Hubungan Masa Kerja dengan Gangguan Fungsi Paru

Pada penelitian ini hasil analisis uji t-test independen pada variabel masa kerja terhadap gangguan fungsi paru dengan nilai p value sebesar 0,932, maka pada alpha 5 menunjukan tidak ada hubungan antara variabel masa kerja dengan gangguan fungsi paru pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari tahun 2013. Dari hasil crosstab antara kategori masa kerja ≥ 10 Tahun sebanyak 3 orang 16,7 di diagnosis adanya gangguan fungsi paru dan 15 orang 83,3 tidak mengalami gangguan fungsi paru, sedangkan pada katagori lama paparan 10 tahun hanya terdapat 4 orang 18,2 yang mengalamani gangguan dan 18 orang 81,8 tidak mengalami gangguan fungsi paru. Hasil crosstab tersebut menggambar kan proporsi pekerja dengan masa kerja 10 tahun dan masa kerja ≥ 10 sama-sama memiliki risiko terkena gangguan fungsi paru. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Yulaekah 2007 yaitu tidak adanya hubungan antara masa kerja terhadap gangguan fungsi paru pada pekerja industri batu kapur dengan nilai p value sebesar 0,192. Kemudian penelitian ini sejalan dengan penelitian Aviandari 2008 yaitu tidak adanya hubungan antara masa kerja dengan riwayat asma pada pekerja pabrik gandum dengan nilai p value 0,520. Berdasarkan proporsi antara variabel masa kerja terhadap gangguan fungsi paru pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari tahun 2013 bahwa kategori masa kerja kerja 10 tahun dan masa kerja ≥ 10 sama-sama memiliki risiko terkena gangguan fungsi paru, meskipun pada hasil uji statistik tidak menunjukan hubungan yang signifikan. Menurut asumsi peneliti bahwa, sebanyak 33 orang 75 responden adalah penduduk asli daerah setempat yang juga jarak rumah dengan aktivitas pembakaran batu kapur cukup berdekatan, dimana jarak antara rumah dan tempat pembakaran kurang lebih berjakar ≤ 1.000 m 2 , sehingga aktivitas pengolahan batu kapur di Desa Tamansari ini memiliki risiko paparan polutan partikel debu tinggi, karena aktivitas pengolahannnya masih sangat sederhana dan minim akan teknologi, dibuktikan dengan hasil pengukuran udara ambien PM 10, rata-rata semua titik pengolahan batu kapur melebihi NAB berdasarkan PP No.41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Menurut asumsi peneliti variabel masa kerja ini akan terjadi bias analisis dengan lama tinggal pekerja yang berjarak ≤ 1.000 m 2 dari aktivitas pengolahan batu kapur, karena menurut Rahman 2009 menyebutkan kadar TSP dari PM 10 menurun jaraknya dari sumber mulai jarak 500 m samapi 5. 000 m. Apabila sebanyak 75 pekerja bertempat tinggal ≤ 1000 m 2 dari lingkungan kerjanya, maka akan ada risiko paparan dari lama tinggal dan jarak rumahnya. Hal ini dapat dijadikan studi lanjutan mengenai analisis risiko kesehatan lingkungan pemukimanan dari adanya aktivitas pengolan batu kapur di Desa Tamansari. 6.4. Hubungan Antara Faktor Lingkungan terhadap Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari Tahun 2013

6.4.1. Hubungan Antara Kadar PM

10 Ambien terhadap Gangguan Fungsi Paru Aktivitas pengolahan batu kapur di Desa Tamansari ini merupakan proses pengolahan batu kapur yang bersifat industri non formal, yaitu hasil tambang batu kapur kemudian dilakukan pemecahan menjadi bongkahan yang lebih kecil, dimana proses pembakaran selama 48 jam, pembongkaran, pemadaman, pengadukan dan pengayakan sehingga menjadi serbuk atau partikel seperti tepung atau semen. Dari aktivitas pengolahan tersebut lah menjadi sumber utama dihasilkannya polutan udara yang salah satunya adalah komponen debu berjenis particullat metter PM berukuran 10 mikron atau PM 10. Menurut EPA 2001 Particulat Matter 10 PM 10 adalah jenis pencemaran yang terdiri dari partikel cair dan padat yang sangat kecil berdiameter 10 mikron untuk dihirup kebagian terdalam paru-paru. Diibaratkan, ukuran rambut manusia adalah 60 mikron, maka PM 10 adalah 6 kali lipat dari sehelai rambut. Dalam Pope III et al. 2006 partikel PM 10 yang berdiameter 10 mikron memiliki tingkat kelolosan yang tinggi dari saringan pernafasan manusia dan bertahan di udara dalam waktu cukup lama. Tingkat bahaya semakin meningkat pada pagi dan malam hari karena asap bercampur dengan uap air. PM 10 tidak terdeteksi oleh bulu hidung sehingga masuk ke paru-paru. Jika partikel tersebut terdeposit ke paru-paru akan menimbulkan peradangan saluran pernapasan. Data epidemiologi dalam Sydbom et al. 2001 dalam Ikhsan dkk 2010 menunjukan hubungan antara kadar partikel dan meningkatnya morbiditi termasuk gejala respirasi, eksaserbasi alegi, asma, menurunnya fungsi paru dan perawatan pada pasien PPOK. Di Eropa dalam artikel The Air Pollution and Health menunjukan angka rawat asma dan PPOK meningkat 1,0 per 10 mgm 3 PM10. Pajanan terhadap PM memperburuk penyakit respirasi kronik dan kardiovaskular, merubah pertahanan tubuh dan merusak jaringan paru hingga menambah kemungkinan terjadinya kanker paru-paru. Menurut Price 1995 mekanisme penimbunan debu dalam paru yaitu pertama debu diinhalasi dalam bentuk partikel debu solid, atau suatu campuran dan asap. Kedua udara masuk melalui rongga hidung disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga fungsi tersebut disebabkan karena adanya mukosa saluran pernapasan yang terdiri dari epitel toraks bertingkat, bersilia, dan mengandung sel goblet. Partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut yang terdapat pada lubang hidung, sedangkan partikel debu yang halus akan terjerat dalam lapisan mokosa. Gerakan silia mendorong lapisan mukosa ke posterior, ke rongga hidung dan kearah superior menuju faring dan menuju paru-paru. Kemudian, partikel debu yang masuk kedalam paru-paru akan membentuk fokus dan berkumpul dibagian awal saluran limfe paru. Debu ini akan difagositosis oleh magrofag. Debu yang bersifat toksik terhadap magrofag akan merangsang terbentuknya magrofag baru. Pembentukan dan destruksi magrofag yang terus-

Dokumen yang terkait

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR-FAKTOR RISIKO GANGGUAN FUNGSI PARU DENGAN FUNGSI PARU PEKERJA PENGOLAHAN BATU KAPUR DI KECAMATAN PUGER KABUPATEN JEMBER

0 19 17

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR-FAKTOR RISIKO GANGGUAN FUNGSI PARU DENGAN FUNGSI PARU PEKERJA PENGOLAHAN BATU KAPUR DI KECAMATAN PUGER KABUPATEN JEMBERENGOLAHAN BATU KAPUR

0 5 17

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR-FAKTOR RISIKO GANGGUAN FUNGSI PARU DENGAN FUNGSI PARU PEKERJA PENGOLAHAN BATU KAPUR DI KECAMATAN PUGER KABUPATEN JEMBERRachman Efendi

0 14 17

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kapasitas Vital Paru Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015

2 10 133

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Gejala Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di 5 Posyandu Desa Tamansari Kecamatan Pangkalan Karawang Tahun 2013

9 81 153

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Fungsi Paru Pada Pekerja Pembuat Batu Bata Di Kelurahan Penggaron Kidul Kecamatan Pedurungan Semarang Tahun 2015.

0 5 14

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KAPASITAS VITAL PARU PADA PEKERJA INFORMAL PENGOLAHAN KAPUK UD.TUYAMAN DESA SIDOMUKTI WELERI KABUPATEN KENDAL TAHUN 2013.

0 4 15

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja di PT. Tonasa Line Kota Bitung | Anes | JIKMU 8490 16812 1 SM

0 0 8

View of FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN GANGGUAN FUNGSI PARU PADA PEKERJA PEMBUAT KASUR (STUDI KASUS DI DESA BANJARKERTA KARANGANYAR PURBALINGGA)

0 0 5

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN GANGGUAN FUNGSI PARU PADA PEKERJA PENGECATAN MOBIL DI LIGU SEMARANG - Repository Universitas Muhammadiyah Semarang

0 0 10