Perubahan Nilai Variabel Ekonomi

dan memperlakukannya sebagai sumberdaya yang langka dan mempunyai nilai ekonomi sama seperti input lainnya. Kondisi seperti yang diskenariokan pada Model DIJ ini akan terjadi di masa mendatang, dimana pertumbuhan perkotaan di wilayah hilir Tarum Barat demikian pesat yang menyebabkan peningkatan permintaan air sektor non pertanian, sementara ketersediaan air dari sungai-sungai yang ada makin terbatas akibat rusaknya wilayah catchment area dan daerah sepanjang sungai, yang diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk dan wilayah pemukiman. Selain itu apabila dilihat dari sisi kualitas, kualitas air di wilayah ini sangat buruk, hal ini dapat dilihat dari pengamatan langsung dimana air yang ada mengandung sedimen lumpur yang sangat pekat, warna air yang telah tercemar dengan limbah pabrik yang ada terutama dari wilayah Cikarang dan Bekasi, sehingga air tidak dapat digunakan kembali di wilayah hilir walaupun dalam volume yang sangat banyak saluran Cikarang Bekasi Laut, CBL.

8.2. Perubahan Nilai Variabel Ekonomi

Perubahan nilai variabel ekonomi yang dilakukan meliputi perubahan harga air baku PAM DKI, dan perubahan harga padi masing-masing sebesar 10 persen dan 25 persen. Perubahan nilai variabel ini berdasarkan kondisi aktual dimana harga air baku PDAM meningkat sebesar 10 persen sesuai dengan usulan PJT II begitu juga dengan harga gabah merupakan harga gabah yang berlaku saat ini. Perubahan harga air baku PAM DKI sebesar 10 persen skenario 3, mempengaruhi alokasi optimum ke sektor tersebut terutama di Sub wilayah Cikarang B dan Bekasi A, karena sektor ini sebagai pengguna air kedua terbesar di wilayah ini. Perubahan harga air baku PAM DKI, tidak merubah alokasi optimum ke sektor ini, karena alokasi dibatasi oleh sarana yang ada, dimana alokasi hasil optimasi Model DIJ telah mencapai kapasitas maksimum saluran PAM DKI. Perubahan inipun mempengaruhi alokasi air optimum ke sektor pertanian dimana lahan optimum yang dipilih oleh Model DIJ skenario 3, di sub wilayah Cikarang B berbeda dengan pada model dasar maupun skenario 1 dan 2, luas lahan optimum lebih kecil dibandingkan dengan luas lahan optimum pada model dasar, tetapi pada golongan sawah yang berbeda yakni sawah golongan III, yang memiliki produktivitas lebih tinggi dibandingkan dengan sawah golongan IV yang dipilih pada model skenario sebelumnya. Perubahan luas lahan optimum ini menyebabkan perubahan benefit pada sektor pertanian di wilayah Cikarang B, pada musim tanam II. Selain menyebabkan peningkatan benefit sektor pertanian di wilayah Cikarang B, secara umum peningkatan harga air baku PAM DKI menyebabkan penurunan terhadap benefit dari sektor domestik di semua wilayah. Hal ini dipahami sebab peningkatan harga air baku PAM DKI akan menyebabkan peningkatan biaya pada PAM DKI, tetapi merupakan peningkatan penerimaan bagi PJT II. Alokasi air optimum ke sektor-sektor pengguna air yang ada di wilayah Tarum Barat mengalami sedikit perubahan, perubahan nilai variabel ini tidak mempengaruhi penyaluran air pada kedua wilayah tersebut, dan pada sektor- sektor pengguna air. Perubahan harga air baku PDAM menyebabkan peningkatan benefit sektor pertanian, dan penurunan benefit sektor domestik serta sektor industri. Perubahan harga yang tidak diikuti dengan penambahan sarana penyaluran atau peningkatan kapasitas penyaluran menyebabkan tidak direspons dengan penambahan suplai air baku. Kondisi ini merupakan kondisi dimana suplai air inelastis, yang berarti perubahan harga tidak dapat menggeser kurva penawaran. Perubahan harga air baku PDAM hanya merubah benefit baik pada sektor pertanian, dan pengelola serta mempengaruhi benefit sosialnya. Perubahan harga padi sebagai output sektor pertanian, ternyata tidak merubah posisi sektor pertanian yang diperlakukan sebagai sektor yang terkalahkan. Perubahan harga padi inipun merubah alokasi air optimum ke sektor pertanian namun tidak mengubah alokasi air optimum ke sektor lainnya. Total air irigasi yang dialokasi ke setiap wilayah sama, baik hasil optimasi Model DIJ dasar, skenario 3, 4 dan 5. Apabila dibandingkan dengan alokasi air hasil optimasi Model DIJ dasar, alokasi air optimum ke sektor pertanian yang dihasilkan oleh ketiga skenario ini lebih banyak terutama pada musim tanam II. Begitu juga dengan luas lahan optimum yang dihasilkan ketiga skenario ini tidak berbeda antara ketiganya tetapi berbeda jika dibandingkan dengan hasil optimasi Model DIJ dasar. Perubahan luas lahan pada musim tanam II di Sub wilayah Cikarang-B dan Bekasi A ini menunjukkan bahwa Model DIJ dapat menangkap perubahan tersebut dengan baik ketika air yang tersedia terbatas. Perubahan harga yang dilakukan tidak mempengaruhi kondisi optimum pada musim tanam I, karena air yang tersedia terutama dari sumber setempat dapat mencukupi kebutuhan semua sektor di wilayah tersebut, sedangkan penyaluran dari Bendung Curug hanya untuk menjaga kelestarian saluran yakni sebesar 5 meter kubik per detik. Perubahan harga air baku PAM DKI telah merubah lahan optimum di Sub wilayah Cikarang B sedangkan pada wilayah Bekasi sama seperti pada skenario 2 dan 3, hanya sawah golongan I saja yang dipilih Tabel 25. Perubahan harga padi hanya merubah benefit sektor pertanian itu sendiri tetapi tidak merubah benefit sektor lainnya. Perubahan harga air padi inipun tidak merubah penyaluran air baik dari Bendung Curug ke Tarum Barat, maupun dari Bendung Cikarang ke Bendung Bekasi. Perubahan harga air baku PAM DKI dan harga padi tidak mengubah posisi optimum baik pada luas lahan, produktivitas dan alokasi air ke pengguna, tetapi hanya mengubah benefit sektor domestik skenario 3 dan benefit sektor pertanian skenario 4. Perubahan benefit kedua sektor ini akan menyebabkan perubahan terhadap benefit sosial karena merupakan kumulatif dari benefit pengguna maupun pengelola. Perubahan harga air baku dan harga padi, tidak dapat merubah penyaluran air optimum ke wilayah-wilayah yang mengalami peningkatan permintaan dari sektor-sektor pengguna air. Model DIJ tidak dapat menangkap fenomena perubahan permintaan air maupun harga air baku dan komoditi tetapi hanya dapat menangkap benefit yang dihasilkan dari setiap aktivitas sektor- sektor pengguna air. Suplai air irigasi yang bersifat inelastis tidak akan berubah menjadi elastis ketika harga air baku ditingkatkan, kendala kapasitas lebih menentukan elastisitas suplai air permukaan dalam suatu sistem pengairan. Penentuan harga air baku yang ditentukan oleh pemerintah, tidak mencerminkan biaya yang dikeluarkan untuk menyediakan air tersebut, tetapi semata-mata didasarkan pada ’keputusan politik’ dan tidak berorientasi pasar. Penentuan harga oleh pemerintah, akan mempengaruhi keputusan pengelola sebagai operator alokasi sumberdaya air di wilayah tersebut. Status pengelola yang merupakan badan usaha akan berorientasi pada benefit yang dihasilkan, meskipun dalam pelaksanaannya telah diatur untuk memprioritaskan sektor pertanian ternyata di musim kemarau banyak sawah yang tidak terairi. Model DIJ menunjukkan bahwa kekeringan yang dialami oleh beberapa wilayah Tarum Barat, bukan hanya disebabkan karena tidak tersedianya air untuk irigasi tetapi sarana yang tersedia tidak memungkinkan untuk menyalurkan air lebih banyak lagi. Kapasitas sarana yang dimasukkan dalam Model DIJ, merupakan data teknis yang diberikan PJT II, kondisi ideal ini tidak terjadi di lapang, dimana banyak sekali sarana yang rusak dan sedimen di saluran induk dan sekunder yang tidak memungkinkan penyaluran air sesuai dengan data teknis yang ada sampai ke wilayah paling hilir terutama di ruas Cikarang Bekasi sub wilayah Cikarang B.

8.3. Perubahan nilai variabel teknis dan ekonomi.