Perceived Value Landasan Teoritis

Perceived value dipengaruhi selisih antara biaya moneter dan non moneter, selera konsumen, dan karakteristik konsumen Bolton and Drew, 1991. Nilai yang didefinisikan pelanggan, saat merasa puas terhadap pengalamannya secara keseluruhan. Rangkuti 2002, perceived value dapat dijadikan sebagai batasan penentuan harga, artinya harga maksimum yang harus dikeluarkan oleh pelanggan berdasarkan persepsi pelanggan terhadap seberapa jauh nilai produk tersebut menguntungkan bagi mereka. Kartajaya 2006 memaparkan secara matematis, perceived value adalah perceived quality dibagi price. Perceived value akan naik apabila perceived quality naik atau price-nya turun.

2.1.5 Image

Bayol, dkk. 2000 menjelaskan citra image merupakan peubah pilihan yang terkait dengan nama merek dan jenis asosiasi seperti apa yang diperoleh pelanggan dari produkmerekperusahaan. Sudin 2011 menyatakan konsep dari image telah banyak digambarkan di berbagai literatur hubungan pelanggan, di antaranya adalah Zeithaml 1998, Keller 1993, Bitner 1991, Grönroos 1984; Gummesson dan Grönroos 1988. Image merupakan sebuah persepsi pasar tervalidasi dan bahwa sebuah perusahaan hanya akan memiliki sebuah image yang bagus jika produknya benar-benar layak. Dengan demikian image sering digunakan sebagai sumber eksternal dari persepsi seseorang. Pada tingkat perusahaan, image didefinisikan sebagai persepsi dari sebuah organisasi yang tercermin dalam asosiasi yang telah terbenam di benak konsumen. Menurut Kotler dan Keller 2009 menjelaskan bahwa citra merek merupakan jumlah dari gambaran-gambaran, kesan-kesan dan keyakinan- keyakinan yang dimiliki oleh seseorang terhadap suatu objek”. Berdasarkan pengertian tersebut, citra merek merupakan sesuatu yang berhubungan dengan suatu sikap seseorang yang berupa keyakinan dan preferensi terhadap merek suatu produk maupun perusahaan. Setiap perusahaan dalam melaksanakan kegiatan usahanya khusus untuk kegiatan pemasaran memiliki suatu tujuan adalah untuk meningkatkan penjualan bagi perusahaan, salah satu upaya adalah dengan cara mempertahankan citra merek di mata konsumen maupun pelanggan. Sebuah citra positif akan dapat mengendalikan pelanggan untuk menarik kesimpulan bahwa keuntungan yang diraihnya secara komparatif memiliki nilai yang baik, dengan demikian maka kepuasan pelanggan akan meningkat. Andreassen, dkk 1998 dalam Sudin 2011 menyatakan bahwa citra perusahaan dimunculkan dan dikembangkan di dalam benak konsumen melalui komunikasi dan pengalaman. Citra perusahaan dipercaya untuk menciptakan sebuah “halo effect” pada penilaian kepuasan pelanggan.

2.1.6 Customer Expectation

Olson dan Dover 1979 dalam Kartajaya 2002 mendefinisikan harapan pelanggan customer expectation sebagai kepercayaan sebelum mencoba pre- trial belief mengenai suatu produk, yang kemudian dijadikan sebagai standar untuk mengevaluasi performance suatu produk atau pengalaman-pengalaman yang akan datang. Menurut Olson dan Dover dalam Pratiwi 2010, harapan pelanggan merupakan keyakinan pelanggan sebelum mencoba atau membeli suatu produk, yang dijadikan standar atau acuan dalam menilai kinerja produk tersebut. Pada umumnya, harapan pelanggan merupakan perkiraan atau keyakinan pelanggan tentang apa yang akan diterimanya. Pengukuran harapan pelanggan dapat dilakukan dengan cara membandingkan harapan konsumen sebelum menjadi pelanggan dan setelah menjadi pelanggan, harapan akan kualitas yang lebih unggul dibandingkan produk atau merek lain, dan harapan konsumen agar merekproduk mampu membuktikan segala keunggulan yang telah dikomunikasikan kepada pelanggan. Berdasarkan pada pemaparan tersebut di atas, maka semakin besar harapan pelanggan yang terpenuhi akan menyebabkan semakin tingginya tingkat loyalitas pelanggan.

2.1.7 Loyalitas

Szwarc, 2005 menjelaskan loyalitas pelanggan merupakan minat atau kecenderungan pelanggan untuk melakukan pembelian ulang. Loyalitas pelanggan biasanya diukur melalui riset survey pasar. Terdapat perbedaan nyata antara