Konsistensi Keagamaan TUJUAN PENCIPTAAN MANUSIA

2 Pengertian Ajaran agama yang dipeluk pasti memiliki landasan yang kuat, tempat dari mana seharusnya kita memandang. Mengapa suatu ajaran diajarkan, apa faedahnya untuk kehidupan pribadi dan masyarakat, apa yang akan terjadi jika manusia meninggalkan ajaran tersebut dan lain-lainnya adalah pertanyaan- pertanyaan yang jawabannya akan mengantarkan kita kepada sebuah pengertian. Seseorang yang mengerti ajaran agamanya akan dengan mudah mempertahankannya dari upaya-upaya pengacauan dari orang lain. Ia juga dapat menyiarkan ajaran agamanya dengan baik dan bergairah. 3Penghayatan Penghayatan terhadap suatu ajaran agama lebih tinggi nilainya dari sekedar pengertian. Ajaran yang hidup dalam jiwa dan menjadi sebuah kecenderungan yang instingtif mencerminkan tumbuhnya sebuah kesatuan yang tak terpisahkan antara agama dan kehidupan. Interaksi seseorang terhadap ajaran agamanya pada fase ini tidak sekedar dengan pikirannya tetapi lebih jauh masuk ke relung-relung hatinya. Dengan penghayatan yang mendalam seseorang dapat mengamalkan ajaran agamanya, melahirkan keyakinan atau keimanan yang mendorongnya untuk melaksanakan agama dengan tulus ikhlas. 4Pengabdian Seseorang yang tidak lagi memiliki ambisi pribadi dalam mengamalkan ajaran agamanya akan dapat memasuki pengabdian yang sempurna. Kepentingan hidupnya adalah kepentingan agamanya, tujuan hidupnya adalah tujuan agamanya, dan warna jiwanya adalah warna agamanya. Orang yang memasuki fase ini bagaikan sudah tak memiliki dirinya lagi, karena demikianlah hakikat penghambaan. Fase penghambaan ini yang disebut ibadah, yaitu penyerahan diri secara total dan menyeluruh kepada Tuhannya. Penghambaan ini akan menjelmakan pengamalan cara-cara ibadah tertentu ritual, mahdhah dan meletakkan seluruh hidupnya di bawah pengabdian kepada Tuhannya ghair mahdhah. 5Pembelaan Apabila kecintaan seseorang terhadap agamanya telah demikian tinggi maka tak boleh ada lagi perintang yang menghalangi jalannya agama. Rintangan terhadap agama adalah rintangan terhadap dirinya sendiri sehingga ia akan segera melakukan pembelaan. Ia rela mengorbankan apa saja yang ada pada dirinya, harta benda bahkan nyawa, bagi nama baik dan keagungan agama yang dipeluknya. Pembelaan ini yang disebut jihad, yaitu suatu sikap jiwa yang sungguh-sungguh dalam membela agamanya. Itulah makna konsistensi keagamaan seseorang yang ditampakkan pada jalan kehidupannya. Sejarah mencatat fenomena ini dalam berbagai agama dan ideologi yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan manusia. Para pahlawan muncul dalam berbagai bangsa. Dalam kaitan ini Allah berfirman : Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar. Al-Hujurat: 15.

BAB II KONSEP ESKATOLOGI DALAM ISLAM

A. Pengertian Eskatologi

Hukum keserbateraturan dan hukum ketidak kekalan merupakan hukum dasar atau sunnatullah yang berlaku bagi setiap ciptaan Allah, tanpa kecuali. pembuktian tentang hari akhir ini dijelaskan oleh Al- Qur’an dan hadis yang menjelaskan tentang kejadian dan akhir manusia, bumi serta alam semesta. Para sarjana fisika, biologi, dan ilmu-ilmu lainnya, telah mengungkapkan sekelumit kebenaran hakikat kedua hukum itu dalam penemuan ilmiah mereka. 6 Semua makhluk hidup mengalami kematian. Manusia meninggal dalam berbagai tingkatan usia. Hewan dan tumbuh-tumbuhan secara berangsur- angsur mengalami kepunahan. Mineral-mineral seperti minyak bumi, gas bumi, dan mineral lainnya selalu dieksploitasi dan dimanfaatkan manusia sehingga mengalami penyusutan yang suatu saat akan habis. Bumi, bulan, dan benda langit lainnya secara tidak disadari oleh manusia ternyata mengalami perubahan sesuai dengan sifat-sifat yang dimilikinya. Hal ini terjadi pula pada matahari sebagai sumber cahaya dan energi yang sangat vital bagi kehidupan manusia. Jika proses perubahan itu dipelajari dan diteliti serta direnungkan secara mendalam, maka dapat diambil kesimpulan bahwa segala sesuatu yang ada dialam ini, kecuali Dzat Yang Maha Kuasa, akan mengalami kehancuran. Kesimpulan demikian telah diterangkan Allah dalam firman-Nya : 6 Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, Jakarta: Ikhlas Beramal, 1999-2000, h. 111. عج ْ ت هْيل مْ حْل هل ه ْج اَ كل ه ءْيش ُلك Artinya. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. BagiNyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan. al- Qashash28:88. Musnahnya kehidupan secara berangsur- angsur, berhentinya alam semesta mengembang dan akan berkontraksi kembali ketitik awal kejadiannya merupakan bukti nyata adanya hukum ketidakkekalan yang berlaku bagi setiap ciptaan Allah. Bagi orang-orang yang beriman dan berilmu, kejadian itu merupakan bukti ke-Mahakuasaan Allah dan kefanaan kehidupan duniawi. Dalam memahami kehidupan dunia, manusia sering tergelincir kedalam pikiran yang materialistis. Kaum materialis -atheis beranggapan bahwa hidup setelah mati hanyalah lamunan orang-orang awam yang tidak menggunakan akalnya. Para sarjana itu berkeyakinan bahwa pada bumi dan alam semesta ini berlaku hukum the law of concervation of matter materi ini kekal dalam perubahan kekekalan. Hidup ini menurut mereka, hanyalah proses berantai dari reaksi-reaksi kimia dan mekanisme alam belaka. Pendapat lain yang agak moderat dari pendapat sarjana atheis ini adalah kepercayaan tentang adanya 7 “reinkarnasi” penjelmaan kembali. Tetapi pada prinsipnya kepercayaan terhadap reinkarnasi ini sama saja dengan kekalnya kehidupan duniawi sebagaimaa keyakinan orang-orang atheis. Bila reinkarnasi benar-benar berlangsung, maka jumlah manusia akan tetap, yaitu angka kelahiran sama dengan angka kematian. Padahal kenyataannnya tidak demikian; jumlah manusia terus berlipat, yang berarti ruh manusia terus menerus diciptakan. Dengan demikian 7 Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, Jakarta: Ikhlas Beramal, 1999-2000, h 112.