Beberapa faktor yang diduga menyebabkan okupasi dan ekspansi ke dalam kawasan TNBB dan TWA Baning, yaitu kebutuhan lahan yang semakin
meningkat akibat pertumbuhan penduduk dan kebutuhan ekonomi masyarakat, tidak adanya insentif bagi masyarakat dan lemahnya sistem pengawasan kawasan
yang disebabkan oleh lokasi yang jauh, terbatasnya jumlah tenaga, aksesibilitas jalan yang ada di sekitar kawasan hutan. Sehingga terdapat kecenderungan
kawasan tersebut didalam pemanfaatannya dianggap daerah ’tidak bertuan’ dimana semua orang merasa memiliki tanpa ada usaha-usaha untuk
memeliharanya, meskipun status lahan tersebut jelas yaitu dimiliki oleh negara state property yang seharusnya dilindungi dan dilestarikan keberadaannya.
Pola pemanfaatan yang demikian menurut Randal 1987 merupakan salah satu bentuk terjadinya inefisiensi dalam pemanfaatan sumberdaya yang terjadi karena
sifat dari sumberdaya hutan sebagai barang publik atau milik bersama. Oleh sebab itu, dalam rangka mencegah terjadinya pemanfaatan
sumberdaya yang tidak efisien di dalam kawasan konservasi dan pelestarian alam maupun kawasan hutan produksi yang dimiliki oleh negara, maka perlu
dikembangkan usaha-usaha pelibatan masyarakat dalam membantu mengawasi dan mengamankan kawasan serta peningkatan tenaga pengawas lapangan baik
pengelola atau BKSDA. Usaha tersebut akan dapat terlaksana menurut Devlin dan Grafton 1998 jika ada insentif yang jelas bagi masyarakat dan peningkatan
kapasitas kelembagaan pengelola sumberdaya alam yang bersifat publik atau milik bersama.
5.5.2. Total Nilai Ekonomi Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan
Kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Sintang pada tahun 1997 menimbulkan dampak kerusakan lingkungan, terhadap sumberdaya hutan dan
lahan perkebunan kayu, flora fauna, biofisik dan fungsi ekologis, maupun terhadap aktivitas sosial ekonomi dalam bentuk penurunan produktivitas dan
kesehatan masyarakat, menurunnya produktivitas hotel dan wisata, gangguan produktivitas transportasi dan tanaman pangan. Dampak kerusakan terhadap
lingkungan dapat dinilai secara ekonomi menurut nilai guna atau manfaat yaitu: hilangnya manfaat langsung, manfaat tidak langsung dan manfaat bukan guna
202
non use value dari sumberdaya hutan TNBB, TWA-Baning dan HTI dan lahan perkebunan TCSDP dan masyarakat.
Bentuk kerugian hilangnya manfaat langsung antara lain: kayu pulp atau log, kayu bakar, flora fauna, produksi karet, dan wisata. Manfaat tidak langsung
menurut fungsi hutan dan lahan seperti: pengatur tata air pengendali banjir dan penyedia air, pengendali erosi, penyerap dan pelepasan karbon, perubahan
struktur tanah, daur ulang unsur hara dan dekomposisi bahan organik dalam tanah. Manfaat bukan guna dari sumberdaya hutan dan lahan yaitu: nilai pilihan, nilai
warisan dan nilai keberadaan dari keanekaragaman hayati dan habitat. Selain kerugian ekonomi lingkungan dari kawasan hutan dan lahan, kebakaran juga
memberikan kerugian tambahan seperti biaya mitigasi kebakaran serta biaya dampak eksternalitas negatif dari asap kebakaran hutan dan lahan periode
Agustus-Desember 1997 seperti: menurunnya kesehatan masyarakat, penduduk tidak kerja, gangguan transportasi, penurunan jumlah wisatawan dan hunian hotel
dan penginapan serta menurunnya produktivitas tanaman pangan. Atas dasar dampak yang ditimbulkan maka penilaian total ekonomi
dampak kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Kabupaten Sintang tahun 1997 periode Agustus-Desember seluas 12.923,82 ha adalah merupakan penjumlahan
nilai kerugian dari: Sumberdaya Hutan NEKSH, Sumberdaya Lahan Perkebunan NEKLP, Biaya Mitigasi Kebakaran BMK, dan Biaya Dampak Asap
Kebakaran Hutan dan Lahan BDAK. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa dari total areal terbakar, nilai
kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan sebesar Rp. 53,91 milyar tahun 1997 dan meningkat 69 menurut harga tahun 2003 Rp. 91,24 milyar. Dari total
kerugian pada dua titik tahun tersebut, kerugian terbesar berasal dari sumberdaya hutan yaitu 90 – 92; kemudian diikuti kerugian akibat dampak asap 6-8;
kerugian lahan perkebunan 1,5-2; dan yang paling rendah kerugiannya adalah
biaya mitigasi kebakaran 0,17-0,19 Tabel 39.
Berdasarkan total nilai ekonomi kerugian dampak kebakaran hutan dan lahan diketahui kerugian persatuan luas sebesar Rp. 4,17 jutaha 1997 dengan
nilai kerugian dari lokasi sampel 42 ha sebesar Rp. 175 juta, sementara kerugian pada tahun 2003 sebesar Rp. 7,07 jutaha atau Rp. 296 juta yang berarti secara
203
rata-rata terjadi peningkatan sebesar sebesar 69. Nilai kerugian ekonomi ini lebih tinggi
dibanding hasil perhitungan EEPSEA dan WWF 1998 maupun Ruitenbeek 1998 dalam Glover and Timothy 1999 terhadap kebakaran hutan
dan lahan tahun 1997 di Indonesia yaitu Rp. 2,23 jutahektar. Namun, lebih rendah
jika dibandingkan dengan hasil perhitungan UNDP dan Kementerian Lingkungan Hidup 1998 yaitu Rp. 15,55 jutaha. Perbedaan hasil perhitungan ini
disebabkan oleh adanya perbedaan asumsi dan metode penilaian yang digunakan, variabel dampak yang dinilai, serta faktor harga yang digunakan dalam
menghitung kerugian setiap variabel dampak kebakaran hutan dan lahan.
Tabel 39. Total Nilai Ekonomi Kerugian Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Sintang tahun 1997 12.923,82 ha
No Dampak Kerugian
Kerugian Persatuan
ha-org-unit Rpsatuan
Nilai Kerugian Thn 1997
Rp Kerugian
Persatuan ha-org-unit
Rpsatuan Nilai Kerugian
Thn 2003 Rp
1 Sumberdaya hutan
1
a. Manfaat Langsung 2.482.006 31.662.951.966
63,62 4.317.062
55.072.755.927 66,84 b. Manfaat Tidak Langsung
1.293.906 16.506.360.372 33,16
1.949.393 24.868.403.426 30,18
c. Manfaat bukan guna 125.658
1.603.021.134 3,22
192.659 2.457.747.055
2,98 Jumlah –1
3.901.570 49.772.333.473 92,31
6.459.113 82.398.906.408 90,17
2 Lahan Perkebunan
1
a. Manfaat Langsung 4.695.911
785.156.271 88,69
7.511.019 1.255.842.399 89,43
b. Manfaat Tidak Langsung 598.919
100.139.266 11,31
887.327 148.360.995 10,57
c. Manfaat bukan guna -
- 0,00
- -
0,00 Jumlah –2
5.294.830 885.295.537
1,64 8.398.346 1.404.203.394
1,54 3 Biaya
Pengendalian
1
7.971 103.011.177 0,19 11.944
154.366.338 0,17
4 Dampak Asap a. Kesehatan Masyarakat
2
22.683 1.512.268.792 47,87
60.192 4.013.021.095
54,04 b. Penduduk tidak kerja
2
27.081 642.225.915 20,33
43.248 1.025.626.320
13,81 c. Gangguan transportasi
3
1.327.377 161.940.000 5,13
1.736.311 211.830.000
2,85 d. Penurunan Tingkat Hunian
136.200 181.145.550 5,73
221.341 294.383.500
3,96 Hotel dan Penginapan
3
e. Penurunan Prod. Tnm Pgn
1
73.528 661.229.090 20,93
209.214 1.881.446.184
25,33 Jumlah -4
244.418 3.158.809.347
5,86 574.622
7.426.307.099 8,13
Total Kerugian 1 - 4 4.172.009 53.919.449.533
100,00 7.070.958
91.383.783.239 100,00
Keterangan:
1
perhektar;
2
perorang;
3
perunit
Sementara penilaian kerugian atas dasar manfaat menunjukkan bahwa hilangnya manfaat langsung lebih besar 61,09 dibanding kerugian tidak
204
langsung 36,08 dan kerugian nilai bukan guna 2,83 dari total kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan dan lahan, dengan kerugian manfaat langsung
sebesar Rp. 3,58 jutaha 1997 dan meningkat 65 yaitu Rp. 5,9 jutaha 2003. Sementara kerugian manfaat tidak langsung Rp. 946.413ha dan Rp. 1,41 jutaha
serta nilai bukan guna sebesar Rp. 125.658ha dan Rp. 192.659ha. Rendahnya nilai kerugian tidak langsung dan nilai bukan guna disebabkan oleh belum semua
jasa dan manfaat ekologis dari kawasan yang terbakar dinilai secara ekonomi. Nilai kerugian dari manfaat tidak langsung dan nilai bukan guna biaya
sosial, akan semakin besar jumlahnya kerugiannya, apabila penilaian manfaat flora fauna dan habitat diperhitungkan menurut nilai ekologisnya peran flora
fauna dan habitat dalam ekosistem serta fungsi-fungsi ekologis lain seperti: daur siklus hara dalam tanah, pembentukan struktur tanah, pengendali iklim mikro.
Sementara nilai kerugian langsung juga akan bertambah besar apabila diperhitungkan nilai harapan expectation value produksi dari lahan perkebunan
dan HTI jika tidak terjadi kebakaran hutan dan lahan. Mengingat jumlah kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan dan lahan di
Kabupaten Sintang cukup besar yaitu Rp. 53,91 milyar 1997 dan Rp. 91,38 milyar 2003, tentunya hal ini akan memberikan implikasi terhadap kebijakan
lingkungan dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan, yaitu untuk mengendalikan kebakaran minimal diperlukan dana pengendalian minimal sama
dengan nilai kerugian ekonomi yang ditimbulkan, yang seharusnya kerugian tersebut merupakan manfaat benefit jika tidak terjadi kebakaran hutan dan lahan.
Jika diasumsikan kerugian yang ditimbulkan adalah dana cadangan untuk pengendalian kebakaran sehingga tidak terjadi kebakaran yang sama dalam skala
luas dan dampak, maka pertanyaan selanjutnya yaitu jenis teknologi apa yang harus digunakan dalam mengendalikan kebakaran agar sesuai dengan anggaran.
Sehubungan dengan hal tersebut maka kebijakan yang dapat ditempuh dalam memilih peralatan atau teknologi pemadaman api yaitu harus didasarkan
kepada prinsip biaya efektif cost effectiveness, dimana teknologi memiliki efisiensi dan efektifitas dalam pembiayaan, efektif dalam pemadaman api, aman,
dan mudah digunakan. Atas dasar prinsip biaya efektif tersebut, maka pilihan teknologi tidak harus menggunakan teknologi maju seperti: helikopter dan
205
pesawat dalam memadamkan api yang mungkin hanya cocok diterapkan apabila yang terjadi adalah kebakaran tajuk crown fire, tetapi untuk kebakaran
permukaan dan kebakaran bawah tanah, maka sebaiknya menggunakan peralatan atau teknologi konvensional dan semi mekanis yang melibatkan masyarakat dan
didukung oleh adanya pelatihan pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Hal ini dipertegas oleh Chander et al. 1983b yang menyatakan bahwa efektivitas setiap
teknologi berbeda tergantung bagaimana menggunakan dan mengkombinasikannya dengan peralatan atau teknologi lainnya, sesuai dengan
skala kebakaran dan kondisi areal yang terbakar. Besarnya nilai kerugian lingkungan akibat kebakaran hutan dan lahan yang
sangat luas terjadi karena adanya pola pembukaan lahan dengan menggunakan api yang tidak terkontrol. Pembukaan lahan menggunakan api baik yang dilakukan
oleh pengusaha dan sebagian masyarakat didasarkan atas pertimbangan biaya yang lebih murah dan waktunya relatif lebih cepat dibandingkan pembukaan lahan
tanpa pembakaran manual dan mekanis. Dari hasil wawancara terindentifikasi bahwa rata-rata perhektar biaya pembukaan lahan dengan menggunakan api hanya
sebesar Rp. 240.000ha ± 30 HOK, sementara biaya pembukaan lahan tanpa
membakar rata-rata Rp. 640.000ha ± 80 HOK. Nilai kerugian ini relatif lebih
besar dibanding dengan data Dirjen Perkebunan 1992 dalam UNDP dan Kementerian Lingkungan Hidup 1998 dengan pola pembakaran Rp. 224.000ha,
dan pembukaan lahan secara manual dan mekanik rata-rata Rp. 602.000ha. Oleh sebab itu, dalam rangka mengurangi kerugian ekonomi terhadap
sumberdaya hutan dan lahan perkebunan on site effect maupun kerugian yang bersifat tidak langsung seperti dampak asap dan meningkatnya biaya pengendalian
kebakaran of site effect, maka perlu dilakukan tindakan-tindakan preventif dalam bentuk pencegahan dini kebakaran hutan dan lahan, yaitu: a melarang
penggunaan api dalam membuka lahan bagi perusahaan dan masyarakat, b meningkatkan pengawasan terhadap pengguna api dengan melibatkan masyarakat,
perusahaan, dan pemerintah daerah, d mengembangkan pelatihan pemadaman bagi masyarakat dan tenaga perusahaan dan d menegakkan hukum dan sangsi
ekonomi seperti denda atau pajak bagi penyebab kebakaran hutan dan lahan.
206
Penerapan sangsi ekonomi dalam bentuk denda atau pajak lingkungan, selain penegakan hukum kepada penyebab kebakaran, hanya akan efektif dan
memenuhi rasa keadilan apabila denda yang diberikan minimal sama atau lebih besar
dari biaya sosial yang ditimbulkan marginal social cost yaitu biaya marginal pembukaan lahan marginal cost ditambah kerugian akibat kebakaran
atau biaya eksternalitas marginal marginal externalitas cost. Sebab, jika denda yang diberikan lebih kecil dari keuntungan yang diperoleh penghematan biaya
dari membakar lahan, maka pelaku pembakaran akan terus melakukan kegiatan pembukaan lahan dengan menggunakan api. Selain itu denda yang kecil dari
seharusnya menyebabkan tidak adanya insentif untuk mengurangi timbulnya kerusakan lingkungan Pearce dan Turner, 1990.
Komparasi terhadap hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya rata-rata pembukaan lahan menggunakan api diasumsikan sama dengan biaya marginal
AC=MC yaitu sebesar Rp. 240 ribuha, sementara nilai kerugian ekonomi lingkungan biaya eksternalitas = MEC rata-rata sebesar Rp. 4,17 jutaha nilai
thn 1997, maka besarnya denda yang paling efektif adalah sebesar Rp. 4,41 jutaha Rp. 240 ribu + Rp. 4,17 juta dan nilai denda ini menunjukan biaya sosial
marginal BSM. Dengan nilai denda tersebut maka peluang membuka lahan dengan menggunakan api Q
o
akan semakin berkurang karena dendanya jauh lebih besar dari keuntungan penghematan biaya yang diharapkan dari
menggunakan api dalam pembukaan lahan MNPB, sehingga pembukaan lahan dengan menggunakan api akan menurun Q
Gambar 23.
Titik Q ini adalah pola pembukaan lahan menggunakan api yang optimum
karena keuntungan bersih marginal dari pengusaha atau masyarakat MNPB sama dengan biaya sosial marginal BSM. Pada titik Q
ini juga berarti tercapai kondisi pareto optimum yaitu jika kesejahteraan seseorang mengalami
peningkatan better off maka pihak lain akan menurun kesejahteraannya worse off
. Sedangkan jika pembakaran lahan kurang dari Q
maka pengusaha atau masyarakat masih tetap untung karena nilai manfaat marginalnya MNPB lebih
besar dari biaya sosial marginal BSM yang harus ditanggung akibat kebakaran hutan dan lahan. Namun, jika pengusaha atau masyarakat membakar melebihi
207
titik optimal Q menuju ke arah titik O
o
maka pengusaha akan menderita kerugian karena keuntungan yang diperoleh MNPB lebih kecil dari biaya yang
harus ditanggung secara sosial BSM. Kondisi ini menyebabkan pengusaha akan mengurangi pembakaran lahan sampai pada titik optimal Q
. Selain itu dapat dijelaskan pula bahwa titik optimum pembakaran lahan tidak akan bergerak dari
Q menjadi 0 tidak ada pembakaran lahan, sebab penggunaan api oleh
masyarakat merupakan kebiasaan dalam membuka lahan yang telah dilakukan secara turun temurun.
Gambar 23. Mekanisme Penerapan Denda terhadap Pengguna Api
Mekanisme pergerakan dari titik yang tidak optimal O
o
ke titik optimal pembakaran lahan O
, maka pada kondisi ini pengusaha tidak merugi dan pihak yang terkena dampak tidak menderita kerugian secara sosial dapat dikatgorikan
sebagai salah satu bentuk pareto improvement. Artinya, jika seseorang mengalami peningkatan kesejahteraan better off dan pihak lain tidak menderita kerugian
worse off. Jika mekanisme tawar menawar ini berjalan sesuai mekanisme pasar, maka pihak pembuat polusi polluter akan membayar sebesar Rp. 4,41 jutaha
kepada pihak penerima polusi sufferer. Dalam situasi yang demikian, maka denda atau regulasi tidak perlu diterapkan lagi karena telah tercapai kesepakatan.
Hal ini sejalan dengan Coase theorem 1960 dalam Pearce dan Turner 1990 yang menyatakan bahwa jika hak pemilikan jelas maka tidak diperlukan lagi
aturan pemerintah untuk mengendalikan eksternalitas lingkungan.
Manfaat Biaya
Rp Biaya sosial marginal BSM = MC + MEC
4,41 jt 240 rb
Biaya buka lhn dgn api MC Biaya Eksternalitas Marginal MEC
Manfaat marginal pengguna api MNPB
Denda
Pembukaan Lhn dgn api
Q Qo
208
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah mekanisme pasar dalam menentukan titik optimal pembakaran lahan Q
dapat diberlakukan secara umum? Hal ini tentunya sulit, karena mekanisme pasar dalam menentukan titik
optimal Q pada Gambar 23 hanya cocok diterapkan antara dua invidu, sebagai
contoh antara pengusaha polluter dan masyarakat sufferer. Sebab, kebakaran hutan dan lahan sulit diidentiftikasi di lapangan: a tidak hanya dilakukan oleh
pengusaha tetapi juga oleh masyarakat polluter demikian pula dengan penerima dampak sufferer sangat luas, dan b kerusakan yang ditimbulkan akibat
pembakaran lahan oleh pengusaha dan masyarakat berbeda, baik dari segi potensi kerusakan maupun tujuan pembakarannya. Sehingga mekanisme penerapan nilai
kerugian sosial atau denda akibat kebakaran sebesar Rp. 4,41 jutaha, tidak dapat diberlakukan secara luas.
Adanya kesulitan dalam menerapkan mekanisme denda untuk pembakar lahan dalam skala luas dan hak untuk membakar lahan property right yang tidak
terdefinisikan secara jelas, mengenai siapa yang berhak membakar dan siapa yang harus membayar kompensasi dari kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh
kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Sintang, maka perlu adanya penerapan
denda terhadap pembakar lahan, tetapi tidak disamaratakan pada semua pihak,
karena adanya perbedaan kerusakan yang ditimbulkan dan tujuan pembakaran kebiasaan nenek moyang atau keuntungan.
Dalam kaitan ini, Field 1994, menyatakan bahwa dalam situasi yang kompetitif maka pajak atau denda yang tinggi akan menurunkan lebih banyak
emisi atau kerusakan lingkungan. Menurunnya sistem pembukaan lahan dengan menggunakan api secara langsung akibat denda yang tinggi akan mengurangi luas
areal terbakar dan nilai ekonomi kerusakan lingkungan. Mekanisme pencegahan luas areal terbakar dengan menggunakan pendekatan denda atau pajak, hanya
akan efektif apabila didukung oleh adanya sistem pengawasan dan penegakan hukum yang jelas. Hal ini penting mengingat fenomena kebakaran hutan dan
lahan awalnya dalam bentuk titik panas kecil dan semakin membesar karena tidak terkontrol baik karena kesengajaan maupun karena faktor alam yang mempercepat
terjadinya kebakaran angin, curah hujan, suhu, kelembaban, topografi.
209
Salah satu mekanisme pengawasan yang dapat ditempuh dalam memperkuat sangsi ekonomi denda dan pajak dan penegakan hukum, yaitu
dengan memperjelas status hak kepemilikan property right dan hak penguasaan lahan land tenure, sehingga setiap pemilik dan atau penguasa lahan yang
dibebani hak harus bertanggungjawab terhadap arealnya dari terjadinya kebakaran. Dengan demikian mekanisme denda atau pajak kerusakan lingkungan
menjadi salah satu parameter yang dapat digunakan dalam mengembangkan mekanisme kompensasi untuk mengendalikan kebakaran hutan dan lahan.
Mekanisme yang demikian menurut Hanley dan Spash 1995 termasuk bagian dari sistem kompensasi potensial Kaldor-Hicks Principle yaitu pihak pencemar
lingkungan harus mengkompensasi pihak yang terkena dampak.
5.6. Dampak Politis Kebakaran Hutan dan Lahan