Gambar 70. Grafik Kepentingan dan Pengaruh dari Stakeholder terkait Pengelolaan Kawasan Laguna Segara Anakan
Stakeholder primer memiliki tingkat kepentingan yang relatif tinggi terhadap kawasan laguna Segara Anakan tetapi memiliki pengaruh yang relatif rendah
dalam pengambilan keputusan dan hubungan dengan stakeholder lain. Berdasarkan analisis stakeholder, yang termasuk dalam kelompok stakeholder
primer adalah nelayan, masyarakat lokal, petani, penderes, petambak dan buruh. Dari keenam stakeholder ini, nelayan yang memiliki tingkat kepentingan yang
paling tinggi dan masyarakat lokal yang memiliki tingkat pengaruh paling tinggi. Bagi nelayan dan masyarakat, kepentingan ekologi, ekonomi dan sosial sangat
besar terhadap keberadaan dan keberlanjutan laguna Segara Anakan. Nelayan memanfaatkan sumberdaya laguna untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Stakeholder sekunder pada umumnya adalah instansi pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan pelaku usaha atau industri. Berdasarkan
hasil analisis stakeholder yang termasuk dalam kelompok stakeholder sekunder adalah: instansi pemerintah camat, kepala desa, kepala dusun, Perhutani,
KPSKSA, DKP, BPLHD, Bappeda, Kehakiman, lembaga swadaya masyarakat LSM lokal, organisasi sosial, dan pelaku usaha atau industri pedagang,
pengumpul, termasuk wisatawan.
Stakeholder eksternal adalah stakeholder yang memiliki pengaruh yang relatif tinggi tetapi tingkat kepentingannya rendah. Stakeholder eksternal dalam
pengelolaan kawasan Laguna Segara Anakan adalah instansi pemerintah diluar wilayah Cilacap dan kalangan akademisi.
5.1.4. Dinamika Sistem Sosial-Ekologi
Dinamika sistem sosial-ekologi dapat dilihat dengan menggunakan pendekatan analisis sejarah. Analisis ini merupakan merupakan pendalaman
kondisi sistem sosial-ekologi di kawasan laguna Segara Anakan dari perspektif sejarah, yang menjelaskan perubahan lingkungan, dan dikaitkan dengan mata
pencaharian, yang kemudian dikaitkan dengan kondisi kerentanan maupun resiliensi. Untuk itu dilakukan identifikasi yang terbagi dalam beberapa periode,
yaitu: 1 tahun 1980 – 1985; 2 tahun 1986 – 1990; 3 tahun 1991 – 1995; 4 1996 – 2000; 5 2001 - sekarang.
5.1.4.1. Periode Tahun 1980 – 1985
Meletusnya Gunung Galunggung pada tahun 1982 dipercaya sebagian masyarakat sebagai pemicu terjadinya sedimentasi di Laguna Segara Anakan.
Sedimentasi yang terjadi mengakibatkan menyusutnya laguna sebesar 247 ha. Pembentukan daratan ini diikuti dengan pembentukan sawah seluas 2.557 Ha.
Adanya pembentukan sawah ini menunjukkan kecenderungan telah terjadi perubahan mata pencaharian dari kegiatan perikanan ke pertanian. Meskipun
demikian kegiatan perikanan belum sepenuhnya berkurang, karena nelayan belum memiliki keahlian sebagai petani.
Sebagai sebuah pencaharian yang baru bagi masyarakat, pertanian sawah pada saat itu relatif tidak dapat dikelola sepenuhnya oleh penduduk Segara
Anakan. Situasi tersebut kemudian mendorong kemunculan ide di kalangan masyarakat petani untuk mendatangkan petani-petani berpengalaman dari
daratan Pulau Jawa untuk bekerjasama dan dalam rangka alih teknologi dari mereka. Petani-petani berpengalaman dari daratan Pulau Jawa ini didatangkan
dengan mekanisme ‘sistem bawon’. Sistem bawon diaplikasikan secara bervariasi oleh para petani Segara Anakan, tapi pada prinsipnya harus melalui
kesepakatan yang mengikat di antara pemilik lahan dan pembawon. Masyarakat petani Segara Anakan dan petani pendatang dari daratan Pulau Jawa melalui
sistem ini harus menyepakati rincian mengenai hak dan kewajiban yang dikaitkan