Klasifikasi dari segi akibat perjanjian internasional yang dibuat

154 Pendidikan Kewarganegaraan XI Wawasan Kebhinekaan Wawasan Kebhinekaan Telaah Konstitusi Telaah Konstitusi Pembuatan Perjanjian Internasional Dalam Pasal 11 ayat 1 UUD RI Tahun 1945 disebutkan bahwa presiden dengan persetujuan DPR membuat perjanjian dengan negara lain. Dalam hal bahwa suatu perjanjian menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, danatau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang- undang, maka pembuatan perjanjian internasional tersebut harus dengan persetujuan DPR. Ketentuan lebih lanjut tentang pembuatan perjanjian internasional diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 Tahun 2000. Umpan Balik Dapatkah Anda menjelaskan isi dari Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 Tahun 2000 tersebut? Coba Anda terangkan secara lisan isi undang-undang tersebut kepada teman-teman di kelas Efektivitas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 dalam Menghapus Diskriminasi bagi Warga Keturunan Tionghoa Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 dianggap telah gagal memberikan perlindungan terhadap warga keturunan Tionghoa sebagai warga negara Indonesia dari perlakukan diskriminasi. Secara historis, diskriminasi warga keturunan Tionghoa berawal dari adanya penggolongan penduduk warisan Kolonial Belanda. Pembedaan bagi golongan penduduk Indonesia pada saat Hindia Belanda didasarkan pada Indische Staatsregeling 1927 Pasal 163, dibagi menjadi 3 tiga golongan, yaitu: 1. Golongan Eropa, terdiri dari: a. Bangsa Belanda; b. Bukan bangsa Belanda tetapi orang Eropa; dan c. Orang bangsa lain yang hukum keluarganya sama dengan golongan Eropa. 2. Golongan Timur Asing, terdiri dari: a. Golongan Tionghoa; dan b. Golongan Timur Asing bukan Cina. 3. Golongan Bumiputera atau Pribumi, terdiri dari: a. Orang Indonesia asli dan keturunannya; dan b. Orang lain yang menyesuaikan diri dengan yang pertama. Diskriminasi tersebut masih dirasakan hingga saat ini. Selain itu, bagi warga keturunan Tionghoa juga disyaratkan untuk menyertakan SBKRI Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia untuk mengurus paspor atau dokumen sipil lainnya. Surat Bukti 155 Bab 4 Hubungan Internasional Kewarganegaraan Republik Indonesia atau biasa disingkat SBKRI adalah kartu identitas yang menyatakan bahwa pemiliknya adalah warganegara Republik Indonesia. Walaupun demikian, SBKRI hanya diberikan kepada warganegara Indonesia keturunan, terutama keturunan Tionghoa. Kepemilikan SBKRI adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi seseorang untuk mengurus berbagai keperluan, seperti kartu tanda penduduk KTP, memasuki dunia pendidikan, permohonan paspor, pendaftaran Pemilihan Umum, menikah, meninggal dunia dan lain-lain. SBKRI ini telah melanggar hak seseorang untuk mendapatkan pengakuan yang sama sebagai warga negara Indonesia. Pada saat ini telah diberlakukan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang menggantikan posisi Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958. Undang-Undang Kewarganegaraan ini mengelompokkan warga negara dalam dua kelompok yaitu 1 Warga Negara Indonesia asli yaitu orang Indonesia yang menjadi Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaran lain atas kehendak sendiri, dan 2 orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai Warga Negara Indonesia melalui proses pewarganegaraan. Jadi, hanya ada dua jenis penggolongan kewarganegaraan di Indonesia yaitu Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing. Lebih tegas dalam Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 disebutkan dimaksud dengan “bangsa Indonesia asli” adalah orang Indonesia yang menjadi Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri, sehingga dalam undang-undang ini, warga keturunan Tionghoa yang lahir di Indonesia termasuk orang Indonesia asli yang mempunyai hak dan kewajiban sama seperti warga negara lainnya. Istilah kewarganegaraan citizenship mempunyai arti keanggotaan yang menunjukkan hubungan antara negara dengan warga negara. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 memberikan definisi kewarganegaraan sebagai segala hal ihwal yang berhubungan dengan warga negara. Pengertian kewarganegaraan dapat dibedakan menjadi 4 empat, yaitu kewarganegaraan dalam arti yuridis, sosiologis, formil, dan materiil. Kewarganegaraan dalam arti yuridis ditandai dengan adanya ikatan hukum antara negara dengan warga negara yang menimbulkan akibat hukum tertentu. Tanda dari ikatan hukum tersebut antara lain: akta kelahiran, surat pernyataan, bukti kewarganegaraan, dan lainnya. Kewarganegaraan dalam arti sosiologis lahir dari penghayatan warga negara yang bersangkutan yang ditandai dengan ikatan perasaan, ikatan nasib, ikatan sejarah, ikatan keturunan, ikatan tanah air. Kewarganegaraan dalam arti formil menunjuk pada tempat kewarganegaraan, yaitu pada ranah hukum publik. Kewarganegaraan dalam arti materiil menunjuk pada akibat hukum dari status kewarganegaraan, yaitu adanya hak dan kewajiban warga negara. Melalui pengertian ini, maka warga keturunan Tionghoa yang berada di Indonesia sejak lahir dan bertahun-tahun lamanya bertempat tinggal di Indonesia secara turun temurun adalah warga negara Indonesia secara sosiologis. Mengikuti perkembangan dan tuntutan kebutuhan pada saat ini, keberadaan kewarganegaraan hanya secara sosiologis sudah tidak dimungkinkan lagi. Hubungan antar warga negara dan hubungan antar warga negara dengan negara perlu diatur secara yuridis untuk memberikan perlindungan bagi warga negara. Hal ini sesuai dengan asas khusus penyusunan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, yaitu asas perlindungan maksimum. 156 Pendidikan Kewarganegaraan XI 2 . 2 . 2 . 2 . 2 . T T T T Ta ha a ha a ha a ha a ha p-T p-T p-T p-T p-Ta ha a ha a ha a ha a ha p P p P p P p P p Pe r e r e r e r e r ja njia n I nte r na siona l ja njia n I nte r na siona l ja njia n I nte r na siona l ja njia n I nte r na siona l ja njia n I nte r na siona l Pembuatan perjanjian, baik bilateral maupun multilateral, biasanya melalui beberapa tahapan. Berikut ini pembahasan tahapan-tahapan tersebut.

a. Tahap perundingan negotiation

Perundingan merupakan perjanjian tahap pertama antara pihaknegara tentang objek sesuatu yang sebelumnya belum pernah diadakan perjanjian. Oleh karena itu, diadakan penjajakan terlebih dahulu atau pembicaraan pendahuluan oleh masing-masing pihak yang berkepentingan. Menurut tata cara yang berlaku, suatu perundingan dapat diwakili dengan membawa surat kuasa penuh full power. Surat kuasa penuh adalah surat dokumen yang dikeluarkan oleh penguasa yang berwenang dalam suatu negara, untuk menentukan seorang pejabat yang mewakili negara tersebut, baik mengadakan perundingan, menerima, maupun mengesahkan suatu naskah perjanjian, atau menyatakan persetujuan negara untuk terikat pada perjanjian tersebut. Perundingan dapat juga diwakili oleh kepala pemerintahan, menteri luar negeri, dan duta besar. Bagi mereka ini tidak diharuskan menunjukkan surat kuasa penuh. Perundingan dalam perjanjian bilateral biasanya disebut talk, sedangkan perundingan dalam rangka perjanjian multilateral disebut diplomasi conference atau konferensi.

b. Tahap penandatanganan signature

Lazimnya, penandatanganan dilakukan oleh para menteri luar negeri atau kepala pemerintahan. Untuk perundingan yang bersifat multilateral, penandatanganan teks perjanjian sudah dianggap sah apabila dua per tiga suara peserta yang hadir memberikan suara, kecuali ditentukan lain. Namun, perjanjian belum dapat diberlakukan oleh masing-masing negara sebelum diratifikasi oleh masing-masing negaranya atau perjanjian akan berlaku setelah ditandatangani pada tanggal waktu diumumkan atau mulai berlaku pada tanggal yang ditentukan pada perjanjian itu sendiri.

c. Tahap pengesahan ratification

Setelah perjanjian ditandatangani oleh wakil-wakil negara yang turut serta dalam perundingan, naskah perjanjian itu dibawa ke masing-masing negara Sumber: w w w .google.com Gambar 4.8 Perdana Menteri Sutan Sjahrir sebagai wakil dari pihak Indonesia ketika menandatangani Perjanjian Linggarjati dengan pihak Belanda di Linggarjati, Cirebon, 10 November 1946. 157 Bab 4 Hubungan Internasional untuk dipelajari, apakah isimateri sudah memenuhi kehendak atau tidak atau apakah utusan yang telah diberi kuasa penuh tidak melampaui batas-batas wewenangnya. Jika isimateri itu telah dianggap memenuhi atau sesuai dengan kepentingan nasional dari negara yang bersangkutan, maka negara dengan persetujaun Badan Perwakilan Rakyat mengesahkan atau menguatkan perjanjian yang yang telah ditandatangani oleh wakil-wakil yang berkuasa penuh itu. Tindakan pengesahanpenguatan disebut ratifikasi Pada intinya, ratifikasi mengandung dua pengertian, yaitu sebagai berikut. 1 Persetujuan secara formal terhadap perjanjian yang mengeluarkan kewajiban-kewajiban internasional setelah ditandatangani. 2 Persetujuan terhadap rencana perjanjian supaya menjadi suatu perjanjian yang berlaku bagi masing-masing negara peserta. Tujuan dilakukan ratifikasi adalah memberi kesempatan kepada negara- negara peserta guna mengadakan perjanjian serta pengamatan secara saksama, apakah negaranya dapat diikat oleh perjanjian itu atau tidak. Ratifikasi sebagai suatu tindakan dari negara untuk menguatkan atau mengesahkan isi perjanjian yang telah ditandatangani. Hal tersebut melalui prosedur yang berlaku di masing-masing negara. Prosedur ratifikasi ada dua tahap, yaitu sebagai berikut. 1 Penandatanganan naskah perjanjian oleh badan eksekutif, kemudian disampaikan kepada legislatif untuk meminta persetujuan. 2 Selanjutnya oleh badan eksekutif dibuat piagam ratifikasi. Bagi perjanjian bilateral, diadakan pertukaran piagam ratifikasi. Sedangkan perjanjian multilateral, piagam ratifikasi diserahkan kepada pihak negara penyimpan yang telah ditentukan dalam perjanjian. Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara-negara lain, organisasi internasional dan subjek hukum internasional lain adalah suatu perbuatan hukum yang sangat penting karena mengikat negara dengan subjek hukum internasional lainnya. Oleh sebab itu pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan undang-undang. Hal ini kemudian yang menjadi alasan perlunya perjanjian internasional diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000. Dalam Pasal 4 UU No. 24 Tahun 2000 itu disebutkan bahwa pembuatan pembuatan perjanjian internasional antara Pemerintah RI dengan negara lain dan organisasi internasional dilaksanakan berdasarkan kesepakatan dan dengan itikad baik. Selain itu, Pemerintah RI berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memerhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku. Dalam undang-undang itu ditegaskan pula bahwa