5.1.4 Pola distribusi individu jenis
Hasil perhitungan Variance to Mean Ratio di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Nilai Variance to Mean Ratio pada setiap tingkat pertumbuhan di setiap arah lereng Cagar Alam Sibolangit, Sumatera Utara
No Arah Lereng
Tingkat Pertumbuhan
Nilai VM Dominan
Pola distribusi Spesies
1 Utara Semai
Pancang Tiang
Pohon 2,16
1,12 1,93
2,03 Mengelompok
Mengelompok Mengelompok
Mengelompok Dalbergia latifolia
Pterocarpus indicus Pinus merkusii
Pterocarpus indicus
2 Timur Semai
Pancang Tiang
Pohon 1,11
1,51 1,98
1,72 Mengelompok
Mengelompok Mengelompok
Mengelompok Pterocarpus indicus
Pterocarpus indicus Pterocarpus indicus
Pterocarpus indicus
3 Selatan Semai
Pancang Tiang
Pohon 2,07
1,21 1,94
2,61 Mengelompok
Mengelompok Mengelompok
Mengelompok Dalbergia latifolia
Dalbergia latifolia Dalbergia latifolia
Pterocarpus indicus
4 Barat Semai
Pancang Tiang
Pohon 2,27
1,81 1,28
1,89 Mengelompok
Mengelompok Mengelompok
Mengelompok Dalbergia latifolia
Dalbergia latifolia Pterocarpus indicus
Pinus merkusii
Dari Tabel 9 di atas dapat dilihat bahwa untuk semua tingkat pertumbuhan pada setiap lereng arah mata angin, pola penyebarannya adalah mengelompok
VM 1.
5.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil pengamatan, diketahui bahwa jumlah jenis pada masing- masing tingkat pertumbuhan tidak berbeda jauh. Hal ini diduga karena kondisi
lingkungan serta faktor ketinggian yang relatif sama pada semua arah lereng di lokasi penelitian. Menurut Rochidayat dan Sukowi 1979 diacu dalam
Sulistyono 1995, tinggi tempat berpengaruh terhadap suhu udara dan intensitas cahaya. Suhu dan intensitas cahaya semakin kecil dengan semakin tingginya
tempat tumbuh. Berkurangnya suhu udara dan intensitas cahaya dapat menghambat pertumbuhan karena proses fotosintesis terganggu.
Dominansi dari jenis-jenis yang ada pada tegakan yang diamati dapat dilihat dari besarnya Indeks Nilai Penting INP. INP digunakan untuk
mengetahui tingkat dominansi atau penguasaan suatu jenis dalam suatu komunitas. Jenis yang mempunyai Indeks Nilai Penting INP terbesar merupakan
jenis yang paling dominan atau berarti pula jenis tersebut mempunyai tingkat kesesuaian terhadap tempat tumbuh yang lebih baik dibandingkan dengan jenis
lain. Dari Tabel 2, pada umumnya terlihat bahwa jenis–jenis yang dominan pada suatu tingkat pertumbuhan tidak selalu dominan pada tingkat pertumbuhan yang
lainnya. Namun, terdapat juga jenis yang mendominasi setiap tingkat pertumbuhan, seperti jenis Angsana Pterocarpus indicus. Di lereng Timur, jenis
ini mendominasi hampir setiap tingkatan permudaan hutannya, sedangkan di arah lereng lainnya jenis yang mendominasi setiap tingkatan permudaannya berbeda-
beda. Terdapat jenis yang hampir mendominansi setiap lereng. Seperti pada tingkat semai, yang didominasi oleh jenis Sono Keling Dalbergia latifolia yang
terdapat di lereng utara, selatan, dan barat. Di dalam masyarakat hutan, sebagai akibat adanya persaingan, jenis-jenis tertentu lebih berkuasa dominan daripada
jenis lainnya. Secara umum, tumbuhan dengan INP tinggi mempunyai daya adaptasi, daya kompetisi dan kemampuan reproduksi yang lebih baik
dibandingkan dengan tumbuhan yang lain dalam satu lahan tertentu Irwan 2009. Indeks keanekaragaman jenis ditentukan oleh dua hal, yaitu kekayaan jenis
kelimpahan jenis dan kemerataan jenis. Deshmunkh 1992 menjelaskan bahwa keanekaragaman jenis lebih besar bilamana kemerataannya lebih besar, yaitu jika
populasi-populai yang ada satu sama lain adalah merata dalam kelimpahannya. Menurut Shanon-Wiener, nilai indeks keanekaragaman jenis umumnya berada
pada kisaran antara 1-3,5, dimana semakin mendekati nilai 3,5 maka tingkat keanekaragaman jenisnya semakin besar. Dari Tabel 3 terlihat bahwa untuk semua
tingkat pertumbuhan, keanekaragaman jenis tergolong sedang karena nilai indeks keanekaragaman jenisnya lebih besar dari 2.
Keanekaragaman jenis yang tergolong tinggi tersebut menunjukkan bahwa fungsi dan proses ekologi di lokasi penelitian masih berjalan normal, dengan
kondisi tekanan lingkungan, secara umum belum menyebabkan tekanan fisologis yang dapat mempengaruhi kestabilan ekosistem. Pada keadaan ekstrim lain,
komunitas dengan diversitas tinggi berisi spesies-spesies yang lebih dipengaruhi oleh lingkungan biologis dimana tekanan fisiologis rendah. Menurut Alikodra
1998 diacu dalam Kiwa 2000, ekosistem alami akan membentuk suatu kesatuan yang kurang lebih stabil, akan tetapi keadaan ini terganggu oleh kegiatan
manusia yang mengakibatkan keanekaragaman jenis, struktur dan komposisi tumbuhan hutan cenderung berubah atau bahkan berubah menjadi komunitas yang
homogen. Keanekaragaman jenis cenderung akan rendah dalam ekosistem-ekosistem
yang secara fisik terkendali dan tinggi dalam ekosistem yang diatur secara ekologi. Keanekaragaman jenis akan tetap tinggi apabila perlindungan mutlak
terhadap kawasan terjaga dengan mengurangi tekanan-tekanan fisik dari manusia terhadap kawasan sehingga proses ekologis tetap bertahan tanpa campur tangan
manusia secara langsung Odum 1993 diacu dalam Kiwa 2000. Indeks dominansi jenis di lokasi penelitian tergolong rendah karena tidak
ada nilai indeks dominansi yang sama dengan atau mendekati 1. Hal ini mengindikasikan bahwa dominansi jenis pada kawasan Cagar Alam Sibolangit
tersebar pada banyak jenis, ini merupakan cerminan hutan tropika yang alami. Struktur tegakan pohon dapat dilihat pada grafik yang menunjukkan
kerapatan pohon pada setiap tingkat pertumbuhan. Kerapatan jenis tertinggi terdapat pada tingkat semai dan kerapatan jenis terendah terdapat pada tingkat
pohon. Hal tersebut umum terjadi pada hutan alam di daerah tropika dimana terdapat berbagai kelas umur Deviyanti 2010.
Stratifikasi tajuk dapat digunakan untuk melihat pola pemanfaatan cahaya serta dapat pula digunakan untuk melihat jenis-jenis pohon dominan dan jenis-
jenis pohon yang dapat tumbuh di bawah naungan toleran. Menurut Misra 1980, dalam sebuah kanopi hutan, pohon-pohon dan tumbuhan terna menempati
tingkat yang berbeda dan dalam hutan hujan tropika akan ditemukan tiga sampai lima strata. Dari hasil stratifikasi secara umum, pola pelapisan tajuk di Cagar
Alam Sibolangit dapat dikelompokkan ke dalam tiga strata, yaitu stratum A tinggi pohon di atas 30 meter, stratum B tinggi pohon antara 20-30 meter, dan
stratum C tinggi pohon antara 4-20 meter. Menurut Soerianegara dan Indrawan 1988, struktur tegakan dapat dilihat
secara vertikal maupun horizontal. Secara vertikal, berkaitan erat dengan penguasaan tempat tumbuh yang dipandu oleh besarnya energi cahaya matahari,
ketersediaan air tanah dan hara mineral bagi pertumbuhan individu komponen masyarakat tersebut. Akan terjadi persaingan antara individu-individu dari satu
jenis atau berbagai jenis pada suatu masyarakat tumbuhan apabila mereka mempunyai kebutuhan yang sama dalam hal hara, mineral, tanah, air, cahaya dan
ruangan. Akibat dari adanya persaingan ini, mengakibatkan jenis-jenis tertentu akan lebih menguasai atau dominan dari yang lain, maka akan terjadi stratifikasi
tajuk tumbuhan di dalam hutan. Untuk mencapai stratum A dan B sangat sulit, ini terbukti dari sedikitnya pohon yang mencapai stratum tersebut. Keadaan ini
disebabkan karena untuk mencapai stratum A, dibutuhkan waktu yang cukup lama dan persaingan yang cukup tinggi, baik dari segi nutrisi, air, tanah, maupun dalam
memperoleh cahaya. Untuk mencapai stratum A, hanya pohon yang berumur tua dari jenis pohon klimaks saja yang mampu, sehingga jumlah pohonnya sedikit dan
muncul diskontinu. Sedangkan stratum B banyak ditempati oleh pohon-pohon muda, dimana untuk mencapai tinggi 20 meter biasanya memerlukan waktu yang
lebih pendek bila dibandingkan dengan waktu yang digunakan untuk mencapai stratum A. Oleh karena itu, jenis yang menempati stratum B lebih banyak dan
relatif lebih kontinu dibandingkan stratum A. Pola penyebaran individu jenis di lokasi penelitian adalah mengelompok,
hal ini menunjukkan bahwa komunitas tumbuhan tersebut mempunyai tuntutan yang berbeda terhadap habitat dan atau kualitas habitat tumbuhan tersebut bersifat
heterogen Kusmana 2000. Menurut Kusmana 2000, faktor yang mempengaruhi pola sebaran spasial individu adalah:
a. Faktor vektorial dari aksi berbagai tekanan lingkungan luar angin, aliran air
dan intesitas cahaya b.
Faktor reproduksi sebagai akibat dari mode reproduktif organisme kloning dan regenerasi progeni
c. Faktor sosial akibat pembawaan behavior perilaku bawaan, misal perilaku
teritorial d.
Faktor koaktif akibat dari interaksi intra spesifik misalnya kompetisi e.
Faktor stokastik akibat dari variasi acak dari berbagai faktor tersebut diatas, yaitu faktor intrinsik spesies seperti pembiakan, sosial dan coactive atau
faktor extrinsik seperti vektorial.
VI. KESIMPULAN DAN
SARAN
6.1 Kesimpulan