Analisis Pengaruh Financing To Deposit Ratio (Fdr), Nilai Tukar Rupiah (Kurs), Inflasi, Dan Bi Rateterhadap Non Performing Financing (Npf) Sektor Ukm Pada Perbankan Syariah Di Indonesia (Periode Tahun 2012-2015)

(1)

ANALISIS PENGARUH FINANCING TO DEPOSIT RATIO (FDR), NILAI TUKAR RUPIAH (KURS), INFLASI, DAN BI RATE TERHADAP NON PERFORMING FINANCING (NPF) SEKTOR UKM PADA PERBANKAN

SYARIAH DI INDONESIA (Periode Tahun 2012-2015)

Oleh :

Henry Fajarianto

NIM :109081000157

JURUSAN MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

v DAFTAR RIWAYAT HIDUP

(Curriculum Vitae)

Data Pribadi

Nama Lengkap : Henry Fajarianto

Tempat & Tanggal Lahir : Jakarta, 1 November 1991

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Islam

Alamat :

Telepon : 087885044520

Email : henryfajarianto@gmail.com

Pendidikan Formal

1997-2003 : SD Swasta Pelita

2003-2006 : SMP Negeri 41 Jakarta

2006-2009 : SMA Negeri 55 Jakarta

2009-2016 :

Pengalaman Organisasi

1. Anggota Kuliah Kerja Nyata Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Anggota Basket Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Anggota Basket SMAN 55 Jakarta

4. Anggota Basket SMAN 41 Jakarta

5. Anggota Pramuka SD Swasta Pelita Jakarta Keahlian

Komputer : Microsoft Office, Adobe, Internet

Bahasa : Inggris

Jl. Musyawarah No.25 RT.02 RW.01 Kelurahan Ragunan. Kecamatan Pasar Minggu. Jakarta Selatan. 12550

Program Sarjana (S-1) Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta


(7)

vi ABSTRACT

This study aimed to analyze the influence of variables FDR (Financing to Deposit Ratio), exchange rate (exchange rate), inflation, and the BI Rate to financing problems (NPF) SME sector in Islamic banking in Indonesia. By using time series data for each month of the year January 2012 to December 2015. The analysis method used in this research is multiple linear regression with SPSS version 23 software applications and Microsoft Office Excel 2010 with statistical science approach to financing problems of SME sector in Islamic banking the period 2012 to 2015.

The results showed that the variables FDR, exchange rates, inflation and the central bank jointly Rates significant effect on the financing problems in the SME sector. Partially exchange rates had no significant effect, while FDR, inflation, and Bi Rate significant negative effect on financing problems of SME sector in Islamic banking in Indonesia.


(8)

vii ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh dari variabel FDR (Financing to Deposit Ratio), nilai tukar rupiah (kurs), inflasi, dan BI Rate terhadap pembiayaan bermasalah (NPF) sektor UKM di perbankan syariah di Indonesia. Dengan mengunakan data time series pada setiap bulannya dari tahun Januari 2012 sampai Desember 2015. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu regresi linier berganda dengan aplikasi software SPSS versi 23 dan Microsoft Office Excel 2010 dengan pendekatan ilmu statistik terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM pada perbankan syariah periode 2012 sampai dengan 2015.

Hasil penelitian menunjukan bahwa variabel FDR, kurs, inflasi dan BI Rates secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap pembiayaan bermasalah di sektor UKM. Secara parsial kurs tidak berpengaruh signifikan, sedangkan FDR, inflasi, dan Bi Rate berpengaruh negatif signifikan terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM pada perbankan syariah di Indonesia.


(9)

viii KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah banyak memberikan anugerah dan nikmatnya pada diri ini sehingga dalam menjalani aktivitas dapat berjalan sesuai apa yang diharapkan dan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Dan dengan kekuatan doa dan ijin dari Allah SWT, akhirnya skripsi ini diberi kemudahan dan kelancaran dalam menyusunnya. Tak lupa Shalawat dan Salam selalu tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad Saw berserta keluarga dan seluruh pengikutnya sepanjang masa.

Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ilmu Ekonomi dan Bisnis di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari sepenuhnya penyusunan skripsi ini bukan merupakan satu hasil dari usaha beberapa orang, karena manusia adalah makhluk sosial dimana keberhasilan manusia tidak pernah lepas dari bantuan orang lain. Oleh karena itu dengan ketulusan dan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada yang telah memberikan masukan yang berarti dalam proses penelitian, penyusunan, dan penyelesaian skripsi ini. Untuk itu ucapan terima kasih yang tidak terhingga penulis ucapkan kepada: 1. Teristimewa untuk kedua orang tua saya, Mommy Damayanti dan almarhum Papi

Steve Rompies, yang selalu mengawasi, mendukung, menjaga, menasehati, menemani, menyayangi, merawat dan mendidik saya dengan penuh kasih sayang tanpa kenal lelah dari saya lahir sampai sekarang ini, setiap hari doa-doanya selalu


(10)

ix mengiri langkah saya untuk meraih cita-cita yang saya impikan terimakasih Mommy Papiku tersayang .

2. Kakak-kakaku yang tersayang, Mbok Indri Putrianti dan BigBro Bayu Adrianto, almarhum eyang kakung, eyang uti, Caci, om Kris, mba Uwi, mas Guguh, mas Aries, mba Ning, mas Toing, Rina, dan saudara-saudaraku tersayang lainnya yang selalu memberi semangat, dukungan, doa, dan yang selalu menghibur, menyemangati, menasehati, menjaga, mendukung, dan membantu saya selama ini. 3. Bapak Dr. M. Arif Mufraini, Lc., MA selaku dekan fakultas ekonomi dan bisnis, Bapak Dr. Amilin, SE.Ak., M.Si selaku wakil dekan I fakultas Ekonomi dan Bisnis, Bapak Dr. Ade Sofyan Mulazid, MH selaku wakil Dekan II fakultas ekonomi dan bisnis, dan bapak Dr. Desmadi Saharuddin, Lc., MA selaku wakil dekan III fakultas ekonomi dan bisnis, yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Pak Prof. Dr. Ahmad Rodoni selaku pembimbing I sebelumnya, saya akan ingat terus perkataan bapak ketika sedang bimbingan skripsi selama ini. Mudah-mudahan saya dapat mengamalkan sehingga ilmu tersebut dapat bermanfaat selama hidup saya.

5. Bapak Adhitya Ginanjar, selaku pembimbing II dulu dan sebagai pembimbing I saya sekarang yang telah memberikan bimbingan, arahan, perhatian, pengarahan, motivasi, ilmu, serta saran dengan meluangkan waktu dan pikirannya untuk mengarahkan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

6. Ibu Titi Warninda SE, M.Si selaku ketua jurusan manajemen, dan ibu Ir Ela Patriana, MM selaku sekretaris jurusan manajemen, dan yang selalu menyemangati dan membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.


(11)

x 7. Seluruh Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang telah memberikan waktu dan ilmunya yang bermanfaat bagi saya. Dan juga seluruh staff dan karyawan UIN terutama jurusan ekonomi dan bisnis yang telah memberikan pelayanan yang terbaik bagi setiap mahasiswa.

8. Terimakasih untuk teman – teman manajemen D yang telah memberikan semangat, dukungan, bantuan, keceriaan, dan rasa persaudaraan yang indah, banyak kenangan-kenangan bersama kalian yang tidak bisa saya lupakan.

9. Sahabat- sahabat seperjuangan saya sesama jurusan perbankan yang tidak dapat satu persatu saya sebutkan namanya, namun tidak mengurangi rasa sayang dan terima kasih saya.

10. Seluruh keluarga besar angkatan 2009, kenangan selama ini tidak akan terlupakan oleh saya. Baik didalam kelas, saling bertukar pikiran dan saling mengeluarkan pendapat suka maupun duka telah kita rasakan bersama dalam selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta jurusan Ekonomi dan Bisnis. Penulis memohon maaf sebesar-besarnya atas kesalahan penulis selama ini dan mengucapkan terimakasih banyak kepada seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan oleh penulis.


(12)

xi DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ... i

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN KOMPREHENSIF ... ii

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH ... iv

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v

ABSTRACT ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... . xi

DAFTAR TABEL ... . xiv

DAFTAR GAMBAR ... . xv

DAFTAR LAMPIRAN ... . xvi

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 14

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 16

1. Tujuan Penelitian ... 16

2. Manfaat Penelitian ... 17

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. UKM... 18

1. Pengertian UKM... 18

2. Kriteria UKM... 19

3. Karateristik UKM... 20

B. Bank Syariah... 22

1. Pengertian Bank Syariah ... 22

2. Jenis-jenis Risiko Bank Syariah... 23

C. Manajemen Risiko Pembiayaan... 27

1. Konsep dan Definisi... 27


(13)

xii

3. Tujuan Manajemen Risiko Pembiayaan ... 29

4. Kerangka Kerja Manajemen Risiko Pembiayaan... 31

5. Fungsi Manajemen Risiko... 32

D. Pembiayaan Bermasalah... 32

1. Konsep Pembiayaan Bermasalah ... 32

2. Penyebab Pembiayaan Bermasalah... 34

3. Dampak Pembiayaan Bermasalah ... 35

E. Financing to Deposit Ratio ... 35

1. Definisi FDR... 35

2. Penilaian Tingkat FDR... 35

3. Hubungan antara FDR terhadap NPF Perbankan Syariah... 38

F. Nilai Tukar (Kurs)... 39

1. Definisi... 39

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kurs... 40

3. Hubungan Kurs dengan NPF Perbankan Syariah... 42

G. Inflasi... 43

1. Pengertian Inflasi... 43

2. Jenis-jenis Inflasi... 44

3. Efek Buruk Inflasi... 45

4. Hubungan Inflasi dengan NPF... 46

H. Tingkat Suku Bunga... 47

1. Konsep Tingkat Suku Bunga ... 47

2. Faktor yang Mempengaruhi Kurs ... 48

3. Hubungan BI Rate Terhadap Pembiayaan Bermasalah... 51

I. Penelitian Terdahulu ... 52

J. Kerangka Pemikiran ... 54


(14)

xiii BAB III. METODELOGI PENELITIAN

A. Ruang Lingkup Penelitian ... 62

B. Metode Penentuan Sampel ... 62

C. Metode Pengumpulan Data ... 63

1. Data Sekunder ... 63

2. Metode Studi Pustaka ... 63

3. Internet ... 63

D. Metode Analisis Data ... 64

E. Pengujian Hipotesis ... 69

1. Uji Hipotesis Secara Simultan (Uji F) ... 70

2. Uji Hipotesis Secara Parsial (Uji t) ... 71

3. Koefisien Determinasi ... 72

F. Definisi Operasional Variabel ... 72

BAB IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian ... 74

1. Sejarah dan Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia... 74

B. Analisis dan Pembahasan ... 78

1. Analisis Deskriptif ... 78

2. Analisis Pengujian Statistik ... 94

3. Pengujian Hipotesis ... 100

C. Intepretasi ... 105

BAB V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI A. Kesimpulan ... 109

B. Implikasi ... 110

DAFTAR PUSTAKA ... 113


(15)

xiv DAFTAR TABEL

No Keterangan Halaman

1.1 Data Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia... 3

1.2 Posisi Aset dan Dana Pihak Ketiga Perbankan Syariah di Indonesia Periode 2012-2015 (dalam miliar rupiah) ... 4

1.3 Pembiayaan Perbankan Syariah berdasarkan Golongan Pembiayaan... 9

1.4 Pembiayaan Bermasalah Perbankan Syariah berdasarkan Golongan Pembiayaan ... 11

1.5 Perkembangan variabel-variabel yang mempengaruhi Non Performing Financing... 14

1.6 Tingkat Loan to Deposit Ratio... 37

2.1 Penelitian Terdahulu ... 52

4.1 Perkembangan Financing to Deposit Ratio Periode 2012-2015... 79

4.2 Perkembangan Tingkat Kurs Indonesia Periode 2012-2015... 80

4.3 Perkembangan Tingkat Inflasi di Indonesia Periode 2012-2015... 83

4.4 Perkembangan BI Rate Periode 2012-2015... 86

4.5 Non Performing Financing (NPF) sektor UKM Perbankan Syariah Indonesia Periode 2012-2015... 90

4.6 Uji Kolmogorov-Smirnov ... 94

4.7 Uji Multikolineritas... 95

4.8 Uji Durbin-Watson ... 96

4.9 Uji Park ... 99

4.10 Uji F ... 101

4.11 Uji t ... 102


(16)

xv DAFTAR GAMBAR

No Keterangan Halaman

1.1 Tren Perkembangan FDR Perbankan Syariah ... 6

2.1 Kerangka Pemikiran ... 58

4.6 Histogram ... 92

4.7 Grafik p plot ... 93


(17)

xvi DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Data-data variabel penelitian dari tahun 2012-2015 ... 121

Lampiran 2 Tabel Model Regresi, Anova, dan Koefisien ... 123

Lampiran 3 Uji Normalitas ... 124

Lampiran 4 Uji Multikolinieritas dan Autokorelasi ... 126


(18)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bencana yang menimpa Indonesia tahun 1998, telah menghancurkan kehidupan perekonomian di Indonesia. Tidak terkecuali negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang tidak luput dari krisis ekonomi dan moneter. Namun negara Indonesia yang paling lama melaksanakan proses pemulihan ekonomi. Hal ini antara lain disebabkan oleh parahnya tingkat Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), sehingga perbaikan ekonomi memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Krisis ekonomi juga menyebabkan terjadinya krisis-krisis lain yang bersifat multi dimensional, berupa krisis yang mengarah pada krisis kepercayaan dan krisis moral. Perbankan juga tidak luput dari krisis, yakni ditandai dengan banyaknya bank-bank yang dilikuidasi, dibekukan, ataupun digabung dengan bank-bank lain (merger). Hal ini lebih disebabkan oleh adanya praktik perbankan yang sangat kurang menerapkan prinsip kehati-hatian bank (prudential banking principle) dalam mengelola kegiatan usaha, khususnya dalam hal penyaluran dana kepada masyarakat dalam bentuk kredit. Lemahnya analis kredit pada perbankan ikut andil dalam menyebabkan terjadinya krisis dimaksud.

Memburuknya situasi perekonomian Indonesia akibat kebijakan suku bunga tinggi dan depresiasi nilai tukar mata uang rupiah ternyata justru membawa akibat yang sangat buruk pada dunia perbankan (Riawan, 2003) dan salah satu permasalahan utama yang dialami ialah NPL (Non Performing Loan). Masalah ini muncul sebagai akibat terjadinya kontraksi output disatu pihak dan meningkatnya beban utang perusahaan karena meningkatnya suku bunga di lain pihak. Dengan


(19)

2 demikian, maka kemampuan perusahaan membayar kredit menjadi berkurang. Konsekuensinya, bank menanggung jumlah NPL yang lebih besar.

Dan pembiayaan atau kredit bermasalah adalah masalah utama yang paling dihindari oleh semua bank. Akan tetapi bank tidak bisa terlepas dari kredit macet yang selalu terjadi. Menurut Rose (2002:326) risiko kredit berupa pembiayaan bermasalah berbahaya bagi eksistensi suatu bank dalam menepati kewajibannya, mengurangi profitabilitas dan membahayakan kelangsungan hidupnya. Kredit macet merupakan risiko bisnis yang mau tidak mau harus ditanggung oleh perusahaan yang bergerak dalam bidang perkreditan atau pembiayaan. Hal inilah yang juga melanda sektor perbankan syariah di Indonesia sejak pertama kali kemunculannya.

Perbankan syariah di Indonesia mengalami peningkatan dan terus-menerus mengalami perkembangan sejak diberlakukannya Undang-Undang tentang perbankan Nomor 10 Tahun 1998 yakni bank konvesional yang mendasarkan pada prinsip bunga dan bank berdasarkan prinsip syariah atau yang kemudian lazim dikenal dengan bank syariah (dual banking system). Di dalam undang-undang tersebut telah diatur secara rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah.

Masyarakat dan pihak penyelenggara kegiatan bank memberikan respon yang positif yang membuat berbagai bank baik BUMN maupun swasta sering mmengadakan kegiatan jasa perbankan dengan sistem syariah. Disertai dari pihak masyarakat yang menunjukan minat yang besar terhadap bank syariah karena suatu implikasi dari bukti nyata ketahanan perbankan syariah terhadap dampak langsung krisis keuangan global sudah terbukti. Unsur spekulatif yang tidak ada


(20)

3 pada produk-produknya, dan bank syariah juga belum terlalu masuk dalam pasar keuangan global yang menyebabkan tidak terlalu menerima dampak langsung dari krisis global merupakan sumber dari minat masyarakat terhadap bank syariah. Bertambahnya jumlah bank syariah, unit usaha syariah, dan bank umum syariah menjadi suatu indikasi dari perkembangan bank syariah di Indonesia. Perkembangan dari perbankan syariah dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 1.1.

Data Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia

Jenis Bank 2012 2013 2014 2015

Bank Umum Syariah 11 11 12 12

Unit Usaha Syariah 24 23 22 22

BPRS 158 163 163 163

Sumber: Laporan Statistik Perbankan Syariah 2015

Tabel di atas menjelaskan dari tahun 2012 hingga Desember 2015 jumlah bank umum syariah adalah 12 bank, bank konvensional yang memiliki unit usaha syariah sebanyak 22 bank. Dan jumlah BPRS juga mengalami sedikit penurunan dari tahun sebelumnya menjadi 163 bank di Desember 2015.

Ditambah dengan meningkatnya minat dari masyarakat terhadap perbankan syariah membuat semakin besar dana yang terkumpul dari pihak ketiga. Dari data Bank Indonesia perbankan syariah di Indonesia mempunyai dana pihak ketiga sebesar Rp 4.801.888.000.000. World Bank (2012) mengungkapkan bahwa 30 persen nasabah bank syariah lebih mementingkan faktor Islami guna mengatur keuangannya dan sektor UKM juga lebih banyak memilih perbankan syariah dalam kegiatan bisnisnya dikarenakan kebijakan dan administrasi daripada manajemen dari regulator pemerintah yang selalu mendukung UKM. Ghozali (2012:48) juga mengungkapkan penyebab utama masyarakat memilih bank syariah dikarenakan pelayanan yang diberikan dan kepercayaan terhadap bank syariah, dan menurut


(21)

4 Antonio (2012:7) pesatnya pertumbuhan perbankan syariah disebabkan karena kesesuaian dengan ajaran mayoritas penduduk Indonesia. Berikut ini merupakan tabel perkembangan aset dan dana pihak ketiga perbankan syariah di Indonesia.

Tabel 1.2.

Posisi Aset dan Dana Pihak Ketiga Perbankan Syariah di Indonesia Periode Tahun 2012-2015 (dalam miliar rupiah)

Indikator 2012 2013 2014 2015

Aset 195.018 242.276 272.343 272.389

DPK 147.512 183.534 217.858 215.339

Sumber: Statistik Perbankan Syariah Bank Indonesia 2015

Tabel di atas menggambarkan, total aset dan dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun oleh perbankan syariah di Indonesia terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, seperti periode 2012 hingga 2013 posisi aset mengalami peningkatan sebesar 24,23% dan 24,41% di segi dana pihak ketiga , meskipun pada tahun 2014 hingga Juni 2015 dari segi aset tidak terlalu mengalami kenaikan dan terjadi sedikit penurunan di segi dana pihak ketiga yang terhimpun sebesar 1%, dana pihak ketiga yang terkumpul harus segera disalurkan dananya guna memperoleh kesempatan mendapat keuntungan untuk perbankan syariah melalui prinsip bagi hasil maupun jual beli. Agar bank tidak terkena biaya dana yang besar dikarenakan uang yang mengendap dari dana pihak ketiga. Hal tersebut menyebabkan bank-bank syariah di Indonesia menyalurkan dana pihak ketiga yang terkumpul melalui produk-produk pembiayaan yang mereka tawarkan kepada para nasabahnya.

Perbankan syariah memiliki fungsi menyalurkan dana kepada nasabahnya (intermediasi) yang berjalan dengan sangat baik. Hal ini dapat dilihat oleh tingginya presentase Loan to Deposite Ratio (LDR) atau dalam terminologi perbankan syariah disebut Financing to Deposite Ratio (FDR). Pada tahun 2012,


(22)

5 rasio FDR perbankan syariah di Indonesia mencapai 100%. Di tahun 2013 berhasil mencapai 100,32%, dan mengalami kenaikan di tahun 2014 yang mencapai 91,5%, di akhir Desember 2015 FDR perbankan syariah mengalami sedikit penurunan ke 88,03%

Gambar 1.1.

Tingkat Perkembangan FDR Perbankan Syariah di Indonesia

Sumber: Statistik Perbankan Syariah Bank Indonesia, data diolah dengan excel

Perbankan syariah mengeluarkan pembiayaan kepada sektor-sektor bisnis di Indonesia yang salah satunya adalah sektor UKM. UKM merupakan salah satu pemimpin penggerakan ekonomi riil dengan berbasis pada ekonomi kerakyataan. Usaha kecil dan menengah (UKM) merupakan salah satu bagian penting dalam membangun perekonomian suatu negara ataupun daerah, termasuk di Indonesia. Kredit atau pembiayaan UKM adalah pembiayaan kepada debitur usaha mikro, kecil dan menengah yang memenuhi definisi dan kriteria usaha mikro, kecil dan menengah sebagaimana diatur dalam UU No. 20 Tahun 2008 Tentang UKM. Berdasarkan UU tersebut, UKM adalah usaha produktif yang memenuhi kriteria usaha dengan batasan tertentu kekayaan bersih dan hasil penjualan tahunan. 70.00%

75.00% 80.00% 85.00% 90.00% 95.00% 100.00% 105.00% 110.00%

2012 2013 2014 2015

100% 100,32%

91,5%


(23)

6 Perkembangan potensi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia tidak terlepas dari dukungan perbankan dalam penyaluran kredit atau pembiayaan kepada UKM. Setiap tahun pembiayaan kepada UKM mengalami pertumbuhan dan secara umum pertumbuhannya lebih tinggi dibanding total pembiayaan perbankan.

Usaha mikro kecil menengah menjadi salah satu prioritas dalam agenda pembangunan di Indonesia hal ini terbukti dari bertahannya sektor UKM saat terjadi krisis hebat tahun 1998 dan tahun 2008 silam, bila dibandingkan dengan sektor lain yang lebih besar justru tidak mampu bertahan dengan adanya krisis. Kuncoro (2008:75) mengemukakan bahwa UKM terbukti tahan terhadap krisis dan mampu survive karena, pertama, tidak memiliki utang luar negeri. Kedua, tidak banyak utang ke perbankan karena mereka dianggap unbankable. Ketiga, menggunakan input lokal. Keempat, berorientasi ekspor.

Di sinilah peran besar perbankan syariah dalam menjalankan fungsi intermediasi sesungguhnya yang menyentuh sektor ekonomi akar rumput. Dilihat dari berbagai skema pembiayaan yang dikembangkan, bank syariah hanya menyalurkan pembiayaan pada sektor riil. Pembiayaan melalui akad murabah, salam, dan ijarah hanya dapat disalurkan apabila ada barang atau jasa (sektor riil) yang bisa dibiayai. Bahkan terbentuk korelasi sempurna antara biaya modal dengan pengembalian atas modal pada pembiyaan dengan akad musyarakah dan

mudharabah.

Jika dibandingkan dengan perbankan konvesional akan tampak perbedaan yang jelas. Penyaluran pembiayaan atau kredit dari dana pihak ketiga banyak yang masuk pada sektor keuangan dengan transaksi yang penuh dengan ketidakpastian


(24)

7 dan aksi spekulasi. Sebagian besar dana yang disalurkan oleh perbankan konvensional tidak memiliki dampak pada ekonomi riil, hal tersebut merupakan dampak dari penyaluran dana pada sektor bebas resiko seperti Sertifikat Bank Indonesia. Dan yang lebih memperparah kinerja perbankan konvensional adalah besarnya dana yang disalurkan ke pasar uang dengan dasar spekulasi. Mubyarto (2004:6), seorang tokoh ekonomi kerakyatan, meragukan peranan perbankan sebagai agent of development dalam pengentasan kemiskinan melalui senjata kredit. Beliau mengkritik beberapa bank daerah yang lebih suka mengirim dana ke pusat untuk diinvestasikan di surat hutang yang lebih aman seperti SBI. Padahal harapan UKM terhadap terhadap peranan bank sangat tinggi, namun sayang mereka tidak dianggap “bankable”. Fenomena itu terjadi pada level bank daerah, yang memang fungsi utamanya memajukan ekonomi daerah.

Perbankan syariah bukanlah financial sector based banking sebagaimana yang diterapkan perbankan konvensional. Sebaliknya perbankan syariah merupakan real sector based banking yang menjalankan pembiayaan pada sektor riil dan salah satunya adalah sektor UKM. Perbankan syariah memiliki peran yang cukup besar dalam mengembangkan ekonomi riil di Indonesia berpadu dengan potensi ekonomi kerakyatan dan UKM. Produk-produk pembiyaan dengan skim profit and lost sharing dengan paradigma kemitraan dinilai sangat tepat untuk mengembangkan usaha mikro masyarakat. Dengan pendekatan pembiayaan lembaga keuangan mikro sebagai kepanjangan tangan dari bank-bank syariah diharapkan upaya untuk menjangkau UKM bisa dioptimalkan.

Perbankan syariah bisa lebih aktif menjalin kerjasama dengan UKM yang berada ditengah-tengah masyarakat. UKM-UKM tersebut dapat dirangkul sebagai


(25)

8 mitra kerja potensial untuk membangkitkan kembali perekonomian masyarakat. Stigma bahwa sektor UKM sangat beresiko merupakan argumentasi yang tidak beralasan. Bertahannya Bank BRI yang bergerak di sektor tersebut pada krisis tahun 1998 membuktikan bahwa risiko pada sektor UKM lebih terdiversifikasi (Antonio 2009:7).

Penyaluran pembiayaan perbankan syariah ke sektor UKM dari tahun 2012 hingga akhir tahun 2015 tergolong tinggi. Dan selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Berikut ini tabel lengkap komposisi pembiayaan perbankan syariah di Indonesia berdasarkan golongan pembiayaan.

Tabel 1.3.

Pembiayaan Perbankan Syariah berdasarkan Golongan Pembiayaan Tahun 2012-2015

(Dalam Miliar Rupiah)

Golongan 2012 2013 2014 2015

UKM 90.860 110.086 59.806 51.603

Selain UKM 56.645 74.034 139.524 152.291

Total 147.505 184.120 199.330 203.894

Sumber: Statistik Perbankan Syariah Bank Indonesia 2015

Pada tahun 2012 pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah pada sektor UKM adalah sebesar Rp 90.860.000.000.000 Dan meningkat sebesar 21,16% atau sebesar Rp 110.086.000.000.000 pada tahun berikutnya. Pada akhir tahun 2015 dana yang disalurkan melalui pembiayaan ke sektor UKM oleh perbankan syariah di Indonesia telah mencapai Rp 51.603.000.000.000. Keputusan menyalurkan besarnya pembiayaan ke berbagai sektor bisnis tidak selalu terjadi sesuai seperti yang diharapkan, karena ada berbagai resiko yang harus ditanggung oleh perbankan. Salah satunya adalah resiko kredit yang tercermin oleh rasio kredit bermasalah.


(26)

9 Besarnya pertumbuhan aset dan penyaluran pembiyaan perbankan syariah di Indonesia dari tahun 2012 sampai tahun 2015 ternyata tidak diikuti dengan kualitas pembiayaan yang baik. Terjaganya fungsi intermediasi perbankan syariah ternyata juga dibarengi dengan memburuknya kualitas pembiayaan. Hal tersebut ditunjukan dengan meningkatnya angka pembiayaan bermasalah atau Non performing Loan yang dalam terminologi perbankan syariah disebut Non Performing Finance (NPF ).

NPL menimbulkan permasalahan bagi pemilik bank dan pemilik deposito. Pertama bagi pemilik bank, dengan semakin tinggi NPL mereka tidak menerima

return pasar dari modal mereka. Kedua untuk pemilik deposito tidak menerima

return pasar dari deposito atau tabungan mereka. Bank membagi kegagalan kredit atau pembiayaan mereka kepada pemilik deposito dengan cara menekan tingkat suku bunga atau tingkat bagi hasil. (Nasution, 2007:1) Dalam kasus yang lebih buruk, jika bank mengalami kebangkrutan deposan akan kehilangan aset atau dihadapkan dengan jaminan yang tidak seimbang. Bank juga membagi risiko kerugian mereka kepada debitur lain dengan cara menetapkan suku bunga pinjaman, margin, tingkat bagi hasil yang tinggi. Non performing loan akan mengakibatkan jatuhnya sistem perbankan, mengkerutnya pasar saham dan bahkan mengakibatkan kontraksi dalam perekonomian.

Tabel 1.4.

Pembiayaan Bermasalah Perbankan Syariah berdasarkan Golongan Pembiayaan Tahun 2012-2015

(Dalam Miliar Rupiah)

Golongan 2012 2013 2014 2015

UKM 2060 2879 3875 4150

Non UKM 1209 1950 4757 5557

Total 3269 4828 8632 9707


(27)

10 Pada tahun 2012 NPF perbankan syariah adalah sebesar Rp 2.060.000.000.000. Dan meningkat sebesar 39% atau sebesar Rp 2.879.000.000.000 pada tahun berikutnya. Pada tahun 2015 yang merupakan akhir periode pengamatan, jumlah NPF perbankan syariah di Indonesia meningkat menjadi Rp 4.150.000.000.000.

UKM di Indonesia memberikan kontribusi yang besar terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto. Namun demikian hal tersebut tidak mampu mencerminkan kelancaran debitur-debitur dalam melakukan pembayaran atas pembiayaan yang diberikan.

Selain Produk Domestik Bruto, salah satu variabel yang memengaruhi tingkat non performing finance adalah ekuivalen tingkat suku bunga. Tingkat suku bunga merupakan hal yang diperhatikan oleh debitur dalam menerima suatu pembiayaan. Meskipun perbankan syariah tidak mengenal sistem bunga, kinerja pembiayaan sangat dipengaruhi oleh tingkat suku bunga. Semakin tinggi tingkat suku bunga yang diberikan bank sentral, maka dapat mempengaruhi tingkat bagi hasil yang diminta oleh bank sehingga tingkat non performing financing akan semakin meningkat.

Faktor-faktor yang mempengaruhi NPF pada perbankan syariah salah satunya ialah financing to deposit ratio (FDR).FDR adalah rasio antara jumlah kredit yang diberikan bank dengan dana yang diterima oleh bank. FDR ditentukkan oleh perbandingan antara jumlah pinjaman yang diberikan dengan dana masyarakat yang dihimpun yaitu mencakup giro, simpanan berjangka (deposito), dan tabungan.FDR tersebut menyatakan seberapa jauh kemampuan bank dalam membayar kembali penarikan dana yang dilakukan deposan dengan mengandalkan kredit yang


(28)

11 diberikan sebagai sumber likuiditasnya. Semakin besar kredit maka pendapatan yang diperoleh naik, karena pendapatan naik secara otomatis laba juga akan mengalami kenaikan. (IlmuPerbankan, 2010:03).

Faktor penyebab berikutnya dari non performing loan atau non performing financing adalah inflasi. Jakubik (2010) melakukan penelitian di Ceko menemukan jika inflasi berpengaruh terhadap resiko kredit. Hogart (2007), yang melakukan penelitian di Inggris raya menemukan pengaruh yang signifikan antara inflasi dengan pembiayaan bermasalah yang diproksikan dengan peningkatan jumlah penghapusan pinjaman.

Faktor lainya yang juga memengaruhi tingkat NPF adalah tingkat suku bunga atau dalam perbankan syariah ditunjukan dengan tingkat bagi hasil dan margin. Saba (2012) menemukan terdapat pengaruh negatif yang signifikan tingkat suku bunga terhadap tingkat NPL, beberapa literatur menunjukan adanya pengaruh yang ditimbulkan dari tingkat suku bunga terhadap perbankan syariah. Hakan (2011) melakukan penelitian tentang pengaruh tingkat suku bunga terhadap perbankan syariah Turki. Hasil penilitian menunjukan terdapat pengaruh yang signifikan yang dihasilkan dari tingkat suku bunga terhadap kinerja perbankan syariah.

Di negara dengan dual banking system seperti Indonesia, tidak dapat dipungkiri bahwa kinerja bank syariah selain dipengaruhi oleh faktor internal manajemen bank syariah juga dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, seperti Ekonomi Makro. Faktor eksternal dari makro ekonomi adalah tingkat suku bunga, nilai tukar, PDB, jumlah uang beredar, dan inflasi (Hakan, 2011).

Pada teori bejana yang berhubungan Karim (2004:254), mengungkapkan bahwa kebijakan moneter konvensional akan mempunyai pengaruh terhadap perbankan syariah seperti misalnya tingkat suku bunga. Kebijkan monenter


(29)

12 mempengaruhi variabel-variabel neraca bank konvensional (suku bunga kredit, suku bunga deposito, dan sekuritas yang dimiliki). Pada umumnya mekanisme tersebut ditransmisikan melalui suku bunga kredit. Di pihak lain, perbankan syariah yang notabene tidak mengenal bunga dalam praktek operasionalnya juga terpengaruh oleh kebijakan moneter tersebut (Adi, 2012:14). Pengaruh tersebut terlihat pada kondisi neraca bank syariah. Yakni pada tingkat nisbah bagi hasil deposito investasi mudharabah. Sementara pengaruh suku bunga SBI terhadap nisbah pembiayaan bank syariah ditransmisikan melalui suku bunga kredit.

Tabel 1.5.

Perkembangan variabel-variabel yang mempengaruhi Non Performing Financing Tahun FDR

(%)

Kurs BI Inflasi (%)

BI Rate (%)

Total Pembiayaan (Miliar Rupiah)

2012 100 10.194 4,30 5,75 3.269

2013 100,32 10.934 8,38 7,50 4.828

2014 91,5 10.164 8,36 7,75 8.632

2015 96,52 10.010 3,35 7,50 9.707

Sumber: Statistik Perbankan Syariah Bank Indonesia dan bi.go.id

Berdasarkan data non performing financing, keragaman argumentasi (research gap) penelitian yang ada, ditambah dengan tingkat financing to deposit rate (FDR), inflasi, BI Rate, dan total pembiayaan yang disinyalir memiliki pengaruh terhadap pembiayaan bermasalah (NPF), Membuat penulis ingin meneliti lebih lanjut dengan membuat penelitian berjudul : A alisis Pe garuh Fi a i g to Deposit Ratio (FDR), Nilai Tukar Rupiah (KURS), Inflasi, dan BI Rate Terhadap Pe iayaa Ber asalah NPF di “ektor UKM Per a ka “yariah I do esia . B. Rumusan Masalah

Kredit macet atau pembiayaan bermasalah dalam dunia perbankan syariah (NPF) ialah masalah yang muncul sebagai akibat terjadinya konstraksi output disatu pihak. NPF ini juga lebih disebabkan oleh pengelolaan perbankan yang


(30)

13 kurang dalam mengaplikasikan prinsip kehati-hatian (prudential banking principles), padahal bank merupakan institusi keuangan yang sarat dengan batasan dan perturan (the most regulated industry in the world). Di samping itu juga, kurang ditaatinya Kode Etik Bankir Indonesia yang diharapkan dapat menjadi pedoman moral bagi para bankir dalam melaksanakan tugas-tugasnya.

Sementara di sisi lain, kalangan usaha kecil dan menengah ternyata lebih mampu bertahan menghadapi krisis. Hal ini lebih disebabkan karena mereka bergerak di sektor riil, sehingga mereka mempunyai ketergantungan kepada perbankan yang renda, dan pembiayaan yang disalurkan perbankan syariah ke sektor UKM sangat besar jika dibandingkan dengan sektor lainnya. Hal tersebut tentunya membuat risiko kegagalan bayar pembiayaan sektor UKM menjadi tinggi. Dari latar belakang masalah menjelaskan bahwa kondisi ekonomi negara dan spefikasi bank berpengaruh terhadap kemungkinan terjadinya non performing finance pada perbankan syariah.

Berdasarkan hal tersebut maka dapat dirumuskan suatu permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Apakah financing to deposit ratio berpengaruh terhadap NPF di sektor UKM secara parsial ?

2. Apakah nilai tukar rupiah (KURS) berpengaruh terhadap NPF di sektor UKM secara parsial ?

3. Apakah inflasi berpengaruh terhadap NPF di sektor UKM secara parsial ? 4. Apakah BI Rate berpengaruh terhadap NPF di sektor UKM secara parsial ? 5. Apakah FDR, Kurs, inflasi, dan BI Rate berpengaruh terhadap NPF di sektor

UKM secara simultan ?


(31)

14 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis pengaruh FDR, Kurs, inflasi,dan BI Rate dari masing-masing variabel terhadap pembiayaan bermasalah (NPF) pada sektor UKM perbankan syariah di Indonesia.

2. Menganalisis pengaruh FDR, Kurs, inflasi, dan BI Rate secara bersamaan dari setiap variabel terhadap pembiayaan bermasalah (NPF) pada sektor UKM perbankan syariah di Indonesia.

3. Serta menganalisis variabel apa yang paling memiliki pengaruh terhadap pembiayaan bermasalah sektor UKM pada perbankan syariah di Indonesia. 2. Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi penulis dan pihak-pihak lainyang berkepentingan, yaitu:

1. Memberikan ilmu pengetahuan dan masukan tentang permasalahan yang dihadapi oleh praktisi perbankan syariah di Indonesia dalam mengambil keputusan berkaitan risiko dalam pembiayaan agar bisa meminimalisir potensi kredit atau pembiayaan bermasalah.

2. Dapat memperkaya pemahaman mengenai konsep-konsep yang telah dipelajari dengan membandingkannya dalam praktik perbankan khususnya berkenaan dengan tema perbankan syariah dan non performing financing

3. Diharapkan penelitian ini berguna bagi penelitian kedepannya berkenaan dengan topik penelitian ini.


(32)

15 4. Memberikan suatu pandangan bagi masyarakat dalam menilai kondisi perbankan konvensional dan perbankan syariah yang baik yang tercermin dari potensi risiko kredit masing-masing bank.


(33)

16 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. UKM

1. Pengertian UKM

Usaha kecil di Indonesia belum pasti dan masih sangat beragam pengertiannya, sebelum dikeluarkannya UU No 9/1995 terdapat lima instansi yang merumuskan usaha kecil dengan caranya masing-masing, kelima instansi tersebut adalah Biro Pusat Statistik (BPS), Departemen Perindustrian, Bank Indonesia, Departemen Perdagangan dan Kamar dagang dan Industri. (Adi 2012:48)

Departemen Perindustrian dan Bank Indonesia mendefinisikan usaha kecil berdasarkan nilai asetnya. Menurut kedua instansi ini yang dimaksud dengan usaha kecil adalah usaha yang assetnya (tidak termasuk tanah dan bangunan) bernilai kurang dari Rp 600 juta. Departemen perdagangan membatasi usaha kecil berdasarkan modal kerjanya, yakni usaha (dagang) yang modal kerjanya bernilai kurang dari Rp 25 juta.

Sedangkan KADIN membedakan usaha kecil menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah yang bergerak dalam bidang perdagangan, pertanian dan industri. Kelompok kedua adalah yang bergerak dalam bidang konstruksi. Menurut Kadin yang dimaskud dengan usaha kecil untuk kelompok pertama adalah yang memiliki modal kerja kurang dari Rp 150 juta dan memiliki nilai usaha kurang dari Rp 600 juta.

Adapun untuk kelompok kedua yang dimaksud dengan usaha kecil adalah yang memiliki modal kerja kurang dari Rp 250 juta dan memiliki nilai usaha kurang dari Rp 1 milyar. Berbeda dari keempat instansi tersebut BPS


(34)

17 mengemukakannya untuk usaha kecil sektor industri. Menurut BPS yang dimaksud dengan industri kecil adalah usaha industri yang melibatkan tenaga kerja antara lima sampai 19 orang. Sedangkan yang dimaksud dengan industri rumah tangga adalah usaha industri yang memperkerjakan kurang dari lima orang.

2. Kriteria UKM

Berdasarkan kelima batasan tersebut dapat kita katakan betapa sangat beragamnya pengertian usaha kecil yang berlaku di Indonesia. Tetapi diluar kelima pengertian tersebut pemerintah telah menetapkannya dalam rumusan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 . Menurut UU ini yang dimaksud dengan usaha Mikro, Kecil dan Menengah dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, diantaranya:

a. Kriteria Usaha Mikro adalah sebagai berikut:

1) Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

2) Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

b. Kriteria Usaha Kecil adalah sebagai berikut:

1) Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

2) Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).


(35)

18 1) Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

2) Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).

3. Karakteristik UKM

Dari definisi-definisi tersebut dapat digambarkan bahwa UKM bisa menjadi sebuah lokomotif penting dalam pertumbuhan ekonomi bangsa, menurut (Tambunan, 2009:40) UKM sangat penting karena karakteristik-karekteristik utama mereka yang berbeda dengan usaha besar, diantaranya:

a. Jumlah perusahaan sangat banyak (jauh melebihi jumlah usaha besar) terutama dari kategori usaha mikro dan usaha kecil. Dan hal ini juga didasarkan pada karakter usaha mikro dan usaha kecil yang tersebar diseluruh pelosok pedesaan termasuk diwilayah-wilayah yang relatif terisolasi.

b. Karena sangat padat karya,berarti mempunyai suatu potensi pertumbuhan kesempatan kerja yang sangat besar, pertumbuhan UMKM dapat dimasukkan sebagai suatu elemen penting dari kebijakan-kebijakn nasional untuk meningkatkan kesempatan kerja dan menciptakan pendapatan, terutama bagi masyarakat miskin.

c. Kegiatan-kegiatan produksi dari kelompok UMKM pada umumnya dari berbasis pertanian. Oleh karena itu upaya-upaya pemerintah mendukung UMKM sekaligus juga merupakan cara tak langsung, tetapi efektif untuk mendukung pembangunan dan pertumbuhan produksi disektor pertanian.


(36)

19 d. UMKM memakai teknologi-teknologi yang lebih “cocok” terhadap proporsi

-proporsi dari faktor-faktor produksi dan kondisi lokal yang ada di negara sangat berkembang, yakni sumber daya alam (SDA) dan tenaga kerja berpendidikan rendah yang berlimpah.

e. Banyak UMKM bisa tumbuh pesat. Bahkan, banyak UMKM bisa bertahan pada saat ekonomi Indonesia dilanda suatu krisis besar pada tahun 1997/1998. f. Walaupun pada umumnya masyarakat pedesaan miskin, banyak bukti yang

menunjukkan bahwa orang-orang desa yang miskin bisa menabung dan mereka mau mengambil risiko dengan melakukan investasi. Dalam hal ini, UMKM bisa menjadi suatu titik permulaan bagi mobilisasi tabungan/investasi di perdesaan dan disisi lain bisa meningkatkan kemampuan berwirausaha dari orang-orang desa.

g. Kelompok usaha ini dapat memainkan suatu peran penting lainnya, yaitu sebagai suatu alat untuk mengalokasikan tabungan-tabungan perdesaan, yang kalau tidak akan digunakan untuk maksud-maksud yang tidak produktif.

h. Walaupun banyak barang yang diproduksi oleh UMKM juga untuk masyarakat kelas menegah dan atas, tetapi terbukti secara umum bahwa pasar utama bagi UMKM adalah untuk barang-barang konsumsi sederhana dengan harga relatif murah seperti pakaian jadi,mebel dari kayu,alas kaki dan lainnya yang memenuhi kebutuhan sehari-hari dari masyarakat miskin atau berpendapatan rendah.

i. Sebagai bagian dari dinamikanya, banyak juga UMKM yang mampu meningkatakan produktivitasnya lewat investasi dan perubahan teknologi j. Seperti sering dikatakan dalam literature, satu keunggulan dari UMKM adalah


(37)

20 Kelompok usaha ini dilihat sangat penting di industri-industri yang tidak stabil atau ekonomi-ekonomi yang menghadapi perubahan-perubahan kondisi pasar yang cepat, seperti krisis ekonomi 1997/98 yang dialami oleh beberapa negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Oleh karena itu dengan menyadari betapa pentingnya UMKM secara potensial seperti yang diuraikan diatas tersebut tidak heran kenapa pemerintah-pemerintah dihampir semua negara berkembang termasuk Indonesia sudah sejak lama mempunyai berbagai macam program, dengan skim-skim kredit bersubsidi sebagai komponen terpenting untuk mendukung perkembangan dan pertumbuhan UMKM (Tambunan, 2009:50).

B. Bank Syariah

1. Pengertian Bank Syariah

Perbankan adalah lembaga yang mempunyai peran utama dalam pembangunan suatu negara. Peran ini terwujud dalam fungsi bank sebagai lembaga intermediasi keuangan (financial intermediary institution), yakni menghimpuin dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat. (Khotibul 2016)

Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 berdasarkan prinsip operasionalnya bank dibedakan menjadi dua, yakni bank konvesional yang mendasarkan pada prinsip bunga dan bank berdasarkan prinsip syariah atau yang kemudian lazim dikenal dengan bank syariah.Bank syariah terdiri dari Bank Umum Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah atau yang saat ini disebut sebagai Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.


(38)

21 Perbankan syariah merupakan institusi yang memberikan layanan jasa

perbankan prinsip syariah. Dalam UU No. UU No. 21 Tahun 2008 prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Prinsip ini menggantikan prinsip bunga yang terdapat dalam sistem perbankan konvensional.

Konsekuensi hukum dari penggunaan prinsip syariah dalam operasional perbankan adalah bahwa produk perbankan syariah lebih bervariasi dibanding produk perbankan konvensional. Bahwa produk perbankan konvensional,

khususnya produk penghimpunan dana dan penyaluran dana hanya mendasarkan pada sistem bunga sebagai bentuk prestasi dan kontraprestasi atas penggunaan dana, sedangkan pada perbankan syariah mendasarkan pada akad-akad tradisional Islam yang mana keberadaannya sangat tergantung pada kebutuhan riil nasabah.

2. Jenis-jenis Risiko Bank Syariah a. Risiko Pembiayaan

Risiko pembiayaan muncul akibat adanya kegagalan counterpary dalam memenuhi kewajibannya. Karim (2007: 260) membagi jenis-jenis resiko pada bank syariah menjadi risiko terkait produk dan risiko terkait korporasi. Risiko yang terkait dengan produk ditimbulkan oleh jenis produk pada perbankan syariah yang mempunyai karakteristik yang khas yakni pembiayaan Natural Certainty Contracts (seperti akad murabahah, ijarah, salam,istishna)dan Natural Uncertainty Contracts (mudharabah dan musyarakah).

Sementara itu pada risiko terkait pembiayaan korporasi muncul sebagai akibat dari perubahan kondisi bisnis setelah pembiayaan, komitmen modal yang terlalu berlebihan, dan lemahnya analisis bank.


(39)

22 b. Risiko Pasar

Risiko pasar adalah risiko kerugian yang terjadi pada portofolio yang dimiliki oleh bank, penyebabnya adalah karena terjadi pergerakan variabel pasar berupa suku bunga dan nilai tukar. Menurut Karim (2007:272) risiko pasar terdiri dari empat hal, yaitu risiko tingkat suku bunga, risiko pertukaran mata uang risiko harga dan risiko likuiditas.

1) Risiko Tingkat Suku Bunga (Interest Rate Risk)

Risiko tingkat suku bunga merupakan risiko yang harus dihadapi bank dikarenakan terjadinya fluktuasi tingkat suku bunga. Dalam hal ini, meskipun bank syariah tidak menetapkan suku bunga pada sisi pendanaan dan pembiayaan, namun bank syariah tidak akan dapat terlepas dari risiko tingkat suku bunga. Hal ini disebabkan pangsa pasar yang disasar oleh bank syariah tidak hanya nasabah-nasabah yang loyal penuh terhadap sistem syariah.

2) Risiko Pertukaran Mata Uang (Foreign Exchange Rate)

Risiko ini merupakan suatu konsekuensi yang berkaitan dengan adanya pergerakan nilai tukar terhadap rugi laba bank. Meskipun

aktivitas-aktivitas pendanaan bank syariah tidak terpengaruhi fluktuasi kurs secara langsung karena tidak dibolehkan melakukan transaksi yang bersifat spekulasi, namun bank syariah tidak dapat terlepas dari adanya posisi dalam valuta asing.

Mengingat bank syariah tidak berkenan berspekulasi, maka transaksi seperti forward, margin trading, option, dan swap tidak boleh dijalankan. Yang diperkenankan adalah untuk kebutuhan transaksi atau berjaga-jaga dan


(40)

23 transaksi tersebut harus dilakukan secara tunai atau spot. Seperti pembayaran dengan cek, pemindahbukuan, transfer, dan sarana pembayaran tunai lainnya. c. Risiko Likuiditas

Menurut Arifin (2009:245) risiko likuiditas adalah risiko yang muncul manakala bank tidak mampu memenuhi kebetuhan dana (cash flow) dengan segera, dan dengan biaya yang sesuai, baik untuk memenuhi kebutuhan

transaksi sehari-hari maupun guna memenuhi kebutuhan dana yang mendesak. Menurutnya, besar-kecilnya risiko ini ditentukan oleh:

1) Kecermatan perencanaan arus kas (cash flow) atau arus dana (fund flow) berdasarkan prediksi pembiayaan dan prediksi pertumbuhan dana, termasuk mencermati tingkat fluktuasi dana (volatility of funds).

2) Ketepatan dalam mengatur struktur dana, termasuk kecukupan dana-dana nonprofit and loss sharing.

3) Ketersediaan aset yang siap dikonversikan menjadi kas.

4) Kemampuan menciptakan aset ke pasar antarbank atau sumber dana lainnya, termasuk fasilitas lender of last resort.

d. Risiko Operasional

Risiko operasional adalah risiko yang antara lain disebabkan oleh ketidakcukupan proses internal, human error, kegagalan sistem atau adanya problem eksternal yang mempengaruhi operasi bank (Greuning, 2008:174).

Menurut Greuning, terdapat beberapa hal yang dapat memicu peningkatan risiko operasional pada bank Islam, diantaranya adalah:

1) Risiko pembatalan perjanjian pada pembiayaan yang tidak mengikat seperti murabahah (partenership) dan istishna (manufacturing).


(41)

24 2) Kegagalan sistem pengendali internal dalam mendeteksi dan mengelola

masalah potensial pada proses operasional.

3) Potensi menghadapi kesulitan dalam penguatan akad atau kontrak pada lingkungan legal yang lebih lebih luas.

4) Kebutuhan untuk memelihara dan mengelola komoditas yang diinventorisasikan pada pasar yang tidak likuid.

5) Kegagalan mematuhi persyaratan syariah.

Menurut Arifin (2008:271) terdapat empat risiko yang berkaitan dengan risiko operasional diantaranya adalah:

1) Risiko Reputasi: adalah risiko yang disebabkan oleh adanya publikasi negatif terkait dengan kegiatan bank.

2) Risiko Kepatuhan: adalah risiko yang muncul akibat dari ketidakpatuhan ketentuan-ketentuan internal dan eksternal seperti GWM, batas pemberian pembiayaan, ketentuan dalam akad, fatwa Dewan Syariah Nasional dan lain sebagainya.

3) Risiko Strategi: risiko yang antara lain disebabkan oleh adanya penetapan dan pelaksanaan strategi bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan yang salah, atau bank tidak mematuhi perubahan perundang-undangan dan ketentulan lain.

4) Risiko Hukum: risiko ini muncul sebagai akibat dari adanya kelemahan aspek yuridis seperti adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan undang-undang yang mendukung suatu kebijakan dan kegiatan pembiayaan.

C. Manajemen Risiko Pembiayaan 1. Konsep dan Definisi


(42)

25 Dalam menjalankan fungsinya yakni memberikan pembiayaan kepada

masyarakat oleh bank syariah selalu berdampingan dengan risiko. Dijelaskan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan bahwa:

Kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank.

Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan pengukuran terhadap risiko perbankan. Hal-hal seperti jumlah pembiayaan yang diberikan, kuantitas dan kualitas risiko. Secara keseluruhan risiko pembiayaan merupakan hal yang penting untuk diperhatikan dibandingkan dengan risiko-risiko lainnya, karena ketidakmampuan nasabah memenuhi kewajiban pembiayaannya dapat

mengakibatkan bank merugi dan mengikis permodalan bank yang berujung pada kebangkrutan.

Oleh sebab itu, perlu dilakukan sebuah upaya manajerial terhadap risiko yang muncul akibat dari penyaluran pembiayaan. Hal ini dimaksudkan agar kualitas pembiayaan senantiasa dalam keadaan lancar. Senada dengan hal yang dinyatakan oleh Tampubolon (2004:35) dalam bukunya dijelaskan bahwa:

Manajemen risiko merupakan sejumlah kegiatan yang bersifat proaktif dan terarah yang ditujukan untuk mengakomodasi kemungkinan gagal pada salah satu atau sebagian dari sebuah transaksi atau instrumen. Karena itu manajemen risiko


(43)

26 haruslah dinamis tidak statis, dan berubah sejalan dengan perubahan kebutuhan dan risiko usaha.

Resiko kredit atau pembiayaan berbahaya bagi kelangsungan hidup bank karena dapat menyebabkan bank gagal memenuhi kewajibannya dan menggerus profitabilitas bank (Rose, 2002:326). Risiko kredit adalah risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan pihak lawan memenuhi kewajibannya. Risiko ini dapat timbul karena kinerja satu atau lebih debitur yang buruk. Kinerja debitur yang buruk ini dapat berupa ketidakmampuan debitur untuk memenuhi sebagian atau seluruh isi perjanjian kredit yang telah disepakati bersama sebelumnya.

Bank Indonesia mendefininisikan manajemen risiko sebagai serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha bank.

2. Ruang Lingkup Manajemen Risiko Pembiayaan

Secara umum manajemen risiko merupakan serangkaian proses yang diawali dengan proses identifikasi, pengukuran, monitoring dan pengelolaan terhadap risiko-risiko portofolio. Dengan demikian pengelola bank dapat selalu memantau agar risiko tidak mempengaruhi tingkat likuiditas bank itu sendiri.

Dalam menjalankan perannya sebagai lembaga intermediasi, bank selalu dihadapkan pada risiko – risiko bisnis. Risiko bisnis yang dihadapi mencakup diantaranya risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko legal. Untuk menjaga dan mengurangi risiko kerugian, bank wajib melaksanakan transaksi yang berpedoman pada kebijakan dan penerapan manajemen risiko yang telah ditetapkan pemerintah yang berlandaskan pada prinsip kehati – hatian. Bank Indonesia dalam Peraturan Bank Indonesia No.5/8/PBI/2003 mengidentifikasikan empat aspek pokok yang sekurangnya tercakup dalam manajemen risiko, yaitu


(44)

27 diantaranya, pertama adalah pengawasan aktif dewan komisaris dan direksi. Kedua adalah kebijakan, prosedur dan penetapan limit. Ketiga adalah proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, sistem informasi manajemen risiko kredit. Keempat adalah Pengendalian Risiko Kredit.

3. Tujuan Manajemen Risiko Pembiayaan

Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 pada tanggal 19 Mei 2003 tentang “Penerapan Manajemen Risiko Untuk Bank Umum”, merupakan wujud keseriusan Bank Indonesia dalam masalah manajemen risiko perbankan. Keseriusan tersebut dipertegas lagi dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia No. 7/25/PBI/2005 pada Agustus tahun 2005 tentang “Sertifikasi Manajemen Risiko Bagi Pengurus Dan Pajabat Bank Umum”, yang mengharuskan seluruh pejabat bank dari tingkat terendah hingga tertinggi untuk memiliki sertifikasi manajemen risiko yang sesuai dengan tingkat jabatannya.

Tujuan dari manajemen risiko menurut Tampubolon (2004 :34) adalah pengelolaan risiko yang mencakup atas prosedur dan metodologi yang digunakan sehingga kegiatan usaha bank tetap dapat terkendali pada batas / limit yang dapat diterima serta menguntungkan bank. Penerapan manajemen risiko tersebut akan memberikan manfaat, baik kepada perbankan maupun otoritas pengawasan bank. Bagi perbankan, penerapan manajemen risiko dapat meningkatkan shareholder value, memberikan gambaran kepada pengelola bank mengenai kemungkinan kerugian bank di masa datang, meningkatkan metode dan proses pengambilan yang sistematis yang didasarkan atas ketersedian informasi, digunakan sebagai dasar pengukuran yang lebih akurat mengenai kinerja bank dan untuk menilai risiko yang melekat pada instrument atau kegiatan usaha bank yang relatif kompleks, serta


(45)

28 menciptakan infrastruktur infrastruktur yang kokoh dalam rangka meningkatkan daya saing bank.

Dalam proses penerapan manajemen risiko, bank dapat menggunakan berbagai pendekatan pengukuran risiko, baik dengan metode standar yang direkomendasikan oleh Basel Committee on Banking Supervison. Kesepakatan Basel mencetuskan 2 kesepakatan (Basel I dan Basel II). Dalam kesepakatan Basel I hanya mencakup risiko kredit, modal yang disediakan hanya dikaitkan dengan risiko kredit, dan dalam mengukur kecukupan modal menurut risiko kredit didasari oleh beberapa kalkulasi yang terdiri dari bobot risiko aktiva dan bobot risiko, penyetaraan dengan risiko kredit, target rasio modal dan kalkulasi konsumsi modal yang memenuhi syarat, kecukupan hasil pada modal yang memenuhi syarat, struktur modal (El Tiby, 2011:102).

Dalam kesepakatan Basel II digunakan pendekatan baru dalam hal pengawasan bank. Kerangka baru Basel II dirancang mencakup tiga konsep yang dikenal sebagai tiga pilar. Ketiga pilar tersebut diantaranya adalah pilar 1 yaitu Kewajiban penyediaan modal minimum. Pilar 2 yaitu tinjauan berdasar regulasi dari kecukupan modal dari masing – masing bank dan proses penilaian internal. Dan pilar 3 yaitu disiplin pasar yang efektif sebagai pengungkit untuk memperkuat keterbukaan dan mendorong agar bank lebih aman dalam prakteknya (El Tiby, 2011:107).

4. Kerangka Kerja Manajemen Risiko Pembiayaan

Agar efektif, dalam proses manajemen risiko perlu adanya kerangka kerja, diantaranya. Memahami rantai risiko, dengan pehaman ini satuan kerja manajemen risiko wajib terlebih dahulu melakukan analisis lingkungan untuk menetapkan


(46)

29 masalah atau peluang, cakupan dan konteks serta isu yang berhubungan dengan risiko, seperti masalah politik, ekonomi, sosial, budaya dan lainnya. Menurut Tampubolon (2004:41) bkerangka kerja manajemen risiko pembiayaan atau kredit adalah sebagai berikut:

a. Melakukan analisis terhadap stakeholder (deposan, debitur, pemilik saham) untuk menetapkan atau mengkaji toleransi risiko, posisi dan perilaku dari para stakeholder.

b. Memahami situasi atau peristiwa yang pernah diambil perusahaan yang dapat mendatangkan kerugian.

c. Melakukan penilaian atas risiko dan pengendalian yang ada. Menyusun tanggapan atas risiko yang ada.

d. Menetapkan aktivitas pengendalian berupa program mitigasi risiko.

e. Mengkomunikasikan risiko dan manajemen risiko. Melakukan pemantauan terhadap risiko dan pengelolaanya.

5. Fungsi Manajemen Risiko

Manajemen risiko adalah sebuah pola pikir, oleh karena itu semua pejabat bank bisa atau mampu mewaspadai risiko dan menerapkan manajemen risiko dengan baik. Fungsi manajemen risiko tidak hanya sekedar memelihara tingkat profitabilitas dan kesehatan bank, namun juga untuk memelihara integritas dan stabilitas sistem keuangan yang kritis terhadap kesehatan perekonomian nasional. Secara garis besar, menurut Tampubolon (2004:45) manajemen risiko berfungsi untuk:

a. Menunjang ketepatan proses perencanaan dan pengambilan keputusan b. Menunjang efektifitas perumusan kebijakan sistem manajemen dan bisnis. c. Menciptakan Early Warning System untuk meminimumkan risiko.


(47)

30 d. Menunjang kualitas pengelolaan dan pengendalian pemenuhan tingkat

kesehatan bank.

e. Menunjang penciptaan/pengembangan keunggulan kompetitif. f. Memaksimalisasi kualitas portofolio perkreditan bank.

D. Pembiayaan Bermasalah (NPF) 1. Konsep Pembiayaan Bermasalah

Suatu kredit dinyatakan bermasalah jika bank benar-benar tidak mampu mengahadapi risiko yang ditimbulkan oleh kredit tersebut. Risiko kredit atau pembiayaan didefinisikan sebagai risiko yang muncul jika bank tidak bisa

memperoleh kembali cicilan pokok dan bunga dari pinjaman yang diberikan atau investasi yang sedang dilakukannya (Arifin, 2008:263).

Sebagai indikator yang menunjukkan kerugian akibat risiko kredit adalah tercermin dari besarnya non performing loan (NPL), dalam terminologi bank syariah disebut non perfoming financing (NPF).

Non Performing Financing (NPF) adalah rasio antara pembiayaan yang bermasalah dengan total pembiayaan yang disalurkan oleh bank syariah. berdasarkan kriteria yang sudah ditetapkan oleh Bank Indonesia kategori yang termasuk dalam NPF adalah pembiayaan kurang lancar, diragukan dan macet. Dalam peraturan bank indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Penilaian Kualitas Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha

berdasarkan prinsip syariah pasal 9 ayat (2), bahwa kualitas aktiva produktif dalam bentuk pembiayaan dibagi dalam 5 golongan yaitu lancar (L), dalam perhatian khusus (DPK), kurang lancar (KL), diragukan (D), macet (M).

Dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.31 tentang akuntansi perbankan butir 24 menyebutkan bahwa:


(48)

31 “Kredit non performing pada umumnya merupakan kredit yang pembayaran angsuran pokok dan/atau bunganya telah terlewat sembilan puluh hari atau lebih setelah jatuh tempo, atau kredit yang pembayarannya secara tepat waktu sangat diragukan. Kredit non performing terdiri atas kredit yang digolongkan sebagai kredit kurang lancar, diragukan, dan macet.”

Sedangkan Sutojo (2008:13) menyatakan jika “pengertian kredit bermasalah adalah suatu keadaan di mana debitur mengingkari janji mereka membayar bunga dan atau kredit induk yang telah jatuh tempo, sehingga terjadi keterlambatan pembayaran atau sama sekali tidak ada pembayaran”.

Dari kelima kualitas pembiayaan yaitu lancar, dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan, dan macet, yang tergolong dalam pembiayaan bermasalah atau non performing financing adalah pembiayaan dengan kualitas kurang lancar, diragukan dan macet.

Berdasarkan surat Edaran Bank Indonesia Nomor7/56/DPbS tanggal 9 Desember 2005, pedoman untuk perhitungan rasio non performing finance (NPF) dihitung dengan cara sebagai berikut:

NPF = X 100%

Rasio ini menunjukan kualitas pembiayaan yang dilakukan oleh perbankan. Semakin tinggi rasio NPF maka kualitas pembiayaan yang diberikan oleh perbankan syariah semakin memburuk. Kelancaran kegiatan usaha bank syariah dapat

terganggu apabila rasio semakin meningkat dan dapat berakibat pada tingkat kesehatan bank itu sendiri.

Pembiayaan yang bermasalah Total Pembiayaan Disalurkan


(49)

32 Bank Indonesia sebagai regulator yang turut mengatur perbankan syariah di Indonesia menetapkan bahwa batas maksimum tingkat pembiayaan yang bermasalah sebesar 5% dari total pembiayaan yang diberikan.

2. Penyebab Pembiayaan Bermasalah

Pembiayaan bermasalah merupakan sumber permasalahan bank. Adanya pembiayaan bermasalah ini dapat disebabkan oleh banyak faktor. Sutojo (2008:18) menuturkan terjadinya kredit bermasalah disebabkan oleh berbagai faktor

diantaranya:

a. Faktor Internal:

1) Rendahnya kemampuan atau ketajaman bank melakukan analisis kelayakan permintaan kredit yang diajukan oleh calon debitur. 2) Lemahnya sistem administrasi kredit atau pembiayaan serta sistem

administrasi bank.

3) Campur tangan yang berlebihan dari para pemegang saham 4) Pengikatan jaminan kredit yang kurang sempurna

b. Faktor debitur

1) Salah urus atau mismanagement

2) Kurangnya pengalaman dan pengetahuan pemilik dalam bidang usaha yang dijalani.

3) Penipuan c. Faktor Eksternal

1) Perkembangan kondisi ekonomi atau bidang usaha yang merugikan. 2) Bencana alam

3) Regulasi pemerintah 3. Dampak Pembiayaan Bermasalah


(50)

33 Adanya pembiayaan bermasalah ini akan memberikan dampak negatif kepada beberapa pihak, Sutojo (2008:25) menjelaskan bahwa terdapat beberapa dampak yang ditimbulkan dari pembiayaan bermasalah diantaranya adalah:

a. Bank yang bersangkutan akan mengalami gangguan profitablitias untuk menutupi cadangan pembiayaan bermasalah.

b. Jumlah modal bank akan terkikis dan menurunkan rasio kecukupan modal bank.

c. Nasabah sendiri akan kehilangan kepercayaan pihak luar dan relasi bisnis, serta citra dan nama baik yang rusak. Sementara nasabah lainnya akan kesulitan mendapatkan pembiayaan dari bank yang bersangkutan. d. Perputaran dana bank di masyarakat akan terhenti.

e. Pengusaha di dalam negeri akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pembiayaan untuk ekspansi usahanya.

E. Financing to Deposit Ratio (FDR) 1. Definisi FDR

Perbankan syariah tidak mengenal kredit (loan) dalam penyaluran dananya, karena itu aktifitas penyaluran dana yang dilakukan bank syariah lebih mengarah kepada pembiayaan. FDR adalah perbandingan antara pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah dengan dana pihak ketiga yang berhasil dikerahkan oleh bank. (Muhammad, 2005:55)

FDR disebut juga rasio kredit terhadap total dana pihak ketiga yang

digunakan untuk mengukur dana pihak ketiga yang disalurkan dalam bentuk kredit. Penyaluran kredit merupakan kegiatan utama bank yang berasal dari kegiatan ini. Deposit atau simpanan masyarakat pada suatu bank membawa konsekuensi semakin besarnya resiko yang ditanggung oleh bank yang bersangkutan. Tinggi


(51)

34 rendahnya rasio ini menunjukan tingkat likuiditas bank tersebut. Berdasarkan surat edaran bank Indonesia No 26/5/BPPP tanggal 29 mei 1993, besarnya FDR telah ditentukan oleh bank Indonesia tidak boleh melebihi 110%. Yang berarti bank boleh memberikan kredit atau pembiayaan melebihi jumlah dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun asalkan tidak melebihi 100% (Muhammad, 2005:56)

2. Penilaian Tingkat Financing to Deposit Ratio

Secara sistematis financing to Deposit Ratio (FDR) dapat dirumuskan sebagai berikut: (Sesuai SE No.6/23/DPNP Tanggal 31 Mei 2004)

Tujuan penting dari perhitungan FDR adalah untuk mengetahui serta menilaisampai berapa jauh bank memliki kondisi sehat dalam menjalankan operasiatau kegiatan usahanya. Dengan kata lain FDR digunakan sebagai suatu indikator untuk mengetahui tingkat kerawanan suatu bank. Menurut Surat Edaran Bank Indonesia tanggal 29 Mei 1993, termasuk dalam dana yang diterima bank adalah sebagai berikut:

1. KLBI (Kredit Likuiditas Bank Indonesia) (jika ada). 2. Giro, deposito, dan tabungan masyarakat.

3.Pinjaman bukan dari bank yang berjangka waktu lebih dari tiga bulan,tidak termasuk pinjaman subordinasi.

4. Deposito dan pinjaman dari bank lain yang berjangka waktu lebih dari tiga bulan.

5. Surat berharga yang diterbitkan oleh bank yang berjangka waktu lebih dari tiga bulan

6. Modal pinjaman. 7. Modal inti.


(52)

35 Batas aman tingkat LDR yang ditetapkan oleh Bank Indonesia adalah sebesar 110%. Tolok ukur untuk tingkat LDR atau istilah perbankan syariah FDR yang baik menurut BI tampak pada tabel :

Tabel 1.6

Tingkat Loan to Deposit Ratio

Sumber : www.bi.go.id

Rasio ini menggambarkan kemampuan bank membayar kembali penarikan yang dilakukan nasabah deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya. Semakin tinggi rasio ini semakin rendah pula kemampuan likuiditas bank (Dendawijaya, 2004:97). Rasio yang tinggi

menunjukkan bahwa bank meminjamkan seluruh dananya atau relatif tidak likuid. Sebaliknya rasio yang rendah menunjukkan bank yang likuid dengan kelebihan kapasitas dana yang siap untuk dipinjamkan. Oleh karena itu, rasio ini juga dapat untuk member isyarat apakah suatu pinjaman masih dapat mengalami ekspansi atau sebaliknya dibatasi. Jika bank syariah memiliki FDR yang terlalu kecil maka bank akan kesulitan untuk menutup simpanan nasabah dengan jumlah pembiayaan yang ada, Jika bank mempunyai FDR yang sangat tinggi, maka bank akan mempunyai risiko tidak tertagihnya pinjaman yang tinggi pada titik tertentu bank akan mengalami kerugian (Susilo, 1999:24).


(53)

36 Selanjutnya FDR dapat pula digunakan untuk menilai strategi manajemen suatu bank. Manajemen bank konservatif biasanya cenderung memiliki FDR yang relatif rendah. Sebaliknya bila FDR melebihi batas toleransi dapat dikatakan

manajemen bank yang bersangkutan sangat expansif atau agresif. (Siamat, 2001:32) 3. Hubungan antara Financing Deposit to Rasio (FDR) terhadap Non Performing

Financing Perbankan Syariah

FDR adalah perbandingan antara pembiayaan yang diberikan oleh bank

syariah dengan dana pihak ketiga yang berhasil dikerahkan oleh bank. (Muhammad, 2005:55). Hubungan antara financing deposit to rasio (FDR) terhadap non

performing financing (NPF), FDR adalah rasio dana pihak ketiga terhadap pembiayaan, FDR ada karena ada aktifitas dana pihak ketiga, ketika dana pihak ketiga (DPK) tinggi maka secara teori pembiayaan pun akan ikut meningkat, karena DPK yang ada akan disalurkan pada sector riil, namun ketika rasio pembiayaan (FDR) yang cukup tinggi, akan muncul permasalahan pokok utama bank syariah adalah meningkatnya NPF atau pembiayaan non lancar karena dalam menjalankan bisnis perbankan yang penuh dengan resiko, bank syariah juga tidak terlepas dari resiko pembiayaan bermasalah karena pembiayaan bermasalah tidak akan terjadi tanpa adanya aktivitas pembiayaan yang disalurkan sehingga bank syariah perlu mengatur strategi agar tingkat NPF di bank syariah tidak dalam kondisi yang menghawatirkan.

Penelitian yang dilakukan oleh Maryanto (2010) yaitu meneliti tentang pengaruh FDR terhadap non performing financing perbankan syariah dengan menggunakan model regresi linier berganda menunjukan bahwa variabel FDR secara simultan terdapat pengaruh yang nyata terhadap non performing financing


(54)

37 perbankan syariah dan FDR secara parsial mempunyai pengaruh signifikan dan berkoefisien negatif.

F. Nilai Tukar (Kurs) 1. Definisi Nilai Tukar

Kurs (exchange rate) atau nilai tukar sering didefinisikan sebagai harga suatu mata uang terhadap mata uang lainnya (Salvatore, 1997:9). Nilai tukar valuta asing adalah harga satuan mata uang dalam satuan mata uang lain. Nilai tukar valuta asing ditentukan dalam pasar valuta asing yaitu pasar tempat berbagai mata uang yang berbeda diperdagangkan (Samuelson dan Nordhaus, 2004:604).

Kurs dibagi menjadi dua, yaitu: kurs nominal dan kurs riil, berikut pengertian kurs menurut para ahli :

Nominal exchange rate and real exchange rate. The nominal exchange rate is the relative price of two different kinds money, as set in the foreign exchange maket ( DeLong, 2002:29) Exchange rate changes have their own terminology.

Depreciation of a curerency refers to the fact that one currency has become cheaper in terms of another currency. (Schiller, 2003:441). The other side of defreciation is appreciation, an in crease in value of one currency as expressed in another country”s currency. Whenever one currency depreciates, another currency must appreciate. When the exchange rate changed from 2 euros = $1 to 1 euro=$1, not oly did the euro of a dollar fall, the dollar price of a euro rise. Hence, the euro appreciated as the dollar depreciated. (Schiller, 2003:442)

Kurs valuta asing diklasifikasikan kedalam kurs jual, kurs beli, dan kurs tengah, untuk melihat pengertian dari kurs jual dan kurs beli maka lihatlah dari sudut pandang bank. Kurs jual adalah yaitu kurs yang digunakan apabila bank atau money changer menjual valuta asing atau apabila kita akan menukarkan rupiah


(55)

38 dengan valuta asing yang kita butuhkan (masyarakat membeli mata uang asing). Begitu pula sebaliknya dengan kurs beli, kurs beli yaitu kurs yang digunakan apabila bank atau money changer membeli valuta asing atau apabila kita akan menukarkan valuta asing yang kita miliki dengan rupiah. (masyarakat menjual uang asing). Kurs tengah yaitu kurs antara kurs jual dan kurs beli (penjumlahan kurs beli dan kurs jual yang dibagi dua) (www.mypanjimshs. blogspot.com).

Menurut Kuncoro (2008:42) kurs rupiah adalah nilai tukar sejumlah rupiah yang diperlukan untuk membeli satu US$ (US dollar). Nilai tukar tersebut ditentukan oleh kekuatan dan penawaran pasar atau istilah lainnya adalah

mekanisme pasar. Kurs adalah harga dari asset domestic (deposito bank, obligasi, saham, dan lain-lain yang didenominasikan dalam mata uang domestik) dinyatakan dalam asset luar negeri (asset serupa yang dengan didedominasi dalam mata uang asing). (Miskhin, 2008:116)

2. Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Kurs Valuta Asing

Menurut Sukirno (2004:402) perubahan dalam permintaan dan penawaran suatu valuta asing yang selanjutnya menyebabkan perubahan dalam kurs valuta asing, disebabkan oleh banyak faktor. Yang terpenting diantaranya adalah seperti sebagai berikut:

a. Perubahan dalam cita rasa masyarakat.

Citarasa masyarakat mempengaruhi corak ekonomi mereka. Maka perubahan cita rasa masyarakat akan mengubah corak konsumsi mereka atas barang-barang yang diproduksi didalam negri maupun yang diimpor.Jika kualitas barang impor lebih berkualitas daripada barang-barang yang diproduksi dalam negri akan menyebabkan keinginan masyarakat untuk mengkonsumsi barang-barang impor bertambah besar sehingga permintaan barang impor akan bertambah besar,


(56)

39 perubahan-perubahan ini akan mempengaruhi permintaan dan penawaran valuta asing.

b. Perubahan harga-harga barang ekspor dan impor.

Harga suatu barang merupakan salah satu faktor yang menentukan apakah suatu barang akan diimpor atau diekspor. Barang-barang dalam negeri yang dapat dijual dengan harga yang relatif lebih murah akan menaikan ekspor dan apabila haragnya naik maka ekspor akan berkurang. Pengurangan harga barang impor akan menambah jumlah impor. Dan sebaliknya, impor akan menyebabkan perubahan dalam penawaran dan permintaan uang negara tersebut.

c. Kenaikan-kenaikan harga umum (inflasi)

Inflasi sangat besar pengaruhnya kepada kurs pertukaran valuta asing. Inflasi yang berlaku pada umumnya cenderung untuk menurunkan nilai suatu valuta asing. Kecendrungan seperti ini disebabkan efek inflasi yang berikut: inflasi menyebabkan harga barang-barang ekspor menjadi lebih mahal. Oleh karena itu, inflasi berkecendrungan mengurangi ekspor, keadaan ini menyebabkan

permintaan valuta asing bertambah dan akhirnya harga valuta asing akan bertambah.

d. Perubahan suku bunga dan tingkat pengembalian investasi.

Suku bunga dan tingkat pengembalian sangat penting dalam mempengaruhi aliran modal. Suku bunga dan tingkat pengembalian yang sangat rendah

cenderung akan menyebabkan modal dalam negeri akan mengalir keluar negeri. Begitupun sebaliknya, suku bunga dan pengembalian investasi yang tinggi akan menyebabkan modal luar negeri masuk kenegera tersebut. Apabila lebih banyak modal mengalir kesuatu negara, permintaan keatas maka uangnya bertambah maka nilai mata uang tersebut akan bertambah.


(57)

40 e. Pertumbuhan ekonomi

Efek yang akan diakibatkan oleh suatu kemajuan ekonomi yang berlaku. Apabila kemajuan itu ternyata diakibatkan oleh perkembangan ekspor, maka permintaan keatas maka uang negara tersebut bertambah lebih cepat dari penawarannya dan oleh karenanya nilai mata uang negara bersangkutan akan meningkat.

3. Hubungan Kurs dengan Non Performing Financing Perbankan Syariah Kurs (exchange rate) atau nilai tukar adalah harga suatu mata uang terhadap mata uang lainnya (Salvatore, 1997:9). Hubungan kurs dengan non performing financing dapat dilihat dari kurs mata uang rupiah terhadap mata uang asing, ketika terjadi perubahan kurs rupiah terhadap asing sangat berpengaruh kepada kelancaran usaha nasabah. Jika nilai rupiah jatuh dibandingkan dengan valuta asing dan jika usaha tersebut dijalankan menggunakan bahan impor, maka akan memukul usaha nasabah sebagai kreditur, sehingga mempersulit mereka untuk mengembalikan kredit yang telah diberikan oleh bank dan mendongkrak nilai NPF perbankan syariah. Penelitian yang dilakukan Taufan Verdino (2009:100) tentang nilai kurs terhadap non performing loan perbankan Indonesia, hasil dari penelitian

menunjukan bahwa nilai kurs tidak berpengaruh signifikan terhadap Non performing loan.

G. Inflasi

1. Pengertian Inflasi

Inflasi dapat diartikan sebagai suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus atau inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu (Manurung, 2008:359). Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa, bukan tinggi-rendahnya tingkat harga. Artinya, tingkat harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukkan inflasi. Inflasi dianggap terjadi


(58)

41 jika proses kenaikan harga berlangsung secara terus-menerus dan saling

pengaruh-mempengaruhi.

Manurung lebih lanjut menggambarkan inflasi sebagai salah satu dari persoalan politik yang sering diangkat menjadi komoditas politik. Sebuah pemerintahan dianggap gagal bila tidak bisa mengatasi masalah inflasi. Setidaknya terdapat dua efek utama yang disebabkan oleh inflasi, yaitu

redistribusi dan distorsi. Inflasi mengakibatkan efek distribusi pendapatan dan kemakmuran karena terjadinya perbedaan pada aset dan utang yang dipegang masyarakat. Inflasi mengakibatkan efek distorsi karena perekonomian

mengalami masalah efisiensi dan masalah penilaian total output. Masalah efisiensi ekonomi terjadi karena adanya distorsi pada harga dan penggunaan uang, sedangkan masalah penilaian total output terjadi karena adanya inflasi mendorong pelaku ekonomi menyesuaikan penilaian terhadap harga-harga dan adanya penyesuaian itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

2. Jenis-jenis Inflasi

Dalam teori ekonomi, inflasi dapat dibedakan menjadi beberapa jenis:

a. Penggolongan inflasi didasarkan sifatnya, inflasi dibagi menjadi tiga kategori utama yaitu (Putong, 2002:260)

1) Inflasi Merayap (creeping Inflation)

Biasanya ditandai dengan laju inflasi yang rendah, yaitu kurang dari 10% per tahun.

2) Inflasi Menengah (galloping inflation)

Ditandai dengan meningkatnya harga yang cukup besar dan kondisi tersebut berjalan dalam waktu yang relatif pendek serta mempunyai sifat akselerasi,


(59)

42 yang artinya harga pada bulan/minggu berikutnya selalu lebih tinggi dari waktu sebelumnya.

3) Inflasi Tinggi (hyper inflation)

Inflasi jenis ini sangat mengkhawatirkan, karena harga-harga barang meningkat sampai dengan lima atau enam kali, sehingga nilai uang turun secara tajam. Inflasi yang tinggi biasanya dikaitkan dengan kondisi ekonomi yang panas (over heated), artinya permintaan atas produk melebihi kapasitas penawaran produknya.

b. Penggolongan inflasi berdasarkan penyebabnya, dibedakan menjadi dua, yaitu: (Sukirno, 2006:333).

1) Demand pull inflation, yaitu inflasi yang disebabkan terlalu kuatnya peningkatan agregat permintaan terhadap komoditi-komoditi di pasar barang. 2) Cost low inflation, yaitu inflasi yang dissebabkan bergesernya kurva agregat

penawaran ke arah kiri atas. Penyebabnya adalah meningkatnya harga-harga faktor produksi sehingga menaikan harga komoditi di pasar.

3. Efek Buruk Inflasi

Ledakan inflasi telah membuat rumit perekonomian dan meningkatkan angka kemiskinan. Inflasi dua digit yang dipicu oleh melambungnya harga minyak dunia telah terbukti menjadi peristiwa yang banyak mengacaukan perekonomian dunia selama beberapa dekade terakhir sehingga banyak menimbulkan persoalan. Bahkan dampak inflasi yang dirasakan oleh masyarakat miskin jauh lebih besar

dibandingkan dengan angka inflasi itu sendiri. Inflasi telah mendepresiai nilai kekayaan dan pendapatan riil masyarakat sehingga terjadi penurunan daya beli. Dalam kondisi demikian perusahaan dililit oleh biaya – biaya produksi dan pemasaran yang makin naik. Sehingga pendapatan perusahaan makin menurun.


(60)

43 Manurung (2008:371) mengungkapkan setidaknya ada tiga biaya sosial yang harus ditanggung dari tingginya angka inflasi. Dampak sosial tersebut ialah

menurunnya tingkat kesejahteraan rakyat, memburuknya distribusi pendapatan, dan terganggunnya stabilitas ekonomi.

Inflasi dapat menimbulkan beberapa efek buruk terhadap kegiatan ekonomi dan kemakmuran individu dan masyarakat (Sukirno 2006:338).

a. Efek Buruk Inflasi terhadap Perkembangan Ekonomi

Biaya yang terus menerus naik menyebabkan kegiatan produktif sangat tidak menguntungkan. Maka pemilik modal biasanya lebih suka menggunakan uangnya untuk tujuan spekulasi. Kegiatan ekonomi semacam ini dapat menyebabkan

produktivitas dan berakibat pada peningkatan pengangguran. Naiknya harga barang lokal menyebabkan produk dalam negeri tidak bisa bersaing diluar negeri sehingga ekspor akan menurun.

b. Efek Buruk Inflasi terhadap Kemakmuran Masyarakat

Inflasi dapat menurunkan pendapatan riil orang-orang yang berpendapatan tetap. Selain itu inflasi dapat mengurangi nilai kekayaan yang berbentuk uang. Sebaliknya harta-harta tetap seperti rumah dan tanah akan terus mengalami kenaikan harga. Hal demikian dapat menyebabkan tidak meratanya kekayaan di masyarakat.

4. Hubungan antara Inflasi dengan Pembiayaan Bermasalah Sektor UKM Dalam perekonomian, inflasi merupakan hal yang wajar. Kehadirannya bisa menggairahkan perekonomian atau justru menghancurkannya. Kenaikan harga-harga yang disebabkan oleh inflasi juga akan dirasakan oleh para pengusaha, terutama dalam memperoleh bahan baku untuk usaha. Inflasi mendorong pelaku ekonomi menyesuaikan penilaian terhadap harga-harga dan adanya penyesuaian itu


(1)

111

4

5

Sept-15

9.851

9

0,82

10322

6,83

7,50

4

6

Okt-15

9.852

9

0,67

9736

6,25

7,50

4

7

Nov-15

9.752

9

0,26

9886

4,89

7,50

4

8

Des-15

9.248

8

8,03

10010

3,35


(2)

112

Lampiran 2: Tabel Model Regresi, Anova, dan Koefisien

Model Summaryb

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 ,900a

,810 ,792 1213,057

a. Predictors: (Constant), BiRate, FDR, Inflasi, Kurs b. Dependent Variable: NPF

ANOVAa

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 269893899,069 4 67473474,767 45,853 ,000b

Residual 63274804,931 43 1471507,091

Total 333168704,000 47

a. Dependent Variable: NPF

b. Predictors: (Constant), BiRate, FDR, Inflasi, Kurs

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) 2533,399 4966,408 -,510 ,613

FDR -91,886 46,831 -,193 -1,962 ,049

Kurs ,034 ,658 ,005 ,052 ,958

Inflasi -319,355 164,653 -,193 -1,940 ,043

BiRate 2842,818 442,118 ,900 6,430 ,000


(3)

113


(4)

114

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Unstandardized Residual

N 48

Normal Parametersa,b Mean ,0000000

Std. Deviation 1160,28981093

Most Extreme Differences Absolute ,099

Positive ,064

Negative -,099

Test Statistic ,099

Asymp. Sig. (2-tailed) ,200c,d

a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.

c. Lilliefors Significance Correction.


(5)

115

Lampiran 4: Uji Multikolinieritas dan Autokorelasi

Uji Tolerance & VIF

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.

Collinearity Statistics

B Std. Error Beta Tolerance VIF

1 (Constant) 2533,399 4966,408 -,510 ,613

FDR -91,886 46,831 -,193 -1,962 ,049 ,455 2,200

Kurs ,034 ,658 ,005 ,052 ,958 ,415 2,412

Inflasi -319,355 164,653 -,193 -1,940 ,043 ,445 2,246

BiRate 2842,818 442,118 ,900 6,430 ,000 ,225 4,436

a. Dependent Variable: NPF

Uji DW

Model Summaryb

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the

Estimate Durbin-Watson

1 ,900a ,810 ,792 1213,057 ,261

a. Predictors: (Constant), BiRate, FDR, Inflasi, Kurs b. Dependent Variable: NPF


(6)

116

Lampiran 5: Uji Heterokedatisitas

Uji Park

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) 18,380 95,376 ,193 ,848

Lnx1 -17,235 8,446 -,416 -2,041 ,047

Lnx2 8,428 12,858 ,141 ,656 ,516

Lnx3 4,152 1,813 ,473 2,291 ,027

Lnx4 -6,220 5,508 -,327 -1,129 ,265


Dokumen yang terkait

Pengaruh CAR (Capital Adequacy Ratio), FDR (Financing To Deposit Ratio), Dan NPF (Non Performing Financing) Terhadap Return Bagi Hasil Deposito Mudharabah Pada Perbankan Syariah Periode 2010-2014

1 98 90

Analisis Pengaruh Financing To Deposit Ratio (FDR) Dana Pihak Ketiga (DPK), Sertifikat Bank Indonesia Suariah (SBIS), dan Non Performing Financing (NPF) terhadap Return On Asset (ROA), Periode Januari 2009-2012

1 14 151

Analisis pengaruh faktor eksternal dan internal perbankan syariah terhadap profitabilitas pada perusahaan perbankan syariah periode 2010 - 2014

0 10 117

Analisis Pengaruh Dana Pihak Ketiga (DPK), Non Performing Financing (NPF), dan inflasi terhadap Financing to Deposit Ratio (FDR) Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) di Indonesia periode 2010-2013

2 8 115

Pengaruh Capital Adequacy Ratio (CAR), Financing to Deposit Ratio (FDR), dan Non Performing Financing (NPF) Terhadap Profitabilitas PT Bank Mega Syariah

1 15 95

Pengaruh faktor internal dan eksternal terhadap pembiayaan bagi hasil perbankan syariah

1 8 126

Pengaruh CAR, NPF, FDR dan BOPO Terhadap Profitabilitas Bank Umum Syariah (Periode 2011-2015)

1 9 152

Pengaruh Capital Adequancy Ratio (CAR), Financing to Deposit Ratio (FDR), dan Non Performing Financing (NPF) terhadap Profitabilitas Bank Umum Syariah di Indonesia Periode 2011-2015

0 2 108

Pengaruh Dana Pihak Ketiga (DPK), Capital Adequacy Ratio (CAR), dan Non Performing Financing (NPF) Terhadap Likuiditas Perbankan Syariah di Indonesia Periode 2011-2015

5 20 120

Pengaruh Tingkat Risiko Pembiayaan Murabahah, Musyarakah dan Financing To Deposit Ratio (FDR) Terhadap Profitabilitas pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Periode 2012-2015

0 4 104