52 memproduksi sendiri outputnya yaitu lada putih, maka saat jumlah produksi yang
dijual  petani  lada  semakin  banyak,  mereka  akan  bergairah  untuk  meningkatkan produksi  per  areal  tanam  ataupun  melalui  perluasan  areal  tanam.  Sebaliknya,
semakin menurun harga  jual lada, maka jumlah  produksi  yang dijual petani lada pun menurun, sehingga keinginan untuk meningkatkan produksi per areal ataupun
melalui perluasan areal tanam juga menurun.
3.1.3. Peluang Usaha Lain dan Produksi
Peluang  usaha  lain  erat  kaitannya  dengan  konsep  ilmu  ekonomi,  yaitu pilihan-pilihan choice dan opportunity cost.
1.  Pilihan-pilihan choice Dalam  masyarakat  senantiasa  ditemukan  bahwa  kebutuhan  manusia
tidak  terbatas  banyaknya.  Manusia  tidak  pernah  merasa  puas  atas  apa  yang telah  mereka  peroleh  dan  mereka  capai.  Jika  keinginan  sebelumnya  telah
terpenuhi,  maka  keinginan  lainnya  akan  muncul.  Terbatasnya  sumberdaya yang tersedia, dibandingkan kebutuhan atau keinginan, menyebabkan manusia
harus  menentukan  pilihan-pilihan  yang  bersifat  individu  ataupun  kolektif. Pilihan-pilihan tersebut juga dapat menjadi sangat kompleks sulit Rahardja
dan Manurung 2006. 2.  Biaya kesempatan opportunity cost
Ilmu ekonomi memandang manusia sebagai makhluk rasional. Pilihan yang
dibuatnya berdasarkan
pertimbangan untung
rugi, dengan
membandingkan biaya yang harus dikeluarkan dan hasil yang akan diperoleh. Biaya  yang  dimaksudkan  dalam  konsep  ilmu  ekonomi  economic  cost
berbeda  dengan  konsep  biaya  akuntansi  accounting  cost.  Ekonomi  lebih memandang  biaya  dari  sudut  pandang  yang  lebih  luas.  Bagi  seorang  akuntan
berdasarkan  konsep  akuntansi,  biaya  adalah  total  uang  yang  dikeluarkan untuk  memperoleh  dan  menghasilkan  sesuatu.  Misalnya,  seseorang  membeli
mobil  bekas  di  awal  tahun  seharga  Rp  70  juta.  Kemudian  mobil  tersebut diperbaiki dengan biaya Rp 10 juta, maka total perolehan mobil adalah Rp 80
juta.  Di  akhir  tahun  mobil  tersebut  terjual  seharga  Rp  92  juta.  Seseorang
53 tersebut mendapat keuntungan Rp 12 juta atas penjualan tersebut, berdasarkan
perhitungan biaya akuntansi. Jika  dipandang  secara  ekonomi,  keuntungan  yang  dihasilkan  belum
tentu  Rp  12  juta.  Seandainya,  Rp  80  juta  tidak  digunakan  untuk  membeli mobil  bekas  dan  memperbaikinya,  melainkan  digunakan  untuk  memilih
alternatif  lain,  yaitu  disimpan  dalam  deposito  berjangka.  Apabila  bunga deposito 20 persen per tahun, maka uang seseorang tersebut akan menjadi Rp
96  juta  di  akhir  tahun.  Jadi  walaupun  secara  akuntansi  seseorang  tersebut untung  Rp  12  juta,  secara  ekonomi  rugi  sebesar  Rp  4  juta.  Karena,  dengan
mendepositokan  uangnya,  seseorang  tersebut  dapat  memperoleh  keuntungan sebesar Rp 4 juta lebih banyak dibanding membeli, memperbaiki, dan menjual
mobil bekas, yaitu sebesar Rp 16 juta. Konsep  yang  dijelaskan  di  atas  merupakan  biaya  kesempatan
opportunity  cost.  Biaya  kesempatan  opportunity  cost  adalah  kesempatan seseorang  yang  hilang  untuk  memperoleh  sesuatu  karena  seseorang  tersebut
telah memilih alternatif yang lain Rahardja dan Manurung 2006. Menurut Sukirno 1985 di beberapa usaha bisnis kenaikan biaya untuk
memperoleh  faktor-faktor  produksi  akan  menyebabkan  biaya  produksi  melebihi hasil  penjualannya,  sehingga  usaha  tersebut  mengalami  kerugian.  Hal  ini  dapat
menimbulkan  penutupan  usaha  tersebut  dan  jumlah  penawaran  barang  ataupun jasa  mengalami  penurunan.  Pada  usaha  lainnya,  kenaikan  harga  faktor-faktor
produksi  akan  menurunkan  keuntungannya.  Jika  tingkat  keuntungan  suatu  usaha tidak  lagi  menarik,  mereka  akan  berpindah  ke  usaha  lain.  Hal  ini  juga  dapat
mengurangi penawaran di dalam suatu kegiatan ekonomi tertentu. Apabila  teori-teori  tersebut  dipadankan,  maka  untuk  usaha  yang
keuntungannya  tidak  menarik,  biaya  kesempatannya  lebih  kecil  dari  pada  usaha yang  keuntungannya  lebih  menarik.  Artinya  pula,  bahwa  usaha  yang
keuntungannya  kecil,  lebih  mudah  dikorbankan  untuk  mengejar  kesempatan mengusahakan  usaha  yang  jauh  lebih  menguntungkan.  Jadi  berdasarkan  uraian
sebelumnya,  saat  usaha  memproduksi  barang  atau  jasa,  keuntungannya  dirasa kecil  atau  bahkan  merugikan,  maka  pelaku  usaha  akan  mencari  alternatif  usaha
lainnya  peluang  usaha  lain  yang  lebih  menguntungkan  atau  menutup  usaha
54 tersebut, sehingga produksi dari usaha tersebut akan menurun dan jumlah barang
atau jasa yang ditawarkan akan menurun pula. Hal ini juga akan menggeser kurva penawaran ke kiri.
Saat  usaha  lada  dianggap  tidak  lagi  menguntungkan  bahkan  merugikan, baik  karena  biaya  produksi  yang  relatif  lebih  tinggi  terhadap  harga  jualnya,
ataupun karena sebab yang lain, maka petani lada memiliki opportunity cost yang kecil atas usaha ladanya. Jika petani lada menemukan adanya peluang usaha lain,
yang  memberikan  keuntungan  lebih  baik  dari  usaha  ladanya,  maka  akibatnya petani  lada  akan  melakukan  pilihan-pilihan,  yaitu  memproduksi  lada  dalam
jumlah  yang  lebih  sedikit;  beralih  ke  produksi  produk-produk  lain  atau berdiversifikasi usaha; atau mungkin benar-benar keluar dari usahanya, sehingga
mengakibatkan terjadinya penurunan produksi dan penawaran lada. Berdasarkan  penelitian  terdahulu,  dampak  dari  korbanan  opportunity
cost yang  dilakukan  oleh  petani  lada  di  Provinsi  Kepulauan  Bangka  Belitung,
khususnya  Kabupaten Bangka, karena memilih alternatif pilihan peluang usaha lain  yang  mereka  anggap  lebih  menguntungkan  selain  usaha  kebun  lada,  seperti
tambang  timah,  kebun  karet,  dan  kebun  kelapa  sawit  adalah  berkurangnya prioritas atas pengusahaan kebun lada dan  luas  areal  lahan  yang tersedia untuk
mengusahakan  tanaman  lada. Petani  lada  rela  “menomorduakan”  prioritas
pengusahaan  lada  mereka,  dibanding  dengan  usaha  lain.  Selain  itu,  mereka  pun rela  mengkonversi  areal  yang  sebelumnya  telah  ditanami  lada  atau  areal  yang
sebenarnya dapat diperluas untuk ditanami lada, dalam lingkup keseluruhan areal yang  dimilikinya,  menjadi  tambang  timah,  kebun  karet,  ataupun  kebun  kelapa
sawit.  Jika  prioritas  petani  lada  untuk  mengusahakan  tanaman  lada  menurun, maka  tenaga  energi  yang  dicurahkan  ataupun  modal  yang  dialokasikan  petani
lada  atas  usaha  tersebut  pun  menurun,  sehingga  pada  akhirnya  menurun  pula produksi  lada  mereka.  Sementara  itu,  berkurangnya  luas  areal  tanam  juga
berdampak  pada  berkurangnya  produksi  lada.  Hal  ini  disebabkan  karena  tenaga, modal,  dan  areal  tanam  merupakan  input-input  yang  digunakan  dalam  proses
untuk  memproduksi  lada,  dalam  suatu  sistem,  seperti  yang  dapat  dilihat  pada Gambar  6.  Jika  penggunaan  input-input  produksi  menurun,  maka  tentunya
produksinya pun menurun.