Periode Tahun 1996 – 2000 Dinamika Sistem Sosial-Ekologi

berdasarkan fase siklus pengelolaan adaptif yang dikembangkan oleh Holling 1986 dan Gunderson et al. 1995 dapat dilihat pada Tabel 55. Tabel 55. Praktek Pengelolaan Tradisional Sumberdaya Perikanan di Laguna Segara Anakan berdasarkan Fase Siklus Pengelolaan Adaptif Holling 1986, Gunderson et al, 1995 Fase siklus Praktek Pengelolaan Tradisional Release - Perkembangan pertanian diteruskan dengan implikasi kerusakan yang signifikan - Pertambakan dan sawah berkembang hampir tak terkendalikan - Penggunaan jaring apong untuk kegiatan penangkapan ikan - Sedimentasi terus berlanjut Renewal - Konservasi tetap, tapi prasarana produksi pertanian dibenahi - Pengendalian kepemilikan lahan - Pengaturan jalur pemasangan jaring apong Exploitation - Penebangan bakau dan pemanfaatan tanah timbul untuk pertanian ‘bawon’ - Extensifikasi pertanian di wilayah yang telah tersambung dengan daratan Conservation - Budidaya tumpangsari untuk meredam laju pertanian sawah - Melokalisir perkembangan areal pertambakan Sumber: data primer 2010 Secara visual siklus adaptif di laguna Segara Anakan yang menggambarkan resiliensi sosial-ekologinya sebagaimana siklus adaptif yang dikonsep oleh Holling 1973 dapat dilihat pada Tabel 56. Kurun waktu di antara Tahun 1980 hingga dekade terakhir ini merupakan periode yang sempurna untuk menggambarkan hubungan antara kejadian-kejadian sosial-ekonomi dan ekologis di Segara Anakan. Alasan utamanya adalah bahwa pada periode tersebut, terdapat rangkaian kejadian ekologis dan sosial yang terjadi melalui proses yang sangat cepat. Rangkaian kejadian tersebut dapat secara jelas mengambarkan hubungan satu kejadian dan kejadian berikutnya yang berlangsung dalam siklus-siklus adaptasi berulang. Tabel 56. Siklus Adaptif Sosial-Ekologi di Laguna Segara Anakan Periode Fase siklus adaptif Fase-r Fase-K Fase- Ω Fase- α 1980 – 1985 Meletusnya Gunung Galunggung dipercaya sebagian masyarakat sebagai pemicu sedimentasi Nelayan mencoba beralih mata pencaharian menjadi petani Masyarakat membuka alas di tanah timbul untuk kegiatan pertanian, diikuti dengan kegiatan pematokan lahan Adanya pihak ketiga yang berperan dalam transformasi kegiatan perikanan menjadi pertanian 1986 – 1990 Penebangan bakau dan pemanfaatan tanah timbul untuk pertanian ‘bawon’ Budidaya tumpangsari untuk meredam laju pertanian sawah Perkembangan pertanian diteruskan dengan implikasi kerusakan yang signifikan Konservasi tetap, tapi prasarana produksi pertanian dibenahi 1991 – 1995 Penebangan bakau untuk pertambakan dan pertanian baru Melokalisir perkembangan areal pertambakan Pertambakan dan sawah berkembang hampir tidak terkendalikan Pengendalian kepemilikan lahan 1996 – 2000 Extensifikasi pertanian di wilayah yang telah tersambung dengan daratan Menunda pembangunan prasarana untuk mengendalikan peluasan pertanian Pengerukan intensif untuk mendukung pertanian Æ terjadi konflik disposal kerukan Pengaturan pembuangan disposal plus penataan lokasi pertanian 2001 – sekarang Peningkatan eskalasi in- migrasi dan ekonomi di lokasi2 tertentu Pengendalian sertifikasi lahan di tanah timbul: sertifikasi hanya diberikan untuk perumahan, bukan areal pertanian Terjadi jual beli lahan pertanian dari penduduk asli ke pendatang Æ kepemilikan lahan produksi menjadi pincang Fase reorganisasi belum terjadi Sumber: data primer 2010 Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana disebutkan dalam analisis sejarah, terlihat bahwa berbagai kejadian tersebut berawal dari adanya sebuah letusan gunung berapi Gunung Galunggung pada Tahun 1982. Letusan tersebut berdampak besar pada laju sedimentasi pada sungai-sungai yang bermuara di Segara Anakan. Pendangkalan cepat yang memperluas areal daratan terjadi dan membuat masyarakat Segara Anakan untuk mempersiapkan sebuah respon utuk mempertahankan keberlanjutan mereka secara sosial dan ekonomis. Dalam terminologi Holling 2000, periode tersebut dapat digolongkan kedalam fase reorganisasi. Dengan kondisi resiliensi seperti diuraikan di atas, respon sosial yang diberikan oleh masyarakat adalah mencari alternatif yang paling memungkinkan untuk menutup kerugian akibat menyusutnya areal perikanan. Pada saat itu, respon yang pada akhirnya muncul dari masyarakat Segara Anakan adalah pengembangan pencetakan lahan-lahan pertanian di atas tanah timbul yang terbentuk oleh proses sedimentasi cepat tersebut. Namun, dengan keterbatasan sumberdaya manusia yang dimiliki oleh masyarakat, pencetakan lahan-lahan pertanian tersebut dilakukan dengan mengundang petani-petani dari daratan Pulau Jawa dengan beberapa kesepakatan 3 yang mereka tentukan bersama. Pada periode berikutnya, terjadi fase pertumbuhan growth, dimana petani-petani bawon 4 melakukan kegiatan budidaya padi di lahan-lahan tanah timbul. Hutan-hutan bakau yang berasal dari tanah-tanah yang baru terbentuk maupun yang timbul pada waktu-waktu sebelumnya dikonversi menjadi lahan- lahan pertanian, terutama padi. Pada saat itu, terjadi perubahan perilaku masyarakat yang pada umumnya menggantungkan hidupnya pada lahan-lahan perairan, terutama sebagai nelayan. Dengan kondisi yang ada, sebagian besar masyarakat berpendapat bahwa mereka telah menemukan momentum untuk mensejahterakan diri dengan menjadi masyarakat daratan, dengan kemudahan dan aksesibilitas terhadap berbagai sumber kehidupan darat. Dalam situasi seperti itu, jumlah petani pembawon yang masuk dan kemudian berdomisili di wilayah Segara Anakan meningkat tajam, menyebabkan kenaikan populasi secara signifikan. Kenaikan jumlah penduduk ini makin memperberat beban masyarakat setempat karena kompetisi yang meningkat. Sebagian masyarakat menemukan jalan keluar dengan melakukan aktivitas ekonomi yang destruktif termasuk penebangan hutan bakau. Dengan tingkat pendidikan yang pada umumnya rendah, pilihan pekerjaan pun menjadi terbatas; lebih jauh, pendidikan rendah juga membuat masyarakat sulit untuk menerima penyadaran dari luar tentang praktek destruktif. Sebagai contoh, mereka berpendapat bahwa tanaman yang tumbuh di bekas-bekas hutan bakau tidak termasuk kategori bakau, dan karenanya tidak dikenakan larangan penebangan. 3 Kesepakatan di antara masy. Segara Anakan dengan petani luar melalui sistem bawon: hak atas bidang sawah yang dimiliki oleh penduduk asli diberikan sebagian kepada petani pendatang sebagai imbalan atas pengerjaan sawah tersebut dan atas ‘pelajaran bertani’ yang diberikan oleh petani pendatang kepada pemilik hak bidang sawah 4 Petani bawon adalah petani pendatang atau dari manapun asalnya yang mendapatkan upah penggarapan dalam bentuk bagian hasil tertentu