Sistem politik otoriter Sistem demokratis pra-industrial

10 Pendidikan Kewarganegaraan XI Gelora Nasionalisme 4. Susunlah hasil kerja kelompok Anda dalam bentuk paper. Hasil kerja harus disertai alasan-alasan yang mendukung secara rinci dan jelas 5. Bandingkan hasil kerja kelompok Anda dengan kelompok yang lain. Sama atau berbedakah hasil kerja kelompok Anda dengan kelompok yang lain? Diskusikan persamaan atau perbedaan tersebut dengan dimoderatori oleh guru. 1. Simak dan hayati terlebih dahulu syair puisi dari Chairil Anwar berikut. 2. Setelah itu, coba Anda baca puisi tersebut di depan kelas dengan ekspresi yang sesuai agar rasa nasionalisme teman-teman di kelas Anda menjadi tergugah. Siap Sedia Kepada Angkatanku Tanganmu nanti tegang kaku Jantungmu nanti berdebar berhenti Tubuhmu nanti mengeras batu Tapi kami sederap mengganti Terus memahat ini Tugu Matamu nanti kaca saja Mulutmu nanti habis bicara Darahmu nanti mengalir berhenti Tapi kami sederap mengganti Terus berdaya ke Masyarakat Jaya Suaramu nanti diam ditekan Namamu nanti terbang hilang Langkahmu nanti enggan ke depan Tapi kami sederap mengganti Bersatu maju, ke Kemenangan Darah kami panas selama Badan kami tertempa baja 11 Bab 1 Budaya Politik di Indonesia Jiwa kami gagah perkasa Kami akan mewarnai di angkasa Kami pembawa ke Bahgia Nyata Kawan, kawan Menepis segar angin terasa Lalu menderu menyapu awan Terus menembus surya cahaya Memencar pencar ke penjuru segala Riang menggelombang sawah dan hutan Segala menyala-nyala Segala menyala-nyala Kawan, kawan Dan kita bangkit dengan kesadaran Mencucuk menerangkan hingga belulang Kawan, kawan Kita mengayun pedang ke Dunia Terang Chairil Anwar Sumber: Memahami Puisi, Angkasa: Bandung, 1992. 3. Di akhir pembacaan puisi, mintalah apresiasi dari teman-teman Anda. 2 . 2 . 2 . 2 . 2 . P P P P Per er er er er k k k k ke mba ng e mba ng e mba ng e mba ng e mba nga n Buda a n Buda a n Buda a n Buda a n Buday y y y ya P a P a P a P a Politik di Indone sia olitik di Indone sia olitik di Indone sia olitik di Indone sia olitik di Indone sia Sebelum era kemerdekaan hingga reformasi sekarang ini, kecenderungan budaya politik yang terdapat di Indonesia adalah patrimonialisme. Dalam budaya politik semacam ini, pola kekuasaan berjalan di atas prinsip relasi kuasa antara penguasa sebagai pengayom, pelindung atau penjamin kesejahteraan, serta keamanan dan rakyat sebagai obyek yang dilindungi, diayomi dan dijamin kenyamanan, keamanan dan kesejahteraannya. Oleh karena itu, bertolak dari budaya politik di Indonesia yang lebih mengarah pada nilai-nilai patrimonial, maka jenis sistem politik dan demokrasi yang berkembang pun adalah sistem politik dan demokrasi patrimonial. Sistem politik jenis ini mengandaikan kondisi di mana para pemegang kebijakan mengeksploitasi posisi mereka hanya untuk tujuan-tujuan dan kepentingan pribadi, bukan kepentingan universal. 12 Pendidikan Kewarganegaraan XI Contoh konkretnya adalah, pada era sebelum kemerdekaan, kerajaan- kerajaan Jawa tradisional menggunakan legitimasi kekuasaannya atas dasar patrimonialisme. Dalam hal ini, para penguasa Jawa memperoleh kesetiaan dari para pegawainya dengan memberi mereka hak atas penghasilan dari tanah yang bisa dieksploitasi secara komersial, tetapi tidak untuk dijual atau dimiliki. Pola patrimonial ini mulai menyurut seiring berkurangnya kekuasaan raja-raja Jawa akibat masuknya Belanda dan Jepang ke Indonesia. Pada masa itu legitimasi kekuasaan hampir mutlak di tangan Belanda dan Jepang, di mana legitimasi tersebut diperoleh dengan cara-cara kekerasan penjajahan. Oleh karenanya, budaya politik masyarakat Indonesia pada waktu itu dapat dikatakan mengiyakan apa pun yang dikehendaki tuannya Belanda dan Jepang. Melalui segala cara, para penjajah, khususnya Belanda, menerapkan birokrasi rasional-legal terhadap masyarakat Indonesia. Setelah era penjajahan Belanda dan Jepang, pola budaya patrimonial muncul kembali di Indonesia. Hal ini lebih disebabkan karena pola tersebut merupakan pola yang khas dan turun-menurun sejak zaman dulu, sehinggga sulit dihilangkan. Faktor yang lain adalah, dalam kekacauan ekonomi tahun 1950-an Orde Lama, birokrasi rasional-legal yang diwariskan oleh Belanda terbukti tidak mampu bertahan secara ekonomi. Pada masa pemerintahan Orde Baru, pola pemerintahan patrimonialisme mewujud dalam bentuk pemerintahan yang sentralistik dengan sejumlah sayap kelembagaan yang berfungsi sebagai “pengayom” bagi kepentingan masyarakat, namun dengan imbalan kekuasaan atau sumber daya material bagi para pemangku kekuasaan. Istilah “pamong praja” dalam sistem pemerintahan Orde Baru menggambarkan betapa pejabat diasumsikan memiliki fungsi kepengayoman kepada masyarakat luas, namun fungsi tersebut tidak gratis. Di samping menyerahkan loyalitas, masyarakat yang diayomi harus memberikan sejumlah imbalan tertentu sebagai balas budi mereka atas kenyamanan hidup yang sudah dinikmati mereka. Dari sinilah praktik pungutan liar, pemerasan, percaloan politik, dan semacamnya menemukan akarnya, karena berbagai kenyamanan dan kemudahan yang dinikmati oleh rakyat dikonstruksikan sebagai “tetesan rejeki” trickle-down effect dari atas, bukan karena hak yang melekat pada tiap-tiap individu. Pola patrimonialisme pada masa Orde Baru membentuk semacam piramida kekuasaan yang puncaknya dihuni oleh Soeharto sebagai patron tertinggi dari rezim ini, yang di bawahnya ditopang oleh seluruh elemen politik di kantor birokrasi, Sumber: w w w .yahoo.com Gambar 1.8 Kekuasaan raja-raja patri- m o n i a l m e n y u r u t s e i r i n g kedatangan bangsa penjajah. 13 Bab 1 Budaya Politik di Indonesia sayap militer, organisasi sosial-kemasyarakatan dan partai politik. Pembangkangan terhadap sistem politik patrimonial Orde Baru merupakan bentuk resistensi yang akan dilawan oleh rezim penguasa dengan tekanan politik, pemangkasan hak serta peminggiran peran-peran sosial-politik yang seharusnya dinikmati oleh segenap warga negara. Pada kenyataannya, sistem oposisi tidak diperkenankan pada masa ini, karena yang demikian ini bisa mengancam “zona kenyamanan” comfort-zone para penguasa beserta pihak-pihak yang turut menopang keberlangsungan rezim Orde Baru. Sinergi elemen-elemen penopang tersebut menjadi mesin politik yang bekerja secara efektif dan masif atas dasar praktik KKN Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, yang keberadaannya menjalar dari tingkat atas pemerintah pusat hingga ke dasar piradima kekuasaan pemerintah provinsi, kabupaten, kecamatan dan desa, dengan bantuan perangkat birokrasi, militer, hingga tokoh masyarakat dan agama. Pada masa setelah Orde Baru, yaitu era Reformasi, watak dasar politik patrimonial tetap berlangsung, namun dengan format dan baju yang berbeda. Patrimonialisme mengalami metamorfosis menjadi “neo-patrimonialisme,” yang ditandai dengan menyebarnya simpul-simpul kekuasaan ke sejumlah titik yang lebih merata seiring dengan perubahan kebijakan desentralisasi politik. Seolah ingin menikmati kenyamanan ala penguasa Orde Baru, para penguasa lokal memerankan diri sebagai patron bagi komunitas yang dipimpinnya dengan imbalan loyalitas politik dan atau sumber daya ekonomi. Pemeran politik patrimonial bukan lagi terpusat pada individu, tetapi lembaga sosial politik, terutama partai politik parpol. Slogan-slogan yang menjanjikan kesejahteraan rakyat dibuat untuk mengagregasi dukungan politik untuk memenangi proses kontestasi dalam Pemilu, tetapi individu atau parpol seringkali mengingkarinya setelah yang pertama naik ke tampuk kekuasaan. Menurut Rusadi 1988: 37 - 39, budaya politik Indonesia hingga dewasa ini belum banyak mengalami perubahanpergeseran dan perpindahan yang berarti. Walaupun sistem politiknya sudah beberapa kali mengalami perubahan ditinjau dari pelembagaan formal. Misalnya, sistem politik demokrasi liberal ke sistem politik demokrasi terpimpin dan ke sistem politik demokrasi Pancasila. Budaya politik yang berlaku dalam sistem perpolitikan Indonesia relatif konstan. Hal ini dikarenakan upaya ke arah stabilitas politik tidak perlu tergesa-gesa agar diperoleh keseimbangan dan mengurangi konflik seminimal mungkin. Bertolak dari pemaparan sejarah pola budaya politik masyarakat Indonesia di atas, Afan Gaffar 2002: 106 merumuskan bahwa ada tiga ciri dominan yang terdapat pada budaya politik Indonesia, yaitu sebagai berikut. a. Hirarki yang tegarketat Masyarakat Jawa dan sebagian besar masyarakat lain di Indonesia pada dasarnya bersifat hirarkis. Stratifikasi sosial yang hirarkis ini tampak dari adanya pemilahan yang tegas antara penguasa dengan rakyat biasa. Kedua strata tersebut terpisah oleh tatanan hirarkis yang sangat ketat. 14 Pendidikan Kewarganegaraan XI Dalam kehidupan politik, pengaruh stratifikasi sosial semacam itu antara lain terlihat pada cara penguasa memandang diri dan rakyatnya. Penguasa cenderung menganggap dirinya sebagai pengayom yang baik hati. Sebaliknya rakyat dianggap sebagai pihak yang rendah derajatnya. Implikasi negatif lainnya dapat dilihat dalam soal kebijakan publik. Penguasa atau pemerintah adalah pihak yang berhak merumuskan dan menentukan kebijakan publik, sedangkan rakyat cenderung tidak diajak berdialog dan kurang didengar apresiasinya.

b. Kecenderungan patronage

Pola hubungan patronage merupakan salah satu budaya politik yang menonjol di Indonesia. Hubungan semacam ini oleh James Scott disebut sebagai pola hubungan patron-client. Pola hubungan ini sifatnya individual. Antara dua individu, yaitu patron dan client, terjadi interaksi timbal-balik dengan mempertukarkan sumber daya yang dimiliki masing-masing. Pihak patron memiliki sumber daya berupa kekuasaan, kedudukan, dan materi, sedangkan pihak client memiliki sumber daya berupa tenaga, dukungan, dan kesetiaan. Pola hubungan semacam ini akan tetap terjaga selama kedua belah pihak memiliki sumber daya tersebut. Kalau tidak demikian, masing-masing pihak akan mencari pihak lain yang akan dijadikan entah sebagai patron ataupun sebagai client. Meski demikian, karena pada umumnya pihak patron memiliki sumber daya yang lebih besar dan kuat, pola hubungan semacam ini cenderung lebih menguntungkan pihak patron.

c. Kecenderungan neo-patrimonialistik

Salah satu kecenderungan dalam kehidupan politik di Indonesia adalah adanya kecenderungan munculnya budaya politik yang bersifat neo- patrimonialistik, artinya, meskipun memiliki atribut yang bersifat modern dan rasionalistik seperti birokrasi, perilaku negara masih memperlihatkan tradisi dan budaya politik yang berkarakter patrimonial. Syukur Abdullah 1991: 123 mengungkapkan bahwa ada empat ciri birokrasi modern yang dimaksud, di antaranya adalah sebagai berikut. 1 Adanya suatu struktur hirarkis yang melibatkan pendelegasian wewenang dari atas ke bawah dalam birokrasi. 2 Adanya posisi-posisi atau jabatan-jabatan yang masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab yang tegas. 3 Adanya aturan-aturan, regulasi-regulasi, dan standar-standar formal yang mengatur bekerjanya birokrasi dan tingkah laku anggotanya. 4 Adanya personil yang secara teknis memenuhi syarat, yang dipekerjakan atas dasar karir, dengan promosi yang didasarkan pada kualifikasi dan penampilan. 15 Bab 1 Budaya Politik di Indonesia Max Weber 1968: 341 menuturkan bahwa dalam negara yang patrimonialistik, penyelenggaraan pemerintahan berada di bawah kontrol langsung pimpinan negara. Selain itu, negara patrimonialistik memiliki sejumlah karakteristik sebagai berikut Afan Gaffar, 2002: 117. 1 Kecenderungan untuk mempertukarkan sumber daya yang dimiliki seorang penguasa kepada teman-temannya. 2 Kebijakan seringkali lebih bersifat partikularistik daripada bersifat universalistik. 3 Rule of law lebih bersifat sekunder apabila dibandingkan dengan kekuasaan penguasa rule of man. 4 Penguasa politik seringkali mengaburkan antara kepentingan umum dan kepentingan publik. Di era reformasi sekarang ini sistem politik Indonesia mengalami perkem- bangan-perkembangan yang cukup bagus dan lebih demokratis dalam melibatkan partisipan dalam berbagai macam kegiatan politik seperti pemilu langsung untuk memilih wakil-wakil rakyat yang duduk dalam lembaga perwakilan rakyat baik di tingkat pusat maupun daerah, pemilihan presiden dan walikotabupati secara langsung, menurut peraturan perundangan yang telah mengalami amandemen. Dalam pembentukan budaya politik nasional, terdapat beberapa unsur yang berpengaruh, yaitu sebagai berikut. a. Unsur subbudaya politik yang berbentuk budaya politik asal. b. Aneka rupa subbudaya politik yang berasal dari luar lingkungan tempat budaya politik asal itu berada. c. Budaya politik nasional itu sendiri. Lebih jauh lagi pertumbuhan budaya politik nasional dapat dibagi dalam beberapa tahap. a. Budaya politik nasional yang sedang berada dalam proses pembentukannya. b. Budaya politik nasional yang tengah mengalami proses pematangan. Pada tahap ini, budaya politik nasional pada dasarnya sudah ada, akan tetapi masih belum matang. c. Budaya politik nasional yang sudah mapan, yaitu budaya politik yang telah diakui keberadaannya secara nasional. Sumber: w w w .yahoo.com Gambar 1.9 SBY-Boediono dipilih secara langsung oleh p a r t i s i p a n u n t u k m e m i m p i n j a l a n n y a r o d a pemerintahan periode 2009-2014.