Kejadian Ganggu Fungsi Paru pada Responden
perjalanan penyakit serta deteksi dini penyakit paru tertentu juga untuk menilai prognosis penyakit pada paru-paru.
Berdasarkan hasil wawancara, sebanyak 15 responden 37,5 mengalami riwayat asma dengan gejala sesak nafas. Menurut Curry 1946 dalam Yunus 1992
fenomena ini disebut dengan hipereaktivitas bronkus. Hipereaktivitas bronkus ini selain terjadi pada penderita asma, ditemukan juga pada penderita fibrosis kistik,
bronkiektasi dan penyakit paru obstruksi kronik. American Thoracic Society 1987 dalam Yunus 1992, asma adalah
penyakit yang didasari oleh hipereaktivitas bronkus yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak nafas, dada terasa berat dan batuk-batuk
terutama pada malam menjelang dini hari. Sedangkan Menurut Deal et al. 1980 dalam Yunus 1992 pada umumnya diagnosis asma dan penyakit obstruksi kronis
dapat mudah ditegakkan oleh karena penderita biasanya mempunyai gejala dan tanda yang khas, dan obstruksi kronik dapat diketahui tanda dan gejala seperti sesak
napas, batuk kronik, produksi sputum, dengan riwayat pajanan gasprtikel berbahaya, disertai dengan pemeriksaan faal paru. Namun, apabila penderita tidak
dalam keadaan hiper responsif jalan nafas, pemeriksaan fisik dan spirometri dapat tidak menunjukan kelainan, sehingga diagnosis sukar ditegakan walaupun secara
anamnesis menunjukan asma.
Dari teori tersebut peneliti berkesimpulan, bahwa dari hasil pemeriksaan kapasitas vital paksa pada 40 responden, didapatkan sebanyak 7 17,5 responden
mengalami gangguan fungsi paru, dengan diagnosis restriksi sedang sebanyak 5 orang 11,4 dan restriksi ringan 2 orang 4,5. Sedangkan dari jumlah total
responden tersebut, sebanyak 10 25 responden mengalami riwayat penyakit asma. Hal tersebut ada kecenderungan responden yang sedang tidak mengalami
rangsangan hipereaktivitas bronkus oleh bahan yang bersifat alergan tidak reaktif atau yang memiliki riwayat penyakit asma tidak menunjukan adanya gangguan
fungsi paru, sehingga saat pemeriksaan spirometri kapasitas vital paksa responden ≥
80. Penelitian ini memiliki kesamaan dengan hasil penelitian Ikhsan 2007,
dimana variabel dependen didapatkan prevalensinya sedikit, yaitu didadapatkan pada pekerja pabrik semen sebanyak 18 orang 9,9 ada kelainan klinis yang
ditemukan pada subjek penelitian, dan sebanyak 164 orang 90,1 pekerja semen ini tanpa kelainan. Kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan kelainan foto toraks,
didapatkan pada 9 orang 4,9 mengalami kelainan foto toraks, sedangkan sebanyak 173 95,1 tidak ditemukan kelainan foto toraks.
Menurut Herzog 1980 dalam Yunus 1992 rangsangan yang menimbulkan hipereaktivitas bronkus ini dibedakan atas komponen endogen dan eksogen.
Komponen endogen kemungkinan bersifat genetik dan terdapat seumur hidup. Sedangkan , komponen eksogen adalah rangsangan dari luar seperti infeksi, alergan,
mekanis, panas dan bahan-bahan kimia seperti sulfur dioksida, aldehid, ozon, debu partikel dan asap rokok. Sedangkan, hasil pengukuran spirometri tersebut
menunjukan bahwa pekerja mengalami gangguan restriksi, yaitu gangguan yang disebabkan karena menurunkan kapasitas vital paru seseorang. Curry 1946 dalam
Yunus 1992 gangguan restriksi paru ini menjadi prognosis terjadinya kelainan fibrosis, atelectasis, tumor paru dan pneumonia.
Menurut Warpaji 1994 dalam Yuliani 2010 restriksi yaitu penyempitan saluran paru yang diakibatkan oleh bahan yang bersifat alergi seperti debu, spora,
jamur yang mengganggu saluran pernafasan dan kerusakan jaringan paru, gejala- gejalanya antara lain batuk kering, sesak nafas, kelelahan umum, banyak dahak dan
lain-lain. Paparan debu mineral seperti batu bara, tembaga dan lainnya diketahui dapat menimbulkan perubahan khas dalam mekanik pernafasan dan volume paru
dengan pola restriktif. Sedangkan paparan debu organik seperti jamur, bakteri, sayuran, binatang dapat menimbulkan asma dengan pola kerja obstruktif dengan
pola reversible atau obstruktif. Berdasarkan jenis pekerjaannya yang ada pada lampiran 4, responden yang
didiagnosis mengalami gangguan restriksi paru yaitu pada bagian penghancuran sebanyak 2 dari 3 orang, pembakaran sebanyak 4 dari 14 orang dan pembongkaran
1 dari 18 orang.
Pekerja yang mengalami gangguan restriksi paru pada proses penghancuran diprediksikan karena adanya paparan SiO
2
dari material batu kapur yang belum melalui tahap pembakaran. Berdasarkan hasil uji laboratotium dari kadar SiO
2
pada batu kapur ditunjukan dalam tabel 5.6. bahwa pada batu kapur yang belum
dilakukan pembakaran mengandung SiO
2
lebih tinggi dibandingkan dengan batu kapur yang sudah melalui proses pembakaran. Oleh karena itu, risiko gangguan paru
pada responden pekerja dibagian penghancuran memiliki risiko terkena silicosis. Karena menurut Suma’mur 199 silika bebas SiO
2
yang terdapat pada debu dari bahan material yang mengandung SiO
2
dapat terhirup yang dapat menyebabkan penyakit silicosis yang termasuk dalam golongan pneumoconiosis. Penyakit silicosis
ini sering ditemui pada pekerja-pekerja diperusahaan yang menghasilkan batu- batuan yang mengandung silica bebas di dalamnya. Masa inkubasi silicosisi adalah
2-4 tahun, dan sangat tergantung dengan banyaknya debu dan kadar yang terhirup. Selain itu, hasil pengukuran udara ambien didapatkan kadar PM
10
dilokasi pembakaran sampel A sebesar 1.427 µgm3
dengan nilai rata-rata keadaan suhu 5 C dan kelembaban 71 serta kecepatan angin 0,9-1,9 ms dan lokasi
pembakaran sampel B sebagai perbandingan didapatkan kadar PM
10
sebesar 419 µgm3 dengan nilai rata-rata keadaan suhu 30
O
C dan kelembaban 74 serta kecepatan angin 1,1-1,9 ms.
Berdasarkan data pengukuran udara ambien lingkungan kerja pengolahan batu kapur tersebut, didapatkan kadar PM
10
yang sudah melebihi NAB parameter
PM
10
menurut PP No.41 Tahun 1999 yaitu sebesar 150 µgm3. Hal ini yang menjadi asumsi peneliti bahwa pekerja yang didiagnosis restriksi paru adalah
pekerja yang beraktivitas pada bagian pembakaran, dimana faktor lingkungan yaitu udara ambien dari kadar PM
10
sebagai faktor pemicu terjadinya gangguan restriksi paru. Jenis gangguan restriktif ini akan mengarah pada jenis penyakit akibat kerja
yaitu golongan penyakit pneumokoniosis.