Hubungan Status Gizi dengan Gangguan Fungsi Paru

kerja maupun produktifitas. Status gizi yang baik akan mempengaruhi produktifitas tenaga kerja yang berarti peningkatan produktifitas perusahaan, maka status gizi memiliki pengaruh terhadap status kesehatan seseorang yang akan mempengaruhi produkstifitasnya, namun terdapat faktor lain selain status gizi yang dapat mempengaruhi kesehatan seseorang. Pada penelitian ini status gizi diperoleh dari standar indeks masa tubuh IMT responden, dimana berat badan dan tinggi badan sebagai indikator perhitungan yang didapatkan dengan melakukan pengukuran langsung. Hasil uji univariat diperoleh bahwa sebanyak 24 orang 54,5 responden memiliki status gizi normal. Sedangkan dari hasil crosstab dari 7 pekerja yang mengalami gangguan fungsi paru didapatkan responden yang mengalami gangguan fungsi paru pada kelompok status gizi kurus sebanyak 2 orang 15,4 , normal sebanyak 4 orang 21,1 dan status gizi gemuk sebesar 1 orang 12,5. Kemudian hasil analisis statistik didapatkan nilai pvalue sebesar 0,842, maka dapat disimpulkan pada alpha 5 tidak terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi dengan gangguan fungsi paru pada pekerja batu kapur di Desa Tamansari. Oleh karena itu, status gizi tidak menjadi variabel yang signifikan berhubungan, karena rata-rata pekerja memilki status gizi normal. Namun, hal ini dapat menunjukan bahwa kelompok status gizi kurus, normal dan gemuk memiliki risiko untuk terjadinya gangguan restriksi. Meskipun secara statistik tidak memiliki kemaknaan yang signifikan, namun secara epidemiologi bahwa status gizi dan asupan makanan yang berhubungan dengan kebutuhan energi seseorang berhubungan terhadap perkembangan anatomi dan fisiologis tubuh khususnya saluran pernafasan, yang kemudian akan mempengarhi kekuatan serta endurans masa otot pernafasan untuk memompa oksigen secara maksimal ke seluruh tubuh, mengontrol laju pernafasan dan terbentuknya juga mekanisme imunologi dalam tubuh untuk pencegahan serangan penyakit paru lainnya. Faktor risiko dari status gizi terhadap gangguan fungsi paru sejalan dengan teori menurut Sridhar 1999 dalam Budiono 2007 bahwa secara fisiologis seseorang dengan status gizi yang kurang maupun lebih dapat mengalami penurunan kapasitas vital paru yang pada akhirnya akan mempengaruhi terjadinya gangguan fungsi paru. Penelitian Benedict 1991 pada seseorang dalam keadaan starvation yaitu keadaan dimana satu atau beberapa proses keadaan kelaparan karena terus dan terus menunggu kebutuhan sumber dayanya dipenuhi , namun ternyata tubuh mengalami perubahan fisiologis yaitu berupa penurunan resting energy expenditure sebesar 20 dan dapat menurukan konsumsi O 2 sebesar 18. Penelitian ini sejalan dengan Triatmo dkk 2006 yaitu berdasarkan hasil uji statistik hubungan antara status gizi dengan gangguan fungsi paru pada pekerja mebel didapatkan nilai p value sebesar 0,537, bahwa status gizi tidak memiliki hubungan signifikan terhadap timbulnya gangguan fungsi paru. Kemudian sejalan juga dengan penelitian Yuliani 2010 yaitu berdasarkan hasil uji statistik, hubungan antara status gizi dengan kapasitas vital paru pada pekerja tenun didapatkan nilai p value 0,154, ini berarti tidak ada hubungan signifikan antara status gizi dengan kapasitas vital paru. Selanjutnya sejalan juga dengan penelitian Khumaidah 2009 pada pekerja furniture, hasil penelitian menunjukan tidak ada hubungan antara status gizi pekerja dengan gangguan fungsi paru dengan nilai p value 0,667. Efek negatif dari penurunan status gizi terhadap fungsi ventilasi paru ini juga diperkuat dalam penelitian Minesota oleh Keys et al 1950, kapasitas vital paru menurun rata-rata 390 ml pada keadaan kelaparan. Penurunan tersebut akan kembali normal dalam 12 minggu setelah seseorang kembali pada keadaan normal. Penelitian yang lainnya menunjukkan peningkatan risiko kematian pada penyakit tuberkulosis dan pneumonia apabila disertai keadaan kurang gizi tingkat berat. Hal ini diperkuat dari hasil perhitungan angka kebutuhan gizi AKG berdasarkan kebutuhan energi kalorihari pada responden. Data ini didapatkan dari hasil wawancara terpimpin dengan menggunakan lembar food recall dalam 1x24 jam, kemudian jumlah kalori harian dihitung dengan panduan kalori makan dari software Nutrisurvei. Hasil uji statistik didapatkan bahwa sebanyak 27 orang 61,4 responden berstatus kekurangan kebutuhan kalorihari 2000 kkalorihari dan sebanyak 13 orang 29,6 berstatus memenuhi kebutuhan kalorihari 2000 kkalorihari, kemudian dari hasil crosstab antara AKG responden dengan gangguan fungsi paru didapatkan responden berkebutuhan AKG kurang 2000 kkalorihari sebanyak 5 orang 18,5 dan responden dengan AKG ≥ 2000 kkalorihari sebanyak 2 orang 15,45. Dapat disimpulkan bahwa status gizi tidak normal dan angka kebutuhan energi kurang memiliki risiko untuk terjadinya gangguan fungsi paru. Apabila dilihat dari karakteristik pekerja berdasarkan status sosial dan ekonomi pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari ini berdasarkan hasil wawancara mengenai pengeluaran bulanan didapatkan 50 pekerja mendapatkan upah dari hasil pembakaran batu kapur yang bersifat borongan diatas upah minimum regional Kab. Karawang yaitu sebesar Rp. 1.269.000, dengan upah harian rata-rata mendapat Rp. 75.000, apabila dikali hari aktif bekerja selama 20 hari atau dikurangi hari libur 10 hari maka rata-rata pekerja pengolahan batu kapur setiap bulannya mendapat pemasukan sebesar Rp. 1.500.000 setiap bulannya. Dapat disimpulkan tingkat ekonomi para pekerja tersebut bisa mencukup kebutuhan sehari-harinya, khususnya untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti makanan untuk memenuhi kebutuhan energi. Namun, dari hasil hasil wawancara juga didapatkan, pengeluaran bulanan tersebut tidak hanya untuk kebutuhan primer pada makanan saja, namun memenuhi kebutuhan lainnya seperti kebutuhan keluarganya di daerah asal masing-masing dan pengeluaran pada konsumsi rokok juga oleh pekerja menjadi sebuah prioritas, karena dari proporsi kebiasaan merokok rata-rata 13 batanghari mencapai 85 dari jumlah responden, sedangkan proporsi kebutuhan energi yang masih belum mencukupi AKG 2000 kkalorihari sebanayk 67,5 dari jumlah responden, dimana dari AKG tersebut menjadi gambaran pola konsumsi makan sehari-hari. Dari proporsi antara pengeluaran bulanan yaitu rata-rata diatas UMR, AKG yang rata-rata 2000 kkalorihari, serta status gizi sebesar 40 tidak normal ditambah 85 pekerja mengkonsumsi rokok 10 batanghari. Maka, sebenarnya para pekerja pengolahan batu kapur ini memiliki tingkat ekonomi yang cukup, namun terdapat faktor sosial lainnya seperti kebisaan merokok, pengeluaran untuk keluarga menjadi faktor berkurangnya anggaran untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari pada pekerja. Oleh karena itu, sebaiknya pekerja bisa mengurangi jumlah konsumsi rokok hariannya dengan menggantinya untuk membeli kebutuhan makanan pokoknya untuk memenuhi kebutuhan energi hariannya dan mulai mengkonsumsi makanan atau minuman yang mengandung energi dan kalori tinggi pada kelompok pekerja yang memiliki IMT kurus dan menjaga pola makan dan aktivitas fisik pada pekerja yang memiliki IMT gemuk. Firman Allah swt. memerintahkan kita untuk menkonsumsi makanan yang halal juga baik Halalan Thoyyiban, sebagaimana firman Allah swt. dalam Q.S. Al-Maidah ayat 88 sebagai berikut : ها ا قتا اًب ط ًااح ها مكق ا م ا لك مْ م هب ْمت أ لا ͞dan makanlah makanan yang halal lagi baik, dari apa yang telah di rizkikan kepada mu dan bertaqwalah kepada Allah dan kamu beriman kepadaNya ͟ Dalam tafsir Syaikh Nashir as- Sa’dy 2005 makanan yang halal adalah yang diproses maupun diperoleh atau sumbernya dengan cara yang halal, yaitu tidak dari hasil curian, korupsi dan mendzlimi orang lain atau apabila hewan potong harus menyebut asma Allah swt. saat dilakukan pemotongan. Selain itu makanan juga harus baik, yaitu cukup bergizi, makanan yang lengkap dan seimbang porsi dengan kebutuhan aktivitas bekerja, tidak mengandung zat-zat membahayakan, alami dan tidak berlebihan.

6.3.3. Hubungan Antara Konsumsi Merokok dengan Gangguan Fungsi Paru

Menurut Ikhwan 2009 dalam Yuliani 2010 kebiasan merokok dapat mempengaruhi kapasitas vital paru. Saat merokok terjadi suatu proses pembakaran tembakau dengan mengeluarkan polutan partikel padat dan gas. Asap rokok merangsang sekresi lendir sedangkan nikotin akan melumpuhkan silia sehingga fungsi pembersihan jalan napas terhambat dan konsekuensinya terjadi penumpukan sekresi lendir yang menyebabkan terjadinya batuk-batuk, banyak dahak dan sesak napas. Gejala tersebut dapat disebabkan karena paparan partikel dan gas pembakaran tembaku tersebut. Penggunaan tembakau saat ini pada populasi umum maupun pekerja terjadi kecenderungan peningkatan diseluruh dunia juga khususnya di Indonesia, karena menurut berita online yaitu Kompas.com yang diakses pada Mei 2013, pada tahun 2011 sekitar 270 milyar batang konsumsi rokok di Indonesia, angka ini terus meningkat dari tahun 1970 dimana konsumsi rokok masih sekitar 30 miliar batang, hal ini menunjukan terjadi peningkatan 7 kali lipat dalam kurun waktu 40 tahun. Kebiasaan merokok ini mempunyai dampak yang buruk terhadap kesehatan terutama pada organ paru-paru dan pernafasan. Berbagai penyakit paru timbul akibat rokok antara lain kanker paru dan penyakit paru obstruktif kronik PPOK. Penelitian Gold et al 2005 dalam Suwondo 2013 menunjukan adanya hubungan dose respon antara kebiasaan merokok dengan dan rendahnya leval FEV1FVC dan FEF 25-75 dengan jumlah konsumsi rokok sebanyak 10 batang perhari ditemukan berhubungan dengan penurunan FEF 25-75 disbanding orang yang tidak merokok. Hasil penelitian uji statistik analisis uji T independen pada responden dengan variabel kategori konsumsi merokok dengan gangguan fungsi paru didapatkan nilai p value sebesar 0,283, maka dapat disimpulkan pada alpha 5 tidak terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi merokok dengan gangguan fungsi paru pada pekerja batu kapur di Desa Tamansari. Apabila nilai p value variabel kebiasaan merokok dibandingkan dengan variabel karakteristik individu yang tidak berhubungan lainnya yaitu status gizi p=0,504, masa kerja p=0,932, p value dari kebisaan merokok lebih kecil dari status gizi dan masa kerja, maka meskipun secara statistik tidak memiliki hubungan yang bermakna dan signifikan antara variabel kebiasaan merokok terhadap gangguan fungsi paru, mamun secara epidemiologi, proporsi semua pekerja yang terdiagnosis gangguan fungsi paru adalah pekerja yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi rokok.

Dokumen yang terkait

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR-FAKTOR RISIKO GANGGUAN FUNGSI PARU DENGAN FUNGSI PARU PEKERJA PENGOLAHAN BATU KAPUR DI KECAMATAN PUGER KABUPATEN JEMBER

0 19 17

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR-FAKTOR RISIKO GANGGUAN FUNGSI PARU DENGAN FUNGSI PARU PEKERJA PENGOLAHAN BATU KAPUR DI KECAMATAN PUGER KABUPATEN JEMBERENGOLAHAN BATU KAPUR

0 5 17

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR-FAKTOR RISIKO GANGGUAN FUNGSI PARU DENGAN FUNGSI PARU PEKERJA PENGOLAHAN BATU KAPUR DI KECAMATAN PUGER KABUPATEN JEMBERRachman Efendi

0 14 17

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kapasitas Vital Paru Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015

2 10 133

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Gejala Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di 5 Posyandu Desa Tamansari Kecamatan Pangkalan Karawang Tahun 2013

9 81 153

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Fungsi Paru Pada Pekerja Pembuat Batu Bata Di Kelurahan Penggaron Kidul Kecamatan Pedurungan Semarang Tahun 2015.

0 5 14

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KAPASITAS VITAL PARU PADA PEKERJA INFORMAL PENGOLAHAN KAPUK UD.TUYAMAN DESA SIDOMUKTI WELERI KABUPATEN KENDAL TAHUN 2013.

0 4 15

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja di PT. Tonasa Line Kota Bitung | Anes | JIKMU 8490 16812 1 SM

0 0 8

View of FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN GANGGUAN FUNGSI PARU PADA PEKERJA PEMBUAT KASUR (STUDI KASUS DI DESA BANJARKERTA KARANGANYAR PURBALINGGA)

0 0 5

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN GANGGUAN FUNGSI PARU PADA PEKERJA PENGECATAN MOBIL DI LIGU SEMARANG - Repository Universitas Muhammadiyah Semarang

0 0 10