Hubungan Antara Kadar PM

Data epidemiologi dalam Sydbom et al. 2001 dalam Ikhsan dkk 2010 menunjukan hubungan antara kadar partikel dan meningkatnya morbiditi termasuk gejala respirasi, eksaserbasi alegi, asma, menurunnya fungsi paru dan perawatan pada pasien PPOK. Di Eropa dalam artikel The Air Pollution and Health menunjukan angka rawat asma dan PPOK meningkat 1,0 per 10 mgm 3 PM10. Pajanan terhadap PM memperburuk penyakit respirasi kronik dan kardiovaskular, merubah pertahanan tubuh dan merusak jaringan paru hingga menambah kemungkinan terjadinya kanker paru-paru. Menurut Price 1995 mekanisme penimbunan debu dalam paru yaitu pertama debu diinhalasi dalam bentuk partikel debu solid, atau suatu campuran dan asap. Kedua udara masuk melalui rongga hidung disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga fungsi tersebut disebabkan karena adanya mukosa saluran pernapasan yang terdiri dari epitel toraks bertingkat, bersilia, dan mengandung sel goblet. Partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut yang terdapat pada lubang hidung, sedangkan partikel debu yang halus akan terjerat dalam lapisan mokosa. Gerakan silia mendorong lapisan mukosa ke posterior, ke rongga hidung dan kearah superior menuju faring dan menuju paru-paru. Kemudian, partikel debu yang masuk kedalam paru-paru akan membentuk fokus dan berkumpul dibagian awal saluran limfe paru. Debu ini akan difagositosis oleh magrofag. Debu yang bersifat toksik terhadap magrofag akan merangsang terbentuknya magrofag baru. Pembentukan dan destruksi magrofag yang terus- menerus berperan penting dalam pembentukan jaringan ikat kolagen dan pengendapan hialin pada jaringan ikat yang membentuk fibrosis. Fibrosis ini terjadi pada parenkim paru yaitu pada dinding alveoli dan jaringan ikat intertestial. Akibat fibrosis paru akan terjadi penurunan elastisitas jaringan paru pergeseran jaringan paru dan menimbulkan ganggguan pengembangan paru. Bila pengerasan alveoli mencapai 10 akan terjadi penurunan elastisitas paru yang menyebabkan kapasitas vital paru menurun dan mengakibatkan menurunnya suplai oksigen ke jaringan otak, jantung dan bagian- bagian tubuh lainnya sehingga ini menjadi faktor risiko terjadinya serangan penyakit kardiovaskular. Berdasarkan hal itu, pengukuran udara ambien di lingkungan aktivitas pengolahan batu kapur di Desa Tamansari perlu dilakukan sebagai penunjang hipotesis penelitian. Pengukuran udara ambien kadar debu dilakukan pada beberapa dua titik sampel 2 pemilik pembakaran yang di ukur berdasarkan tahapan proses aktivitasnya dan waktu representatif selama 24 jam yaitu pada pagi hari, siang hari dan sore hari, masing-masing pengambilan sampel PM 10 diukur selama 1 jam dan direkama setiap 10 detik yang kemudian data rata-rata disajikan pada tabel 6.1. di bawah ini : Tabel 6.2. Hasil Pengukuran Udara Ambien PM10 di Lingkungan Kerja Pengolahan Baru Kapur Desa Tamansari Tahun 2013 No. Aktivitas Pengolahan Batu Kapur Kadar PM10 Ambien µgm3 Jumlah Responden 1. Penghancuran 177 3 2. Pembakaran 1 1.437 9 3. Pembakaran 2 419 5 4. Pembongkaran 260 18 5. Pemadaman dan Pengayakan Finnishig 177 5 Besar suatu kegiatan usaha dapat dikatakan menimbulkan pencemaran udara dapat dilihat pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.13 Tahun 1995 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak dan Peraturan Pemerintah No.41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Pada penelitian ini indikator nilai ambang batas udara ambien nasional pada parameter PM 10 adalah sebesar 150 µgm 3 dari PP No.41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, sedangkan NAB kadar PM 10 dilingkungan kerja adalah sebesar 10 mgm 3 berdasarkan Kemenakes No. 1405 Tahun 2002 Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri. Berdasrkan tabel 6.2. hasil pengukuran udara ambien PM 10 di lingkungan pengolahan batu kapur di Desa Tamansari melebihi nilai ambang batas secara kadar udara ambien nasional, namun berdasarkan berdasarkan NAB di lingkungan industri tidak melebihi NAB yang di tetapkan. Hal ini dikarenakan aktivitas pengolahan batu kapur tidak pada suatu industri atau pabrik yang memiliki tempat khusus, melainkan pengolahannya berada pada ruang terbuka dan belum dilegalitaskan secara resmi menjadi sebuah aktivitas indusrti oleh pemerintah setempat.Oleh karena itu, variebl kadar PM 10 ambien tidak memiliki hubungan dengan terjadinya gangguan fungsi paru pada responden. Keberadaan kadar PM 10 ambien yang ada di lingkungan pengolahan batu kapur dan area Desa Tamansari ini memiliki risiko paparan debu tidak hanya pada pekerja dan masyarakat sekitar. Pengukuran PM 10 di ikuti dengan pengukuran kecepatan angin, hasil pengukuran cukup fluktuatif, mimum kecepatan mulai 0,5 sampai maksimum 1,9 ms, artinya udara di lingkungan kerja terjadi pergerakan mengikuti arah angin yaitu ke arah timur dengan arah menjauh dari pemukiman Desa Tamansari. Berdasarkan hasil analisis uji t-test independen didapatkan P value antara PM 10 dengan gangguan fungsi paru adalah sebesar 0,783. Hal ini berarti pada alpha 5 tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kadar PM 10 dengan gangguan fungsi paru. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Mengkidi 2006 yaitu tidak adanya hubungan kadar TSP ambien semen dengan gangguan fungsi paru dengan nilai p value sebesar 0,244. Kemudian penelitian ini sejalan dengan Ikhsan 2007 pada pekerja pabrik semen, hasil uji statistik menunjukan tidak adanya hubungan antara kadar pajanan debu dengan kelainan klinis paru dengan nilai p value 0,298. Untuk mengetahui adanya dampak paparan debu dari tempat kerja terhadap gangguan fungsi paru pada individu pekerja, banyak variabel yang harus lebih spesifik di teliti, yaitu kadar debu terhirup menggunakan personal dust sampler untuk mengetahui secara spesifik jumlah paparan debu terhirup, kemudian faktor kerentanan dan imunitas serta fisiologis dari individu pekerja yang sulit untuk diukur harus melalui penelitian yang lebih medis dan kedokteran kesehatan kerja, hal ini juga menjadi keterbatasan dari penelitian pekerja batu kapur di Desa Tamansari. Secara teori diketahui bahwa debu berperan dan berhubungan terhadap gangguan pernafasan dan risiko penyakit kronik yang mematikan, namun seorang pekerja yang berada di lingkungan kerja dengan konsentrasi yang sama, durasi paparan dan karakteristik perilaku lainnya yang sama namun akan mengakibatkan kelainan klinis yang berbeda. Menurut asumsi peneliti hal ini disebabkan karena kerentanan tubuh dan fungsi organ masing-masing individu yang berbeda dan akhirnya menyebabkan status dan gangguan kesehatannya berbeda. Selain itu, paparan kadar udara ambien ini di lingkungan kerja pengolahan batu kapur ini tidak bergerak ditempat seperti dalam sebuah ruangan, tetapi pergerakan debu dan arah angin menjauh dari aktivitas pembakaran dan proses lainnya, karena sifat debu yang mudah diterbangkan oleh angin. Namun, yang dapat dicanangkan dari aktivitas pengolahan batu kapur ini sebaiknya lebih ramah lingkungan dan melindungi pekerja dan masyarakat sekitar, agar selain menjadi mata pencaharian, asset daerah juga menjadi kegiatan kearifan lokal daerah. Sebagimana dalam Firman Allah swt. dalam Q.S. Al- A’raaf : 5 : أْا ف ا دسْفتا .......ا حاْص دْعب ضْ ͞Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diciptakan dengan baik. ͟ Dalam Al-Quran dan Tafsirnya 2011 menerangkan ayat ini Allah melarang manusia agar tidak membuat kerusakan di muka bumi. Larangan membuat kerusakan ini mencakup semua bidang, seperti pergaulan, jasmani, rohani orang lain, kehidupan dan sumber penghidupan, lingkungan dan sebaginya. Bumi ini sudah diciptakan Allah dengan segala kelengkapannya, baik di daratan, gunung, lautan dan sebagainya, yang semuanya ditujukan untuk keperluan manusia, agar dapat diolah dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan manusia, maka dapat ditegaskan adanya larang pada manusia untuk membuat kerusakan di muka bumi. Oleh karena itu, segala bentuk penciptaan yang ada di muka bumi seperti salah satunya dalam bentuk pertambangan sumber daya alam dapat diolah dan dikelola dengan sebaik-baiknya agar terciptanya keseimbangan alam dan kelestarian lingkungan. Berdasarkan hal itu, peneliti menginisiasikan untuk adanya hubungan kerja sama yang baik antara Pemda Kab. Karawang dan pemilik pengolahan batu kapur ini untuk di adakannya pelatihan pengelolaan batu kapur berwawasan lingkungan perlu segera direalisasikan dengan teknologi tepat guna dan sederhana. Menurut Soerjani dkk 1987 dalam Hadi dkk 2008 bahwa dalam pembangunan berwawasan lingkungan, manusia harus berani menunjukan keterbatan dirinya dalam pengelolaan lingkungan. Dalam pengelolaan lingkungan, diperlukan adanya sentuhan keterampilan yang berbasis teknologi baik secara sederhana maupun modern. Oleh karena itu, pelatihan dan kunjungan lapangan yang dapat disediakan oleh Pemda setempat maupun lembaga lainnya baik dari akademis maupun sosial kepada kelompok usaha pengolahan batu kapur di Desa Tamansari. Selain itu, sebaiknya kepada Pemerintah Dearah Kab. Karawang khususnya pada Dinas Kesehatan, Badan Lingkungan Hidup Daerah Kab. Karawang dan lintas sektor lainnya dapat memperhatikan aktivitas pengolahan batu kapur di Desa Tamansari ini dengan melakukan pemantauan kualitas udara di area kerja maupun pemukiman, dan dilakukannya sosialisasi yang lebih massif terkait pentingnya penggunaan APD pada pekerja sebagai upaya pencegahan timbulnya penyakit akibat kerja yang akan berpengaruh terhadap produktifitas pekerja dan pembangunan daerah.

6.4.2. Hubungan Antara Suhu terhadap Gangguan Fungsi Paru

Menurut Suharsono 1985 dalam Subaid 2002 cuaca dan iklim bukan penyebab polusi udara, tetapi keadaan atmosfer mempunyai pengaruh yang besar terhadap laju difusi penyebaran bahan pencemar, baik secara horizontal maupun vertikal. Faktor meteorologis yang memegang peran dalam proses penyebaran bahan pencemar di udara adalah faktor angin kecepatan dan arah, turbulensi, stabilitas atmosfer dan inversi. Selain itu ada pula faktor-faktor meteorologi sekunder yang mempengaruhi polusi udara, antara lain hujan, kabut dan radiasi surya. Maka, dapat disimpulkan bahwa faktor iklim dan meteorologi mempengaruhi konsentrasi dan kadar bahan polutan pada suatu lingkungan tertentu. Salah satunya adalah suhu atau temperatur. Dalam Ikhsan 2010 suhu yang ekstrim baik dingin maupun panas berada pada kondisi perubahan polusi udara seperti kebakaran hutan dan hujan debu, berpotensi menyebabkan penyakit respirasi baik jangka pendek maupun panjan. Penelitian di Itali oleh Atkinson et al. 2001 dalam Ikhsan 2010, selama musim panas tahun 2003, penduduk yang berusia 65 tahun mempunyai risiko 34 kematian dan risiko penyakit respirasi. Angka kematiannya cukup tinggi pada pasien PPOK dan pada kelompok gender perempuan. Polusi udara seperti debu partikel, NO 2 , SO 2 dan ozon dibumi dapat meningkat sebagai adaptasi terhadap suhu yang memanas. Polusi udara seperti ozon dan partikel menyebabkan meningkatnya kasus respirasi dan menurunya fungsi paru. Seperti di lingkungan kerja suatu industri atau tempat tertentu yang memiliki sumber pencemar udara, dimana konsentrasi bahan polutan akan dipengaruhi oleh konsentrasi suhu, sehingga akan berpengaruh terhadap penurunan fungsi paru dan menimbulkan risiko keluhan pernafasan terutama pada orang-orang yang berisiko. Namun berdasarkan hasil analisis statistik bivariat pada variabel suhu lingkungan kerja pada uji t-test independent diperoleh nilai p value antara suhu

Dokumen yang terkait

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR-FAKTOR RISIKO GANGGUAN FUNGSI PARU DENGAN FUNGSI PARU PEKERJA PENGOLAHAN BATU KAPUR DI KECAMATAN PUGER KABUPATEN JEMBER

0 19 17

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR-FAKTOR RISIKO GANGGUAN FUNGSI PARU DENGAN FUNGSI PARU PEKERJA PENGOLAHAN BATU KAPUR DI KECAMATAN PUGER KABUPATEN JEMBERENGOLAHAN BATU KAPUR

0 5 17

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR-FAKTOR RISIKO GANGGUAN FUNGSI PARU DENGAN FUNGSI PARU PEKERJA PENGOLAHAN BATU KAPUR DI KECAMATAN PUGER KABUPATEN JEMBERRachman Efendi

0 14 17

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kapasitas Vital Paru Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015

2 10 133

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Gejala Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di 5 Posyandu Desa Tamansari Kecamatan Pangkalan Karawang Tahun 2013

9 81 153

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Fungsi Paru Pada Pekerja Pembuat Batu Bata Di Kelurahan Penggaron Kidul Kecamatan Pedurungan Semarang Tahun 2015.

0 5 14

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KAPASITAS VITAL PARU PADA PEKERJA INFORMAL PENGOLAHAN KAPUK UD.TUYAMAN DESA SIDOMUKTI WELERI KABUPATEN KENDAL TAHUN 2013.

0 4 15

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja di PT. Tonasa Line Kota Bitung | Anes | JIKMU 8490 16812 1 SM

0 0 8

View of FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN GANGGUAN FUNGSI PARU PADA PEKERJA PEMBUAT KASUR (STUDI KASUS DI DESA BANJARKERTA KARANGANYAR PURBALINGGA)

0 0 5

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN GANGGUAN FUNGSI PARU PADA PEKERJA PENGECATAN MOBIL DI LIGU SEMARANG - Repository Universitas Muhammadiyah Semarang

0 0 10