Identifikasi Penyedia Prasarana Model Sistem Sosial-Ekologi di Laguna Segara Anakan

Stakeholder eksternal adalah stakeholder yang memiliki pengaruh yang relatif tinggi tetapi tingkat kepentingannya rendah. Stakeholder eksternal dalam pengelolaan kawasan Laguna Segara Anakan adalah instansi pemerintah diluar wilayah Cilacap dan kalangan akademisi.

5.1.4. Dinamika Sistem Sosial-Ekologi

Dinamika sistem sosial-ekologi dapat dilihat dengan menggunakan pendekatan analisis sejarah. Analisis ini merupakan merupakan pendalaman kondisi sistem sosial-ekologi di kawasan laguna Segara Anakan dari perspektif sejarah, yang menjelaskan perubahan lingkungan, dan dikaitkan dengan mata pencaharian, yang kemudian dikaitkan dengan kondisi kerentanan maupun resiliensi. Untuk itu dilakukan identifikasi yang terbagi dalam beberapa periode, yaitu: 1 tahun 1980 – 1985; 2 tahun 1986 – 1990; 3 tahun 1991 – 1995; 4 1996 – 2000; 5 2001 - sekarang.

5.1.4.1. Periode Tahun 1980 – 1985

Meletusnya Gunung Galunggung pada tahun 1982 dipercaya sebagian masyarakat sebagai pemicu terjadinya sedimentasi di Laguna Segara Anakan. Sedimentasi yang terjadi mengakibatkan menyusutnya laguna sebesar 247 ha. Pembentukan daratan ini diikuti dengan pembentukan sawah seluas 2.557 Ha. Adanya pembentukan sawah ini menunjukkan kecenderungan telah terjadi perubahan mata pencaharian dari kegiatan perikanan ke pertanian. Meskipun demikian kegiatan perikanan belum sepenuhnya berkurang, karena nelayan belum memiliki keahlian sebagai petani. Sebagai sebuah pencaharian yang baru bagi masyarakat, pertanian sawah pada saat itu relatif tidak dapat dikelola sepenuhnya oleh penduduk Segara Anakan. Situasi tersebut kemudian mendorong kemunculan ide di kalangan masyarakat petani untuk mendatangkan petani-petani berpengalaman dari daratan Pulau Jawa untuk bekerjasama dan dalam rangka alih teknologi dari mereka. Petani-petani berpengalaman dari daratan Pulau Jawa ini didatangkan dengan mekanisme ‘sistem bawon’. Sistem bawon diaplikasikan secara bervariasi oleh para petani Segara Anakan, tapi pada prinsipnya harus melalui kesepakatan yang mengikat di antara pemilik lahan dan pembawon. Masyarakat petani Segara Anakan dan petani pendatang dari daratan Pulau Jawa melalui sistem ini harus menyepakati rincian mengenai hak dan kewajiban yang dikaitkan dengan pemberian hak pemanfaatan lahan yang dimiliki oleh petani Segara Anakan kepada pendatang, termasuk di antaranya kompensasi yang diberikan kepada para petani pendatang tersebut atas tenaga dan transfer teknologi kepada masyarakat Segara Anakan. Dalam konteks ini, terdapat dua skema yang dipergunakan, merdiyo 1 atau paro 2 . Secara diagramatik dapat dilihat pada Gambar 71 berikut ini. Gambar 71. Interaksi kejadian ekologis dengan sosial pada periode tahun 1980- 1985 Upaya pembukaan lahan dimulai dengan mematoki alas bakau yang diyakini warga Kampung Laut sebagai warisan nenek moyang. Pematokan ini menimbulkan persengketaan antara pihak Perhutani, Departemen Kehakiman dan warga masyarakat sendiri. Pada akhirnya setelah dibentuk tim penyelidik wilayah diputuskan bahwa masyarakat Kampung Laut dapat memanfaatkan tanah timbul untuk meningkatkan taraf hidupnya. Sebagai akibat dari menurunnya kinerja penghidupan berbasis air yang berkembang di awal-awal kehidupan sosial mereka, terutama perikanan dan bentuk pencaharian berbasis lahan terestrial yang muncul setelahnya, yaitu 1 Merdiyo adalah skema pengelolaan tanah atau sawah di mana dalam 2 dua tahun pertama pengelola tidak memberikan hasil apapun kepada pemilik. Biasanya, hal itu diikuti oleh sistem paro tahun-tahun berikutnya. 2 Paro adalah sistem bagi hasil dimana hasil panen secara merata dibagi menjadi 2 dua antara pengelola dan pemilik dengan biaya operasional juga dibagi secara merata, tetapi biaya pengelolaan lahan adalah pengelola. Peningkatan jumlah penduduk Banyak petani pendatang bawon Kegiatan perikanan menjadi pertanian Lahan sawah: 2.557 ha Sedimentasi: - 247 Ha Badan air menyusut G. Galunggung meletus pertanian, penduduk Segara Anakan memulai petualangan baru pada lahan- lahan terestrial yang ‘tumbuh’. Pada tahun 1981, Yayasan Sosial Bina Sejahtera YSBS memberi bantuan kepada masyarakat Kampung Laut melalui pembangunan tanggul permanen yang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap pertanian sawah, mulai dari Klaces di bagian barat hingga Pasuruhan di bagian timur sepanjang 6 km. Perpindahan penduduk secara besar-besaran dari daratan Pulau Jawa pada gilirannya menyebabkan kenaikan polupasi secara signifikan di Segara Anakan. Pendatang dari daratan didorong untuk datang dan membudidayakan tanaman pertanian di lahan-lahan tanah timbul, yaitu padi. Dengan motivasi atau dorongan ini,sejumlah besar luasan mangrove dikonversi menjadi sawah dan komplek permukiman. Tentu saja ini merupakan perkembangan yang mengkhawatirkan karena peningkatan polulasi tersebut terjadi dengan kecepatan yang sangat tinggi.

5.1.4.2. Periode Tahun 1986 – 1990

Pada periode tahun 1986 – 1990 ini sedimentasi terus berlanjut, dimana terjadi penambahan daratan seluas 74 ha dan penyempitan laguna seluas 346 ha. Perubahan ini diiringi pembentukan sawah seluas 2.081 ha, dan penambahan pemukiman sebanyak 2 ha. Hal ini merupakan implikasi dari penambahan jumlah penduduk terutama pendatang yang memang berprofesi sebagai petani. Pada periode ini mulai dilakukan upaya pengaturan pengelolaan lahan oleh pemerintah desa yaitu dengan membagi 0,5 ha tanah di tanah timbul pada setiap keluarga untuk dijadikan lahan pertanian, yang selanjutnya kepala keuarga dapat menggarap sampai 2 ha. Sejalan dengan bertambahnya ketersediaan lahan pertanian, yang kemudian memicu datangnya lebih banyak lagi pendatang, komplek-komplek permukiman baru dibangun. Pada periode ini, dengan terjadinya penambahan lahan pertanian, mengakibatkan bertambahnya lahan untuk permukiman penduduk. Dengan kata lain, pertanian tidak hanya mengkonversi mangrove menjadi sawah melainkan juga meningkatkan luasan lahan permukiman dan menambah tekanan terhadap sumberdaya. Pada periode ini pula, tambahan dua hektar komplek permukiman kembali terjadi. Hal ini semakin mempercepat proses degradasi lingkungan di Segara Anakan Purnomo and Suryawati 2009. Berdasarkan pada hasil wawancara dengan narasumber kunci, pengelolaan pertanian sawah cukup berhasil dengan adanya bantuan teknis yang diberikan oleh sebuah organisasi berbasis keagamaan. Perkembangan lebih lanjut di Segara Anakan pada periode tersebut menunjukkan bahwa ekonomi berbasis lahan terrestrial yang baru saja berkembang saat itu menarik minat lebih banyak penduduk luar kawasan untuk datang dan bermukim di Segara Anakan. Pada periode ini, masyarakat sempat mengalami panen raya dari lahan sawah mereka. Ini terjadi terutama karena dukungan dari pengelolaan air yang diperkenalkan oleh yayasan YSBS. Menurut penuturan narasumber kunci, pada saat terjadi panen raya, bangunan penyimpanan pendopo bahkan tidak dapat mengakomodasikan penyimpanan seluruh hasil panen. Pada saat ini, seiring dengan penurunan produktivitas lahan, nbangunan penyimpanan tersebut dalam kondisi yang hamper tidak termanfaatkan. Masyarakat kini memanfaatkan bangunan tersebut untuk kegiatan belajar mengajar sebuah sekolah dasar, yaitu SDN 01 Ujungalang. Penurunan tersebut terutama terkait dengan tidak berfungsinya tanggul penahan air yang diakibatkan oleh perkembangan tambak, yang pada saat itu dibangun di lokasi tidak jauh dari tanggul pertanian. Secara diagramatik kejadian sosial dan ekologis yang terjadi pada periode ini dapat dilihat pada Gambar 72 berikut ini. Gambar 72. Interaksi kejadian ekologis dengan sosial pada periode tahun 1986 - 1990 Pendatang terus berdatangan Kegiatan pertanian meningkat Pemukiman baru: 2 ha Lahan sawah: 2.081 ha Penambahan lahan: +74 ha Badan air menyusut: 346 ha Sedimentasi berlanjut

5.1.4.3. Periode Tahun 1991 – 1995

Pada periode tahun 1991 – 1995 ini sedimentasi terus berlanjut, dimana terjadi penambahan daratan seluas 1.399 ha dan penyempitan laguna seluas 719 ha. Perubahan ini diiringi dengan penambahan lahan pemukiman sebanyak 3 ha. Hal ini menyebabkan penurunan yang drastis dalam hal produksi perikanan dan pendapatan nelayan. Ekonomi berbasis perairan, terutama perikanan sangat terganggu karenanya. Perkembangan ekologis yang ada tersebut mendorong berkembangnyajeis kegiatan ekonomi baru: pertambakan ikan. Pembentukan tanah-tanah timbul yang terdorong oleh percepatan proses sedimentasi kemudian mendorong masyarakat untuk mengembangkan tambak- tambak ikan. Namun demikian, karena tambak-tambak tersebut sebagian besar berlokasi sangat dekat dengan lahan kehutanan, hak kepemilikan tanah tersebut sering dikategorikan sebagai hak kepemilikan lahan kehutanan. Namun demikian, masyarakat terus melanjutkan pertanian terlepas dari kenyataan tentang hak kepemilikan tersebut. Pada gilirannya, hal ini memunculkan konflik kepemilikan. Pada periode ini juga masyarakat mulai melakukan kegiatan perikanan budidaya, yaitu udang windu. Perubahan ekosistem juga berpengaruh pada penurunan produktivitas perikanan. Pada periode berikutnya, penurunan produksi perikanan berlanjut. Perikanan tidak lagi menjadi pencaharian yang menarik bagi masyarakat. Sementara itu, pertanian menjadi semakin poluler di kalangan masyarakat. Namun emikian, sebagaimana terjadi pula pada periode sebelumnya, pendusuk asli tidak memiliki cukup pengetahuan dan ketrampilan untuk bekerja di perjtanian, dan karenanya harius mendatangkan petani berpengalaman untuk bekerjasama. Sebagaimana dapat diduga, terjadi semakin banuyak in-migrasi, yang menyebabkan populasi semakin meningkat tajam. Secara diagramatik kejadian sosial dan ekologis yang terjadi pada periode ini dapat dilihat pada Gambar 73 berikut ini.