Uji Hipotesis Analisis Korelasi dan Regresi Linear Berganda

150 Oleh sebab itu, untuk variabel harga jual dan peluang usaha lain, hipotesis nol H diterima pada taraf nyata α 10 persen. Variabel yang berpengaruh signifikan masuk ke persamaan regresi linear hanya teknologi budidaya lada petani X 3 , dengan nilai t hitung t 0,1 2 DF=26 11,983 1,706 dan Sig. α 0,000 0,1, sehingga disimpulkan hipotesis nol H ditolak pada taraf nyata α 10 persen. Koefisien regresi variabel teknologi budidaya lada petani, saat dikaji bersama-sama dengan harga jual lada di tingkat petani dan peluang usaha lain, adalah sebesar positif + 1.105,508. Dengan melihat bahwa skor indeks maksimum variabel teknologi budidaya lada adalah 2 dua, maka koefisien regresi variabel tersebut menunjukkan untuk setiap kenaikan teknologi budidaya lada petani 0,1 satuan, maka rata-rata produksi lada akan meningkat sebesar 110,5508 kgha. Sebaliknya, saat teknologi budidaya lada petani menurun 0,1 satuan, maka rata-rata produksi lada akan menurun sebesar 110,5508 kgha. Uji F dua arah menghasilkan kesimpulan bahwa penggunaan model Y = -345,022 + 0,005 X 1 − 10,959 X 2 + 1.105,508 X 3 pada taraf nyata 10 persen relatif memuaskan dalam menerangkan data, karena nilai F hitung F 0,1v1=3;v2=26 326,383 2,31 dan Sig. α 0,000 0,1. Dengan demikian, disimpulkan bahwa hipotesis nol H ditolak pada taraf nyata α 10 persen. Nilai R 2 yang didapat adalah sebesar 92,5 persen, yang menunjukkan bahwa sebesar 92,5 persen dari seluruh variasi produksi lada Y dapat dijelaskan oleh harga jual X 1 , peluang usaha lain X 2 , dan teknologi budidaya lada petani X 3 , sedangkan sisanya sebesar 7,5 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak dimasukkan ke dalam model persamaan. Atau dapat dikatakan bahwa model persamaan regresi cukup baik menerangkan data. Apabila hasil analisis uji F dikaitkan dengan hasil uji t, maka dapat dikatakan bahwa meskipun model persamaan regresi Y = -345,022 + 0,005 X 1 − 10,959 X 2 + 1.105,508 X 3 cenderung memuaskan, namun hanya koefisien variabel teknologi budidaya lada petani X 3 yang signifikan masuk ke dalam persamaan regresi linear berganda. Berdasarkan hasil uji hipotesis yang telah dilakukan, baik uji t-student, maupun uji F, disimpulkan bahwa, diantara variabel harga jual, peluang usaha lain, dan teknologi budidaya lada petani, yang paling berpengaruh terhadap produksi lada adalah teknologi budidaya lada petani. 151

6.3.4. Pembahasan Hasil Analisis Korelasi dan Regresi Linear Berganda

6.3.4.1. Pengaruh Harga Jual Lada di Tingkat Petani Terhadap Produksi

Lada Arah pengaruh dari variabel harga jual lada di tingkat petani terhadap produksi lada pada model regresi linear berganda adalah positif searah. Hal ini sesuai dengan kerangka pemikiran teoritis yang dibangun, yaitu semakin tinggi harga jual lada, maka jumlah produksi yang dijual petani lada semakin banyak. Ketika jumlah produksi yang dijual petani lada semakin banyak, maka mereka akan bergairah untuk meningkatkan produksi per areal tanam ataupun melalui perluasan areal tanam. Berdasarkan uji hipotesis secara individu, disimpulkan bahwa harga jual lada di tingkat petani tidak signifikan berpengaruh terhadap produksi lada. Hal ini disebabkan karena petani lada responden tidak terpengaruh oleh perubahan harga jual lada, dimana saat harga masih mereka rasa rendah dibandingkan tahun 1997 yang pernah mencapai Rp 100.000kg, mereka tetap mengusahakan tanaman lada, walaupun dalam jumlah yang lebih sedikit. Responden petani lada memandang bahwa menanam lada merupakan investasi tabungan untuk masa depan, atau dengan kata lain, mereka memiliki motif berjaga-jaga apabila suatu saat harga lada menjadi tinggi kembali. Harga lada di Kabupaten Bangka, secara agregat, mengalami tren peningkatan dari tahun 2004-2008 Gambar 16, akan tetapi tidak diikuti dengan kenaikan produksi lada. Bahkan produksi di Kabupaten Bangka dari tahun 2004- 2008 mengalami tren yang menurun Gambar 15. Hal ini memperlihatkan seakan-akan harga tidak memberikan insentif kepada petani lada di Kabupaten Bangka, karena peningkatan harga tidak diikuti dengan peningkatan produksi lada mereka. Berdasarkan pengamatan di lapangan diketahui bahwa penyebab terjadinya hal tersebut adalah keputusan petani yang memilih untuk menanam lada dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan sebelumnya, walaupun harga- harga yang diterima responden selama tahun 2009 sudah termasuk tinggi dibandingkan dengan harga jual lada secara agregat di Kabupaten Bangka. Bahkan, produksi lada responden selama tahun 2009 tersebut masih dikategorikan rendah menurut kriteria dari Deptan 1985. Oleh sebab itu, saat diuji, harga jual 152 lada di tingkat petani menjadi tidak signifikan pengaruhnya terhadap produksi lada. Ketika responden ingin mendapatkan harga jual lada yang lebih baik, maka seharusnya mereka menunggu sampai pembeli mengajukan penawaran harga yang tertinggi, baru kemudian menjual ladanya. Akan tetapi, saat diamati di lapangan, hal ini sulit terjadi, terutama bagi responden yang memiliki kebutuhan mendesak, seperti biaya hidup dan modal usaha. Apalagi sebagian besar responden telah memiliki keluarga yang harus dihidupi. Selain itu, tidak sedikit diantara responden dan pembeli lada mereka yang memiliki hubungan saling percaya, sehingga walaupun ada pembeli lain yang menawarkan harga lada yang sedikit lebih tinggi, mereka tetap menjual lada kepada pembeli kepercayaan mereka. Oleh sebab itu, responden hanya menjadi penerima harga saat menjual lada mereka dan berapa pun produksi lada yang mereka miliki, akan dibayar dengan harga yang sudah ditentukan oleh pembeli. Faktor-faktor ini menyebabkan harga tidak berpengaruh signifikan terhadap produksi lada. Produksi lada sebenarnya tidak hanya dipengaruhi oleh harga jual lada itu saja, tetapi juga harga jual komoditi-komoditi lain yang diusahakan oleh responden petani lada peluang usaha lainnya, baik pertanian, maupun nonpertanian. Fakta di lapangan menggambarkan bahwa selama tahun 2009, harga-harga dari hasil karet dan kelapa sawit, sebagai alih usaha lain utama yang dilakukan oleh responden petani lada, sangat membantu perekonomian mereka. Petani respoden mengakui bahwa pengusahaan karet ataupun kelapa sawit lebih mudah dilakukan dan menjamin sumber pendapatan mereka, dibandingkan dengan mengusahakan lada. Hal ini menyebabkan harga jual lada di tingkat petani menjadi tidak signifikan berpengaruh terhadap produksi lada.

6.3.4.2. Pengaruh Peluang Usaha Lain Terhadap Produksi Lada

Pengaruh dari variabel peluang usaha lain terhadap produksi lada pada model regresi linear berganda memiliki arah yang negatif berlawanan arah, sesuai dengan kerangka pemikiran teoritis yang dibangun. Variabel peluang usaha lain mengukur dampak dari korbanan opportunity cost yang dilakukan oleh petani lada karena memilih alternatif pilihan peluang usaha lain yang mereka 153 anggap lebih menguntungkan, yaitu berkurangnya prioritas atas pengusahaan kebun lada dan luas areal lahan yang tersedia untuk mengusahakan tanaman lada. Jika prioritas petani lada untuk mengusahakan tanaman lada menurun, maka tenaga energi yang dicurahkan ataupun modal yang dialokasikan petani lada atas usaha tersebut pun menurun, sehingga pada akhirnya menurun pula produksi lada mereka. Sementara itu, berkurangnya luas areal tanam juga berdampak pada berkurangnya produksi lada. Hal ini disebabkan karena tenaga, modal, dan areal tanam merupakan input-input yang digunakan dalam proses untuk memproduksi lada, dalam suatu sistem, sehingga saat penggunaan input-input produksi menurun, maka tentunya produksinya pun menurun. Usaha lain yang paling dominan diusahakan oleh responden masih di bidang pertanian, yaitu usaha kebun karet dan kelapa sawit, sehingga secara umum, pengusahaan kedua jenis tanaman inilah yang menjadi pesaing utama pengusahaan lada. Seluruh responden yang memiliki usaha lada dan karet menyatakan bahwa pengusahaan karet berdampak terhadap ketersediaan areal tanam mereka. Walaupun demikian, sebagian besar dari mereka tetap memprioritaskan usaha ladanya, karena pengusahaan karet tidak sesulit pengusahaan lada. Sebagian besar responden yang memiliki usaha lada dan kelapa sawit menyatakan bahwa mereka lebih memprioritaskan usaha kelapa sawit mereka. Akan tetapi, hanya sebagian responden yang menyatakan bahwa kelapa sawit mempengaruhi ketersediaan areal tanam lada mereka. Artinya, walaupun responden mendiversifikasikan usaha lada mereka dengan usaha lain, khususnya dengan karet dan kelapa sawit, mereka tetap memiliki produksi lada untuk dijual ditawarkan. Hal ini membuat peluang usaha lain tidak berpengaruh signifikan terhadap produksi lada. Akan tetapi, ini hanya berlaku dalam jangka pendek, karena kajian data dalam penelitian ini adalah data cross section satu tahun saja. Jika dikaji secara time series atau jangka panjang, maka peluang usaha lain menjadi signifikan pengaruhnya secara negatif terhadap produksi lada. Pada masa yang akan datang, saat tanaman lada sudah tua dan mati tidak produktif lagi, maka tanaman yang muncul sebagai tanaman utama menggantikan lada adalah karet dan kelapa sawit, yang ditumpangsarikan dengan lada. Akibatnya, produksi lada yang dimiliki