir yang menjadi tempat hidup dan berkembangbiaknya habitat suatu jenis atau sumberdaya alam hayati yang khas, unik, langka dan dikhawatirkan akan punah, danatau merupakan tempat hidup bagi jenis-jenis biota migrasi tertentu yang keberadaannya memelukan upaya perlindungan, danatau pelestarian; b. mempunyai keterwakilan dari satu atau beberapa ekosistem di wilayah pesisir yang masih asli danatau alami; c. mempunyai luas wilayah pesisir yang cukup untuk menjamin kelangsungan habitat jenis sumberdaya ikan yang perlu dilakukan upaya konservasi dan dapat dikelola secara efektif; dan d. mempunyai kondisi fisik wilayah pesisir yang rentan terhadap perubahan danatau mampu mengurangi dampak bencana. Kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai sub zona taman pulau kecil di kawasan Weda dan Weda Utara memiliki kriteria sebagai berikut : a. merupakan pulau kecil yang mempunyai daya tarik sumberdaya alam hayati, formasi geologi, danatau gejala alam yang dapat dikembangkan untuk kepentingan pemanfaatan pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian, pendidikan dan peningkatan kesadaran konservasi sumberdaya alam hayati, wisata bahari dan rekreasi; b. mempunyai luas wilayah pulau kecilgugusan yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik serta pengelolaan pulau kecil yang berkelanjutan; dan c. kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan wisata bahari dan rekreasi. Hasil pemetaan kawasan konservasi kemudian dilakukan penzonasian sesuai peruntukan dengan menentukan zona inti, zona pemanfaatan terbatas dan zona lainnya perikanan berkelanjutan. Peta hasil zonasi kawasan konservasi disajikan pada Lampiran 6,7,8, dan 9. Tabel 41 Luasan zonasi pada kawasan konservasi hasil deliniasi No Zona Kawasan Weda Utara Weda Tengah Weda Weda Selatan Ha Ha Ha Ha 1 Inti 79,44 13,39 58,33 8,04 383,37 11,42 288,34 19,66 2 Pemanfaatan terbatas 59,05 9,95 79,72 10,98 782,75 23,30 219,39 14,96 3 Perikanan berkelanjutan 454,87 76,66 587,90 80,98 2.192,96 65,28 958,66 65,38 Total 593,36 100 725,95 100 3.359,08 100 14.466,39 100 101 Salah satu pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil adalah untuk kegiatan ekowisata bahari selam, snorkeling, pancing, pantai, mangrove dan lamun dan mina bahari keramba jaring apung dan budidaya rumput laut, sehingga kesesuaian pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil untuk kegiatan ekominawisata bahari dapat meningkatkan nilai ekonomi bagi masyarakat yang berada di Teluk Weda.

5.4.1 Kesesuaian pemanfaatan ekowisata selam

Ekowisata selam merupakan ekowisata yang banyak diminati oleh wisatawan manca Negara dan wisatawan Lokal. Pemandangan alam bawah laut menjadikan daya tarik tersendiri bagi wisatawan, untuk itu ekowisata perlu dikembangkan sesuai dengan kebutuhan wisatawan. Salah satu sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil yang sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai ekowisata selam yaitu adanya obyek wisata berupa ekosistem terumbu karang. Terumbu karang yang terdapat di Teluk Weda memiliki keberagaman mulai dari kedalaman 3 meter sampai 10 meter. Tiap titik kedalaman memiliki ciri khas tertentu yang merupakan suatu tantangan tersediri bagi penyelam. Terumbu karang juga dibatasi oleh kedalaman. Terumbu karang tidak dapat berkembang di perairan yang lebih dari dalam dari 50-70 meter. Kebanyakan terumbu karang tumbuh pada kedalaman 25 meter atau kurang Nybakken 1988. Secara visual, perairan Teluk Weda merupakan perairan yang dipenuhi hamparan gugusan karang dan gugusan karang berpasir. Kondisi ini menyebabkan untuk keluar dan masuk ke Kota Weda dari arah laut memerlukan kewaspadaan untuk mengikuti alur antara pulau maupun antar gugusan karang sehingga armada laut yang digunakan tidak kandas di gugusan karang dan atau pada gugusan karang berpasir. Hasil olahan citra Landsat 7 ETM untuk wilayah Teluk Weda diperoleh jumlah gugusan karang sebanyak 85 gugus dengan luas keseluruhan 1.773,41 Ha, sedangkan jumlah gugusan karang berpasir sebanyak 18 gugus dengan luas keseluruhan 418,05 Ha. Ekowisata dengan kegiatan selam pada dasarnya menawarkan kondisi alam bawah air seperti keberadaan terumbu karang dan ikan karang serta parameter dinamika perairan yang menunjang berlangsungnya kegiatan penyelaman. Dari 19 lokasi penyelaman untuk mengetahui kondisi terumbu karang dengan metode lifeform pada lokasi penelitian yang terdiri masing-masing 1 lokasi untuk wilayah Kecamatan Weda Selatan dan Kecamatan Weda, 10 lokasi mewakili wilayah kecamatan Weda Tengah dan 7 lokasi untuk wilayah kecamatan Weda Utara. Hasil penyelaman tersebut dijumpai sebanyak 13 jenis karang yang terdiri dari 5 jenis karang kelompok Hard Corals dari jenis Acropora dan 8 jenis dari kelompok Hard Corals Non Acropora. Kelompok karang jenis Hard Corals terdiri dari formasi Acropora branching ACB, A. tabulate ACT, A encrusting ACE, A. submassive ACS dan A. digitate ACD sedangkan dari kelompok Hard Corals Non Acropora terdiri dari formasi jenis Coral Branching CB, Coral Massive CM, Coral Encrusting CE, Coral Submassive CS, Coral Foliose CF, Coral Mushroom CMR, Coral Millepora CME dan Coral Heliopora CHL. Selama penyelaman dijumpai pula jenis kelompok yang bersimbiosis dengan terumbu karang yakni kelompok Algae 5 formasi, komponen fauna serta komponen abiotik sand dan rubbles. 102 Tabel 42 Persentase tutupan komponen penyusun terumbu karang di Teluk Weda No Lokasi Hard Coral Non Hard Coral Dead Coral Algae Other Fauna Abiotic 1 Tanjung Loleo 1 14,81 33,33 24,07 5,56 11,11 11,11 2 Nusliku 2 7,14 26,19 23,81 0,00 19,05 23,81 3 Tanjung Kobe 3 12,20 21,95 17,07 0,00 29,27 19,51 4 Lelilef 3 10,20 26,53 22,45 8,16 18,37 14,29 5 Lelilef 3 0,12 29,62 0,00 16,20 52,68 0,00 6 Lelilef 3 6,52 42,32 11,14 8,74 16,12 14,80 7 Tanjung Ulie 3 1,60 24,88 4,20 23,60 36,72 8,68 8 Tanjung Ulie 3 1,29 4,74 0,23 22,56 4,89 15,97 9 Tanjung Botepu 3 3,96 20,18 24,52 28,72 11,60 11,02 10 Tanjung Botepu 3 0,76 6,86 2,42 23,30 5,94 60,72 11 Tanjung Botepu 3 9,98 22,50 0,98 24,34 42,20 0,00 12 Tanjung Botepu 3 2,22 32,14 0,00 23,64 28,56 11,92 13 Muara Sagea 4 1,38 57,36 0,68 26,60 6,66 6,90 14 Muara Sagea 4 - 47,20 6,00 7,54 36,56 2,30 15 Desa Fritu 4 5,30 29,76 6,32 2,70 23,96 31,96 16 Desa Fritu 4 5,96 35,40 4,96 11,88 17,62 19,38 17 Pulau Tete 4 14,58 18,75 25,00 4,17 22,92 14,58 18 Pulau Gume 4 14,52 11,29 17,74 11,29 22,58 22,58 19 Messa 4 17,39 23,91 26,09 6,52 15,22 10,87 Keterangan ; 1 = Kecamatan Weda Selatan; 2 Kecamatan Weda; 3 = Kecamatan Weda Tengah 4 = Kecamatan Weda Utara Hasil perhitungan persen penutupan karang hidup di kedalaman 3 – 10 m menunjukkan kondisi terumbu karang di semua lokasi penyelaman berada dalam kategori rusakkritis. Hal tersebut akibat jumlah persentase kategori tutupan hard coral 25 Tabel 42 dengan nilai kisaran penutupan karang sebesar 0,12 – 17,39 rata-rata 7,22. Kondisi yang diperlihatkan tersebut menggambarkan bahwa pada saat pengamatan persentase karang hidup lebih sedikit. Dengan memperhatikan nilai persentase komponen hard coral dan komponen non hard coral dengan persentase penutupan berkisar 4 – 57 rata-rata 27,10 maka secara kumulatif persentase penutupan karang di Teluk Weda berada masih dalam kategori layak untuk mel;akukan penyelaman sesuai DKP 2004 yang menyatakan bahwa penutupan karang 23 masih layak untuk untuk melakukan kegiatan penyelaman. Kondisi terumbu karang tersebut di atas dalam kategori rusak juga didukung oleh rendahnya keragaman ikan karang H 1 yang dijumpai pada 12 titik pengamatan Ikan karang indikator dari famili Chaetodontidae dijumpai total 19 jenis ikan indikator. Berdasarkan kehadiran jumlah individu ikan karang indikator yang teramati berada dalam kategori cukup dan baik sekali kecuali pada lokasi Tanjung Ulie V dengan kategori kurang. Kondisi kehadiran ikan indikator dengan kategori cukup tersebut juga diperlihatkan pada kondisi keberadaan ikan target yang dalam kategori cukup 1 H 2. Ikan karang dalam kelompok ikan target yang dijumpai selama penyelaman terdiri dari 17 sub kelompok famili 103 dengan 163 spesies terdiri dari famili Acanthuridae 18 jenis, Siganidae 7 jenis, Mullidae 4 jenis; Lutjanidae 10 jenis, Lethrinidae 4 jenis, Scaridae 19 jenisl, Kyposidae 1 jenis, Caesionidae 10 jenis, Labridae 27 jenis, Nemipretidae 4 jenis, Pomacanthidae 5 jenis, Pomacentridae 26 jenis, Carangidae 2 jenis, Serranidae 19 jenis, Holocentridae 2 jenis, Balistidae 4 jenis dan Apogonidae 1 jenis. Kehadiran jumlah spesies ikan indikator terhadap jumlah individu menunjukkan nilai kelimpahan individu ikan target dalam kategori cukup 1000 – 2000 ekor hingga tinggi 2000 ekor kecuali pada lokasi Tanjung Ulie dalam kategori rendah 1000 ekor. Tabel 43 Jumlah individu, spesies dan indeks keragaman ikan indikator dan ikan target No Lokasi Ikan Indikator Ikan Target Jumlah H Jumlah H Individu spesies Individu spesies 1 Lelilef VI 1 67 9 0,83 4222 63 1,361 2 Lelilef VI 1 175 13 0,94 4031 88 1,515 3 Tanjung Ulie V 1 116 12 0,99 1661 62 1,403 4 Tanjung Ulie V 1 17 4 0,41 754 36 1,126 5 Tanjung Botepu III 1 44 8 0,68 3166 58 1,389 6 Tanjung Botepu III 1 74 11 0,92 1160 52 1,355 7 Tanjung Botepu IV 1 98 8 0,74 2021 39 1,104 8 Tanjung Botepu IV 1 57 7 0,64 2259 45 1,109 9 Muara Sagea II 2 184 11 0,84 3888 86 1,482 10 Muara Sagea II 2 178 13 0,88 3101 76 1,418 11 Desa Fritu I 2 42 7 0,66 2591 45 1,101 12 Desa Fritu I 2 41 7 0,71 4384 64 1,359 Keterangan ;1 = Kecamatan Weda Tengah 2 = Kecamatan Weda Utara Dengan memperhatikan kondisi terumbu karang serta kehadiran ikan indikator dan ikan target pada komunitas karang Tabel 43 , maka secara umum menggambarkan bahwa pada lokasi Teluk Weda relatif kecil untuk menjadi lokasi penyelaman. Sebagai perairan teluk maka secara parsial wilayah Teluk Weda merupakan perairan dangkal hingga beberapa 1000 meter kearah laut. Jarak berikutnya merupakan wilayah dengan topografi berbentuk slope yang berhadapan langsung dengan perairan pasifik, pada lokasi ini banyak dijumpai gugusan karang. Spot-spot karang dan kehadiran ikan indikator dan ikan target dalam kondisi yang baik untuk pengembangan ekowisata selam. Kegiatan penyelaman yang dilakukan pada 25 titik penyelaman Dive site di teluk weda oleh Weda Resort 2012 memperlihatkan kondisi karang dominan pada kategori baik good hingga sangat baik exccelent. Persentase life coral cover karang kategori kelompok acropora rata-rata 28,9 dengan kisaran minimum dan maksimum sebesar 5,5 dan 61,2 sedangkan untuk kelompok kategori non acropora rata-rata persentase life coral cover sebesar 36,3 dan nilai minimum dan maksimumnya sebesar 8,1 dan 93,7 . Kondisi persentase karang ini secara umum memenuhi kriteria untuk melakukan penyelaman menurut DKP 2004. 104 Kondisi karang dalam kategori sangat baik excellent dan baik good umumnya dijumpai pada terumbu karang di bagian selatan Teluk Weda. Kondisi sangat baik 4 lokasi dijumpai pada terumbu karang di Tanjung Putus-Putus, Loleo dan pada gugusan karang Elmos bagaian barat daya dan bagian tenggara. Kondisi tutupan karang dalam kategori kondisi baik dibagian selatan Teluk Weda dijumpai pada Tanjung Putus-Putus bagian barat, Loleo bagian timur 2 lokasi. Kondisi karang kategori baik juga dijumpai pada perairan bagian utara dan tenggara Teluk Weda utamanya pada perairan di bagian timur laut Sungai Kobe dengan gugusan karang Kobe 5 lokasi yakni depan pantai pasir putih, Pulau Dua, gugusan karang Kobe dan bagian utara gugusan karang Kobe dan juga sebagai lokasi sering dijumpainya ikan hiu endemik Halmahera Hemiscyllium halmahera. Kondisi spesifik wilayah Teluk Weda diperlihatkan pada perairan utara Teluk Weda, antara Pulau Tete dan gugusan karang Kobe merupakan areal ruaya hiu endemik Hemiscyllium halmahera. Dengan dijumpainya hiu endemik keunikan pada perairan Teluk Weda maka kriteria kegiatan penyelaman dapat dilakukan sesuai Permen KP RI Nomor 02 Tahun 2009 untuk kebutuhan konservasi. Gambar 25 Hiu Endemik Halmahera Hemiscyllium halmahera Sumber : Malut Pos 13 Agustus 2013 Selain keberadaan terumbu karang, juga terdapat parameter lain yang turut mendukung ekowisata selam. Parameter tersebut antara lain : jenis ikan karang, kecerahan perairan, tutupan komunitas karang, jenis life-form, suhu perairan, salinitas, kedalaman karang dan kecepatan arus. Hasil analisis kesesuaian untuk pemanfaatan ekowisata selam disajikan pada Gambar 26. Hasil analisis kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata selam di Teluk Weda yang sesuai S adalah 314,23 Ha, sesuai bersyarat SB adalah 174,61 Ha dan tidak sesuai TS adalah 213,71 Ha dari total luas kesesuaian kawasan ekowisata selam. Peta kesesuaian pemanfaatan ekowisata selam di Teluk Weda disajikan pada Lampiran 10, 11, 12 dan 13. 105 Gambar 26 Kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata selam

5.4.2 Kesesuaian pemanfaatan ekowisata snorkeling

Sama halnya dengan ekowisata selam, salah satu ekowisata yang menjadikan terumbu karang serta faktor fisik perairan sebagai obyek wisata yaitu ekowisata snorkeling atau skin diving. Ekowisata snorkeling merupakan salah satu jenis aktifitas yang dikenal dengan wisata minat khusus. Wisata minat khusus adalah wisatawan mengunjungi suatu tempat karena memiliki minat atau tujuan khusus mengenai suatu obyek atau kegiatan yang dapat dilakukan di lokasi daerah tujuan wisata tersebut DKP 2004. Snorkeling merupakan kegiatan menikmati keindahan bawah laut yang mungkin dapat dilakukan oleh hampir semua orang. Kegiatan snorkeling hanya dapat menikmati panorama bawah laut dari lapisan permukaan air saja. Keterbatasan dalam berkegiatan snorkeling adalah perairan yang terlalu dalam. Semakin dalam perairan maka letak terumbu karang, ikan- ikan karang dan objek bawah laut lainnya akan semakin sulit dinikmati oleh para wisatawan yang melakukan kegiatan snorkeling. Ekowisata snorkeling ini memiliki perbedaan dalam menentukan parameter kesesuaian ekowisata snorkeling dibandingkan dengan wisata selam. Kegiatan ekowisata snorkeling yang dilakukan pada perairan dangkal, maka kondisi bioekologi pada perairan dangkal menjadi indikator utama dalam membangun kriteria pemanfaatan ekowisata snorkeling di Teluk Weda. Selain keberadaan terumbu karang, parameter yang turut menentukan kesesuaian ekowisata snorkeling antara lain: kecerahan perairan, jenis ikan karang, kecepatan arus, kedalaman karang dan lebar hamparan datar karang. Keberadaan terumbu karang, jenis tutupan karang hidup, jenis life-form dan jenis ikan karang telah diuraikan pada bagain kesesuaian pemanfaatan ekowisata selam. Dari 85 jumlah gugusan karang dan sebanyak 18 gugusan karang berpasir yang keduanya menempati ruang sebesar 2191,46 Ha dari luas perairan Teluk weda seluas 115.428,64 Ha 1,9 . Pada areal seluas tersebut terdapat terumbu karang dengan jenis tutupan karang hidup yang bervariasi dengan kisaran 0,12 – 17,39 untuk komponen Hard coral Tabel 44, sedangkan rata-rata persentase tutupan karang dijumpai pada komponen non hard coral 27,10 dan dari 106 komponen fauna lainnya 22,21 . Adapun uraian kondisi ikan karang baik ikan indikator maupun ikan target disajikan pada Tabel 46. Jenis life-form yang dijumpai di wilayah Weda Selatan pada topografi dasar perairan bertebing di kedalaman 1 – 18 m di dominasi oleh kelompok soft coral dan coral masive dengan komponen penyusun kelompok dead coral oleh material patahan karang dan karang mati mencapai persentase tutupan hingga 60. Pada perairan weda utara dengan bentuk topografi berbentuk slope yang jarak dari daratan sekitar 200 m dan pada kedalaman hingga 10 m dijumpai Jenis life-form dominan masih disusun oleh kelompok soft coral dan coral masive dengan komponen penyusun kelompok dead coral oleh material patahan karang dan karang mati dan substart dasar perairan disusun oleh substrat pasir berkarang. Untuk jenis Jenis life-form pada perairan Weda tengah tidak berbeda dengan kondisi yang dijumpai pada kedua lokasi sebelumnya namun perbedaanya pada jenis topogfi bertebing jumpai pada jarak sekitar 1000 m dari daratan. Tabel 44 Rekapitulasi persentase tutupan komponen penyusun terumbu karang di Teluk Weda Nilai Hard Coral Non Hard Coral Dead Coral Algae Other Fauna Abiotic Maksimum 17,39 57,36 26,09 28,72 52,68 60,72 Minimum 0,12 4,74 0,00 0,00 4,89 0,00 Rata-rata 7,22 27,10 11,46 13,45 22,21 15,81 Keterangan : nilai minimum sebenarnya dijumpai pada muara Sungai Kobe Kecerahan perairan merupakan parameter yang juga sangat penting dalam penentuan zona wisata snorkeling. Perairan yang jernih tentunya akan menarik minat para wisatawan untuk mengunjungi tempat tersebut. Selain akan memudahkan para wisatawan untuk menikmati dan mengagumi semua keindahan panorama yang ada di bawah laut seperti keindahan terumbu karang, ikan karang dan biota-biota laut lainnya. Kecerahan perairan dapat juga dijadikan sebagai indikasi bahwa ekosistem terumbu karang di kawasan tersebut hidup dengan baik. Kecerahan yang tinggi mengartikan bahwa padatan tersuspensi di perairan tersebut sangat minim, sehingga partikel-partikel yang menempel di terumbu karangpun sangat minim. Keadaan ini membuat karang dengan leluasa melakukan proses fotosintesis untuk menunjang keberlangsungan hidupnya. Hasil pengukuran kecerahan dengan sechi disk dilokasi penelitian berkisar 63 - 100 pada kedalaman perairan 1 m – 32,6 m. Umumnya kecerahan perairan di bagian utara lokasi penelitian lebih keruh 63 – 71 dibandingkan di bagian selatannya 72 , akibat masukan run-off Sungai Kobe dan aktifitas penambangan nikel di pesisir Pantai Kobe. Kecerahan rata-rata hasil pengukuran di bagian utara Teluk Weda sebesar 68 10,2 m dan di bagian selatannya bernilai 80 12,2 m. Nilai kecerahan rata-rata tersebut memenuhi kriteria untuk melakukan kegiatan berenang atau snorkeling menurut Purbani 1999 dalam Bahar et al. 2006 yakni kecerahan 5 m demikian pula untuk kriteria kecerahan menurut kepmen LH No. 51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk wisata bahari dengan kecerahan 8 m. 107 Kecepatan arus merupakan salah satu faktor penunjang kegiatan snorkeling terutama untuk untuk keselamatan para wisatawan. Arus yang lebih lemah lebih memungkinkan pandangan terhadap obyek dasar perairan maupun ikan karang lebih optimum akibat minimnya tingkat pengadukan. Selain itu kecepatan arus yang lebih kuat memerlukan tenaga yang lebih besar saat melakukan snorkeling. Kecepatan arus yang terukur saat penelitian berkisar 0,07 – 0,49 mdetik dengan kecepatan arus dominan rata-rata 0,26 mdetik. Kecepatan arus terlemah dijumpai pada perairan bagian dalam Teluk Weda dan kecepatan arus maksimum dijumpai pada perairan antara pulau-pulau kecil di dalam Teluk Weda. Dari kecepatan arus tersebut menunjukkan bahwa faktor kecepatan arus sebagai penunjang ekoswisata snorkling sangat sesuai, Purbani 1999 dalam Bahar et al. 2006 menyebutkan bahwa kecepatan arus yang aman untuk berenang 0,4 mdetik. Kedalaman 3 hingga 10 m merupakan kedalaman penyelaman yang telah dilakukan untuk mengidentifikasi tutupan karang di perairan Teluk Weda. Kedalaman penyelaman umumnya lebih dangkal pada perairan bagian tengah teluk weda dibandingkan pada bagian utara dan selatannya. Kondisi tersebut diperlihatkan pada lokasi tubir yang lebih dekat ke arah pantai pada perairan bagian utara dan selatan Teluk Weda dibandingkan pada bagian tengah. Kedalaman penyelaman 3 – 10 m tersebut akan mengalami perubahan kedalaman akibat pergerakan pasang surut dengan tunggang air pasang surut sebesar 1,9 m. Dari perubahan kedalaman tersebut 1,9 m masih memenuhi kriteria kategori cukup dan cukup sesuai untuk melakukan penyelaman dan snorkeling Bakosurtanal 1995 dan Purbani 1999 dalam Bahar et al. 2006 yang menyatakan bahwa kedalaman ideal menyelam dan snorkeling pada kedalaman 6 – 18 m, sedangkan kedalaman minimum yang masih diperbolehkan untuk snorkeling pada kedalaman 1 – 3 m Yulianda et al. 2010 Luas hamparan datar karang yang teranalisis pada Citra Landsat 7 ETM diperoleh 85 gugusan karang menyebar di perairan Teluk Weda. Dari luasan tersebut selanjutnya dengan pendekatan persamaan lingkaran diperoleh diameter atau lebar hamparan datar karang. Nilai lebar hamparan ini diartikan sebagai nilai lebar rata-rata dari sisi manapun dari bentuk hamparan karang yang tidak beraturan. Dari tahapan konversi yang dilakukan diperoleh panjang hamparan karang maksimum dan minimum serta-ratanya masing –masing sepanjang 1955,85 m, 53,63 m dan 383,34 m. Lebar hamparan karang 100 m dijumpai pada 5 gugusan karang 4,7 , untuk panjang hamparan 100 – 500 m terbentuk pada 59 gugusan karang 69,4 dan sisanya 22 gugusan karang merupakan gugusan karang dengan lebar hamparan 500 m 25,9 . Makin lebar hamparan karang maka makin leluasa untuk melakukan snorkling pada satu gugusan karang, dengan demikian lebar karang 100 sesuai untuk melakukan kegiatan snorkeling. Hasil analisis kesesuaian untuk pemanfaatan ekowisata snorkling dengan kriteria tutupan karang hidup, jenis life-form, kecerahan perairan, jenis ikan karang, kecepatan arus, kedalaman karang dan lebar hamparan datar karang disajikan pada Gambar 27. 108 Gambar 27 Kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata snorkeling Hasil analisis kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata snorkeling di Teluk Weda yang sesuai S adalah 408,88 Ha, sesuai bersyarat SB adalah 142,50 Ha dan tidak sesuai TS adalah 150,18 Ha dari total luas kesesuaian kawasan ekowisata snorkling. Peta kesesuaian pemanfaatan ekowisata snorkeling di Teluk Weda disajikan pada Lampiran 14,15,16 dan 17.

5.4.3 Kesesuaian pemanfaatan ekowisata pancing

Pemancingan ikan di Teluk Weda merupakan kegiatan yang umum dilakukan oleh nelayan setempat, baik untuk kebutuhan hidup maupun untuk kebutuhan ekonomi. Sedangkan pemancingan dalam bentuk ekowisata merupakan kegiatan dalam bentuk kesenangan yang dilakukan oleh penggemar pancing. Adapun parameter kesesuaian ekowisata pancing yaitu kelompok jenis ikan, kecepatan arus, tinggi gelombang, kecerahan perairan, suhu perairan, salinitas, kedalaman perairan serta jarak dari alur pelayaran dan kawasan lainnya. Hasil penelitian ikan karang untuk kelompok ikan target diperoleh sebanyak 164 spesies dari 17 famili Tabel 43 dengan 5 peringkat kehadiran spesies terbanyak berturut-turut dari famili Labridae 27 jenis, Scaridae dan Serranidae masing-masing 19 jenis, Acanthuridae 18 jenis dan famili Lutjanidae dan Caesionidae masing-masing 10 jenis. Hasil perhitungan kelimpahan individu ikan target Dartnall and Jones 1986 umumnya berada dalam kategori cukup 1000 – 2000 ekor hingga tinggi 2000 ekor kecuali pada lokasi Tanjung Ulie dalam kategori rendah 1000 ekor. Berdasarkan data hasil penelitian dan merujuk dan memodifikasi kriteria Dartnall and Jones 1986 terhadap jumlah spesies dan jumlah individu ikan dapat dikatakan bahwa jumlah spesies ikan target sangat sesuai 150 spesies sedangkan untuk jumlah invidu ikan target dalam kategori sesuai 1000 – 2000 ekor dan sangat sesuai 2000 ekor. Kecepatan arus dan tinggi gelombang sangat penting dalam keberhasilan dan keselamatan pemancingan Sugiharti 2000. Kondisi dimaksud bahwa makin besar kecepatan arus dan gelombang maka ikan target akan berlindung dan hasil pemancingan akan makin sedikit serta keamanan sekaligus juga kelamatan, 109 kenyamanan bagi wisatawan akan terganggu. Dari data pengukuran kecepatan arus berkisar 0,07 – 0,49 mdetik dengan kecepatan arus rata-rata 0,26 mdetik sedangkan tinggi gelombang signifikan berkisar 0,7 – 4,8 m. Kecepatan arus yang diperoleh menunjukkan parameter kecepatan arus sesuai untuk kegiatan minawisata pancing sesuai kriterian Polanunu 1998, untuk parameter tinggi gelombang berada dalam kategori sesuai bersyarat dengan tinggi gelombang berkisara 50 – 100 cm Sugiharti 2000. Tinggi gelobang signifikan 100 cm terjadi pada musim timur sekaligus pada musim tersebut parameter kesesuaian untuk kegiatan minawisata pancing dalam kategori tidak sesuai. Parameter kecerahan perairan terhadap kegiatan ekowisata pancing erat kaitannya pada upaya identifikasi lokasi pemancingan, makin cerah perairan maka makin jelas obyek dasar perairan termasuk ikan target untuk dijadikan lokasi pemancingan. Dari hasil pengukuran kecerahan perairan Teluk Weda rata-rata sebesar 68 dengan kedalaman penetrasi cahaya dapat mencapai kedalaman 10,2 m. Dengan nilai kecerahan tersebut berada pada kategori sesuai untuk kegiatan ekowisata pancing menurut Yulianda et al. 2010. Selain parameter kecerahan, parameter suhu dan salinitas juga memberi kontribusi pada kegiatan ekowisata pancing. Perubahan suhu dan salinitas secara langsung menyebabkan ikan target beruaya untuk mencari habitat yang sesuai dalam batas nilai toleransinya pada suhu dan salinitas perairan. Sumber variasi salinitas dapat berasal dari perubahan iklim baik secara lokal hujan maupun secara regional ENSO. Salinitas perairan Teluk Weda dari hasil pengukuran berkisara 26 - 35 o oo dan disekitar muara sungai bersalinitas 00 – 15 o oo . sedangkan nilai suhu perairan hasil pengukuran berkisar 28,80 - 31,40 o C. Berdasarkan kriteria parameter suhu untuk kegiatan minawisata pancing termasuk dalam kategori sesuai 25 - 28 o C dan sesuai 28 – 32 o C sebagaimana yang disyarat oleh Nybakken 1988 dan Mulyanto 1992. Dari tiga kriteria kesesuaian ekowisata pancing untuk parameter salinitas oleh Romimohtarto dan Juwana 1999 menunjukkan bahwa ketiga kriteria kesesuaian tersebut dijumpai pada perairan Teluk Weda. Kategori tidak sesuai dijumpai pada lokasi sekitar muara sungai dengan salinitas 20 o oo dan kategori sesuai dan sesuai bersyarat dijumpai di wilayah lainnya pada Teluk Weda. Penyebaran gugusan karang di perairan Teluk Weda menyebabkan variasi kedalaman perairan. Hamparan gugusan karang tersebut membentuk alur-alur antara gugusan karang dan antar pulau-pulau kecil. Berdasarkan peta batimetri teluk weda diketahui bahwa kedalaman perairan di bagian selatan dan utara teluk lebih curam dibandingkan pada bagian tengah dari Teluk Weda. Kedalaman 50 m umumnya terdapat pada jarak kurang dari 800 m dari garis pantai untuk wilayah utara dan selatan Teluk Weda sedangkan pada bagian tengah Teluk Weda berada pada jarak lebih dari 1 km dari garis pantai. Berdasarkan kriteria kesesuaian parameter kedalaman untuk ekowisata pancing oleh Sugiharti 2000, maka perairan bagian tengah Teluk Weda dalam kategori sesuai akibat luas areal kedalaman 10 m lebih luas jauh dari garis pantai dibandingkan pada bagian utara dan selatan sekaligus wilayah tersebut berada dalam kategori sesuai bersyarat. Kesesuaian parameter jarak dari alur pelayaran dan kawasan lainnya yang merujuk kriteria Bengen 2008 untuk kegiatan ekowisata pancing secara 110 keseluruhan wilayah Teluk Weda dalam kategori sesuai jarak 500 m dan sesuai bersyarat jarak 300 – 500 m. Keseuaian tersebut didasarkan pada : Alur pelayaran yang dilakukan masyarakat umumnya berada jauh dari garis pantai 1 km dengan tujuan menghindari gelombang pantul dari pantai dengan profil pantai yang curam. Bentuk Teluk Weda yang relatif melengkung, maka alur pelayaran masyarakat berupaya memperpendek jarak tempuh dengan memotong jalur terdekat tidak mengikuti profil pantai. Masyarakat mencegah kandasnya armada mereka dengan menghindar untuk melintas pada hamparan gugus karang dan pulau-pulau kecil yang terdapat di dalam Teluk Weda. Alur masuk dan keluar pelabuhan Kota Weda telah ditetapkan, yaitu alur tersebut berada di bagian utara Pulau Kuleyevo Pulau Imam yang juga melintas di antara gugusan karang. Hasil analisis kesesuaian untuk pemanfaatan ekowisata pancing dengan kriteria Jenis ikan karang, Kecepatan arus, Tinggi gelombang, Kecerahan perairan, Suhu perairan, Salinitas, Kedalaman perairan Jarak dari alur pelayaran dan kawasan lainnya disajikan pada Gambar 28. Gambar 28 Kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata pancing Hasil analisis kesesuaian pemanfaatan ekowisata pancing di Teluk Weda yang sesuai S adalah 439,56 Ha, sesuai bersyarat SB adalah 114,25 Ha dan tidak sesuai TS adalah 71,78 Ha dari total luas kesesuaian kawasan ekowisata pancing. Peta kesesuaian pemanfaatan ekowisata pancing di Teluk Weda disajikan pada Lampiran 18, 19, 20 dan 21. Hasil analisis kesesuaian pemanfaatan ekowisata pancing di Teluk Weda berdasarkan parameter kesesuaian ekowisata pancing sebesar 34,92 Ha juga terlihat pada jumlah jenis dan jumlah alat tangkap perikanan yang melakukan penangkapan ikan pada perairan Teluk Weda. Berdasarkan data alat tangkap BPS 2012 jenis dan jumlah alat tangkap nelayan yang bermukin di sekitar perairan Teluk Weda yakni armada pancing tonda sebanyak 178 unit, rawai tetap sebanyak 111 unit dan 26 unit pancing lainnya, sedangkan jumlah bubu sebanyak 25 unit. 111 Dari alat tangkap tersebut digunakan oleh nelayan tetap sebanyak 1.836 jiwa dengan jumlah armada motor tempel 218 unit serta perahu tanpa motor sebanyak 899 unit. Dari kondisi tersebut menunjukkan keterlibatan masyarakat dalam membangun minawisata pancing sangat potensial.

5.4.4 Kesesuaian pemanfaatan ekowisata pantai

Ekowisata pantai adalah tempat wisata yang banyak diminati oleh wisatawan lokal maupun manca Negara. Pengembangan obyek wisata pantai yang mengacu pada ekowisata, pada dasarnya wisatawan diajak untuk menikmati keindahan alam sembari melakukan tindakan konservasi terhadap ekosistem di sekitar obyek wisata. Ekowisata pantai akan memberikan wisatawan berbagai pilihan atraksi wisata. Ekowisata pantai akan menambah wawasan wisatawan karena pembelajaran terhadap alam juga menjadi atraksi tersendiri dan juga memberikan pilihan lebih dengan atraksi wisata lain bagi wisatawan. Ekowisata membutuhkan peran aktif dari wisatawan itu sendiri, semakin banyak atraksi wisata dalam sebuah obyek wisata akan berdampak pada semakin menariknya suatu daerah pariwisata. Pantai yang banyak diminati adalah pantai yang landaian dan berpasir putihhitam yang halus karena dibutuhkan untuk kegiatan berjemur, santai dan berenang dan juga untuk atraksi budaya. Parameter kesesuaian pemanfaatan ekowisata pantai adalah tipe pantai, lebar pantai, kedalaman perairan, material dasar perairan, kecepatan arus, kemiringan pantai, kecerahan perairan, pasang surut, penutupan lahan pantai, biota berbahaya dan ketersediaan air tawar. Pantai dengan substarat berpasir umumnya dijumpai pada daerah yang diapit oleh tanjung-tanjung di sepanjang pantai Teluk Weda. Profil pantai yang landai di Teluk Weda Bagian tengah umumnya pantai didominasi oleh substrat pasir berlumpur sedangkan pantai dengan substrat berpasir banyak dijumpai di bagian utara dan selatan Teluk Weda. Penyebaran pantai berpasir dalam bentuk spot-spot lebih banyak dijumpai pada bagian utara Teluk Weda dan oleh masyarakat dijadikan akses masuk dan keluar desa mereka, sedangkan pada bagian selatan Teluk Weda hamparan pasir juga terbentuk oleh konfigurasi pulau- pulau kecil yang memicu pembentukan endapan pasir dan membentuk pantai karang berpasir. Jumlah spot-spot hamparan pantai berpasir di Teluk Weda sebanyak 13 tempat dengan luas keseluruhan 21,51 Ha, sedangkan hamparan karang pasir sebanyak 18 spot dengan luas total 65.33 Ha. Pada lokasi dijumpai pantai berpasir umumnya mempunyai tipe pantai agak landai dengan jarak kedalaman 50 m berada 600 m dari garis pantai slope atau kemiringan 4 o – 7 o sebelum tubir baik di bagian utara maupun selatan Teluk Weda. Dari kriteria kesesuai ekowisata pantai untuk parameter tipe pantai oleh Wong 1998, Daby 2003 dan Yulianda et al. 2010 menunjukkan bahwa tipe pantai berpasir di Teluk Weda dalam kategori sesuai dengan tipe pantai agak landai. Kemiringan pantai berpasir berkisar 4 o – 7 o sebelum tubir dan tunggang pasang surut 1,9 m memberikan penambahan lebar pantai berkisar 2 – 3 m oleh pengaruh pergerakan pasang surut sekaligus memberi kategori kesesuaian pasang surut dalam kategori tidak sesuai akibat tunggang air 0,5 m Yulianda et al. 2010. pada bagian lain pemanfaatan pantai berpasir oleh masyarakat yang menjadikannyan sebagai lokasi tambat labuh perahu, penjemuran ikan serta 112 lapangan olah raga memberikan gambaran bahwa lebar pantai berpasir di Teluk Weda dalam kategori sesuai menurut kriteria Wong 1998 dan Yulianda et al. 2010. Kesesuaian lebar pantai tersebut akibat lebat pantai berpasir di Teluk Weda 5 m. Variasi slope pantai berpasir terhadap perubahan kedalaman akibat pasang surut dengan tunggang air 1,9 m memberi penambahan kedalaman perairan pantai 2 m sehingga parameter kesesuaian kedalaman perairan pantai dalam kategori sesuai bersyarat kedalaman perairan 2 – 5 m menurut kriteria Wong 1998 dan Yulianda et al. 2010. Jumlah spot pantai berpasir 13 spot lebih sedikit dibandingkan hamparan spot karang berpasir 18 spot. Luas total penyebaran spot karang berpasir terselut mencapai 65,33 Ha. Dari kondisi tersebut maka kesesuaian material dasar perairan terhadap ekowisata pantai termasuk dalam kategori sesuai bersyarat menurut kriteria Wong 1998 dan Yulianda et al. 2010. Kesesuaian tersebut akibat komposisi fraksi material dasar perairan didominasi oleh material pasir berkarang, kehadiran fraksi karang tersebut karena wilayah Teluk Weda merupakan teluk terbuka dan menghadap ke Laut Pasifik dan memberikan rambatan gelombang ke pantai yang cukup besar dan mengangkut material patahan karang. Parameter kecepatan arus dan kecerahan perairan dalam analisis kesesuai untuk ekowisata pantai merujuk pada kriteria Wong. 1998 dan Yulianda et al. 2010 yakni kategori sesuai jika arus 34 cmdetik, sesuai bersyarat 34 – 51 cmdetik dan tidak sesuai jika arusnya 51 cmdetik. Dari data pengukuran kecepatan arus diperoleh kecepatan rata-rata 0,26 mdetik 26 cmdetik dan dalam kategori sesuai. Parameter kecerahan untuk ekowisata pantai dimaksudkan untuk memberikan kesan bagi wisatawan untuk dapat melihat dengan mudah obyek dasar perairan pantai. Hasil pengukuran kecerahan rata-rata perairan Teluk Weda sebesar 68 memberikan makna bahwa kriteria parameter kecerahan untuk ekowisata pantai dalam kategori sesuai 50 . Kemiringan pantai pada bagian ini adalah kemiringan pantai didepan pantai berpasir. Tipe kemiringan pantai di perairan bagian tengah dan selatan berbentuk tebing sedangkan pada bagian utara teluk Weda berbentuk slope. Dengan merujuk besaran sudut kategori tebing dan slope, dimana kategori tebing mempunyai kemiringan topografi berkisar 25 – 45 o , sedangkan slope membentuk sudut 25 o . Dengan kondisi ini maka kesesuaian kemiringan pantai dalam kategori sesuai bersyarat menurut Wong 1991 dan Yulianda et al. 2010. Masyarakat kabupaten Halmahera Tengah umumnya memanfaatkan pantai sebagai bagian dari lahan perkampungan mereka sekaligus sebagai akses masuk dan keluar perkampungan. Kondisi tersebut menyebabkan pemanfaatan lahan pantai dan darat diperuntukan untuk mempermudah pemenuhan kebutuhan mereka baik untuk aktifitas sosial lahan terbuka maupun untuk kebutuhan hidup tanaman produksi. Hasil identifikasi jenis vegetasi yang dijumpai pada lahan sekitar perairan pantai dijumpai banyak tanaman produkstif di sekitar perairan pantai seperti kelapa, pisang, sukun dan lain-lain. Lahan terbuka diperlihatkan diarahkan untuk kegiatan menjemur hasil perikanan, sarana olah raga dan lokasi tambat labuh. Dari penutupan lahan pantai ini maka kesesuaian parameter penutupan lahan untuk ekowisata pantai termasuk kategori sesuai. Pada bagian lain lahan pantai berpasir dan pemenuhan kebutuhan masyarakat atas air tawar diperoleh dari daerah dalam perkampungan dalam bentuk sumur gali maupun dari sumber air sungai yang jaraknya tidak terlalu jauh disekitar perkampungan. Dari 113 parameter ketersediaan air tawar untuk ekowisata pantai dalam kategori sesuai karena sumber air tawar berjarak 1 km Wong 1998, Yulianda et al. 2010 dan Supriharyono 2007. Berdasarkan hasil penelitian terhadap kehadiran biota perairan terutama kehadiran biota berbahaya bulu babi dan ikan pari menunjukkan bahwa hampir di setiap pantai berpasir yang terdapat gugusan karang dijumpai adanya bulu babi. Pola penyebaran bulu babi tersebut menyebar secara berkelompok pada bagian karang tertentu. Informasi kehadiran ikan pari pada perairan pantai diperoleh dari masyarakat yang menyatakan diwaktu tertentu pernah menangkap ikan pari di perairan pantai dekat pemukiman mereka. Kondisi ini menyebabkan kriteria kesesuaian ekowisata pantai dengan parameter biota berbahaya termasuk dalam kategori sesuai bersyarat. Hasil analisis kesesuaian pemanfaatan ekowisata pantai dengan parameter tipe pantai, lebar pantai, kedalaman perairan, material dasar perairan, kecepatan arus, kemiringan pantai, kecerahan perairan, pasang surut, penutupan lahan pantai, biota berbahaya dan ketersediaan air tawar disajikan pada Gambar 29. Gambar 29 Kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata pantai Hasil analisis kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata pantai di Teluk Weda yang sesuai S adalah 101,38 Ha, sesuai bersyarat SB adalah 49,75 Ha dan tidak sesuai TS adalah 100,16 Ha dari total luas kesesuaian kawasan ekowisata pantai. Peta kesesuaian pemanfaatan ekowisata pantai di Teluk Weda disajikan pada Lampiran 22 dan 23.

5.4.5 Kesesuaian pemanfaatan ekowisata mangrove

Ekosistem mangrove di Indonesia memberikan kontribusi secara langsung bagi peningkatan pendapatan Negara. Produk yang diperoleh dari hutan mangrove dapat berupa kayu bakar, bahan bangunan, pupuk, bahan baku kertas, bahan makanan, bahan obat-obatan, minuman, peralatan rumah tangga,bahan baku tekstil dan kulit, madu, lilin serta tempat rekreasi Puspitaningasih 2012. 114 Ekosistem mangrove sebagai tempat rekreasi atau wisata bagi wisatawan memberikan kontribusi yang baik untuk dikembangkan, oleh karena itu diperlukan analisis kesesuaian pemanfaatan ekowisata mangrove untuk menentukan kawasan yang dapat dijadikan kawasan ekowisata mangrove, baik untuk wisata jelajah maupun wisata burung bird waching serta hewan-hewan yang mendiami ekosistem mangrove yang menarik bagi wisatawan. Keberadaan ekosistem mangrove di wilayah Teluk Weda dijumpai hampir disepanjang pantai bagian tengah dari Teluk Weda dengan luas hamparan mangrove secara keseluruhan 1408,53 Ha. Jenis mangrove yang terdapat di perairan pantai Teluk Weda yakni 13 spesies dimana 7 spesies dominan berturut- turut Bruguiera gymnorizha, Sonneratia alba, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, Xylocarpus granatum dan Ceriops decandra. Terdapat enam parameter yang mendukung kesesuaian pemanfaatan ekowisata mangrove antara lain yakni ketebalan mangrove, kerapatan mangrove, jenis mangrove, jenis biota, tinggi pasut, dan jarak kawasan lainnya. Dari hasil pengukuran ketebalan mangrove dari data citra landsat 7 ETM yang diukur dari daratan ke arah laut pada jarak maksimal vegetasi mangove diperoleh ketabalan minimum 11,35 m yang dijumpai pada mangrove di bagian selatan Teluk Weda dan ketebalan mangrove maksimum sejauh 1887,38 m yang dijumpai pada mangrove di sekitar desa Nusliku Teluk Weda bagian Utara. Dari 56 gugusan mangrove hanya 11 gugus yang mempunyai ketebalan 100 m, 13 gugus mempunyai ketebalan 100 – 200 m dan sisanya 200 m 22 Gugus. Dari ketebalan mangrove ini sebagai parameter kesesuaian wisata mangrove berada pada kelas sesuai menurut kriteria Ayoh 2004, Yulianda et al. 2010 dan Yaakup et al. 2006. Hasil perhitungan kerapatan mangrove pohon dan jumlah jenis mangrove pada lokasi sampel diperoleh jumlah jenis mangrove tertinggi dan kerapatannya terdapat pada mangrove di Desa Goeng Kecamatan Weda sebanyak 7 jenis dengan kerapatan 8 individu100 m 2 , disusul pada mangrove disekitar desa Sagea Kecamatan Weda Utara sebanyak 7 jenis dengan kerapatan sebesar 4 individu100 m 2 , Pada lokasi Tanjung Seves Kecamatan Weda Utara dijumpai 6 jenis mangrove dengan kerapatan 6 individu100 m 2 . dan Tanjung Kife di Kecamatan Weda Utara sebanyak 6 jenis dengan kerapatan 8 individu100 m 2 dan mangrove di siktar Desa Loleo Kecamatan Weda sebanyak 6 jenis dengan kerapatan selatan 2 individu100 m 2 . Pada lokasi mangrove tersebut selama pengambilan data dijumpai jenis biota lain seperti Ikan, udang, Kepiting, Molusca, reptil dan burung. Uraian parameter jumlah jenis mangrove, kerapatan mangrove dan kehadiran biota lain pada komunitas mangrove menunjukkan kelas kesesuaian yang sama yakni kategori sesuai dengan skor kesesuaian yang berbeda. Kesesuain jumlah jenis mangrove merujuk pada Yulianda et al. 2010 dan DKP 2006 dengan kriteria kesesuaian jumlah jenis 3, untuk kerapatan mangrove merujuk Yulianda et al. 2010 dengan kriteria kategori sesuai kerapatan mangrove sebesar 3 – 25 individu100 m 2 dan untuk kehadiran biota lain pada komunitas mangrove sesuai dengan Yulianda et al. 2010 dan DKP 2006 dengan kriteria ditemukan biota lain pada vegetasi mangrove seperti ikan, udang, kepiting, moluska, reptil dan burung. Tinggi pasang surut pada kesesuaian wisata mangrove diarahkan pada seberapa jauh pergerakan air saat pasang menggenangi komunitas mangrove. 115 Makin jauh air pasang masuk pada komunitas mangrove maka peluang pertumbuhan mangrove lebih optimum sekaligus kehadiran dan kelimpahan biota yang berasosiasi dengan mangrove akan lebih tinggi. Dengan merujuk nilai tunggang air pasang surut pada stasiun pengukuran sorong diperoleh tunggang air sebesar 1,9 m. Berdasarkan kriteria pasang surut yang disampaikan oleh Yulianda et al. 2010 maka parameter tinggi pasang surut terhadap wisata mangrove dalam kategori sesuai. Parameter jarak komunitas mangrove dengan kawasan lainnya adalah jarak minimum keberadaan mangrove dengan kawasan lainnya seperti perkampungan, lokasi penambangan, pelabuhan, pusat pemerintahan dan lain-lain. Berdasarkan hasil pemantauan saat penelitian umumnya pemukiman masyarakat berada dalam komunitas mangrove, hal yang sama juga terlihat pada aktifitas pelabuhan, dimana pelabuhan dan beberapa fasilitas umum lainnya dibangun pada kawasan mangrove dengan melakukan reklamasi. Dari kondisi ini menggambarkan bahwa kriteria jarak komunitas mangrove terhadap kawasan lainnya relatif dekat 300 m sehingga dikategorikan tidak sesuai menurut Bengen 2002. Hasil analisis kesesuaian pemanfaatan ekowisata mangrove dari 6 parameter kriteria disajikan pada Gambar 30. Gambar 30 Kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata mangrove Hasil analisis kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata mangrove di Teluk Weda yang sesuai S adalah 256,58 Ha, sesuai bersyarat SB adalah 363,84 Ha dan tidak sesuai TS adalah 16,94 Ha dari total luas kesesuaian kawasan ekowisata mangrove. Peta kesesuaian pemanfaatan ekowisata mangrove di Teluk Weda disajikan pada Lampiran 24, 25, dan 26.

5.4.6 Kesesuaian pemanfaatan ekowisata lamun

Ekosistem lamun umumnya membentuk padang lamun yang luas didasar laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari yang memadai bai pertumbuhannya. Ekosistem lamun hidup di perairan yang dangkal dan jernih pada kedalaman berkisar antara 2 – 12 meter, dengan sirkulasi air yang baik Mann 2000. 116 Nilai ekonomi biota yang berkaitan dengan padang lamun belum banyak diketahui, namun pemanfaatan lamun secara langsung di berbagai negara sudah banyak dilakukan. Di beberapa negara, lamun digunakan untuk menggantikan makanan bagi hewan dan komponen pupuk di daerah pesisir, sebagai bahan baku pembuatan kertas dan bahan pengganti dalam pabrik nitro selulosa, serta bahan pencegah kebakaran Puspitaningasih 2012. Selain manfaat yang telah disebutkan, salah satu pemanfaatan lamun adalah sebagai tempat untuk rekreasi atau ekowisata pada padang lamun. Luas hamparan lamun dari hasil analisis citra landsat 7 ETM diperoleh luas hamparan komunitas lamun sebesar 111,11 Ha yang dominan tersebar di bagian utara dan tengah Teluk Weda dalam 18 gugusan padang lamun. Hasil perhitungan ketebalan padang lamun berdasarkan luas gugusan padang lamun diperoleh ketebalan minimum dan maksimum sepanjang 41,41 m dan 371,96 m. Dari ketebalan padang lamun tersebut terhadap kriteria kesesuaian berada dalam kategori sesuai bersyarat dan sesuai menurut Yulianda et al. 2010, jika dengan mempertimbangkan jumlah gugusan lamun dengan ketebalan lamun dalam kategori sesuai bersyarat lebih sedikit 42 , sehingga secara umum kriteria kesesuain ketebalan padang lamun untuk wisata lamun dalam kategori sesuai. Parameter kecerahan perairan untuk wisata lamun dimaksudkan sebagai parameter dalam kajian prospek keberlanjutan sumberdaya pada komunitas lamun. Kecerahan merupakan penetrasi cahaya yang masuk ke dalam perairan yang digunakan untuk proses fotosintesis padang lamun. Kecerahan juga sebagai indikasi adanya masukan material tersuspensi yang menyebabkan kekeruhan sehingga menghambat proses fotosintesis. Hal ini secara luas akan mengganggu produktifitas primer padang lamun. Hasil pengukuran kecerahan perairan diperoleh rata-rata sebesar 68 , dengan nilai kecerahan tersebut maka kategori kesesuaian menurut Yulianda et al. 2010 untuk kegiatan wisata lamun berada dalam kategori sesui bersyarat. Hasil wawancara dengan masyarakat dan nelayan di lokasi penelitian tentang jenis ikan yang sering mereka temukan di padang lamun melalui media gambar teridentifikasi 7 jenis ikan. Ikan-ikan tersebut yakni ikan kakatua Scarus spp, ikan uhi garis-garis Siganus javus, ikan uhi abu-abu Siganus spinus, ikan gutila Lethrinus lentjam, ikan gorara Lethrinus spp ikan gudida Lutjanus johnii, dan ikan pagar-pagar Abudefduf spp. Dari jumlah jenis ikan yang menjadikan padang lamun sebagai habitatnya tersebut menunjukkan bahwa kriteria kesesuaian wisata lamun dengan para meter jumlah jenis ikan berada dalam kategori kesesuaian bersyarat Yulianda et al. 2010 dengan jumlah spesies ikan padang yang teridentifikasi sebanyak 6 – 10 spesies. Jenis lamun yang ditemukan pada perairan Teluk Weda sebanyak 10 jenis yakni Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Cymodocea rotundata, Thalassia hemprichii, Halodule uninervis, Halophila decipiens, Halodule pinifolia, Halodule minor, Cymodocea serrulata dan Syringodium isotifolium. Jenis lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii merupakan jenis lamun yang selalu dijumpai pada setiap lokasi. Dengan ditemukannya kedua jenis tersebut menggambarkan parameter jenis lamun dalam kategori tidak sesuai untuk kesesuaian wisata lamun Yulianda et al. 2010. Jenis lamun tersebut menyebar pada kedalaman 3 meter dan substrat dasar perairan dari material pasir berkarang, 117 sehingga kesesuaian parameter kedalaman lamun dan jenis substrat untuk wisata selam dalam kategori sesuai Yulianda et al. 2010. Kecepatan arus yang berkembang pada padang lamun memberi kontribusi pada produktifitas padang lamun dan juga berfungsi pada transport nutrien bagi organisme sekaligus pengangkutan bahan buangan. Hasil pengukuran kecepatan arus pada padang lamun diperoleh kecepatan arus berkisar 0,09 – 0,15 mdetik atau rata-rata kecepatan arus pada padang lamun sebesar 0,12 mdetik 12 cmdetik. Dengan kecepatan arus tersebut maka parameter kesesuaian kecepatan arus untuk wisata lamun termasuk dalam kategori sesuai menurut Yulianda et al. 2010 dengan nilai kesesuaian kecepatan arus berada antara 0 – 17 cmdetik. Hasil analisis kesesuaian pemanfaatan ekowisata lamun dengan parameter kesesuaian pemanfaatan ekowisata lamun terdiri dari : ketebalan lamun, kecerahan perairan, jenis ikan, jenis lamun, jenis substrat, kecepatan arus, dan kedalaman lamun disajikan pada Gambar 31. Gambar 31 Kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata lamun Hasil analisis kesesuaian pemanfaatan kawasan ekowisata lamun di Teluk Weda yang sesuai S adalah 28,15 Ha, sesuai bersyarat SB adalah 3,99 Ha dan tidak sesuai TS adalah 11,71 Ha dari total luas kesesuaian kawasan ekowisata lamun. Peta kesesuaian pemanfaatan ekowisata lamun di Teluk Weda disajikan pada Lampiran 27 dan 28.

5.4.7 Kesesuaian pemanfaatan budidaya rumput laut

Rumput laut merupakan salah satu komoditas sektor perikanan dan kelautan yang akhir-akhir ini semakin gencar dibudidayakan. Hal ini seiring dengan semakin meningkatnya aplikasi dari produk olahan dari komoditi ini dalam dunia industri. Produk olahan dari rumput laut baik berupa agar-agar, karaginan dan alginat sangat bermanfaat baik dalam industri makanan, industri farmasi, industri kosmetik, industri tekstil maupun industri kulit. Disamping permintaan produk olahan rumput laut yang semakin tinggi, permintaan rumput laut kering juga semakin tinggi, bahkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri produksi rumput laut kering dan produk olahan dari rumput laut di Indonesia harus mengimpor dari 118 negara lain. Industri pengolahan rumput laut di Indonesia yang terdiri dari 30 pabrik pengolahan belum mampu memenuhi kebutuhan pasar domestik apalagi mancanegara. Teluk Weda yang memiliki pulau-pulau kecil dapat dijadikan daerah untuk budidaya rumput laut, oleh karena itu diperlukan suatu kajian untuk menetapkan kawasan bagi kegiatan budidaya rumput laut. Salah satu persyaratan adanya kegiatan budidaya rumput laut adalah dengan menganalisis kesesuaian pemanfaatan minawisata budidaya rumput laut yang parameternya sebagai berikut: tinggi gelombang, ketersediaan benih, kecepatan arus, salinitas, suhu perairan, pH perairan, nitrat, nitrit, fosfat, kedalaman perairan, dan material dasar perairan. Hasil analisis kesesuaian pemanfaatan budidaya rumput laut disajikan pada Gambar 32. Gambar 32 Kesesuaian pemanfaatan budidaya rumput laut Hasil analisis kesesuaian pemanfaatan kawasan budidaya rumput laut di Teluk Weda yang sesuai S adalah 111,32 Ha dan sesuai bersyarat SB adalah 31,99 Ha dari total luas kesesuaian kawasan budidaya rumput laut. Peta kesesuaian pemanfaatan budidaya rumput laut di Teluk Weda disajikan pada Lampiran 29 dan 30. Kesesuaian parameter tinggi gelombang untuk kriteria budidaya rumput laut merujuk pada kriteria yang dinyatakan oleh Bengen et al. 2007. Tinggi gelombang signifikan 0,7 – 4,8 m merupakan gelombang maksimum dari bangkitan angin untuk durasi 3 kali lipat dari nilai rata-rata kecepatan angin yang bertiup Fetch. Dari hal ini maka dapat dikatakan tinggi gelombang rata-rata maksimumnya adalah sepertiga tinggi gelombang signifikan 0,2 – 1,6 m dengan tinggi gelombang rata-rata 0,32 m. Tinggi gelombang rata-rat ini menyebabkan kategori kesesuaian parameter tinggi gelombang berada dalam kategori tidak sesuai. Parameter dengan kategori tidak sesuai untuk minawisata budidaya rumput laut juga terjadi pada parameter ketersediaan benih, akibat belum adanya sentra pelayanan benih rumput laut baik untuk kebutuhan Kabupaten Halmahera Tengah maupun Provinsi Maluku Utara. Pengambilan benih di alam ataupun 119 alokasi benih rumput laut belum dilakukan identifikasi lokasi maupun jumlah stock rumput laut di alam. Hasil pengukuran kecepatan arus dengan kecepatan berkisar 0,07 – 0,49 mdetik rata-rata 0,26 mdetik menjadikan parameter kecepatan arus untuk minawisata budidaya rumput laut dalam kategori sesuai bersyarat Bengen et al. 2007, sedangkan untuk parameter salinitas sesuai bersyarat Bengen et al. 2007 akibat salinitas perairan berkisar 26.00 - 35,00 o oo untuk perairan laut sedangkan 3 lokasi di sekitar muara sungai bersalinitas 00 – 15,00 o oo. Kriteria bersyarat tersebut dimaksudkan bahwa pada parameter salinitas yang optimum untuk lokasi minawisata budidaya rumput laut dijumpai pada lokasi-lokasi tertentu. Kesesuaian parameter suhu dengan merujuk pada sumber ktireria yang sama Bengen et al. 2007, menunjukkan bahwa parameter suhu berada dalam kategori sesuai bersyarat dengan suhu perairan terukur selama penelitian berkisar 28,80 – 31,40 o C. Kriteria kesesuaian tersebut juga sama dengan kriteria untuk parameter pH, dimana pH perairan terukur berkisar 6,00 – 7,4. Kesesuaian parameter nitrat, nitrit dan fosfat semuanya berada pada kategori sesuai dengan nildan ai konsentrasi kandungan masing-masing unsur 1 mgl Ikhsan 2005. Hasil penelitian konsentrasi nitrat, nitrit dan fosfat berturut-turut berkisar 0,01 – 0,10 mgl, 0,001 – 0,002 mgl dan 0,001 – 0,092 mgl. Kedalaman perairan merupakan salah satu kriteria teknis untuk melakukan minawisata budidaya rumput laut termasuk jenis material dasar perairan. Berdasarkan kriteria material dasar perairan Bengen et al. 2007 dengan hasil temuan dilapangan selama penelitian menunjukkan bahwa kriteria materia dasar perairan dalam kategori sesuai bersyarat dengan dijumpainya material pasir berkarang dan komunitas lamun di kedalaman 1 – 3 m sekaligus menunjukkan parameter kedalaman perairan berada dalam kategori sesuai.

5.4.8 Kesesuaian pemanfaatan budidaya keramba jaring apung

Budidaya ikan dalam keramba jaring apung KJA merupakan salah satu teknologi budidaya yang handal dalam rangka optimasi pemanfaatan perairan. Budidaya keramba jaring apung merupakan kegiatan pembesaran ikan yang dilakukan di dalam keramba jaring. Ikan-ikan yang menjadi target budidaya tersebut adalah ikan-ikan yang habitatnya tidak jauh dari lokasi penangkapannya. Salah satu jenis ikan yang dapat dibudidaya adalah ikan-ikan yang mencari makan di daerah lamun atau karang, tetapi kehidupannya lebih banyak di daerah karang. Misalnya ikan beronang Siganus sp selain memiliki rasa yang enak, juga mudah dipelihara di dalam keramba jaring apung. Selain itu ikan yang dapat dibudidayakan adalah jenis ikan karang yang bernilai ekonomis tinggi seperti ikan kerapu, ikan napoleon, dan lain-lain, karena ikan tersebut lebih banyak dipasarkan dalam keadaan hidup. Sama halnya dengan budidaya rumput laut, budidaya keramba jaring apung dapat dilakukan di Teluk Weda mengingat lokasi budidaya dapat diletakkan di sekitar daerah pesisir dan pulau-pulau kecil. Parameter yang mendukung kesesuaian pemanfaatan budidaya keramba jaring apung antara lain : kecepatan arus, tinggi gelombang, kedalaman perairan, suhu perairan, salinitas, oksigen terlarut, pH perairan, nitrat, nitrit, fosfat, dan Jarak dari alur pelayaran dan kawasan lainnya. 120 Hasil penelitian dari 25 stasiun pengukuran parameter pendukung dalam kesesuaian pemanfaatan budidaya keramba jaring apung menunjukkan nilai kisaran masing-masing parameter yaitu kecepatan arus berkisar 0,07 – 0,49 mdetik rata-rata 0,26 mdetik, tinggi gelombang signifikan berksisar 0,7 – 4,8 m. hasil perhitungan, kedalaman perairan yang masih terlihat gugusan karang hingga kedalaman 12 m, suhu perairan 28,80 – 31,40 o C, salinitas 26.00 - 35,00 o oo untuk perairan laut sedangkan 3 lokasi di sekitar muara sungai bersalinitas 00 – 15,00 o oo , kadar oksigen terlarut DO mempunyai kisaran nilai 3,38 – 5,08 mgl, pH perairan bernilai 6,00 – 7,4, kadar nitrat berkisar 0,01 – 0,10 mgl, nitrit 0,001 – 0,002 mgl, fosfat 0,001 – 0,092 mgl, dan Jarak dari alur pelayaran dan kawasan lainnya relatif berjauhan. Berdasarkan hasil pemetaan kelayakan paramater terhadap budidaya laut keramba jaring apung menunjukkan bahwa secara umum hasil pengukuran berada pada kategori sesuai. Khususnya suhu, salinitas dan pH berada dalam kriteria sangat sesuai, sedangkan parameter lainnya berada pada kategori tidak sesuai dan sesuai bersyarat serta terdapat beberapa lokasi yang tidak sesuai untuk budidaya ikan dengan KJA berdasarkan parameter kedalaman pada kedalaman tertentu. Hasil penelitian dalam kesesuaian berdasarkan faktor lingkungan menunjukkan bahwa arus sangat berperan dalam sirkulasi air dengan membawa bahan terlarut dan tersuspensi, arus juga mempengaruhi jumlah kelarutan oksigen dalam air. kaitannya dengan KJA, kekuatan arus dapat mengurangi organisme penempel fouling pada jaring sehingga desain dan konstruksi keramba harus disesuaikan dengan kecepatan arus serta kondisi dasar perairan lumpur, pasir, karang. Keberadaan organisme penempel akan lebih banyak menempel pada jaring bila kecepatan arus dibawah 25 cmdetik sehingga akan mengurangi sirkulasi air dan oksigen Mayunar et al. 1995, sedangkan Ahmad et al. 1991 mengemukakan kecepatan arus yang masih baik untuk budidaya dalam KJA berkisar 5 – 15 cmdetik. Dengan merujuk kesesuai parameter kecepatan arus dan tinggi gelombang untuk minawisata keramba jaring apung diperoleh kelas kesesuain parameter kecepatan arus Tiensongrusmee et al. 1986 berada pada kategori sesuai 0,2 – 0,4 mdetik sedangkan kecepatan arus rata-rata sebesar 0,26 mdetik. Kondisi kelas kategori yang sama sesuai untuk parameter tinggi gelombang menurut DKP 2002 sebesar 0,5 m terjadi pada musim tertentu dan demikian juga kategori sesuai bersyarat. Kesesuaian parameter tinggi gelombang tersebut didasarkan pada penerjemahan nilai dari gelombang signifikan dari hasil perhitungan bangkitan gelombang oleh angin yang bernilai 0,7 – 4,8 m. Gelombang signifikan merupakan gelombang maksimum dari bangkitan angin untuk durasi 3 kali lipat dari nilai rata-rata kecepatan angin yang bertiup tanpa mendapatkan halangan Fetch angin. Dari hal ini maka dapat dikatakan tinggi gelombang rata-ratan maksimumya adalah sepertiga tinggi gelombang signifikan 0,2 – 1,6 m atau dengan rata-rata tinggi gelombang 0,32 m. Tinggi gelombang ini menghasil kategori kesesuaian parameter tinggi gelombang dalam kategori sesuai dan sesuai bersyarat menurut DKP 2002. Kedalaman perairan sangat penting bagi kelayakan budidaya dengan sistem keramba Jaring Apung KJA, kedalaman perairan dari dasar jaring merupakan suatu faktor teknis dalam menjamin sistem sirkulasi pada KJA. Berdasarkan kriteria kelas kesesuaian minawisata keramba jaring apung oleh DKP 2002 menyatakan bahwa jarak dasar KJA dengan kedalaman perairan 4 m dan 10 121 merupakan kriteria tidak sesuai. Kriteria sesuai berada pada kedalaman 4 – 7 m dan untuk kedalaman 7 – 10 m merupakan kedalaman jarak dasar KJA dengan dasar perairan berada dalam kategori sesuai bersyarat. Dengan memperhatikan data kedalaman kriteria sesuai 4 – 7 m dan asumsi konstruksi KJA mempunyai tinggi 2 meter, maka memerlukan kedalaman maksimal 9 1,9 m oleh pengaruh tunggang air pasang surut. Berdasarkan peta batimetri untuk kedalaman tersebut umumnya dijumpai pada daerah dengan profil pantai berbentuk slope yakni di bagian selatan dan utara Teluk Weda serta beberapa daerah di sebelah selatan Teluk Weda bagian tengah. Dengan demikian kedalaman perairan dengan dasar jaring umumnya dalam kategori tidak sesuai akibat kedalaman perairan 10 m. Perkembangan biota laut sangat dipengaruhi oleh suhu perairan, peningkatan suhu dapat menurun kadar oksigen terlarut sehingga mempengaruhi metabolisme seperti laju pernafasan dan konsumsi oksigen serta meningkatnya konsentrasi karbon dioksida. Suhu perairan hasil penelitian ini berkisar 28,80 – 31,40 o C, berada dalam kategori sangat layak untuk perairan untuk kegiatan budidaya menurut Nybakken 1988, Mulyanto 1992 dan LP Undana 2006. Kondisi kesesuaian tersebut juga dinyatakan oleh Mayunar et al. 1995 yang menyebutkan suhu optimum untuk budidaya ikan adalah 27 – 32 o C, sedangkan untuk budidaya rumput laut membutuhkan suhu pada kisaran 20 – 30 o C Mubarak et al. 1990 in Junaidi 2012 dan untuk tiram 20 – 32 o C Atjo 1992 in Junaidi 2012. Hasil pemetaan kelayakan lokasi berdasarkan parameter suhu, menunjukkan bahwa semua lokasi penelitian sangat layak untuk dikembangkan budidaya laut terhadap komoditas ikan, rumput laut dan tiram. Salinitas perairan Teluk Weda dari hasil penelitian bernilai 26 – 35 o oo untuk perairan laut sedangkan 3 lokasi di sekitar muara sungai bersalinitas 0 – 15 o oo , kisaran salinitas untuk perairan laut ini masih baik untuk kegiatan budidaya baik perikanan, rumput laut maupun tiram karena salinitas optimal untuk budidaya ketiga komoditas tersebut berada pada kisaran 30 – 35 o oo . Khusus untuk budidaya perikanan, nilai salinitas yang dibutuhkan sesuai dengan jenis ikan yang akan dibudidaya. Hal ini disebabkan ikan tertentu membutuh salinitas tertentu pula. Ikan memiliki toleransi terhadap perubahan salinitas, nilai salinitas yang sesuai untuk ikan berkisar 20 – 34 o oo Imanto et al. 1995 beberapa jenis ikan memiliki nilai salinitas berbeda. Kerapu secara umum memiliki salinitas optimum pada kisaran 27 – 34 o oo Ahmad et al. 1991, Mayunar et al. 1995. Seperti halnya dengan suhu, hasil pemetaan kelayakan lokasi berdasarkan parameter salinitas, menunjukkan hampir keseluruhan wilayah Teluk Weda sesuai dan sesuai bersyarat untuk dikembangkan minawisata Keramba Jaring Apung kecuali disekitar daerah muara sungai yang bersalinitas 0 – 15 o oo dalam kategori tidak sesuai sebagaimana nilai kriteri kesesuaian menurut Nontji 2003, Romimohtarto dan Juwana 1999 serta LP Undana 2006. Oksigen terlarut merupakan parameter yang paling kritis di dalam budidaya ikan. Kelarutan oksigen di dalam air dipengaruhi suhu, salinitas dan tekanan udara. Peningkatan suhu, salinitas dan tekanan menyebabkan penurunan oksigen, begitu juga sebaliknya. Mayunar et al. 1995 menyebutkan untuk bertahan hidup ikan memerlukan kadar oksigen 1 mgl, namun untuk dapat tumbuh dan berkembang minimal 3 mgl. Untuk kepentingan budidaya ikan, oksigen terlarut yang optimal berkisar 5 – 8 mgl Ahmad et al. 1991. Hasil penelitian menunjukkan kadar Oksigen terlarut DO berkisar 3,38 – 5,08 mgl, nilai ini 122 berdasarkan kriteria kesesuai untuk minawisata KJA oleh LP Undana, 2006 berada kategori sesuai bersyarat. Kesesuaian bersyarat tersebut juga senada dengan nilai kadar DO yang diberikan oleh Kepmen LH No. 51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk parameter DO, bahwa menunjukkan kondisi kurang baik jika kadar DO di bawah 5 mgl. Hasil pengukuran lapangan nilai pH berkisar 6,00 – 7,4 merupakan nilai sangat sesuai menurut LP Undana 2006 untuk minawisata KJA dengan nilai parameter kesesuaian pH 6 – 8. Kategori kesesuaian tersebut juga sesuai dengan parameter kelayakan yang disampaikan oleh Boyd and Lichtkoppler 1979 dalam Mayunar et al. 1995 yang menyebutkan pH optimal untuk budidaya ikan 6,5 – 9,0 dan 7,5 – 8,5 untuk budidaya rumput laut Utojo et al. 2007, Mubarak et al. 1990 serta 6,75 – 9 untuk tiram mutiara Atjo 1992. Untuk budidaya tiram mutiara membutuhkan pH optimum pertumbuhannya yang lebih rendah 6,75 – 7,0. Parameter nitrat, nitrit dan fosfat di perairan untuk keramba jaring apung merupakan parameter penting dalam ketersediaan pakan alami di perairan. Kesesuaian kadar nitrat, nitrit dan fosfat akan memicu proses fotosintesis oleh phytoplankton dan selanjutnya menjadi bagian dari rantai makanan. Selain itu kadar nitrat, nitrit dan fosfat menjadi indikator untuk melihat kesuburan perairan. Berdasarkan data penelitian kadar perairan nitrat berkisar 0,01 – 0,10 mgl, konsentrasi nitrit berkisar 0,001 – 0,002 mgl dan konsentrasi fosfat berkisar 0,000 – 0,092 mgl. Jumlah konsentrasi tersebut secara keseluruhan ketiga parameter berada dalam kategori sesuai untuk minawisata Keramba Jaring Apung menurut Tiensongrusmee et al. 1986 dengan nilai kategori sesuai 0,1 mgl. Parameter jarak dari alur pelayaran dan kawasan lainnya pada minawisata keramba jaring apung tidak berbeda dengan kriteria keseusian yang sama pada wisata pancing. Hasil penilaian kesesuai tersebut berada pada kelas kesesuaian sesuai bersyarat dengan jarak aktifitas dan parameter berkisar 300 – 500 m Bengen et al. 2007. Kriteria kesesuaian tersebut didasarkan pada: Alur pelayaran yang dilakukan masyarakat umumnya berada jauh dari garis pantai 1 km dengan tujuan menghindari gelombang pantul dari pantai dengan profil pantai yang curam. Bentuk Teluk Weda yang relatif melengkung, maka alur pelayaran masyarakat berupaya memperpendek jarak tempuh dengan memotong jalur terdekat tidak mengikuti profil pantai. Alur masuk dan keluar pelabuhan Kota Weda telah ditetapkan, dimana alur tersebut berada di bagian utara Pulau Kuleyevo Pulau Imam yang juga melintas diantara gugusan karang Secara teknis untuk membuat keramba jaring apung harus berada pada kedalaman minimal 6 m 4 1,9 yang jaraknya berada pada jarak antara 300 – 500 m dari aktifitas penambangan maupun perkampungan masyarakat. Hasil pemetaan kelayakan masing-masing parameter faktor lingkungan yang selanjutnya di-overlay-kan untuk mengetahui kelayakan berdasarkan parameter pendukung diperlihatklan pada Lampiran 29 dan 30, sedangkan hasil analisis kesesuaian pemanfaatan budidaya keramba jaring apung disajikan pada Gambar 34. 123 Gambar 33 Kesesuaian pemanfaatan keramba jaring apung Hasil analisis kesesuaian pemanfaatan kawasan keramba jaring apung di Teluk Weda yang sesuai S adalah 75,74 Ha, dan sesuai bersyarat SB adalah 13,56 Ha dari total luas kesesuaian kawasan keramba jaring apung. Peta kesesuaian pemanfaatan budidaya keramba jaring apung di Teluk Weda disajikan pada Lampiran 31 dan 32. 5.5 Daya dukung 5.5.1 Daya dukung kapasitas asimilasi Daya dukung lingkungan berdasarkan kapasitas asimilasi lingkungan perairan seperti yang dikemukakan oleh Quano 1993 adalah metode hubungan antara konsentrasi limbah dengan beban limbahnya. Variabel yang diamati adalah debit aliran sungai, konsentrasi limbah di muara sungai, dan konsentrasi limbah di lingkungan perairan. Dalam penelitian ini, kapasitas asimilasi digunakan untuk mengetahui seberapa besar perairan Teluk Weda mampu menerima beban masukan senyawa ammonia, nitrat, nitrit, dan fosfat dan lain-lain, sehingga tidak menurunkan fungsi ekologi perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. Analisis kapasitas asimilasi perairan Teluk Weda didasarkan pada analisis hubungan antara konsentrasi parameter kimia di perairan pesisir dan beban limbah parameter kimia terlarut di estuari. Hasil perhitungan dari beban limbah dan konsentrasi masing-masing parameter dibandingkan dengan nilai baku mutu air laut berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51Tahun 2004 adalah baku mutu yang ditetapkan sebagai baku mutu untuk pembangunan pelabuhan, wisata bahari dan biota laut. Sedangkan baku mutu air limbah berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 09 Tahun 2006 adalah baku mutu yang ditetapkan untuk baku mutu air limbah bagi usaha danatau kegiatan pertambangan bijih nikel. Pengertian baku mutu air, baku mutu air limbah dan baku mutu air laut sebagai berikut : a baku mutu air adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, 124 zat, energi atau komponen yang ada atau harus ada danunsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air; b baku mutu air limbah adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar dan atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah yang akan dibuang atau dilepaskan ke dalam sumber air dari suatu usaha atau kegiatan; dan c baku mutu air laut adalah batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi atau komponen lain yang ada atau harus ada dan zat atau bahan pencemar yang ditenggang adanya di dalam air laut.

a. Amonia NH

3 Amonia NH 3 dan garam-garam bersifat mudah larut dalam air. Ion amonium adalah bentuk transisi dari amonia. Amonia banyak digunakan dalam produksi urea, industri bahan kimia asam nitrat, amonium fosfat, amonium nitrat, dan amonium sulfat, serta industri bubur kertas pulp dan paper. Sumber amonium di perairan adalah pemecahan nitrogen organic protein dan urea dan nitrogen anrganik yang terdapat di dalam tanah dan air,yang berasal dari dekomposisi bahan organik tumbuhan dan biota akuatik yang telah mati oleh mikroba dan jamur. Amonia yang terukur di perairan berupa amonia total NH 3 dan NH 4 + . Amonia bebas tidak dapat terionisasi, sedangkan amonium NH 4 + dapat terionisasi. Amonia bebas yang tidak terionisasi unionized bersifat toksit terhadap organism akuatik. Toksisitas amonia terhadap organism akuatik akan meningkat jika terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, pH dan suhu Effendi 2003. Gambar 34 Kapasitas asimilasi Amonia di Teluk Weda Kapasitas asimilasi ammonia ditentukan dengan persamaan regresi dengan koefisien determinasi artinya 99,40 variasi konsentrasi ammonia di pesisir dan pulau-pulau kecil dijelaskan oleh beban ammonia di estuaria, hal ini dapat dijelaskan bahwa . Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan nilai kapasitas