Dalam hal penjualan, terdapat satu atau dua orang pedagang pengumpul kepiting bakul utama di setiap desa atau dusun. Kepiting
dikumpulkan 1-3 hari sebelum pengiriman dalam keadaan hidup, yang frekwensinya adalah 2-3 kali setiap minggu. Sistem jual beli yang diterapkan
oleh bakul terhadap penjual dan pembeli adalah transaksi langsung dengan pembayaran tunai. Daerah-daerah tujuan utama pemasaran kepiting bakau
dari kawasan Segara Anakan adalah beberapa kecamatan dalam satu kabupaten yaitu Cilacap dan Sidareja, Pangandaran Ciamis, Tasikmalaya
dan Bandung.
4. Nelayan Pengumpul Kerang
Berbagai jenis kerang menjadi sasaran utama dari nelayan pengumpul kerang di Segara Anakan. Di antara jenis-jenis tersebut, yang paling banyak
adalah kerang sungai Soxidomus spp, kerang bulu Arca spp dan kerang darah Andara spp. Biota air yang menjadi sasaran nelayan kelompok ini
hidup di dasar perairan, dengan mekanisme makan yang mengandalkan gerak arus air yang merupakan media transport makanan bagi kerang, yaitu
fitoplankton. Dengan mekanisme makan kerang seperti ini, dinamika lingkungan di Segara Anakan dirasakan oleh masyarakat sangat
mempengaruhi kondisi sumberdaya kekerangan dan berpengaruh pada hasil tangkapan.
Nelayan kerang melakukan aktivitas penangkapannya tanpa menggunakan alat spesifik. Kerang pada umumnya dipungut dan
dikumpulkan hanya dengan dengan tangan, tanpa alat bantu. Apabila tersedia, alat bantu terbatas pada waring atau serok sederhana yang
digunakan untuk menempatkan hasil tangkapan di atas perahu jukung, yang selama kegiatan pengumpulan ditambatkan di belukar mangrove.
Aktivitas mencari kerang bagi nelayan, dari sudut pandang keterlibatan maupun nilai ekonominya, berada pada level paling bawah dari hirarki jenis-
jenis usaha nelayan yang ada. Selain itu, pencaharian nelayan kelompok ini juga ditandai dengan penggunaan teknologi dan keahlian yang rendah atau
bahkan dapat dikatakan tidak memerlukan teknologi atau kehlian sama sekali. Hanya sedikit penguasaan orientasi dan pengalaman tentang
kelimpahan di berbagai lokasi yang dibutuhkan oleh seorang nelayan kerang untuk mendapatkan hasil lebih baik dibanding nelayan kerang lainnya.
Proses pasca panen pun tidak dijalankan; hampir semua kerang hasil produksi nelayan kerang dijual langsung dalam bentuk berkulit, sehingga
harga jualnya rendah. Kegiatan pengumpulan kerang pada umumnya merupakan kegiatan
sampingan bagi nelayan, yang dilakukan di luar waktu-waktu utama. Waktu yang lebih banyak untuk kegiatan ini biasanya terjadi pada anak-anak dan
kaum perempuan dan nelayan tua. Anak-anak melakukan pengumpulan kerang di antara waktu-waktu luang di luar jam sekolah. Kegiatan anak-anak
atau ibu-ibu ini terdukung oleh keberadaan waktu istirahat orang tua atau suaminya, yang memungkinkan anak-anak dan ibu-ibu mempergunakan
perahu jukung yang pada umumnya hanya digunakan oleh nelayan laki-laki pada malam atau pagi hari.
Kegiatan pengumpulan kerang biasanya dilakukan selama kurang lebih 4 jam. Dalam periode itu, rata-rata terkumpul sebanyak 5 lima ember
kerang, yang kemudian langsung dijual kepada bakul di tempat-tempat perahu merapat. Oleh sebagian bakul, kerang dijual dalam kondisi
bercangkang dan dikemas dalam karung. Sebagian bakul lainnya melakukan proses pascapanen sederhana berupa pengupasan sebelum penjualan.
Pasar utama kerang dari Segara Anakan adalah Cilacap, Pangandaran dan beberapa lokasi di wilayah Kabupaten Ciamis.
Gambar 39. Pengumpul Kerang Gambar 40. Proses Perebusan Kerang
5. Pembudidaya Udang, Bandeng dan Kepiting
Di antara masyarakat penduduk kawasan Segara Anakan, pembudidaya merupakan kelompok minoritas, yang keberadaannya relatif
baru dibanding masyarakat nelayan. Sejauh ini, kegiatan kelompok pembudidaya masih terbatas pada pengusahaan tiga komoditas saja, yaitu
udang, bandeng dan kepiting.
Hampir semua pembudidaya udang dan bandeng terkonsentrasi di sebuah dusun yang terbentuk dari proses pemukiman yang terdorong
kegiatan alih fungsi hutan bakau, yaitu Dusun Bondan. Hampir seluruh warga Dusun Bondan mengusahakan tambak udang dan bandeng secara
tradisional dengan sistem sylvofishery empang parit dengan tanaman mangrove hasil pengkayaan Perhutani KPH Banyumas Barat. Para
pembudidaya petambak pada umumnya adalah pendatang asal Karawang Jawa Barat yang telah berpengalaman dalam usaha budidaya di daerah
asalnya. Pada komunitas petambak ini, terdapat suatu elemen penting yang
menopang kehidupan sosial mereka, yaitu kemampuan mengorganisir diri dan adanya spesialisasi pekerjaan. Dengan keterbatasan jumlah penduduk
relatif dibanding banyaknya peran sosial ekonomi yang harus terselenggara secara mandiri di lokasi tersebut, masyarakat berhasil berbagi peran dalam
segenap aspek yang ada. Bahkan, di dalam masyarakat yang telah berhasil mengorganisasikan diri itu, kepala dusun saat ini, disamping perannya
sebagai seorang pemimpin formal masyarakat Bondan, juga terlibat dalam peran yang spesifik dalam perekonomian dusun, termasuk sebagai bakul
yang menampung hasil petambak di wilayahnya. Peran spesifik lain yang saat ini diperankan oleh kepala dusun adalah sebagai keamanan di saat
musim panen. Sebagian petambak juga berperan sebagai tukang kayu yang membuat dan menyiapkan sarana tambak, serta berbagai peran spesifik
lain. Mata pencaharian yang relatif baru namun dikenal luas oleh
masyarakat pada periode terakhir ini adalah usaha pembudidayaan kepiting. Perkembangan yang pesat terjadi pada era sebelum reformasi, tetapi
terhenti pada saat terjadinya kemelut politik di Indonesia. Penjarahan hasil alam dan budidaya, termasuk kepiting budidaya merebak tidak terkendalikan
pada saat itu, menyebabkan pembudidaya terdemotivasi untuk mempertahankan usahanya. Usaha tersebut kembali tumbuh seiring dengan
membaiknya kondisi sosial ekonomi dan politik dan mengalirnya dukungan pihak luar untuk kembali mengembangkan budidaya kepiting di kawasan
tersebut.
Gambar 41. Lahan Tambak di Bondan Gambar 42. Perumahan Petambak
Gambar 43. Tempat Budidaya Kepiting Gambar 44. Lahan Budidaya Kepiting
Gambar 45. Lahan yang Disiapkan untuk Budidaya Kepiting
Gambar 46. Kepiting Hasil Tangkapan Nelayan
6. Petani Sawah Tadah Hujan
Masyarakat petani secara tradisi terkonsentrasi di Dusun Lempong Pucung yang berada di Pulau Nusakambangan. Pertanian yang
dikembangkan oleh kelompok masyarakat ini adalah sistem sawah tadah hujan dengan pola tanam sekali dalam setahun. Dengan tingkat produksi
rata-rata sebesar 400 kgha sawah. Tingkat produksi ini tergolong sangat rendah dibanding produktivitas lahan pertanian di tempat-tempat lain yang
rata-rata adalah 5 – 6 ton gabah ha sawah. Kepemilikan lahan sawah yang hanya berkisar antara 100 sd 500 m2orang. Sebagian besar lahan belum
bisa dimanfaatkan secara lebih baik untuk pertanian terutama padi, karena
masih terkendala masuknya air payau ke lahan pertanian terutama di saat pasang. Produksi padi di Dusun Lempong Pucung misalnya, pada umumnya
hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja.
Gambar 47. Ibu-Ibu Menanam Padi Gambar 48. Sawah di Desa Klaces
Produksi padi yang dihasilkan hanya cukup untuk memenuhi konsumsi rumah tangga mendorong sebagian besar petani untuk mengembangkan
usaha komplemen, yang juga bersifat pertanian. Usaha komplemen pada umumnya dilakukan di saat musim sela berupa pengusahaan kebun palawija
dan buah-buahan seperti jeruk dan pisang. Di antara para petani, sebagian juga melakukan usaha penyadapan penderesan nira kelapa, yang dipasok
ke para perajin gula merah yang melakukan usaha di beberapa bagian desa di Lempong Pucung. Sebagian kecil dari para petani, dalam upayanya untuk
menopang kebutuhan ekonominya juga melakukan kegiatan non-pertanian, yaitu melakukan perikanan jala secara sambilan.
Selain kelompok masyarakat yang secara tradisi menggeluti mata pencaharian pertanian di Dusun Lempong Pucung, akhir-akhir ini muncul
kelompok masyarakat petani di Desa Bugel. Kelompok masyarakat ini semula adalah nelayan, yang kemudian mendapatkan peluang baru untuk
pengembangan ekonomi alternatif, yaitu pertanian. Kesempatan baru tersebut muncul dengan semakin meluasnya tanah timbul yang diakibatkan
oleh sedimentasi dan pengurugan. Menyempitnya luas perairan untuk perikanan dan meluasnya lahan daratan membuat sebagian masyarakat
dusun tersebut beralih profesi dari berpencaharian perairan ke pencaharian darat.
Petani baru di Dusun Bugel ini sejauh ini masih dalam tahap “pengembangan keahlian’. Lahan-lahan pertanian yang mereka miliki pada
umumnya dikerjasamakan dengan masyarakat pendatang dari daratan
Pulau Jawa, yang telah mengenal danmenguasai keahlian pertanian. Transfer teknologi dan keahlian terjadi dalam kerjasama ini, yang mereka
kenal dengan istilah ‘bawon’. Hasil diskusi kelompok di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat di dusun ini mengapresiasi
perkembangan alam yang terjadi di wilayah mereka. Terkait hal ini, dalam diskusi kelompok yang sama teridentifikasi pula berbagai kebutuhan yang
diperlukan oleh masyarakat, yang kesemuanya dihubungkan dengan keinginan mereka untuk mengembangkan perekonomian berbasis alam
daratan atau lahan terrestrial.
7. Penderes dan Perajin Gula Kelapa
Menderes adalah menyadap nira kelapa dengan tujuan untuk diolah lebih lanjut menjadi gula merah. Dalam kegiatan menyadap ini dimulai
dengan penderes memanjat pohon kelapa, lalu memotong tangkai bunga kelapa manggar untuk dipasang bumbung potongan ruas bambu agar
niranya mengalir ke dalamnya. Bumbung tergantung pada tangkai selama periode tertentu 12 jam, sebelum diambil kembali dan diganti dengan
bumbung yang lain oleh penderes. Teknologi pembuatan gula merah relatif sederhana, hanya melibatkan
proses perebusan, yang dimaksudkan untuk mengkonsentrasikan nira hingga terbentuk masa kental yang berupa gula merah. Prosesnya adalah
nira ditaruh dalam wajan besar untuk selanjutnya dimasak selama 5 – 6 jam dengan ditambahkan pengawet sodium metabisulphite seperti yang terlihat
pada Gambar 53. Bila sudah matang maka cairan kental disendok dan ditaruh di atas cetakan yang telah disipakan. Cairan tersebut cepat
mengering dan menjadi gula kelapa. Usaha menderes ini lebih banyak dilakukan oleh kepala rumah tangga
petani sawah tadah hujan. Meskipun ada juga yang merupakan ‘amen’ dari daerah Purbalingga. Pengolahan nira kelapa hasil penderesan menjadi gula
merah pada umumnya dilakukan oleh para istri ibu rumah tangga. Kayu bakar untuk proses perebusan adalah kayu bakau, yang diperoleh dari para
pencari kayu bakar dengan harga Rp 70.000 per perahu. Bahan lain yang dapat dimanfaatkan sebagai kayu bakar adalah sisa-sia penebangan pohon
albiso di hutan. Data di lapangan menunjukkan bahwa penggunaan kayu bakar tersebut cukup untuk 2 kali memasak nira.
Pembuatan gula kelapa yang sifatnya masih tradisional ini pada umumnya statis, pendere tidak terpikir untuk meningkatkan mutu produksi,
misalnya ukuran. Karena mereka mengganggap tidak ada perbedaan harga, yang ada pekerjaan menjadi semakin lama.
Gambar 49. Proses Pengambilan Nira Gambar 50. Proses Perebusan Nira
Gambar 51. Pengawet yang Digunakan dalam
Perebusan Gambar 52. Kayu Bakar yang
Digunakan Penderes
Gambar 53. Proses Pencetakan Gula Gambar 54. Gula yang Sudah Dicetak
8. Pencari Lobster
Kegiatan mencari lobster banyak dilakukan oleh nelayan di Desa Ujung Gagak. Mereka mencari lobster di laut lepas sekitar pangandaran.
Biasanya mereka melakukan kegiatan penangkapan secara berkelompok.
Alat tangkap yang digunakan adalah jaring sirang gillnet monofilament. Ukuran mata jaring yang digunakan berkisar antara 2,5 – 4,5 inci dengan
panjang jaring sekitar 30 – 50 depa atau 45 -75 m dan lebar 1 – 3 m. jaring sirang sendiri dapat digunakan untuk menangkap ikan. Penangkapan lobster
ini tergantung pada musim, untuk menghemat tenaga, waktu dan biaya operasional. Pemasarannya sendiri dilakukan di Ciamis yaitu ke Ibu Susi
yang memang sudah lama menggeluti ekspor lobster ini.
Gambar 55. Lobster yang Dikeringkan Gambar 56. Jaring Sirang yang
Digunakan untuk Menangkap Lobster
9. Penambang Pasir
Kegiatan lain yang banyak dilakukan oleh sebagian masyarakat di Kampung Laut ini adalah menambang pasir. Pasir ini banyak dimanfaatkan
untuk membangun rumah di sekitar mereka. Bukan untukk diperjualbelikan ke daerah luar Kampung Laut. Lokasi penambangan pasir biasanya di dekat
Plawangan perbatasan dengan Jawa Barat. Di daerah tersebut memang sudah mengalami pendangkalan, sehingga mudah bagi masyarakat untuk
melakukan penambangannya.
Gambar 57. Kegiatan Penambangan Pasir di Plawangan Barat
10. Pencari kayu bakar
Mencari kayu bakar, meskipun dianggap sebagai kegiatan yang dilarang atau ilegal, merupakan pencaharian utama bagi sejumlah besar
penduduk Segara Anakan. Hal ini terutama karena banyak pencari kayu bakar yang menebang hutan bakau, untuk dijual langsung maupun untuk
dijadikan arang kayu. Penebangan hutan bakau tersebut diyakini oleh penduduk sebagai salah satu penyebab utama penurunan stok ikan di area
Segara Anakan, karena berkurangnya akar bakau yang menjadi tempat pemijahan ikan.
Gambar 58. Kayu bakau yang Digunakan untuk Kayu Bakar
Secara ringkas karakteristik pengguna sumberdaya di laguna Segara Anakan dalam sebuah sistem sosial-ekologi dan identifikasi kebutuhan pengguna
sumberdaya secara berturut-turut dapat dilihat pada Tabel 50 dan 51 berikut ini.
Tabel 50. Karateristik Pengguna Sumberdaya di Laguna Segara Anakan
No Pengguna Karakteristik
1 2 3 4 5
1 Nelayan
-
Nelayan jaring apong 2
4 4
4 2
-
Nelayan penjala
2 4 3 4 2
-
Pencari kepiting 2
3 2
3 2
-
Pengumpul kerang
2 3 2 3 2
-
Nelayan lobster
2 3 3 3 2 2
Pembudidaya
-
Ikan bandeng 2 3 3 3 2
-
Udang 2 3 3 2 2
-
Kepiting 2 1 2 2 2
3 Petani tadah hujan
2 1
1 3
2 4
Usaha jasa
-
Bakul ikan
2 1 2 3 2
-
Bakul gula
2 3 3 3 2
-
Penderes 2 4 3 4 2
-
Pencari kayu bakar 2
3 2
3 2
Keterangan: Kualitas SDM
= 1: tidak sekolah dan tidak tamat SD 2: tamat SD
3: tamat SMP 4: tamat SMA
5: PT
Ketergantungan pada luasan laguna = 1. tidak ada, 2. rendah, 3. sedang, 4. tinggi
Pengaruhnya pada ekologi = 1. tidak ada, 2. rendah, 3. sedang, 4. tinggi
Kinerja ekonomi = 1. tidak ada, 2. rendah, 3. sedang, 4. tinggi
Kemampuan untuk beradaptasi = 1. tidak ada, 2. rendah, 3. sedang, 4. tinggi
Tabel 51. Identifikasi Permasalahan dan Solusi yang Dilaksanakan di Laguna Segara Anakan
No Permasalahan
Kelompok rentan Solusi yang telah terlaksana
1 Erosi dan
sedimentasi Nelayan Pembudidaya
Petani Penanganan Vegetatif
Penanganan Sipil Teknis Penanganan Sosial
2 Pendangkalan laguna Nelayan
Pengerukan laguna
Sudetan 3 Tanah
timbul Nelayan
Pembudidaya Petani
Pengelolaan catchment area secara
vegetatif dan sipil teknis 4 Sengketa
lahan Nelayan
Pembudidaya Petani
Masyarakat Tata batas
Penetapan Menteri
5 Kerusakan mangrove Nelayan
Pembudidaya Rehabilitasi
Konservasi
Sumber: data primer 2010
Berdasarkan data dan informasi dalam tahapan identifikasi sistem sosial- ekologi di Kawasan Laguna Segara Anakan dapat disimpulkan beberapa hal
berikut ini: 1. Kualitas SDM pengguna sumberdaya di kawasan laguna Segara Anakan
pada umumnya tergolong rendah, dilihat dari tingkat pendidikan yang sebagian besar penduduknya adalah lulusan Sedolah Dasar, bahkan banyak
yang tidak lulus. 2. Ketergantungan pengguna sumberdaya pada luasan laguna terutama adalah
nelayan. Selain luasan, mereka juga tergantung pada kedalaman laguna. Kondisi saat ini laguna yang semakin dangkal dan menyusut seringkali
membuat nelayan jarang melakukan aktivitas penangkapan ikan. 3. Pengaruhnya pada ekologi dari pengguna sumberdaya diantaranya adalah
terjadinya perubahan lingkungan biofisik di kawasan Segara Anakan, antara lain kerusakan akibat proses sedimentasi yang berdampak pada menurunnya
hasil tangkapan nelayan, serta kerusakan vegetasi hutan mangrove akibat penambahan jumlah pendudukyang melakukan penebangan bakau dimana
arealnya dimanfaatkan sebagai pemukiman, lahan pertanian dan tambak. 4. Kinerja ekonomi yang terjadi di kawasan Laguna Segara Anakan umumnya
berlangsung berdasarkan kriteria sosial ekonomi. Nelayan, pembudidaya, pencari ikan kerang, kepiting, dan penderes sangat tergantung pada Bakul.
Bakul merupakan pedagang perantara yang dinilai memiliki strata sosial lebih tinggi. Selain itu, keterbatasan sarana dan prasarana termasuk transportasi
membuat pengguna sumberdaya memilih untuk mengandalkan peran bakul dalam memasarkan hasil produksinya.
5. Kemampuan untuk beradaptasi pengguna sumberdaya di kawasan laguna Segara Anakan pada umumnya merupakan bentuk respon terhadap
perubahan lingkungan, baik secara fisik maupun sosial budaya. Bentuk adaptasi yang dilakukan secara umum adalah dengan cara produksi, yaitu
upaya masyarakat untuk menambah atau mengurangi jumlah barang terutama pangan dan sumber energi. Kegiatan lainnya adalah melakukan
diversifikasi pekerjaan, melibatkan anggota keluarga dan menerima program bantuan baik dari pemerintah ataupun bukan.
5.1.2. Identifikasi Sarana dan Prasarana 5.1.2.1. Prasarana Penyediaan Air Bersih
Prasarana penyediaan air bersih di kawasan Laguna Segara Anakan ini masih mengandalkan air tawar dari mata air di Pulau Nusakambangan yang ada
di gua-gua. Air-air tersebut dibendung, kemudian dipasang pompa untuk mempermudah proses penarikan air, untuk selanjutnya dialirkan ke bak-bak
penampungan di sekitar pemukiman penduduk. Kondisi ini tidak berjalan secara kontinyu untuk semua wilayah di kawasan ini, beberapa masih melakukan secara
manual, dengan cara menampung air dalam perahu untuk selanjutnya dibawa ke rumah. Hal ini tentunya masih memerlukan biaya, yang bisa dideskripsikan
sebagai berikut: biaya untuk menarik air ke dalam perahu Rp 2.000,-; biaya air 1 perahucompreng Rp 20.000,-; biaya pemindahan air dari perahu ke dalam bak di
rumah Rp 8.000,-. Air sebanyak ini digunakan untuk keperluan sehari-hari, yaitu mandi, minum, dan mencuci, dimana tingkat kecukupannya sangat tergantung
pada besarnya jumlah keluarga dalam setiap rumah tangga. Fasilitas air bersih yang ada di wilayah ini dapat dilihat pada Gambar 59 sampai dengan Gambar
61.
Gambar 59. Mata Air yang Dibendung dan Dipasang Pompa
Gambar 60. Pipa untuk Menyalurkan Air Tawar ke Bak-Bak
Penampungan
Gambar 61. Proses Pengangkutan Air Bersih
5.1.2.2. Prasarana Penerangan
Prasarana penerangan yang ada di kawasan ini adalah Pembangkit Listrik Tenaga Surya PLTS. Namun fasilitas PLTS ini belum merata untuk semua
warga. Karena keterbatasan jumlah panel-panel yang ada, hanya sebagian kecil warga yang bisa menikmati penerangan dengan PLTS ini. Itupun tidak bisa
sepanjang hari, hanya beberapa jam saja. Sebagian besar warga lainnya memenuhi kebutuhan penerangan dengan menggunakan genset. Ada yang milik
sendiri ataupun ikut iuran membeli bensin kepada tetangga yang memilikinya, dengan biaya berkisar antara Rp 1.000,- samapi dengan Rp 5.000,- setiap
malamnya, tergantung penggunaannya yaitu banyaknya lampu yang digunakan atau kegiatan lain seperti penggunaan alat listrik lain setrika, televisi, dll.
Gambar 62. PLTS di Desa Ujung Alang
5.1.2.3. Prasarana Pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan di Kecamatan Kampung Laut disebabkan karena rendahnya sarana prasarana pendidikan yang terdapat di Kecamatan
Kampung Laut. Menurut BPS Kabupaten Cilacap 2008, jumlah SD sederajat sebanyak 13 buah, SLTP sederajat sebanyak dua buah dan SLTA Sederajat
sebanyak satu buah dan ditambah jumlah tenaga pengajarguru yang belum memadai memenuhi kuota yang sesuai Tabel 52.
Tabel 52. Tingkat Pendidikan Kecamatan Kampung Laut 2008
No Uraian Jumlah
Orang
1 TidakBelum Sekolah
3.835 2
Belum Tamat SD 1.938
3 Tidak Tamat SD
1.624 4
Tamat SD 4.623
5 Tamat SLTP
660 6
Tamat SLTA 374
7 AkademiPT 51
Total 13.105
Sumber : Anonimous
2
2009
Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan disajikan pada Gambar 63. Sebagian besar responden tidak memenuhi pendidikan dasar 6
tahun. Berdasarkan hasil wawancara, hal tersebut dikarenakan dahulu masih jarang sekali sekolah di wilayah kampung laut. Selain itu, orientasi orang tua
jaman dahulu di wilayah kampung laut tidak ke arah pendidikan, tetapi bagaimana agar anak-anaknya dapat membantu kedua orang tua bekerja.
Gambar 63. Tingkat Pendidikan Responden di Segara Anakan
10 20
30 40
50 60
Tidak tamat SD Tamat SD
Tidak tamat SLTP Tamat SLTP
Tabel 53. Rasio Sekolah, Murid dan Guru di Kecamatan Kampung Laut 2008
Sekolah SD Sederajat
SLTP Sederajat SLTA
Sekolah 5 2
1 Murid orang
1.938 540
139 Guru orang
50 26
16 Rasio Murid dan Guru
39 : 1 21 : 1
6 : 1
Sumber : Anonimous
2
. 2009
Pada Tabel 53 dapat terlihat bahwa pendidikan di Kecamatan Kampung Laut rasio antara guru dan murid masih belum cukup. Hal tersebut diperparah
dengan keadaan guru-guru yang berada di Kecamatan Kampung Laut biasanya tidak menetap di lokasi kawasan. Setiap hari dengan menggunakan perahu milik
pemerintah, guru-guru harus melewati kawasan perairan Segara Anakan untuk sampai di lokasi sekolah. Setidaknya selama satu hingga dua jam perjalanan
berangkat dan perjalanan pulang. Belajar mengajar di Kecamatan Kampung Laut tidak berjalan apabila musim angin hujan tiba, karena rawannya menyeberang
ke lokasi sekolah. Kondisi sarana pendidikan di Kampung Laut dapat dilihat pada Gambar 64 dan 65.
Gambar 64. SD Filial di Dusun Bondan Gambar 65. SD Induk di Desa Ujung
Alang
5.1.2.4. Prasarana Kesehatan
Menurut BPS Kabupaten Cilacap 2007, di Kecamatan Kampung Laut minimnya sarana kesehatan berupa Puskesmas sebanyak 1 buah, puskesmas
pembantu sebanyak 1 buah dan posyandu sebanyak 21 buah. Padahal di tingkat kecamatan yang memiliki empat desa dengan akses transportasi yang terbatas,
menjadikan sarana dan prasarana di Kecamatan Kampung laut tidak memadai. Hal ini juga terlihat dari jumlah petugas kesehatan yang minim. Dokter umum 1
orang, perawat 4 orang, bidan 4 orang. Selain itu, tenaga paramedis yang ada karena berdomisili di Cilacap, pada saat akhir pekan tidak ada di tempat.
5.1.2.5. Prasarana Komunikasi
Prasarana komunikasi di wilayah ini, pada umumnya masyarakat sudah memiliki sarana komunikasi seperti handphone. Hal ini dilakukan terutama untuk
menjalin komunikasi dengan anggota keluarga yang berada di luar kota.
5.1.2.6. Prasarana Keagamaan
Prasarana keagamaan yang ada di setiap desa diantaranya adalah gereja dan mesjid. Demikian juga halnya dengan tokoh agamanya.
Gambar 66. Sarana Ibadah Agama Kristen
Gambar 67. Kegiatan Perayaan Agama Islam
5.1.2.7. Prasarana Transportasi
Kondisi sistem transportasi dapat diukur dengan aksesibilitas dan mobilitas wilayah tersebut. Aksesibilitas dapat dilihat berdasarkan jangkauan wilayah oleh
prasarana transportasi dan kemudahan manusia mendapatkan sarananya. Sarana transportasi yang ada di kawasan ini masih terbatas. Untuk wilayah
seperti desa Panikel karena sudah tersambung dengan kabupaten Cilacap yaitu kecamatan Kawunganten, sebagian wilayahnya bisa dijangkau dengan
menggunakan angkutan umum. Namun untuk wilayah lain yang masih menggunakan perahu.