16 Rohaeni dan Rina 2005 melakukan penelitian mengenai peluang dan
potensi usaha ternak itik di lahan lebak. Ternak itik memberikan kontribusi
pendapatan sebesar 20,65 persen dari pendapatan total keluarga dengan tenaga kerja yang dicurahkan sebesar 11,35 persen dari total curahan tenaga kerja
keluarga dalam setahun. Peluang pengembangan itik cukup besar, hal ini disebabkan tersedianya bibit dalam jumlah besar dan mutu yang relatif baik,
relatif mudahnya akses pemasaran, keterampilan petani yang memadai, sosial budaya yang menunjang dan adanya dukungan baik dari pihak swasta atau
pemerintah. Sulardi dan Sunarsih 2010 melakukan penelitian mengenai motivasi dan
pendapatan peternak pada usaha ternak itik di Kecamatan Banyu Biru Kabupaten Semarang. Hasil penelitian yakni pendapatan rata-rata peternak pada skala antara
40 -100 ekor sebesar Rp 1.457.000,00 per bulan; skala 101-200 ekor sebesar Rp 2.987 310,00 per bulan; dan skala antara 201-1.700 ekor sebesar Rp 6.431.073,
per bulan. Pendapatan dari usahaternak itik lebih tinggi dibandingkan UMR Kabupaten Semarang sebesar Rp 838.000,00.
Suryana 2007 melakukan penelitian mengenai prospek dan peluang pengembangan itik alabio di Kalimantan Selatan. Hasil penelitian menyatakan
bahwa usaha tani itik alabio telah dilakukan sejak lama di Kalimantan Selatan dan merupakan usaha pokok masyarakat terutama di Kabupaten Hulu Sungai Utara.
Beternak itik ini dapat memberikan kontribusi yang memadai terhadap pendapatan keluarga. Pengembangan itik Alabio cukup prospektif karena ditunjang oleh
ketersediaan bibit dan pasar, keterampilan peternak yang memadai, sosial-budaya menerima, dan dukungan pemerintah daerah.
2.5. Kelayakan Usaha Itik
Penelitian yang berkaitan dengan usaha ternak itik telah banyak dilakukan. Begitu juga dengan penelitian mengenai kelayakan usahanya. Akan tetapi
penelitian kelayakan usaha yang telah banyak dilakukan tersebut adalah pada usahaternak itik petelur. Hal ini dikarenakan usaha ternak itik yang telah populer
dilakukan masyarakat selama ini adalah usaha ternak itik petelur. Sedangkan usaha ternak itik pedaging bisa dikatakan merupakan tren baru dalam usaha ternak
17 itik. Kondisi demikian mendorong untuk dilakukan analisis mengenai kelayakan
usaha ternak itik pedaging. Untuk usaha ternak itik petelur, berdasarkan beberapa penelitian,
didapatkan gambaran bahwa usaha ternak itik petelur menguntungkan dan layak untuk diusahakan. Kamid 2002 melakukan penelitian mengenai kelayakan usaha
ternak itik petelur pada Kelompok Tani Ternak Itik Branjangan Putih Kecamatan Losari Kabupaten Cirebon. Hasil penelitian menunjukan pada tingkat suku bunga
12 persen per tahun untuk pemeliharaan ternak itik semi intensif pada skala lebih dari 500 ekor menghasilkan NPV sebesar Rp 4.452.386,00; BCR sebesar 1,38;
dan IRR sebesar 30 persen. Dari hasil perhitungan tersebut dapat disimpulkan bahwa usaha itik petelur layak untuk dijalankan.
Budiraharjo 2009 melakukan penelitian mengenai studi potensi ekonomi pengembangan usaha ternak itik petelur di Kabupaten Tegal. Hasil penelitian
menyebutkan bahwa rata-rata peternak itik di Kabupaten Tegal memelihara ternak sebanyak 296 ekor. Dari jumlah itik yang dipelihara tersebut pendapatan rata-rata
perbulan yang diperoleh sebesar Rp 2.567.125,58. Usaha tersebut menguntungkan yang ditunjukkan oleh nilai GPM sebesar 52 persen, ROI sebesar 583 persen dan
nilai rasio laba-biaya sebesar 137 persen. Usaha ini juga termasuk layak dijalankan yang diperlihatkan oleh nilai PP sebesar 0,31 dan BCR sebesar 5,19.
Mulatsih et al. 2010 melakukan penelitian mengenai intensifikasi usaha peternakan itik petelur dalam rangka peningkatan pendapatan rumah tangga
pinggir kota. Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kelayakan usaha ternak itik secara intensif. Analisis keuntungan dilakukan pada
dua kategori yaitu pemeliharaan mulai dari DOD kategori I dan pemeliharaan mulai dari itik dara kategori II. Selama periode usaha 10 tahun dan dengan biaya
investasi sebesar Rp 11.550.000,00 kategori I dan Rp 47.050.000,00 kategori II, NPV yang diperoleh sebesar Rp 19.695.093,00 kategori I dan Rp
179.405.378,00 kategori II. Nilai Net BC pada kategori I sebesar 1,42 dan kategori II sebesar 5,94. Nilai IRR pada periode yang sama kategori I sebesar
34,76 persen dan kategori II sebesar 159 persen. Nilai Payback period pada kategori I selama 2 tahun 7 bulan dan kategori II selama 8 bulan. Secara umum
usaha peternakan itik tersebut layak untuk dilaksanakan dari aspek finansial.
18 Penelitian Mulatsih et al. 2010 tidak meneliti mengenai aspek non finansial dan
analisis nilai pengganti. Hamdan 2010 melakukan penelitian mengenai kelayakan usaha
peternakan itik petelur dengan pemanfaatan keong mas sebagai sumber pakan alternatif, kasus pada KTTI Bebek Jaya Babadan Gunung Jati Cirebon. Hasil
penelitian tersebut menunjukan bahwa usaha ternak itik petelur layak untuk dijalankan baik dari aspek non finansial maupun finansial. Hasil dari aspek pasar
adalah adanya permintaan telur itik segar di daerah tujuan pemasaran yang sangat tinggi sedangkan penawaran telur itik yang masih rendah, sehingga permintaan
pasar akan telur itik secara keseluruhan belum dapat terpenuhi. Hal ini menandakan bahwa pemasaran telur itik segar masih terbuka lebar. Dari aspek
teknis, dapat dinilai bahwa farm integrasi KTTI Bebek Jaya telah memilih lokasi yang tepat karena kondisi iklim dari lokasi sangat cocok untuk budidaya itik
petelur. Sarana prasarana pendukung yang tersedia sangat mendukung kelancaran operasional produksi. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam usaha ini diatur
dengan baik sehingga itik nantinya dapat berproduksi secara optimal. Dilihat dari aspek manajemen, bentuk usaha dari farm ini sangat tepat karena sudah sesuai
dengan peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia dan Kabupaten Cirebon pada khususnya. Susunan organisasi yang sederhana memudahkan tugas,
wewenang, dan tanggung jawab sluruh komponen yang ada. Sistem ketenagakerjaan yang ada dalam farm dinilai cukup memadai dan sangat efektif.
Dari ketiga aspek non finansial di atas dapat disimpulkan bahwa usaha tersebut layak untuk dijalankan.
Hasil analisis aspek finansial berdasarkan kriteria kelayakan investasi menunjukan bahwa usaha tersebut juga layak untuk dijalankan. Hasil analisis
sensitivitas dengan dua variabel parameter yaitu peningkatan harga pakan kecepu dan penurunan harga telur itik, menunjukan bahwa parameter penurunan harga
telur itik lebih sensitif atau lebih peka terhadap perubahan harga. Pada usaha pembibitan, Oktavia 2005 melakukan penelitian mengenai
evaluasi kelayakan usaha pembibitan itik di Desa Kagokan Kecamatan Gatak Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah. Berdasarkan aspek teknis usaha pembibitan
dibagi ke dalam tiga skala.
19 Usaha dibedakan menjadi dua unit usaha yakni unit budidaya dan unit
penetasan. Pada unit budidaya usaha dibedakan ke dalam tiga skala yakni skala I 90 – 130 ekor itik, skala II 150 – 250 ekor itik, dan skala III 300 – 600 ekor
itik. Pada unit penetasan usaha dibedakan menjadi tiga skala yaitu skala I 2-40 mesin tetas, skala II 2-60 mesin tetas, dan skala III 10-60 mesin tetas.
Berdasarkan analisis aspek finansial, total pendapatan peternak yang dihasilkan dari unit budidaya dan unit penetasan pada skala I sebesar Rp 606.337,86, skala II
sebesar Rp 898.891,52; dan skala III sebesar Rp 2.594.628,20 per bulan. Pada unit budidaya, skala I diperloleh besarnya NPV yaitu Rp 1.380.367,84; IRR 39 persen;
Net BC sebesar 1,59 dan Payback Period selama 1,80 tahun. Skala II diperoleh besarnya NPV = Rp 2.533.444,80; IRR = 41 persen; Net BC = 1,62 dan Payback
Period = 1,63 tahun. Skala III diperoleh besarnya NPV = Rp 11.833.764,41; IRR = 76 persen; Net BC = 2,31; Payback Period = 0,88 tahun. Pada unit penetasan,
skala I diperoleh NPV = Rp 4.173.934,86; IRR = 56 persen; Net BC = 2,00, dan payback period = 1,41 tahun. Pada skala II diperoleh besarnya NPV = Rp
5.445.853,56; IRR = 55 persen; Net BC = 1,98; dan Payback Period = 1,44 tahun. Pada skala III diperoleh besarnya NPV = Rp 19.046.897,09; IRR = 93
persen; Net BC = 2,87; Payback Period = 0,96 tahun. Berdasarkan analisis sensitivitas terhadap penurunan harga hasil produksi
dapat disimpulkan pada unit bididaya skala I harga telur tetas apabila mengalami penurunan sebesar 4,97 persen atau sebesar Rp 34,77 per butir masih layak
dijalankan. Begitu juga pada skala II dan skala III , harga telur tetas dapat diturunkan masing-masing sebesar 4,79 persen Rp 33,59 per butir dan 11,44
Rp 80,11 per butir. Pada unit penetasan skala I, II, dan III harga itik bibit betina masing-masing ditirunkan sebesar 3,39 persen Rp 101,91 per ekor; 3,10 persen
Rp 93,09 per ekor; dan 6,57 persen Rp 197,30 per ekor. Apabila penurunan harga melebihi persentase tersebut maka usaha pembibitan yang dijalankan
menjadi tidak layak. Penelitian ini dilakukan pada usaha ternak pembibitan itik dan tidak melakukan penelitian mengenai kelayakan usaha dari aspek non
finansial.
Selain penelitian mengenai kelayakan usaha ternak itik petelur, penelitian mengenai usaha ternak itik pedaging juga perlu dilakukan. Hal ini untuk
20 memberikan informasi mengenai kelayakan usaha baik dari aspek non finansial
maupun aspek finansial serta analisis nilai pengganti usaha pembesaran itik pedaging. Hal ini dikarenakan terdapat perbedaan antara itik petelur dengan itik
pedaging sehingga analisis pada itik petelur tidak bisa dijadikan acuan dalam usaha ternak itik pedaging. Perbedaan yang utama pada komoditas yang
diusahakan yakni meskipun sama-sama mengusahakan ternak itik akan tetapi pada beberapa penelitian mengenai itik petelur seperti yang diuraikan di atas,
objek penelitiannya adalah pada itik petelur sedangkan pada penelitian ini ingin mengetahui kelayakan pada usaha ternak itik pedaging. Selain itu, perbedaan
terdapat pada bentuk usaha dimana penelitian terdahulu pada umumnya melakukan penelitian dengan menggunakan kasus di suatu daerah sedangkan
pada penelitian ini melakukan penelitian kasus pada perusahaan peternakan. Dengan demikian, penelitian mengenai kelayakan usaha ternak itik pedaging
menjadi penting untuk dilakukan. Peternakan Maju Bersama merupakan peternakan yang baru didirikan,
belum mengetahui kelayakan dari usahanya, dan melakukan usaha pembesaran itik. Karakteristik peternakan tersebut mirip dengan karakteristik peternakan pada
penelitian Widodo 2010 dan Oktavianty 2010. Widodo 2010 melakukan penelitian pada Peternakan Agrifarm di Desa Cihideung Udik Kecamatan
Ciampea Kabupaten Bogor Jawa Barat. Peternakan Agrifarm merupakan peternakan yang baru didirikan, belum mengetahui kelayakan usaha, dan
melakukan usaha dalam bidang penggemukan. Penelitian kelayakan usaha pada Agrifarm dapat disimpulkan bahwa usaha tersebut layak untuk dijalankan baik
dari aspek non finansial aspek pasar, teknis, hukum, manajemen, dan sosial- ekonomi-lingkungan maupun aspek finansial. Pada aspek pasar, peluang pasar
masih terbuka karena masih adanya gap yang cukup besar antara permintaan dan penawaran. Berdasarkan aspek teknis, variabel utama faktor pendukung jalannya
usaha pada aspek ini menunjukan adanya keberpihakan yang cukup baik sehingga proses produksi dapat berjalan dengan baik. Berdasarkan aspek manajemen, usaha
penggemukan domba Agrifarm telah melakukan pembagian kerja meski dengan struktur yang sederhana. Berdasarkan aspek sosial, usaha ini cenderung tidak
merusak lingkungan dan justru mampu menyerap tenaga kerja.
21 Hasil analisis terhadap aspek finansial didapatkan besarnya NPV yaitu Rp
31.615.070,00; IRR sebesar 43 persen; Net BC sebesar 2,93; PP selama 3,3 tahun yang lebih kecil dari umur proyek; dan BEP sebesar 532 ekor. Dari aspek
finansial usaha Agrifarm layak untuk dijalankan. Berdasarkan analisis switching value, penurunan volume penjualan ternak lebih berpengaruh dibandingkan
dengan peningkatan biaya operasional. Batas penurunan volume penjualan domba agar usaha ini tetap layak dilaksanakan adalah sebesar 3,695072 persen sedangkan
batas peningkatan biaya operasional adalah sebesar 6,97746 persen. Selain identik dengan penelitian Widodo 2010 penelitian ini juga identik
dengan penelitian Oktavianty 2010. Oktavianty 2010 melakukan penelitian pada Peternakan Tawakal Farm Desa Cimande Hilir Kecamatan Caringin
Kabupaten Bogor Jawa Barat. Terdapat beberapa kesamaan dalam penelitian tersebut. Peternakan Tawakal Farm merupakan peternakan domba yang telah
cukup lama berdiri. Usaha yang selama itu dijalankan merupakan usaha pembesaran domba. Peternakan kemudian mencoba mendirikan unit usaha
pembibitan. Oktavianty 2010 melakukan penelitian pada unit pembibitan domba tersebut.
Unit pembibitan domba Tawakal Farm mempunyai kemiripan dengan Peternakan Maju Bersama dalam hal usaha yang baru didirikan dan belum
diketahui kelayakan usahanya. Berdasarkan hasil penelitian Oktavianty 2010 unit usaha pembibitan Tawakal Farm layak diusahakan baik dari aspek non
finansial maupun finansial. Analisis aspek pasar layak untuk diusahakan jika dilihat dari peluang pasar dan bauran pemasaran. Analisis aspek teknis layak
untuk diusahakan jika dilihat dari lokasi usaha, luas produksi, proses budidaya domba ekor tipis yang telah memperhitungkat risiko produksi kematian dan
peluang kejadian anakan, layout, serta pemilihan teknologi dan perlengakapan yang digunakan. Analisis aspek manajemen layak untuk diusahakan jika dilihat
dari bentuk usaha, struktur organisasi, pembagian kerja, sistem upah, dan promosi. Analisis aspek hukum layak untuk diusahakan jika dilihat dari jenis dan proses
perizinan. Analisis aspek sosial, ekonomi dan budaya layak untuk dijalankan dilihat dari manfaat tidak langsung yang dirasakan masyarakat sekitar seperti
penyerapan tenaga kerja, penerangan listrik, dan kemudahan akses lalu lintas.
22 Selain itu untuk aspek lingkungan layak untuk diusahakan dapat dilihat dari
adanya penanganan dari polusi yang ditimbulkan dari unit usaha pembibitan. Dari aspek finansial dapat diketahui NPV sebesar Rp 222.367.054,39; IRR
sebesar 19,31 persen discount rate bank BRI sebesar 6,5 persen; Net BC sebesar 1,71; dan PP selama 5,94 tahun lebih kecil dari umur proyek selama 10
tahun. Analisis dilanjutkan dengan analisis nilai pengganti dan diperoleh batas kelayakan usaha jika terjadi 1 penurunan harga jual jantan muda sebesar 35,825
persen relatif sensitif; 2 peningkatan harga beli indukan yang sudah dikawinkan sebesar 149,43 persen tidak sensitif; 3 peningkatan harga beli indukan dara
sebesar 2.394 persen tidak sensitif. Sementara itu untuk variabel kunci ke empat yaitu penurunan harga jual betina dara sebesar 100 persen tidak sensitif, tidak
diperoleh limit kelayakan usaha. Analisis BEP ditunjukan untuk mengetahui titik impas ekor unit usaha
pembibitan pada kedua output utama dan diperoleh BEP unit untuk domba jantan muda dan betina dara msing-masing sebanyak 1003 dan 523 ekor. Perhitungan
HPP digunakan untuk mengetahui batas minimal harga jual output utama dan diperoleh HPP untuk jantan muda dan betina dara masing-masing sebesar Rp
508.703,14 per ekor dan Rp 447.731,28 per ekor. Hasil analisis pada Peternakan Maju Bersama ada kemungkinan
menghasilkan kesimpulan usaha yang layak untuk dijalankan mengingat adanya kesamaan karakteristik usaha dengan Agrifam dalam penelitian Widodo 2010
dan Oktavianty 2010. Akan tetapi dibandingkan dengan ke dua penelitian tersebut memiliki perbedaan mengenai komoditas yang diteliti yakni pada
penelitian ini objek yang dikaji mengenai itik pedaging sedangkan pada penelitian Widodo 2010 mengenai kambing dan domba, dan pada Oktavianty 2010
mengenai pembibitan domba ekor tipis. Hal ini yang akan membuat perbedaan hasil penelitian yang berpotensi hasil analisis kelayakan usaha pada Peternakan
Maju Bersama tidak sama dengan Agrifarm dan Tawakal Farm. Melihat kondisi yang demikian menguatkan untuk dilakukannya penelitian mengenai kelayakan
usaha pada Peternakan Maju Bersama. Terdapat beberapa kesamaan dengan penelitian terdahulu dengan topik
kelayakan usaha ternak non itik misalnya kambing dan domba terutama dalam hal
23 topik penelitian yakni kelayakan usaha ternak, mengambil kasus pada perusahaan
peternakan, dan kasus yang terjadi yaitu perusahaan yang diteliti umumnya baru didirikan sehingga belum mengetahui tingkat kelayakan dari usahanya. Adapun
perbedaan yang mendasar dari penelitian terdahulu mengenai kelayakan usaha ternak adalah pada komoditas yang diteliti, dimana pada penelitian ini
menggunakan komoditas ternak itik pedaging yang berupa pembesaran itik pedaging. Sedangkan pada penelitian sebelumnya berupa komoditas non itik.
Selain itu, terdapat perbedaan mengenai kompleksitas permasalahan yang dihadapi perusahaan peternakan misalnya variabel-variabel yang digunakan
dalam analisis switching value. Perkembangan pada penelitian ini yaitu penelitian ini dilakukan pada
perusahaan peternakan pembesaran itik pedaging dengan topik kelayakan usaha yang mencakup analisis non finansial, finansial, dan analisis switching value.
Dilihat dari waktu, tempat penelitian, dan kompleksitas permasalahannya penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian terdahulu.
24
III.
KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis