Dampak Politis Kebakaran Hutan dan Lahan

Salah satu mekanisme pengawasan yang dapat ditempuh dalam memperkuat sangsi ekonomi denda dan pajak dan penegakan hukum, yaitu dengan memperjelas status hak kepemilikan property right dan hak penguasaan lahan land tenure, sehingga setiap pemilik dan atau penguasa lahan yang dibebani hak harus bertanggungjawab terhadap arealnya dari terjadinya kebakaran. Dengan demikian mekanisme denda atau pajak kerusakan lingkungan menjadi salah satu parameter yang dapat digunakan dalam mengembangkan mekanisme kompensasi untuk mengendalikan kebakaran hutan dan lahan. Mekanisme yang demikian menurut Hanley dan Spash 1995 termasuk bagian dari sistem kompensasi potensial Kaldor-Hicks Principle yaitu pihak pencemar lingkungan harus mengkompensasi pihak yang terkena dampak.

5.6. Dampak Politis Kebakaran Hutan dan Lahan

Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia dapat memberikan dampak secara politis. Dampak politis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hubungan kerjasama dengan negara lain. Adanya kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia diduga akan berpengaruh dalam menurunkan tingkat hubungan kerjasama dengan negara lain, khususnya negara tetangga yang terkena dampak asap kebakaran hutan dan lahan, karena negara kita dianggap sebagai perusak dan pencemar lingkungan terutama akibat bahaya asap dari kebakaran serta degradasi sumberdaya hutan dan lahan. Dampak kebakaran hutan dan lahan terhadap peluang terjadinya gangguan hubungan secara politik akibat adanya kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh asap kebakaran kepada negara tetangga, seperti Malaysia, Brunei, dan Singapura, dapat dicermati dari dampak kebakaran hutan dan lahan di Indonesia tahun 19971998 yang menimbulkan di Malaysia sebesar RM 802 juta atau US321 juta setara Rp. 802 milyar Shahwahid dan Othman dalam Glover dan Timothy, 1999 dan kerugian di Negara Singapura diperkirakan antara S 97,5 – S 110,5 juta atau sekitar US 69,3 juta – US 78,8 juta setara dengan Rp. 173 milyar – Rp. 197 milyar Priscilla dalam Glover dan Timothy, 1999. Kajian terhadap dampak kebakaran hutan dan lahan secara politis, khususnya kerjasama dengan negara lain dan negara tetangga dilakukan pada tiga 210 institusi, yaitu: Departemen Luar Negeri Bidang Kerjasama ASEAN, Kementerian Lingkungan Hidup Bidang Pelestarian Lingkungan dan Departemen Kehutanan Direktorat Penanggulangan Kebakaran Hutan. Hasil wawancara langsung diperoleh informasi bahwa kebakaran hutan dan lahan belum sampai pada taraf ’mengganggu’ hubungan antar negara karena belum ada gugatanklaim hukum secara legal atau formal terhadap negara Indonesia. Meskipun belum sampai mengganggu kerjasama luar negeri, namun adanya kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia dan berdampak kerugian ekonomi pada negara lain, akan berpeluang dalam ’memperlemah’ proses diplomasi dengan negara lain, baik dalam skala regional ASEAN maupun skala global karena negara kita dianggap sebagai pencemar lingkungan dan kurang peduli terhadap upaya-upaya pencegahan kerusakan maupun pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. Berdasarkan kejadian kebakaran, maka negara lain yang sering mengklaim Indonesia agar bertanggungjawab terhadap kerugian yang ditimbulkan adalah Malaysia. Sebagai gambaran, Malaysia pernah melontarkan ancaman yaitu: 1 akan mengajukan persoalan asap kebakaran hutan dan lahan ke Mahkamah Internasional, dan 2 akan membahas persoalan asap kebakaran hutan dan lahan ke dalam Agenda Pertemuan Menteri Luar Negeri dari Negara ASEAN sejak tahun 1994 sampai tahun 2004. Namun, kedua bentuk ancaman tersebut belum pernah diajukan secara resmi untuk dibahas baik ke Mahkamah Internasional maupun dalam pertemuan Tingkat Menteri Luar Negeri ASEAN, karena telah dilakukan pendekatan dan negosiasi agar ancaman tersebut dibatalkan. Dalam menghadapi ancaman atau gugatan dari negara lain yang dapat mempengaruhi posisi Indonesia di luar negeri, Pemerintah Indonesia, akan langsung melakukan negosiasi dan pendekatan dengan menjelaskan bahwa Pemerintah Indonesia telah berusaha untuk melakukan pencegahan kebakaran hutan dan lahan, dalam bentuk melakukan koordinasi antara Departemen paling kurang 3 bulan sekali untuk membahas pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Selain itu, diutarakan pula bahwa masyarakat Indonesia masih terbiasa melakukan pembukaan lahan dengan pembakaran lahan dan hal itu sangat sulit untuk dikendalikan oleh Pemerintah Indonesia. 211 Analisis keterkaitan kebakaran hutan dan lahan terhadap hubungan kerjasama dengan negara lain, khususnya negara tetangga yang terkena dampak seperti: Malaysia, Singapura, Brunei dan Thailand belum sampai merusak hubungan kerjasama antar negara. Namun, dalam diplomasi internasional posisi Indonesia lemah, khususnya dalam subyek pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan, karena negara kita dianggap tidak dapat mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang selalu terjadi setiap tahun. Hal ini memberikan konsekuensi bahwa semakin luas dampak kerugian akibat kebakaran hutan atau lahan yang bersifat lintas negara transboundary pollution maka dalam jangka panjang diduga akan mengganggu hubungan kerjasama internasional. Apabila hal ini terjadi maka pemerintah Indonesia harus melakukan pendekatan dan negosiasi kepada negara lain. Pendekatan dan negosiasi dalam upaya mencegah gugatan internasional atau negara yang terkena dampak akan memberikan beban biaya yang sangat besar bagi pemerintah Indonesia, seperti: biaya pertemuan dan lobi, penyiapan akomodasi dan perjalanan, biaya informasi dan biaya lain yang terkait dengan kegiatan negosiasi dampak kebakaran. Biaya-biaya yang timbul dari proses negosiasi ini dalam istilah ekonomi lingkungan sering disebut sebagai biaya transaksi transaction cost. Biaya transaksi ini merupakan manfaat ekonomi benefit apabila tidak terjadi kebakaran hutan dan lahan. Keterkaitan biaya transaksi negosiasi dengan dampak kebakaran terhadap adanya peluang gangguan kerjasama internasional diilustrasikan sebagai berikut bahwa kebakaran hutan dan lahan menimbulkan dampak ke negara lain, dan sampai saat ini belum ada klaim secara legal atau formal yang mengganggu kerjasama internasional setelah melalui proses negosiasi Qn. Namun, semakin tinggi biaya transaksi yang dikeluarkan dibanding dengan manfaat yang diperoleh batas toleransi maka akan memberikan peluang terjadinya kegagalan negosiasi. Kegagalan negosiasi atau tidak tercapainya kesepakatan antara Indonesia sebagai penyebab terjadinya polusi polluter dan negara lain sebagai penerima dampak sufferer, dapat terjadi apabila kebakaran hutan dan lahan semakin meluas dan sulit dikendalikan Qn, baik karena lemahnya pengawasan maupun karena kebiasaan masyarakat yang telah dilakukan secara turun-temurun dalam 212 membuka lahan dengan menggunakan api, sehingga menyebabkan kerugian yang semakin besar terhadap negara lain melebihi batas toleransi. Asimetrisasi ini akan menimbulkan konflik dan berpeluang mengganggu hubungan kerjasama antara Indonesia dengan negara lain yang terkena dampak, sehingga akan semakin meningkatkan biaya transaksi Gambar 24. Gambar 24. Keterkaitan Luas Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan dengan Kehilangan Manfaat Biaya Transaksi dan Gangguan Kerjasama Internasional hipotetis Salah satu usaha untuk mengurangi dampak kebakaran hutan dan lahan, khususnya asap kebakaran hutan dan lahan yang bersifat lintas regional dan negara, maka negara-negara yang tergabung dalam ASEAN sepakat untuk membuat kesepakatan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution-AATHP . AATHP merupakan kelanjutan dari Rencana Kerjasama ASEAN tentang Pencemaran Lintas Batas tahun 1995. ATTHP ini bersifat mengikat di antara Negara ASEAN yang berlaku sejak 25 November 2003 baik secara nasional maupun regional. AATHP bertujuan untuk mencegah dan memantau pencemaran asap lintas batas sebagai akibat dari kebakaran hutan dan atau lahan yang harus ditanggulangi melalui upaya nasional dan mengintensifkan kerjasama regional dan internasional. Namun sampai pada saat penelitian ini dilaksanakan, Indonesia belum meratifikasi AATHF tetapi masih dalam proses tahapan ratifikasi. Hal ini memberikan implikasinya bahwa pemerintah Indonesia belum siap sepenuhnya untuk melaksanakan kesepakatan tersebut, yang disebabkan oleh sistem perangkat Batas Toleransi Negosiasi Qn Luas Kebakaran Menurunnya manfaat: - Biaya transaksi - Kerjasama Internasional Luas Dampak Kebakaran Biaya, Manfaat 213 pengendalian kebakaran yang belum optimal, kesulitan dalam mengawasi dan melarang penggunaan api bagi masyarakat yang telah terbiasa dan telah sejak lama dilakukan dalam sistem pembukaan lahan. Adanya kesulitan dalam melarang penggunaan api dalam pembukaan ladang oleh masyarakat asli setempat, sebab masyarakat telah melakukan sejak lama yang diturunkan dari leluhur dan biasanya telah diakui sebagai hak yang telah melekat dalam kehidupan sosial atau hak adat dalam sistem pembukaan lahan. Kebiasaan membuka lahan dengan menggunakan api di Kalimantan Barat menurut Schweithelm 1998 telah dilakukan lebih dari 1000 tahun yang lalu. Oleh sebab itu, adanya kebiasaan masyarakat asli setempat dalam menggunakan api secara terkontrol dan telah dilakukan sejak lama, tentunya dapat digunakan sebagai salah satu dasar negosiasi mengapa pemerintah sulit mengendalikan kebakaran lahan, terutama yang berasal dari lahan masyarakat adat. Dalam konteks kebijakan lingkungan, adanya pengakuan atas kebiasaan atau adat mengenai sistem pembukaan lahan dengan menggunakan api yang terkontrol, dapat disetarakan dengan adanya kejelasan terhadap hak kepemilikan sosial social property right masyarakat asli setempat. Namun, untuk menetapkan hak-hak rights dari masyarakat asli setempat dalam pembukaan lahan dengan menggunakan api harus dibatasi dan dikontrol. Bentuk pembatasan dan pengontrolan hak-hak masyarakat harus dikaitkan dengan usaha-usaha mencegah kerusakan lingkungan yang lebih besar. Penegasan atas hak masyarakat dalam analisis kebijakan lingkungan harus diperkuat oleh adanya aturan pertanggungjawaban liability law, artinya pola pembukaan lahan oleh masyarakat adat dengan menggunakan api, tidak harus melakukan tindakan pelarangan secara otomatis tanpa adanya insentif atau solusi, tetapi harus ada insentif maupun kompensasi dari negara lain seperti: memberikan bantuan teknologi atau penyuluhan kepada masyarakat agar menerapkan pola pembukaan lahan yang tidak menimbulkan kebakaran dan dampak asap yang lebih luas. Pengakuan terhadap hak masyarakat asli setempat dalam membuka lahan ini tentunya harus dibatasi karena pertumbuhan penduduk setiap tahunnya meningkat sementara kapasitas lingkungan untuk menampung polusi asap 214 kebakaran hutan cenderung menurun. Artinya, sampai titik tertentu maka pola pembukaan lahan dengan menggunakan api perlu dibatasi dengan mengembangkan mekanisme kompensasi atau insentif. Mekanisme pembatasan hak sosial masyarakat menurut Devlin and Grafton 1998 yaitu harus disediakan insentif terbaik bagi masyarakat dengan membantu menginternalisasikan eksternalitas lingkungan melalui pendekatan biaya efektif cost effectiveness, merata equitable dan berkelanjutan sustainable. Dalam konteks teoritis kebijakan lingkungan, alternatif pendekatan negosiasi dalam mencapai solusi pengendalian kebakaran hutan dan lahan dengan dasar pengakuan hak adat masyarakat dalam penggunaan api dan adanya aturan pertanggungjawaban liability law secara simultan, tentunya memerlukan pengkajian yang mendalam dan komprehensif agar dapat diterapkan dalam mengendalikan terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Oleh sebab itu, apabila mekanisme ini akan diterapkan maka perlu adanya identifikasi hak yang jelas terhadap hak kepemilikan maupun hak penggunaan atau penguasaan atas hutan dan lahan, karena penggunaan api dalam pembukaan lahan tidak hanya dilakukan oleh masyarakat adat tetapi juga oleh masyarakat pendatang dan perusahaan yang cenderung melakukan pembakaran kurang terkontrol dan cenderung hanya untuk mencari keuntungan rent seeking behavior. 5.7. Faktor-Faktor Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan 5.7.1 Faktor Alami