Periode Tahun 2001 - Sekarang

Dengan kondisi resiliensi seperti diuraikan di atas, respon sosial yang diberikan oleh masyarakat adalah mencari alternatif yang paling memungkinkan untuk menutup kerugian akibat menyusutnya areal perikanan. Pada saat itu, respon yang pada akhirnya muncul dari masyarakat Segara Anakan adalah pengembangan pencetakan lahan-lahan pertanian di atas tanah timbul yang terbentuk oleh proses sedimentasi cepat tersebut. Namun, dengan keterbatasan sumberdaya manusia yang dimiliki oleh masyarakat, pencetakan lahan-lahan pertanian tersebut dilakukan dengan mengundang petani-petani dari daratan Pulau Jawa dengan beberapa kesepakatan 3 yang mereka tentukan bersama. Pada periode berikutnya, terjadi fase pertumbuhan growth, dimana petani-petani bawon 4 melakukan kegiatan budidaya padi di lahan-lahan tanah timbul. Hutan-hutan bakau yang berasal dari tanah-tanah yang baru terbentuk maupun yang timbul pada waktu-waktu sebelumnya dikonversi menjadi lahan- lahan pertanian, terutama padi. Pada saat itu, terjadi perubahan perilaku masyarakat yang pada umumnya menggantungkan hidupnya pada lahan-lahan perairan, terutama sebagai nelayan. Dengan kondisi yang ada, sebagian besar masyarakat berpendapat bahwa mereka telah menemukan momentum untuk mensejahterakan diri dengan menjadi masyarakat daratan, dengan kemudahan dan aksesibilitas terhadap berbagai sumber kehidupan darat. Dalam situasi seperti itu, jumlah petani pembawon yang masuk dan kemudian berdomisili di wilayah Segara Anakan meningkat tajam, menyebabkan kenaikan populasi secara signifikan. Kenaikan jumlah penduduk ini makin memperberat beban masyarakat setempat karena kompetisi yang meningkat. Sebagian masyarakat menemukan jalan keluar dengan melakukan aktivitas ekonomi yang destruktif termasuk penebangan hutan bakau. Dengan tingkat pendidikan yang pada umumnya rendah, pilihan pekerjaan pun menjadi terbatas; lebih jauh, pendidikan rendah juga membuat masyarakat sulit untuk menerima penyadaran dari luar tentang praktek destruktif. Sebagai contoh, mereka berpendapat bahwa tanaman yang tumbuh di bekas-bekas hutan bakau tidak termasuk kategori bakau, dan karenanya tidak dikenakan larangan penebangan. 3 Kesepakatan di antara masy. Segara Anakan dengan petani luar melalui sistem bawon: hak atas bidang sawah yang dimiliki oleh penduduk asli diberikan sebagian kepada petani pendatang sebagai imbalan atas pengerjaan sawah tersebut dan atas ‘pelajaran bertani’ yang diberikan oleh petani pendatang kepada pemilik hak bidang sawah 4 Petani bawon adalah petani pendatang atau dari manapun asalnya yang mendapatkan upah penggarapan dalam bentuk bagian hasil tertentu Secara bersamaan, sedimentasi terus berlangsung dan mengakibatkan penyusutan luasan laguna terus berlanjut, sehingga kegiatan perikanan semakin tidak ekonomis. Sebagian masyarakat dengan pengetahuan relatif lebih baik mengupayakan kelangsungan kehidupan sosial dan ekonominya melalui pengembangan usaha-usaha budidaya, sebagian lainnya mengembangkan perikanan lepas pantai. Namun, pengembangan usaha-usaha tersebut masih menemui banyak kendala; misalnya, perikanan lepas pantai belum terdukung oleh armada yang mampu dioperasikan pada saat musim ombak karena kapal- kapal penangkap berukuran kecil. Sementara itu, informasi mengenai peluang ekonomi di Segara Anakan meluas ke kalangan lebih luas di wilayah lain sehngga tanah timbul dan hutan bakau secara berlanjut menjadi sasaran masyarakat, tidak hanya penduduk asli melainkan juga para pendatang. Perkembangan ini semakin mempercepat kerusakan ekologis di Segara Anakan. Dalam perkembangannya, pertanian yang mengandalkan keberadaan tanah timbul terbukti tidak memberikan solusi yang baik kepada masyarakat. Selain karena benefit yang ditimbulkan lebih dinikmati oleh para pendatang, produktivitas pertanian ternyata menurun setelah beberapa tahun kemudian karena beberapa sebab, salah satunya adalah karena irigasi yang terganggu oleh sedimentasi. Pada periode itu, masyarakat berpikir untuk mengurangi kecepatan kerusakan dengan berbagai upaya yang didukung oleh lembaga- lembaga pemerintah maupun non pemerintah. Budidaya tumpangsari yang menggabungkan tujuan-tujuan ekonomis dan ekologis diperkenalkan di beberapa lokasi. Salah satu contohnya adalah penanaman bakau yang digabungkan dengan budidaya kepiting Anonim, 2009, yang diharapkan dapat mengembalikan kondisi alam sekaligus memberikan manfaat ekonomis kepada masyarakat. Ini adalah fase konservasi sebagaimana dimaksudkan oleh Holling 2000. Upaya-upaya konservasi tidak segera menunjukkan hasil yang memuaskan; kondisi tersebut mendorong masyarakat untuk memasuki fase reorganisasi fase- α. Pada periode itu, upaya-upaya konservasi masih dijalankan, tetapi pengembangan pertanian kembali digalakkan melalui perbaikan prasarana-prasarananya. Prasarana utama yang endapatkan perhatian adalah prasarana irigasi. Langkah konkret yang kemudian dijalankan adalah mengajukan usulanusulan kepada pemerintah untuk melakukan pengerukan alur sungai atau anak sungai. Pengerukan tersebut juga dimaksudkan untuk membuat tanah-tanah timbul ‘buatan’ dalam rangka memperuas areal lahan pertanian, yaitu dengan memanfaatkan tanah hasil pengerukan untuk melakukan penimbunan di lahan-lahan basah. Fase pertumbuhan fase-r kembali berulang. Dengan adanya prasarana irigasi yang lebih baik dan ketersediaan lahan pertanian yang lebih luas, kegiatan pertanian kebali meningkat. Sejalan dengan itu, di bagian lain dari kawasan Segara Anakan berkembang kegiatan-kegiatan produk lain, yang juga dilakukan dengan cara destruktif, yaitu pengembangan tambak udang, yang diawali dengan penebangan hutan bakau, yang dilakukan oleh para pendatang dari lokasi yang lebih jauh, yaitu Propinsi Jawa Barat. Seperti terjadi pada siklus sebelumnya, berbagai permasalahan baru kemudian timbul, termasuk penurunan produktivitas lahan tambak dan marginalisasi 5 penduduk lokal, yang pada gilirannya mendorong upaya-upaya konservasi. Pada periode itu, upaya-upaya konservasi yang terjadi adalah di antaranya melokalisir kawasan pertambakan. Wilayah- wilayah pertambakan tersebut dibatasi oleh batas administratif 6 , dengan harapan bahwa lahan tambak dikembangkan tidak melebihi batas terluas wilayah administratif tersebut. Pada periode-periode selanjutnya, pola siklus adaptif tidak berubah, yaitu berkembang dengan keterbatasan-keterbatasan yang tidak jauh berbeda. Interaksi sosial ekologis tidak berubah dan elemen-elemen resiliensi yang ada, berdasarkan hasil wawancara tercatat relatif sama untuk kondisi sekarang dan beberapa dekade sebelumya. Dengan situasi dan kondisi seperti itu, terpantau terjadi perubahan struktur pencaharian, dimana komposisi penduduk yang melakukan pekerjaan berbasis air mengalami penurunan sedang komposisi penduduk yang menggeluti jenis pekerjaan darat mengalami kenaikan sepanjang waktu Gambar 76. 5 Lebih dari 95 penduduk Dusun Bondan adalah pendatang, yang mengusahakan budidaya tambak, udang dan atau bandeng 6 Wilayah administratif baru adalah Dusun Bondan, yang mayoritas arealnya berupa tambak udang atau bandeng Gambar 76. Perubahan Persentase Keterlibatan Penduduk dalam Berbagai Mata Pencaharian Prayitno, 2001; Anonim, 2005 Dalam pendekatan konvensional pengelolaan sumberdaya, fase eksploitasi dan konservasi merupakan fokus perhatian sedangkan fase pelepasan dan fase reorganisasi lebih banyak diabaikan. Padahal kedua fase ini, yang dalam resiliensi disebut sebagai `back-loop`, memiliki nilai sangat penting dalam dinamika sistem secara keseluruhan Gunderson and Holling, 2002; Berkes et al., 2003. Untuk itu, dalam penelitian ini implikasi kebijakan yang akan disarankan dibangun dengan bobot yang cukup pada fase pelepasan dan reorganisasi. Telah dipaparkan sebelumnya bahwa di dalam sistem sosial ekologis dan elemen-elemen resliensi di Segara Anakan, terdapat beberapa faktor kunci, sehingga dengan demikian penanganan kedua fase tersebut perlu dikaitkan dengan penanganan faktor-faktor kunci tersebut. Sesuai dengan permasalahan yang ada sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, pengendalian penduduk merupakan salah satu yang perlu dipertimbangkan, termasuk menekan laju pertambahan penduduk pendatang maupun peningkatan populasi penduduk asli. Untuk itu, beberapa langkah relevan yang perlu dipertimbangkan adalah di antaranya transmigrasi, keluarga berencana dan pengendalian in-migrasi. Transmigrasi merupakan kebijakan yang pernah diterapkan sebelumnya sehingga kebijakan tersebut perlu dipertimbangkan kembali dengan belajar pada keberhasilan dan kegagalan pada - 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 Persen Tahun Petani farmer Buruh tani farm worker Nelayan fisher penerapan program transmigrasi sebelumnya. Program transmigrasi di waktu lalu berhasil dalam hal meyakinkan penduduk untuk mengikuti program transmigrasi, tetapi gagal karena sejumlah besar peserta transmigrasi tersebut tidak mampu bertahan di lokasi tujuan. Salah satu penyebab kegagalan tersebut adalah bahwa bersamaan dengan perkembangan di lokasi tujuan yang belum signifikan, di Segara Anakan terjadi perkembangan ekonomi baru terkait dengan munculnya tanah-tanah timbul. Terkait dengan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia, terdapat bebagai peluang untuk melaksanakannya. Meskipun terdapat kelemahan yang ada pada sebagian elemen resiliensi masyarakat, terdapat sebuah elemen positif, yaitu dalam hal budaya kerja dan budaya kerjasama. Kedua elemen ini dapat dijadikan titik awal untuk peningkatan kapasitas sumberdaya manusia, terutama dalam hal peningkatan ketrampilan dan pengetahuan informal yang memungkinkan masyarakat beralih atau memiliki pencaharian tambahan yang membawa manfaat langsung pada pendapatan namun tidak merusak lingkungan. Usaha-usaha tumpangsari yang telah diawali di beberapa lokasi dapat dijadikan laboratorium pembelajaran langsung bagi masyarakat. Pilihan kebijakan lain yang dapat dipertimbangkan adalah menambah kapasitas prasarana pendidikan formal. Animo belajar penduduk Segara Anakan pada umumnya tinggi, namun sarana prasarana pendidikan sangat terbatas. Sebagian penduduk harus berjalan dan menggunakan sarana transportasi air hingga 5 km untuk mencapai lokasi-lokasi sekolah. Lebih lanjut, sejumlah besar tenaga pengajar di lokasi-lokasi tersebut adalah tenaga sukarela yang berafiliasi ke lembaga swadaya masyarakat. Situasi ini menyiratkan adanya peluang yang besar dari pemerintah sebagai salah satu penyedia prasarana di dalam sistem sosial ekologis Segara Anakan untuk meningkatkan perannya. Dinamika pengelolaan sumberdaya perikanan di laguna Segara Anakan secara ringkas disajikan pada Tabel 57. Tabel 57. Dinamika Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Laguna Segara Anakan Periode 1980-1985 1986-1990 1991-1995 1996-2000 2001-2010 Pengambilan keputusan dalam aturan penangkapan ikan Lokal Lokal Lokal dan nasional Lokal dan nasional Lokal dan nasional Tingkatan dalam penegakan hukum Kuat Kuat Lemah Lemah Lemah Organisasi informal nelayan Kuat Kuat Lemah Lemah Lemah Organisasi formal nelayan Lemah Berkembang Kuat Sedang Lemah Resiliensi SES Kuat Kuat Lemah Sedang Lemah Regim hak kepemilikan Pengelolaan oleh masyarakat Pengelolaan oleh masyarakat Open akses Campuran antara Negara dan masyarakat Campuran antara Negara, masyarakat dan open akses Sumber: data primer 2010 Dalam penelitian ini berhasil diidentifikasi faktor-faktor kunci yang dapat memperlemah dan memperkuat resiliesi sistem sosial-ekologi di lokasi penelitian yang disajikan pada Tabel 58 dan Tabel 59 berikut ini. Tabel 58. Faktor Kunci yang Dapat Memperlemah Resiliensi SES di Laguna Segara Anakan No Faktor kunci Keterangan 1 Perubahan sistem sosial – ekologi Perubahan kondisi ekologis yang cepat akibat sedimentasi berdampak pada perubahan sistem sosial dalam masyarakat terkait dengan pemanfaatan sumberdaya 2 Perubahan teknologi penangkapan ikan Adanya inovasi alat tangkap trawl pada awal tahun 1980- an berimplikasi pengurasan sumberdaya yang berlebihan 3 Kelembagaan yang kurang stabil Perubahan pengaturan kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya antara lembaga perikanan, kehutanan dan pemerintahan membuat pengelolaan sumberdaya tidak terkontrol Sumber: data primer 2010 Tabel 59. Faktor Kunci yang Dapat Memperkuat Resiliensi SES di Laguna Segara Anakan No Faktor kunci Keterangan 1 Kelembagaan Tokoh adat masih merupakan pihak yang menjadi salah satu pengambilan keputusan saat terjadi konflik pengelolaan sumberdaya 2 Komunikasi Harus ada komunikasi yang baik antara masyarakat dan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya 3 Politik Pengaturan harusnya berpihak pada masyarakat yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan 4 Kesetaraan dalam akses sumberdaya Akses terhadap pemanfaatan sumberdaya tidak dibatasi oleh keterbatasan kemampuan masyarakat dalam teknologi, keahlian dan lain sebagainya 5 Penggunaan memori ingatan sebagai sumber inovasi Masyarakat secara berkelompok menanam mangrove di kawasan sekitar rumahnya karena masyarakat menyadari tanaman mangrove dapat menjaga keberlanjutan sumberdaya Sumber: data primer 2010 Dengan mengkombinasikan teori siklus adaptif Holling, 1986 dengan panarchy Gunderson and Holling, 2002 dan analisis latar sejarah Kartodirdjo, 1993, dinamika sosial ekologi di laguna Segara Anakan dapat digambarkan sebagaimana disajikan pada Gambar 77. Masyarakat dapat beradaptasi terhadap dinamika alam dengan dipengaruhi faktor luar dan kondisi internal. G Gambar 77. Period 1980 - 1 1986 - 1 1991 - 1996 - 2 2000 - sek Keterangan Siklus adap de 1985 1990 1995 2000 karang n: α r ptasi dinami Gn Galung Perbaik Akselerasi Pengend Ekstensifik Pengat Eskalas Belum ter Sedime Belum terj K Ω ika sosial-ek gung meletus kan prasarana penebangan b alian kepemilik kasi pertanian turan disposal si in-imigrasi rjadi re-organis ntasi berlanjut jadi re-organisa K Ω r = f K = Ω = α = kologi di lagu E B bakau Perta kan lahan L Penge sasi asi fase eksploitas fase konserva = fase release = fase re-organ una Segara A Ekstensifikasi p Budidaya tump mbakan tidak t Lokalisasi perta rukan untuk pe Penundaan pr Eskalasi jual b Penundaan s Konflik tana Pengerukan si asi isasi 171 Anakan pertanian pangsari terkendali ambakan ertanian rasarana beli lahan sertifikasi ah timbul n laguna

5.2. Analisis Keberkelanjutan Mata Pencaharian Coastal Livelihood System Analysis - CLSA

Dalam disertasi ini, analisis keberlanjutan mata pencaharian bagi masyarakat pesisir mata pencaharian alternatif, MPA menggunakan CLSA dimaksudkan untuk mengkaji jenis-jenis usaha di luar usaha yang selama ini ditekuni oleh masyarakat di Laguna Segara Anakan, yang berpotensi untuk dikembangkan dalam rangka meningkatkan pendapatannya. Analisis tentang keberadaan MPA yang dapat dikembangkan secara berkelanjutan merupakan terkait dengan tingkat kesejahteraan, dan merupakan determinan bagi tingkat kerentanan atau resiliensi masyarakat. Dalam CLSA di Laguna Segara Anakan ini, dikaji 5 lima sumber kehidupan yang dimiliki oleh setiap individu atau unit sosial masyarakat laguna tersebut, dikaitkan dengan upaya-upaya mereka untuk mengembangkan kehidupan, yang disebut sebagai aset kapital. Kelima aset kapital tersebut adalah: 1 modal alam, 2 manusia, 3 keuangan, 4 fisik, dan 5 sosial. Keberhasilan penghidupan masyarakat bertumpu pada nilai pelayanan yang mengalir dari stok dari modal-modal tersebut, yang memiliki fungsi khas terkait dengan karakteristik masing-masing. Modal alami yang terdiri dari elemen- elemen biofisik seperti air, udara, tanah, sinar matahari, hutan, mineral, dan lain- lain berkarakteristik alami dalam hal terjadinya dan keterbaruannya. Selanjutnya, karakteristik dari modal manusia adalah bahwa ia merupakan sekaligus objek dan subjek pembangunan. Modal keuangan mempunyai kapasitas sebagai media pertukaran dan dengan demikian penting dalam memerankan fungsi sentral ekonomi pasar. Modal penting berikutnya, yaitu modal fisik, yang adalah modal keras pembentuk lingkungan dan aset buatan manusia seperti perumahan, jalan, dan sebagainya, secara umum lebih berkarakteristik sebagai objek, atau modal baku, yang fungsinya akan berjalan dengan perantaraan modal-modal lainnya. Sementara itu, modal sosial adalah aset produktif yang bersifat komplementer yang memungkinkan berfungsinya modal baku. Coleman 1990 mendeskripsikan bahwa dalam kerangka Sustainable Livelihood, modal sosial adalah yang terbentuk dan didukung oleh jaringan-jaringan sosial dan hubungan-hubungan dengan manusia. Selanjutnya dilakukan analisis kerentanan terhadap faktor exposure, sensitivitas dan resiliensi.

5.2.1 Identifikasi Kondisi Mata Pencaharian

Mengacu pada tahapan analisis yang sudah disebutkan sebelumnya, dalam analisis CLSA ini diawali dengan paparan dan analisis mengenai kondisi pencaharian di wilayah pesisir Segara Anakan. Paparan dan analisis tersebut diawali dengan identifikasi mengenai keterkaitan antara mata pencaharian dengan kondisi sumberdaya dan deskripsi mengenai pengaruh masyarakat terhadap kondisi sumberdaya. Keduanya dimaksudkan untuk mendasari identifikasi matapencaharian alternatil, yang juga dikaitkan dengan kelima aset capital tersebut di atas. Sebagaimana dideskripsikan pada Sub Bab 5.1, potensi sumberdaya alam pesisir dan laut yang terkandung di kawasan Laguna Segara Anakan cukup beragam sehingga memungkinkan penciptaan dan berkembangnya beragam jenis usaha bagi masyarakat. Ragam usaha tersebut, secara garis besar dapat digolongkan kedalam tiga kelompok, yaitu : a usaha-usaha di sektor perikanan, baik yang berbasis perikanan tangkap maupun budidaya, dari kegiatan produksi hingga ke pemasaran, b usaha-usaha di sektor pertanian, termasuk pertanian sawah maupun kebun, dan c usaha-usaha jasa berbasis lingkungan alam, termasuk transportasi dan wisata. Berdasarkan hasil analisis, dari kelompok responden yang diteliti dapat diketahui proporsi responden menurut kelompok mata pencaharian Gambar 78. Gambar 78. Jenis kelompok mata pencaharian yang tersedia oleh alam 10 20 30 40 50 60 Kelompok usaha perikanan Kelompok usaha pertanian Kelompok usaha jasa Jenis-jenis usaha tersebut di atas memberi kesempatan kepada masyarakat di Kampung Laut untuk menggeluti pencaharian-pencaharian yang sangat tergantung pada keberadaan kondisi Laguna Segara Anakan. Dengan demikian, merujuk pada pengertian CLSA, maka analisis peluang dan potensi usaha yang dilakukan dikaitkan dengan identifikasi jenis-jenis bukan sumberdaya laguna dan atau usaha-usaha berbasis laguna diluar ketiga kelompok usaha tersebut di atas.

5.2.2 Analisis Kerentanan

Analisis kerentanan dilakukan untuk mengidentifikasi kelemahan terhadap shok eksternal. Kerentanan merupakan derajat kehilangan atau kerusakan yang mungkin terjadi ketika kejadian extrim terjadi. Hal tersebut mengakibatkan tidak berfungsinya fungsi-fungsi normal berkaitan dengan bencana atau perubahan kondisi ekologis. Analisis ini dilakukan dengan mengidentifikasi karakteristik seorangsekelompompok orang dalam hal kapasitas mereka dalam mengantisipasimenghadapimelawan terhadap dampak bencana alam. Atau juga mengidentifikasi ketidakmampuan suatu unit keluarga atau masyarakat untuk menanggulangi kerugian, kerusakan dan gangguan yang timbul akibat terjadinya suatu ancaman – yang secara periodik, siklikal, mendadak, perlahan, jangka pendekpanjang. Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa tingkat kerentanan pada nelayan adalah sangat rentan, dan tingkat kerentanan pada petani, pembudidaya dan usaha jasa adalah cukup rentan. Hal ini dikarenakan nelayan memiliki tingkat keterpaparan yang maksimal pada semua komponen yaitut ketergantungan terhadap laguna yang sangat tinggi dibandingkan pemanfaat lainnya, kemudian degradasi sumberdaya dan penurunan produktivitas perikanan. Secara lengkap analisis kerentanan yang dilakukan di kawasan Segara Anakan dapat dilihat pada Tabel 60 berikut. Tabel 60. Analisis Kerentanan di Laguna Segara Anakan No Faktor Deskripsi Nelayan Petani Petambak Usaha jasa 1 Exposure Penyusutan laguna 0,33 0,33 0,33 0,33 Degradasi sumberdaya 0,33 0,33 0,33 0,33 Penurunan produksi perikanan 0,33 0,11 0,33 0,11 Jumlah 1,00 0,78 1,00 0,78 2 Sensitivitas Ketergantungan pencaharian pada laguna 0,33 0,00 0,22 0,00 Hak guna perairan 0,33 0,00 0,11 0,00 Ketergantungan kehidupan sosial pada laguna 0,33 0,33 0,33 0,33 Jumlah 1,00 0,33 0,66 0,33 3 Resiliensi Kemampuan untuk belajar hidup dalam perubahan dan ketidakpastian 0,17 0,25 0,25 0,25 Kemampuan untuk mengembangkan ragam cara untuk reorganisasi dan pembaharuan 0,25 0,25 0,25 0,25 Kemampuan untuk mengkombinasikan berbagai macam pengetahuan 0,25 0,25 0,25 0,25 Kemampuan untuk menciptakan peluang bagi pengorganisasian diri 0,25 0,25 0,17 0,17 Jumlah 0,92 1,00 0,92 0,92 Total Kerentanan E + S – Ac 1,08 0,11 0,75 0,19 Sumber : Data primer diolah 2010

5.2.3 Identifikasi Tekanan dan Gangguan Penyebab Kerentanan

Proses interaksi sistem alam dan sosial terakumulasi pada dinamika perubahan aset alam. Sistem alam pesisir kawasan Laguna Segara Anakan menyediakan berbagai barang dan jasa, yang mendukung perkembangan sistem sosial, juga membatasi ataupun menghancurkan perkembangan sistem sosial dalam bentuk berbagai tekanan. Tekanan alam yang teridentifikasi di Laguna Segara Anakan adalah: 1 sedimentasi, 2 musim, 3 erosi, 4 banjir, 5 tsunami, dan 6 gempa. Tekanan alam tersebut mempengaruhi kehidupan masyarakat. Akibat yang diimbulkannya adalah dampak atau resiko berupa kehilangan aset, pekerjaan, pendapatan, meningkatkan biaya operasional penangkapan dan ketidakpastian berusaha. Tekanan alam ini merupakan kerentanan dalam masyarakat, yang merupakan suatu hal yang dapat mengganggu atau bahkan merugikan kehidupan mereka, berkaitan dengan “sense of problem” yang penting untuk diketahui, khususnya pada konteks masyarakat yang telah memiliki kesadaran tinggi untuk mengantisipasi perubahan, atau pada konteks masyarakat sangat rentan dan membutuhkan dukungan. Dampak resiko dari kelompok rentan terhadap tekanan alam pesisir dan laut pada masyarakat di kawasan laguna Segara Anakan disajikan pada Tabel 61. Tabel 61. Dampak Resiko dari Kelompok Rentan terhadap Tekanan Alam Pesisir dan Laut pada Masyarakat di Kawasan Laguna Segara Anakan No Kelompok Rentan Tekanan Alam Sedimentasi Musim Erosi Banjir Tsunami Gempa 1 Nelayan 1,2,3 2,5,6,7 - 2,3 1,2,3,4 1,2,3,4 2 Pembudidaya 2 2,6,7 - 2,3 1,2,3,4 1,2,3,4 3 Petani 2 2,6,7 2 2,3 1,2,3,4 1,2,3,4 4 Masyarakat umum 7 7 7 2,3,7 1,2,3,4 1,2,3,4 Keterangan: Dampak resiko: 1. Kehilangan pekerjaan 5. Meningkatkan resiko pekerjaan 2. Kehilangan pendapatan 6. Meningkatkan biaya operasional 3. Kehilangan aset 7. Meningkatkan ketidakpastian 4. Kehilangan nyawa Sumber : Data Primer 2010 Pengetahuan masyarakat tentang konteks kerentanan membantu memahami prioritas dan upaya dalam mensikapi setiap perubahan, dan pada konteks dukungan yang lebih tepat diberikan. Pemahaman ini penting untuk mengetahui potensi dan pengalaman masyarakat dalam mengantisipasi dan mengelola perubahan, atau bahkan mungkin terdapat mekanisme yang telah dibangun oleh masyarakat untuk melindungi penghidupan masyarakat. Dengan kata lain dapat menguatkan resiliensi masyarakat dalam menghadapi setiap perubahan yang terjadi. Meskipun demikian, pada situasi-situasi tertentu, masyarakat sangat bergantung pada bantuan dan dukungan dari pemerintah. Seperti saat terjadi gempa dan tsunami di Cilacap, sebagian masyarakat di wilayah Kampung Laut juga merasakan dampaknya. Sebagian masyarakat kehilangan rumah tempat tinggal mereka, karena hancur dan ambruk. Hal ini memberikan implikasi bahwa pemahaman terhadap ambang batas kemampuan masyarakat menghadapi perubahan sangat diperlukan, terutama bagi pihak-pihak terkait untuk meningkatkan sensitivitas mereka terhadap ancaman atau gangguan yang dialami masyarakat, yaitu kapan dukungan atau bantuan langsung perlu diberikan sehingga pemilihan insentif menjadi tepat guna.