tahun. Perbedaan produktivitas jeruk keprok SoE lebih disebabkan oleh adanya perbedaan penggunaan input produksi, inefisiensi teknis kemampuan manajerial
petani, faktor lingkungan fisik dan non fisik peraturan dan kebijakan lainnya.
5.7. Penerimaan, Biaya dan Pendapatan Usahatani Jeruk Keprok SoE
Rata-rata jumlah penjualan dari petani jeruk keprok SoE berdasarkan metode penjualan dan kelas mutu tercantum pada Tabel 57.
Tabel 57. Rata-Rata Jumlah Penjualan Petani Jeruk Keprok SoE Berdasarkan Sistem Penjualan dan Kelas Mutu
Metode Penjualan dan Kelas Mutu Jeruk
Keprok SoE Dataran Tinggi
Dataran Rendah Rata-
Rata Rata-
rata Max
Min Rata-
rata Max
Min Kg
Kg Kg
Kg Kg
Kg Total produksi
1
451.32 kg
100.00 1 215.00
123.00 111.27
100.00 410.00
25.00 100.00
Jumah yang dijual kg 441.68
97.87 1 200.00
115.00 104.57
93.98 385.32
20.00 95.92
Jual di muka per
pohon
2
49.88 dan per kgkg
11.29 250.00
20.00 12.20
11.67 150.00
5.00 11.48
Saat panen
Per pohon dan per kebun
2
130.37 kg
29.52 800.00
25.00 30.90
29.55 250.00
6.00 29.53
Per kg total kelas
3
261.43 kg:
59.19 1 155.30
115.00 61.47
58.78 283.50
9.26 58.99
Kelas Super kg 7.67
1.74 43.50
20.00 2.62
2.50 16.50
2.00 2.12
Kelas I kg 46.47
10.52 232.00
20.00 11.17
10.68 52.50
2.00 10.60
Kelas II kg 169.00
38.26 742.50
30.00 39.88
38.14 173.50
2.26 38.20
Kelas III kg 38.30
8.67 137.30
45.00 7.80
7.46 41.00
3.00 8.07
Jumlah untuk konsumsi dan hal-hal
lainnya kg 9.63
2.13 30.00
2.00 6.70
6.41 23.00
1.00 4.27
Sumber: Data Primer, 2010 diolah; Lampiran 6, 7 dan 8. Keterangan:
1
: Rata-rata produksi jeruk keprok petani per luas lahan garapan usahatani jeruk kerpok SoE
2
: Dikonversi ke kg oleh petani pada saat panen. Misalnya, satu karung plastik putih biasanya berisi 40 kg jeruk keprok SoE
3
Di zona dataran tinggi, dari rata-rata produksi sebesar 451.32 kg per petani contoh, jumlah yang dijual adalah sebesar 97.87 441.68 kg dan sisanya
: Total penjualan dari keempat kelas mutu jeruk tersebut
2.13 untuk konsumsi dan kepentingan sosial lainnya. Rata-rata jumlah penjualan di zona dataran rendah adalah 104. 57 kg atau sebesar 93.98 dari rata-
rata produksi per petani pada tahun 2010. Rata-rata penjualan adalah sebesar 97.1 dari jumlah produksi atau sebesar 273.13 kg ditujukan ke pasar. Dengan
demikian dikatakan bahwa usahatani jeruk keprok SoE sudah berorientasi pasar. Dari segi metode penjualan, secara rata-rata, maka sebagian besar
59.1 petani menjual JKS mereka dengan sistem per kg pada saat panen dan sisanya sebanyak 29.5 menjual dengan metode per pohon saat panen serta
11.4 menjual dengan sistem ijon per pohon dan per kg. Bila dibandingkan antar zona, maka jumlah penjualan per kg pada saat panen merupakan hal yang
penting bagi para petani di kedua daerah penelitian ini. Demikian pula halnya dengan sistem penjualan borongan per pohon, di mana jumlah penjualan jeruk
petani tidak terlalu berbeda antar kedua zona penelitian. Persentase jumlah penjualan jeruk petani di dataran tinggi dengan sistem ijon sedikit lebih rendah
11.29 bila dibandingkan dengan zona dataran rendah 11.67. Berdasarkan kelas mutu, maka secara rata-rata jumlah penjualan jeruk
keprok SoE yang paling banyak adalah jeruk kelas II sebesar 38.2, diikuti kelas I 10.6 dan kelas III 8.4. Sedangkan JKS dengan mutu terbaik kelas super
hanya sebesar 1.9. Hal yang sama juga terjadi pada zona dataran tinggi di mana jumlah penjualan dengan kelas mutu II merupakan hal yang dominan dilakukan
petani contoh di daerah penelitian. Jumlah penjualan jeruk keprok SoE dengan kelas mutu II di daerah dataran rendah lebih banyak 39.9 bila dibandingkan
dengan daerah dataran tinggi yang hanya berjumlah 38.3 dari total penjualan per kg pada saat panen di masing-masing zona tersebut.
Berdasarkan data harga dari berbagai metode penjualan dan kelas mutu seperti yang tercantum pada Tabel 53 di atas, maka penerimaan petani jeruk dapat
dihitung. Yang dimaksudkan dengan penerimaan di sini adalah jumlah produksi yang dijual dikalikan dengan harganya, diukur dalam Rp per kg. Penerimaan
berdasarkan sistem penjualan dan kelas mutu yang dilakukan oleh petani responden di daerah-daerah penelitian adalah seperti yang tercantum pada Tabel
58. Tabel 58. Rata-Rata Penerimaan Petani Berdasarkan Sistem Penjualan dan Kelas
Mutu Jeruk Keprok SoE
Dataran Tinggi Dataran Rendah
Rata- Rata
Sistem Penjualan dan
Kelas Mutu Rata-
rata
1
Max Min
Rata- rata
Max Min
Penerimaan total Rata-rata
2
3 875 251 Rp
100.0 2 4027 550 1 165 000
878 002 100.0
6 455 250 118 803
100.0 Penerimaan
RpHa 4 185 271
25 949 754 1 258 200 1369 683
10 070 190 185 332
0.0
Jual di muka
per pohon dan per kg Rp
212 004 5.5
1 125 000 80 000
51 850 5.9
675 000 20 000
5.7
Saat panen :
Per pohon dan per kebun Rp
697 542 18.0
4 400 000 125 000
154 500 17.6
1 250 000 30 000
17.8 Total per kg
3
2 965 705 Rp:
76.5 1 850 2550 960 000
671 652 76.5
4 530 250 68 803
76.5 Kelas Super
Rp 122 800
3.2 891 750
250 000 38 323
4.4 338 250
19 000 3.8
Kelas I Rp 621 149
16.0 4 083 200
200 000 139 258
15.9 924 000
16 000 15.9
Kelas II Rp 1 896 206
48.9 11 880 000 240 000
428 746 48.8
2 776 000 15 803
48.9 Kelas III Rp
325 550 8.4
1 647 600 270 000
65 325 7.4
492 000 18 000
7.9
Sumber: Data Primer, 2010 diolah. Keterangan:
1
: Hasil perkalian data yang tercantum pada Tabel 53 harga JKS dengan Tabel 57 jumlah penjualan JKS berdasarkan metode
penjualan dan kelas mutu
2
: Penerimaan petani berdasarkan rata-rata luas lahan garapan usahatani jeruk kerpok SoE
3
: Total penerimaan dari keempat kelas mutu jeruk tersebut
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata penerimaan petani dari usahatani jeruknya, secara rata-rata berjumlah Rp 3 422 342 per hektar. Bila
dibandingkan antar zona, maka penerimaan petani pada daerah dataran tinggi lebih besar Rp 4 185 271.4 per hektar bila dibandingkan dengan daerah dataran
rendah yang hanya sebesar Rp 1 369 683 per hektar per petani contoh, pada tahun 2010. Usahatani JKS tidak cocok untuk daerah dataran rendah yang ekstrim
kering. Rendahnya penerimaan per hektar dari usahatani petani jeruk keprok SoE mengindikasikan rendahnya tingkat pengelolaan usahatani tersebut, terutama
dalam hal penggunaan faktor-faktor produksinya dan pengaruh lingkungan fisik tingkat kekeritisan lahan dan iklim kering yang ekstrim serta faktor non fisik
lainnya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa penerimaan terbesar
diperoleh dari sistem penjualan per kg pada saat panen Rp 1 792 107.4 per petani atau sebesar 75 dari rata-rata penerimaan dan yang paling rendah
diperoleh dari sistem penjualan di muka per pohon dan per kg yakni hanya sebesar Rp. 131 927 per petani atau 5,6 dari rata-rata penerimaan petani JKS di
daerah-daerah penelitian selama musim panen tahun 2009-2010. Dari segi persentase penerimaan terhadap jumlah penerimaan di masing-masing zona, maka
tidak ada perbedaan persentase penerimaan antar metode penjualan antar zona daerah penelitian ini.
Tabel 58 juga menunjukkan bahwa besarnya penerimaan petani dengan metode penjualan per pohon dan per kebun pada saat panen adalah sebesar Rp 416
606 per petani atau sebesar 18 dari rata-rata penerimaan per petani 18 untuk dataran tinggi dan 17.6 untuk dataran rendah. Kontribusi penerimaan terbesar
dengan sistem per kg berasal dari penjualan jeruk kelas II yakni sebesar 48.8, diikuti kelas I sebesar 16 dan kelas III sebesar 8. Perbedaan ini lebih
disebabkan adanya perbedaan harga dan jumlah penjualan per petani contoh. Analisis pendapatan dilakukan untuk melihat seberapa besar biaya dan
keuntungan dari agribisnis JKS yang sudah dijalankan oleh petani selama ini. Pendapatan usahatani dihitung dari selisah antara penerimaan dan biaya usahatani
jeruk keprok SoE per hektar. Dalam perhitungan biaya usahatani, hanya dua input produksi yakni kompos dan tenaga kerja keluarga yang diperhitungkan karena
ketersediaan datanya. Selain itu, hanya kedua input tersebut yang dimanfaatkan oleh petani. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, para petani responden tidak
menggunakan pupuk dan obat-obatan anorganik di dalam pengusahaan tanaman jeruk mereka. Usahatani JKS adalah usahatani organik, tidak menggunakan zat-
zat kimia buatan di dalam proses produksi maupun pascapanen dan pemasarannya.
Kompos dan tenaga keluarga yang dihitung sebagai komponen biaya usahatani adalah yang digunakan petani untuk tanaman produktif selama musim
produksi tahun 2009-2010. Dengan demikian, biaya pembelian bibit, tenaga kerja keluarga untuk persiapan lahan dan penanaman tidak diperhitungkan. Sedangkan
tenaga kerja untuk pemeliharaan tanaman produktif, panen, pascapanen dan pemasaran diperhitungkan sebagai komponen biaya di dalam perhitungan
pendapatan petani ini. Rata-rata jumlah input yang digunakan oleh petani secara rata-rata pada kedua zona adalah kompos 5.59 kg dan tenaga kerja keluarga 18.19
HOK pemeliharaan 11.16; panen 3.18; pascapanen 1.63 dan pemasaran 2.23 HOK. Petani di daerah dataran tinggi menggunakan input yang lebih besar
dibandingkan dengan yang di daerah dataran rendah. Namun, penggunaan input pada daerah penelitian semuanya masih berada di bawah standar operasional
prosedur SOP jeruk keprok SoE yang sudah diterbitkan sejak tahun 2006 dan direvisi tahun 2010 Dinas Pertanian, 2010b dan 2010c.
Rata-rata biaya usahatani JKS di daerah penelitian adalah seperti tercantum pada Tabel 59. Dari tabel diketahui bahwa secara rata-rata biaya
usahatani produksi jeruk keprok SoE adalah sebesar Rp 399 738 per ha per petani dengan rentangan maksimum Rp. 2 803 680 dan minimum Rp 112 320
per ha per petani. Sedangkan biaya per unit produksi JKS adalah Rp 1 935.4 per kilogram
produksi jeruk keprok SoE. Komponen biaya input terbesar terdapat pada biaya penggunaan tenaga kerja yakni sebesar 99 dari biaya total.
Tabel 59. Biaya Usahatani Jeruk Keprok SoE di Daerah Penelitian Per Hektar
Input Produksi
Biaya RpHa
Rata- Rata
RpHa
Dataran Tinggi Dataran Rendah
Rata-rata Max
Min Rata-
rata Max
Min Kompos
7 668 64 800
2 160 2 496
30 810 5082
Tenaga Kerja 481 680
2 738 880 179 280
307 632 1 154 400
112 320 394 656
Total 489 348
2 803 680 181 440
310 128 1 185210
112 320 399 738
Biaya per unit Produksi
RpKg 1 084.3
2 786.4 1935.4
Persentase terhadap
biaya total Kompos
Tenaga Kerja Kompos
Tenaga Kerja 1.6
98.4 0.8
99.2
Sumber: Data Primer, 2010 diolah. Bila diperhatikan penggunaan input usahatani JKS pada masing-masing
lokasi sampel, maka dataran tinggi merupakan zona dengan penggunaan input produksi tertingi rata-rata biaya Rp 489 348 per ha dibandingkan zona dataran
rendah dengan rata-rata biaya produksi sebesar Rp 310 128 per ha. Namun
komposisi biaya per unit produksi jeruk di daerah dataran rendah sangat besar yakni Rp 2 786.4 per kg. Komponen tenaga kerja untuk kedua zona masih
menempati persentase terbesar dibandingkan dengan penggunaan input lainnya. Tabel 60 menunjukkan besarnya penerimaan, biaya dan pendapatan
petani JKS per hektar selama musim produksi tahun 2009-2010. Pendapatan yang dimaksudkan di sini adalah besarnya penerimaan dikurangi besarnya biaya
usahatani jeruk keprok SoE per hektar per petani responden di daerah penelitian. Tingkat pendapatan rata-rata yang diperoleh petani secara keseluruhan sampel
adalah sebesar Rp 2 377 739.0 dengan rentangan maksimum Rp 23 146 074 dan minimum Rp 73 011.9 per ha per petani.
Tabel 60. Penerimaan, Biaya dan Pendapatan Usahatani Jeruk Keprok SoE di Daerah Penelitian
Penerimaan, Biaya Pendapatan
Dataran Tinggi RpHa Dataran Rendah RpHa
Rata-Rata RpHa
Rata-rata Max
Min Rata-rata
Max Min
Penerimaan 4 185 271.4
25 949 754.0 1 258 200
1 369 682.7 10 070 190.0
185 331.9 2 777 477.03
Biaya 489 348.0
2 803 680.0 181 440
310 128.0 1 185 210.0
112 320.0 399 738.00
Pendapatan 3 695 923.4
23 146 074.0 1 076 760
1 059 554.7 8 884 980.0
73 011.9 2 377 739.03
Persentase biayapendapatan
1
13.2 29.8