Organisasi Penulisan METODE PENELITIAN

oleh gerakan pasang surut air laut di samping memperoleh pasokan air tawar dari sungai-sungai yang bermuara di perairan Segara Anakan.

4.1.2. Kondisi Iklim

Kawasan Laguna Segara Anakan dan sekitarnya dipengaruhi oleh dua musim yaitu musim hujan pada bulan Nopember sampai April yang membawa pengaruh terhadap kelimpahan ikan, nelayan Kampung Laut menyebutnya sebagai musim timur atau musim panen ikan. Sedangkan musim kemarau berlangsung dari bulan Juli sampai September adalah musim barat yang merupakan musim paceklik. Menurut klasifikasi iklim dari Smith-ferguson wilayah laguna dan sekitarnya termasuk ke dalam tipe iklim A, dengan curah hujan rata- rata 3.444 mmtahun atau rata-rata 7 – 137 mmbulan pada musim kemarau dan 226,4 – 852 mmbulan pada musim hujan. Suhu rata-rata 26,7 C dengan siraman sinar matahari sepanjang tahun yang kisaran per harinya rata-rata selama 8 jam pukul 08.00 – 16.00 WIB. Pergerakan air di laguna dipengaruhi aliran sungai yang banyak bermuara di sana dan pengaruh pasang surut perairan Lautan Samudera Hindia dengan tipe pasang surut campuran dengan dominasi semi diurnal yaitu dalam sehari terjadi 2 kali kejadian pasang dan 2 kali kejadian surut dengan kisaran fluktuasi pasang surut 0,4 sampai 1,9 meter. Salinitas air berubah-ubah sesuai irama pasang surut dimana salinitas tertinggi mencapai 33,3 ppm yang terjadi pada saat pasang tertinggi PKSPL-IPB, 1999.

4.1.3. Kondisi Morfologi

Morfologi laguna Segara Anakan dapat dilihat dari tiga ekosistem utama yang berbeda namun saling berinteraksi satu sama lain pada saat yang bersamaan yaitu:

1. Ekosistem dan Sumberdaya Laut

Ekosistem laut yang mempengaruhi kawasan Segara Anakan adalah Perairan Samudera Hindia yang berada di sekitar pantai selatan Pulau Jawa dan Pulau Nusakambangan. Ekosistem laut ini mempengaruhi estuaria Segara Anakan melalui dua kanal penghubung yaitu kanal timur Kembang Kuning dan kanal barat Plawangan. Di bagian timur, wilayah perairan laut yang terhubung dengan estuaria Segara Anakan berada di wilayah pantai Kota Cilacap yang seringkali sangat keruh airnya karena tercemar oleh buangan hasil industri yang ada di sekitar kota tersebut. Perairan ini, sampai sejauh 10 km dari pantai, mempunyai edalaman rata-rata 20 m. Di bagian selatan Pulau Nusakambangan wilayah perairan laut ini menjadi lebih dalam. Sampai sejauh 6 km dari pantai selatan Pulau Nusakambangan kedalaman rata-ratanya mencapai 60 m. Perairan laut di sekitar kawasan Segara Anakan ini dipengaruhi oleh aliran arus pantai yang berubah-ubah mengikuti pergantian musim. Arus pantai ini mengalir ke arah timur pada bulan Nopember – Juni dan mengalir ke arah barat pada bulan Juli – Oktober. Proses upwelling kadang-kadang juga terjadi di perairan laut ini pada musim angin pasat tenggara. Aliran arus pantai ini amat penting fungsinya dalam penyebaran berbagai plankton untuk makanan ikan dan udang yang berada di perairan laut sekitar Segara Anakan. Satwa ikan yang hidup di perairan laut ini terdiri dari jenis ikan laut spesies pelagis dan jenis lainnya yang beruaya dari perairan estuaria Segara Anakan ke perairan laut di sekitarnya seperti tembang Sardinella fimbriata, belanak Mugil spp. dan layur Trichiurus spp., cumi-cumi Loligo spp. dan udang laut juga banyak dijumpai di perairan laut ini.

2. Ekosistem dan Sumberdaya Darat

Wilayah daratan di sekitar kawasan Segara Anakan sebagian besar telah dikonversikan penggunaannya dari semula daerah hutan pantaimangrove menjadi daerah pertanian, pemukiman penduduk dan pertambakan udang. Studi ICLARM 1992 melaporkan bahwa luas wilayah daratan sekitar kawasan Segara Anakan – Cilacap yang telah berubah fungsinya menjadi daerah pertanian adalah seluas ± 30.836 ha. Hal ini dapat dimengerti mengingat lahan bekas hutan mangrove pada umumnya banyak mengandung unsur-unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman sehingga sangat subur untuk usaha budidaya pertanian. Wilayah daratan sekitar Segara Anakan sangat sesuai untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian padi. Kondisi lingkungan wilayah daratan di sekitar Segara Anakan juga dilaporkan sangat cocok untuk budidaya ternak. Namun demikian laporan studi ICLARM 1992 juga menyatakan bahwa kondisi lingkungan wilayah ini telah mulai terganggu oleh banyaknya ternak yang kini dibudidayakan oleh masyarakat setempat. Di samping sedimen yang dibawa oleh aliran sungai dari daerah hulu perbukitan, di perairan Segara Anakan juga banyak terdapat sampah hasil buangan dari pemukiman penduduk penduduk di sekitar perairan ini. Sampah- sampah ini ternyata telah mempercepat proses sedimentasi dan pada saat membusuk menimbulkan bau dan rasa air yang tidak baik bagi kehidupan satwa air yang ada di perairan Segara Anakan. Daratan Pulau Nusakambangan luas ± 10.300 ha yang berada di sebelah Selatanwilayah perairan Segara Anakan kini juga telah mulai mengalami perubahan tata guna lahan land use change. Sebagian dari wilayah hutan sekunder penutup daratan pulau ini rainforest kini telah dibuka untuk berbagai keperluan seperti antara lain penambangan batu gamping untuk memenuhi kebutuhan pabrik semen di Cilacap, perkebunan pisang dan juga pertambakan udang. Sejauh ini belum ada laporan tentang dampak negatif dari kegiatan- kegiatan tersebut di atas terhadap kondisi lingkungan Segara Anakan. Pulau Nusakambangan sampai saat ini masih merupakan satu-satunya sumber penyedia air tawar yang sehari-hari dibutuhkan oleh masyarakat di sekitar perairan Segara Anakan.

3. Ekosistem dan Sumberdaya Estuaria a. Hutan

mangrove Seperti telah dikemukakan dalam uraian sebelumnya bahwa kawasan Segara Anakan merupakan satu-satunya wilayah di Pulau Jawa yang memiliki hutan mangrove yang terluas. Luasan ini pada mulanya mencapai ± 35.985 ha ± 21.185 ha terletak di sepanjang tepi laguna dan ± 14.100 ha lainnya terletak di wilayah rawa pasang surut di sekitar laguna. Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil survey terakhir, luasan tersebut di atas telah menyusut menjadi 12,227 ha Soemodihardjo, 1989. Ekosistem mangrove di kawasan Segara Anakan ini ternyata telah berubah seiring dengan perubahan yang terjadi pada kondisi topografi di sekitar laguna, fluktuasi pasang surut air laut dan pola- pola angkutan serta sebaran sedimen di perairan Segara Anakan tersebut. Perubahan ekosistem ini telah diteliti oleh Tim Ekologi IPB 1984 dan Soemodihardjo 1989. Hutan mangrove di kawasan Segara Anakan di samping berfungsi sebagai penyedia kayu bakar dan kayu untuk bahan bangunan untuk penduduk setempat serta tempat berlindung, memijah dan asuhan berbagai jenis satwa air komersial ikan dan udang juga merupakan habitat yang penting bagi berbagai burung dan satwa mamalia seperti