Hubungan Antara Suhu terhadap Gangguan Fungsi Paru

meteorologi sekunder yang mempengaruhi polusi udara, antara lain hujan, kabut dan radiasi surya. Maka, dapat disimpulkan bahwa faktor iklim dan meteorologi mempengaruhi konsentrasi dan kadar bahan polutan pada suatu lingkungan tertentu. Salah satunya adalah suhu atau temperatur. Dalam Ikhsan 2010 suhu yang ekstrim baik dingin maupun panas berada pada kondisi perubahan polusi udara seperti kebakaran hutan dan hujan debu, berpotensi menyebabkan penyakit respirasi baik jangka pendek maupun panjan. Penelitian di Itali oleh Atkinson et al. 2001 dalam Ikhsan 2010, selama musim panas tahun 2003, penduduk yang berusia 65 tahun mempunyai risiko 34 kematian dan risiko penyakit respirasi. Angka kematiannya cukup tinggi pada pasien PPOK dan pada kelompok gender perempuan. Polusi udara seperti debu partikel, NO 2 , SO 2 dan ozon dibumi dapat meningkat sebagai adaptasi terhadap suhu yang memanas. Polusi udara seperti ozon dan partikel menyebabkan meningkatnya kasus respirasi dan menurunya fungsi paru. Seperti di lingkungan kerja suatu industri atau tempat tertentu yang memiliki sumber pencemar udara, dimana konsentrasi bahan polutan akan dipengaruhi oleh konsentrasi suhu, sehingga akan berpengaruh terhadap penurunan fungsi paru dan menimbulkan risiko keluhan pernafasan terutama pada orang-orang yang berisiko. Namun berdasarkan hasil analisis statistik bivariat pada variabel suhu lingkungan kerja pada uji t-test independent diperoleh nilai p value antara suhu dengan gangguan fungsi paru adalah sebesar 0,963. Hal ini berarti pada alpha 5 tidak terdapat hubungan yang bermakna antara suhu lingkungan dengan gangguan fungsi paru. Apabila dari hasil uji statistik univariat di dapatkan dengan melakukan pengukuran secara langsung, dimana waktu dan tempat disesuaikan saat pengukuran PM 10 berlangsung, dari dua titik sampel di dapatkan nilai rata-rata suhu di aktivitas pengolahan batu kapur sebesar 32 o C, di peroleh suhu minimal 30 o C dan suhu maksimal 36 o C. Berdasarkan baku mutu Kepmenkes No. 1405 Tahun 2002 NAB suhu lingkungan industri adalah antara 18-30 o C, dapat disimpulkan bahwa suhu lingkungan di aktivitas pengolahan batu kapur juga melebihi ambang batas, yang akan menjadi bahaya untuk terjadinya gangguan kesehatan lainnya. Namun, faktor suhu juga dapat dipengaruhi oleh keberadaan dan turbulensi angin. Didapatkan hasil pengukuran kecepatan angin di area sampel penelitian rata-rata kecepatan angin 1,1 ms dengan kecepatan minimum 0,5 ms dan kecepatan maksimum 1,9 ms, kecepatan angina cukup kuat karena area pengolahan batu kapur berada pada ruang terbuka bukan pada suatu ruangan khusus. Keberadaan angin ini akan menurunkan suhu yang cukup tinggi di lingkungan pengolahan batu kapur sehingga meminimalisir kadar debu sebagai sumber polutan. Hal ini lah yang menjadi asumsi peneliti bahwa suhu lingkungan tidak berpengaruh terhadap kondisi kadar polutan yang berhubungan dengan gangguan fungsi paru pada responden. Sebagai pencegahan dalam aktivitas bekerjanya tidak mendekati area pengolahan yang bersumber panas seperti saat proses pembakaran. Sebaiknya pekerja mengkontrol jarak aktivitas kerja dengan tungku pembakaran, dimana di area proses pembakaran ini lah terdapat yang suhu tinggi.

6.4.3. Hubungan Antara Kelembaban terhadap Gangguan Fungsi Paru

Sebuah studi dalam Arundel et al. 1986 ingin mengetahui efek kesehatan dari kelembaban relatif di lingkungan indoor menunjukkan bahwa kelembaban relatif dapat mempengaruhi kejadian infeksi pernapasan dan alergi. Studi eksperimental pada infeksi bakteri yang ditularkan melalui udara dan virus telah menunjukkan bahwa kelangsungan hidup atau infektivitas organisme diminimalkan dengan paparan kelembaban antara 40-70 . Sembilan studi epidemiologi meneliti hubungan antara jumlah infeksi pernapasan dari kehadiran bekerja dan kelembaban relatif di kantor, tempat tinggal, atau sekolah. Didapatkan insiden infeksi pernafasan dengan melihat absensi harian di kantor, ditemukan kejadian infeksi pernafasan lebih rendah di antara orang yang bekerja atau tinggal di lingkungan dengan kelembaban relatif menengah rendah dibandingkan dengan orang bekerja dengan kelemababan relatif tinggi. Hal ini akan mempengaruhi perkembangbiakan organisme seperti bakteri dan jamur. Keberadaan tungau, bahan alergan dan populasi jamur secara langsung tergantung pada kelembaban relatif. Populasi tungau diminimalkan ketika kelembaban relatif di bawah 50 dan mencapai ukuran maksimal pada kelembaban relatif 80. Sebagian besar spesies jamur tidak bisa tumbuh kecuali kelembaban relatif melebihi 60. Hasil pengukuran dan analisis pada kelembaban di lingkungan aktivitas pengolahan batu kapur, rata-rata kelembaban mencapai 80,3 dengan kelembaban minimal sebesar 71 dan kelembaban maksimal 87. Dalam Kepmenkes No. 405 Tahun 2009 tentang NAB Faktor Fisik dan Kimia di Tempat Kerja, kelembaban di lingkungan pengolahan batu kapur masih di antara batas ambang batas yaitu 65- 95. Kemudian, dari hasil analisis uji statistik t-test independent, nilai Pvalue yang didapatkan dari hasil analisis antara kelembaban dengan gangguan fungsi paru adalah sebesar 0,854. Hal ini berarti pada alpha 5 tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kelembaban lingkungan dengan gangguan fungsi paru. Dalam artikel Healthcare Inc. 2005 kelembaban yang tinggi juga merupakan penyebab meningkatnya keluhan sesak napas. Ada beberapa kemungkinan penjelasan untuk fenomena ini. Pertama, karena kelembaban udara meningkat maka densitas atau massa jenis udara meningkat, maka udara tidak banyak terjadi aliran di udara sehingga meningkatnya saluran nafas dan mengakibatkan meningkatnya kerja pernapasan yang menyebabkan sesak napas. Penjelasan lain bahwa ketika kelembaban meningkat, maka jumlah alregan udara ikut meningkat, seperti debu, jamur bahkan tungau meningkat pada kelembaban yang tinggi.

Dokumen yang terkait

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR-FAKTOR RISIKO GANGGUAN FUNGSI PARU DENGAN FUNGSI PARU PEKERJA PENGOLAHAN BATU KAPUR DI KECAMATAN PUGER KABUPATEN JEMBER

0 19 17

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR-FAKTOR RISIKO GANGGUAN FUNGSI PARU DENGAN FUNGSI PARU PEKERJA PENGOLAHAN BATU KAPUR DI KECAMATAN PUGER KABUPATEN JEMBERENGOLAHAN BATU KAPUR

0 5 17

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR-FAKTOR RISIKO GANGGUAN FUNGSI PARU DENGAN FUNGSI PARU PEKERJA PENGOLAHAN BATU KAPUR DI KECAMATAN PUGER KABUPATEN JEMBERRachman Efendi

0 14 17

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kapasitas Vital Paru Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015

2 10 133

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Gejala Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di 5 Posyandu Desa Tamansari Kecamatan Pangkalan Karawang Tahun 2013

9 81 153

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Fungsi Paru Pada Pekerja Pembuat Batu Bata Di Kelurahan Penggaron Kidul Kecamatan Pedurungan Semarang Tahun 2015.

0 5 14

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KAPASITAS VITAL PARU PADA PEKERJA INFORMAL PENGOLAHAN KAPUK UD.TUYAMAN DESA SIDOMUKTI WELERI KABUPATEN KENDAL TAHUN 2013.

0 4 15

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja di PT. Tonasa Line Kota Bitung | Anes | JIKMU 8490 16812 1 SM

0 0 8

View of FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN GANGGUAN FUNGSI PARU PADA PEKERJA PEMBUAT KASUR (STUDI KASUS DI DESA BANJARKERTA KARANGANYAR PURBALINGGA)

0 0 5

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN GANGGUAN FUNGSI PARU PADA PEKERJA PENGECATAN MOBIL DI LIGU SEMARANG - Repository Universitas Muhammadiyah Semarang

0 0 10